Sunday, February 28, 2021

Indonesia itu Negara Superpower ;)



Kembali lagi saya memberi judul tulisan yang edgy, agar bisa langsung di-notice oleh rekan yang membaca. Setidaknya saya memulai tulisan dengan niat berdoa, agar bisa diaminkan bersama. Tentunya jika sudah berupa doa, itu bukan lagi sebuah harapan untuk berpindah dari utopia satu ke utopia lainnya, bukan? ;)


Sudah terlalu banyak pembahasan (atau mungkin pembelaan) bahwa Indonesia ini diberkahi dengan kekayaan alam dan materialnya yang bisa mengalahkan ratusan negara di dunia, tapi (katanya) warganya ga bisa mengelolanya. Ada juga bahasan bagaimana kekayaan plasma nutfah dikonservasi, dan rencana besar pemetaannya. Dipetakan untuk dijadikan base untuk bargain value di era transaksi berdasarkan kekuatan modal dasar sistem database digital sebuah bangsa.


Coba kita lihat dari sudut lain. Sudut yang jarang kita bahas, tapi mungkin hampir tiap hari kita lalui, bahkan rasakan. Apa sih kekuatan Indonesia, atau kekayaan Indonesia, yang tiap hari kita nikmati, tapi tak pernah diukur sebagai modal untuk menjadi kaya, atau bahasa naifnya, terlihat lebih di negara lain? Tak lain dan tak bukan adalah rangkaian aktivitas mengukur kita.  Bangsa ini senang untuk mengukur. Macam-macam satuan ukurnya. Bahkan yang terkenal, “Asta Kosala Kosali”, adalah sebuah sistem ukur yang bisa mengalahkan konstanta seperti “golden ratio-nya Fibonacci”. Mengalahkan dalam konteks penggunaannya untuk aktivitas berporduksi di masyarakat nusantara, khususnya yang memiliki akses dengan ajaran Hindu di masanya.


Itu baru Asta Kosala Kosali. Sebuah sistem ukur berbasis rasio badan dan aktivitas manusia. Masih sangat banyak sistem ukur yang bisa digunakan untuk mengukur dimensi, berat, bahkan unsur-unsur intangible seperti “hari baik-hari buruk”.. bahkan mengukur chemistry antar manusia pun bangsa ini memiliki sistem ukurnya, seringkali dikemas dalam atmosfer gosip dan ghibah :D.


Tentunya tak perlu dulu membahas afirmitas dari sistem ukur tersebut, apalagi sistem-sistem ukur yang berlaku di lingkup kecil. Ada dulu saja, notifikasi dulu saja. Itu harusnya sudah bisa kita syukuri. Sistem ukur ini secara tak langsung adalah benteng, atau bahasa digitalnya, adalah algoritma penetral, yang bisa membantu Indonesia ini ga terpuruk amat dalam jebakan algoritma pemecah ikatan-ikatan sosial dalam sebuah operasi shaping the pattern-ya para bohir-bohir anti teritori fisik,  yang ingin ambil keuntungan sepihak di era revolusi digital.Beberapa konstalasi sistem ukur ini berdiri sendiri, seperti sistem ukur yang tersanding di primbon Jawa, atau sistem ukur asta kosala-kosali yang sudah kita sebutkan. Saya ingat juga di cerita Kho Ping Hoo dengan ukuran -seper… -seper.. nya. 


Cara mengukur dalam sisi lain adalah cara menyambungkan cerita. Dari sisi ini, bisa terbayang bahwa bisa bercerita juga adalah sebuah cara memperkaya diri, menguatkan data di sebuah kumpulan data yang berpola. Saat ini, setelah banyak yang berbagi ilmu tentang cara berkenalan dan mengolah data, lalu menyusun dan "menghidupkan" kumpulan data (yang sudah dikenal) tersebut dalam sebuah literasi. Proses ini terus berlanjut dengan bagaimana kemampuan literasi ini menjadi 4 dimensional, yaitu tak hanya memengaruhi peer to peer (yang memiliki medium-antara berupa ukuran tertentu), tapi juga membuat data menjadi bersifat holistik dengan kemampuan men-storytelling-kan data tersebut dalam sebuah produk yang sesuai dengan konteks.  


Itu baru yang tertulis. Sistem ukur yang tidak tertulis tentunya lebih banyak, bahkan bisa menjadi nilai mengikat di sebuah sistem keluarga. Bagaimana sebuah keluarga mengukur kapan anaknya harus disunat, kapan sang ayah harus memulai proses menanam dan memanen, berapa lama sang ibu harus menyimpan cadangan makanannya, semua ada ukurannya. Ukuran-ukuran ini lebih banyak terkonversi dalam nilai-nilai budaya, dan terbungkus dalam sistem kepercayaan (belief), sehingga menjadi sebuah materi yang intangible, dan relatif menjadi agak rumit untuk diurai, karena lapisan verifikasinya menjadi berlapis.


Jika saja sistem ukur ini diletakkan dalam konteks pengisian database terkait aktivitas di jaman digital ini, pola-pola yang digunakan tersebut akan memperkaya sebuah konstalasi sistem dan daya tawar di sebuah civil society. Saya teringat dengan sebuah sesi dengan tim yang sedang mengonservasi aktivitas sebuah suku yang tinggal di tengah laut. Mereka memiliki sistem ukur yang relatif advance, karena menggunakan perbandingan rasi bintang hingga ke level rasio untuk ritme aktivitas melaut mereka. Aktivitas melaut pun dibagi menjadi beberapa bagian yang terintegrasi dalam sebuah budaya mematangkan sumber daya manusia angguta suku mereka untuk lebih agile, sustain, dan integrate dengan ekosistem mereka. Yap. Ekosistem di sini berarti juga terkait dengan penguatan rantai makanan (memakan-dimakan), terkait dengan rantai konsumsi. 


Sebuah konstelasi yang mengikat aktivitas, bahkan mewarnai budaya bisa menjadi penanda bahwa sebuah civil society bisa melakukan bargaining value untuk kepentingan konservasi ataupun komersil. Nilai tukarnya bisa saja berupa duplikasi dan multiplikasi sistem budaya untuk disebar di level ikatan civil society yang lebih luas (lebar), atau lebih dalam. 


Sebut saja dalam ranah kuliner, bukankah sebuah makanan adalah hasil dari proses aktivitas menakar, mengukur, menghimpun, materi-materi, menjadi bisa nikmat (berkualitas) untuk dikonsumsi? Betapa banyak sajian kuliner nusantara memainkan spektrum rasa yang lebar, sekaligus memainkan kedalaman proses dalam pembuatannya. Hampir jarang makanan Indonesia disajikan dengan mayoritas proses masak yang sederhana. Selalu ada pendalaman. Coba lihat bagaimana masakan seperti rendang dibuat, atau seperti pepeda, seperti ayam betutu, semua (dari Timur ke Barat) setidaknya memiliki satu atau lebih sajian yang dikemas ala masakan untuk Raja, penguasa yang in-charge di sebuah teritori dan keadaan. Kedalaman ini membuktikan kemampuan mengukur bangsa kita bukan di level survival. Tapi sudah sampai level “persembahan”. Level kesadaran tertinggi, berupa elaborasi rasa syukur pada keberadaannya di area of influence yang lebih besar. 


Ngomong-ngomong kedalaman sebuah civil society, maka saya tidak bisa tidak, harus mengaitkannya dengan budaya gotong royong yang ada Nusantara. Saat ini betapa kesalnya saya dengan operasi pencatutan nama gotong royong pada usaha-usaha untuk menguntungkan diri sendiri untuk memodifikasi dasar negara yang sejatinya hanya akan melemahkan kedaulatan. Rasa kesal ini hampir sama dengan rasa kesal saat nama “agama” dibajak oleh para entitas yang memonopoli afirmasi sistem kebenaran a.k.a teroris. Tak cuma gotong royong, bahkan isu kebhinnekaan pun dan semua yang berbau “tanah nusantara” berusaha dipisahkan, ala operasi pemisahan minyak-air, oleh para bohir-bohir yang tak berbasis teritori. Intinya si, pembajakan itu selalu bisa membuat kesal orang yang hidupnya berbasis pada membuat karya (orisinal). 


Gotong royong sejatinya adalah sebuah kumpulan sistem ukur untuk mengikat/membuat patok-patok sistem secara vertikal. Mulai tingkat konsep (mindset) di level dasar, hingga level event (engagement), yang terlihat di permukaan. Sistem ini bukanlah sama sekali sistem “sama rasa sama rata ala komunis” yang digaungkan oleh seseorang, yang saya yakini, memang punya misi tertentu terkait kelompok tertentu yang ingin Indonesia ini semata-mata adalah Melayu. Melayu memang salah satu “bibit pewarna” terkuat di Nusantara. Tetapi usaha untuk membuatnya menjadi “uni color” hanya akan memperlemah bargaining position, disetel untuk menuju bangsa yang mudah di-remote, padahal sejatinya dari sisi warna, daya tawar kita sudah sangat tinggi. 


Nama bisa apa saja, tapi sistem ukur vertikal seperti gotong royong ini kini (terlanjur) sedang diobservasi serius, dikonversi dalam pendekatan socio engineering, dan dibuat versi “compact” atau konstantanya, sehingga bisa diterapkan di banyak ekosistem (dan habitat). Rasa terima kasih saya pada “tetua” yang membela bangsa ini di hadapan para “tetua” bohir, di masa krisis Y2K - awal pembuka abad ke-21. Bisa dikatakan gotong royong adalah sistem yang lagi “gold” banget untuk diolah menjadi menu santapan ala raja. Tentunya masih banyak kumpulan sistem ukur lain yang sudah dikenal, tapi belum dijadikan menu untuk santapan raja. Coba perkuat kesadaran dengan tools/teknologi (sosial) yang sedang banyak dikampanyekan, lalu lihat, observasi, dan ukur dari jangkauan pandang kita, mulai dari aktivitas kita sehari-hari. Banyak sekali yang bisa diukur, daripada mengikuti (algoritma) ajakan untuk habiskan waktu mengukur dosa. Karena masing-masing entitas sudah punya tugas di muka bumi :D


Selamat menjadi warga calon negara superpower! ;)


Friday, February 26, 2021

Menaikkan IQ




Judul yang agresif, ambisius, dan tentunya “edgy”. 


Agresif karena tiba-tiba aja si ekyu ini capang (cari panggung) jadi judul. Emang ga penting banget dibahas di era pencitraan orang sombong ga laku laku amat.  Terlihat ambisius karena bahasan IQ ini semacam bahasan yang sangat scientific dan “otak kiri” sekali. Padahal sudah sangat outdated. “Edgy” karena ya…sambungan dari karakter cari panggung, IQ adalah konten yang bisa jadi bahan disparitas. Memisahkan satu dengan lain, padahal dalam sistem yang sama.


Yap. Sistem yang sama. Yap.. penumeran IQ bisa dibilang outdated di era semua serba terhubung. Yap. karena semua sistem pendidikan di pusatnya sekarang sedang shifting. Dari yang berbasis “suhu kamar” untuk mengaplikasi teori, menjadi suhu kompor, siap untuk bertarung di dunia yang serba diverse. Siap bertarung dengan entropi sistem. Pemikiran dipersiapkan untuk menghadapi hal-hal yang polanya tak bisa ditangkap oleh kesadaran setengah. 


PR semua pencinta ilmu saat ini adalah bagaimana menjadikan ilmu sebagai alat peningkat value di area of influence-nya. Kadang ilmu yang tinggi jika berada sama-sama di lingkungan ilmuwan berilmu tinggi ya valuenya kadang “meh” juga. Khususnya jika memang tak ada mission dan dimensi waktu yang membatasi sebuah irisan himpunan manusia berpikir tersebut. 


Sedangkan PR semua pemikir (bebas dan sistem) yang terkait dengan hubungan antar manusia adalah saat bagaimana nanti “tidak ada lagi uang”. Yap. Masih berupa frase. Bukan sebuah kondisi yang terafirmasi. Tapi sebagai sebuah skenario, akan selalu bisa dan masuk akal. Di saat semua saling terhubung, sebenarnya tak perlu lagi adanya proxy bernama “alat tukar”. Uang adalah sebuah “batu nisan”, bukan lagi tikum (titik kumpul) orang untuk melakukan pertukaran nilai. Dahulu yang dinilai adalah nilai kebergunaannya di zona waktu yang tidak luas. Dalam dunia yang (sebenarnya) tak lagi membutuhkan teritori, uang kini semakin menjadi penanda posisi yang membantu server searching engine untuk mendapatkan uang dari adsense yang kembali dikirim ke posisi pemilik uang, untuk ditarik uangnya.


Kondisi era tanpa uang tentu saja menantang. Menantang setiap orang, mulai dari level personal, kolektif, kolaboratif, hingga ke himpunan civil society terbesar  (dan terkuat) harus memikirkan value mereka masing masing. Berpikir tentu bukan lagi dengan IQ yang dibanggakan pada masa lalu. IQ saat kondisi ini terjadi malah menjadi divider yang membuat sebuah civil society tersegregasi. Berpikir dalam ranah sistemik akan membutuhkan kerja kolektif. Kerja kesadaran, kecerdasan hati, kecerdasan badan, kecerdasan spiritual, yang mampu menyelesaikan koneksi-koneksi vertikal untuk urusan pengikatan data. IQ hanya efektif untuk mengikat / membuat jaringan konektivitas di level horisontal yang cenderung hierarchical. Sebuah himpunan yang berintensi untuk memanjakan ambisi dan pencarian ter-ter- lain yang bisa meluaskan jaringan horisontal.


Kekhawatiran terbesar saat barter value ini terjadi lagi adalah peningkatan entropi sosial karena seperti era perburuan, unsur fisik (material) kembali menjadi andalan untuk mengafirmasi makna kebenaran. Intensi manusia seringkali-bahkan selalu beresultan pada afirmasi pada keberadaan faktor-faktor material yang menempel. Intensi ini diperkuat oleh respon alami yang dimiliki oleh setiap individu secara berbeda sehingga banyak waktu yang digunakan untuk adaptasi. Saya masih optimis era saling perang-menghabisi untuk menguasai tidak akan terulang lagi, karena perangkat pengukur kualitas civil society sudah begitu maju. Akan ada sanksi alamiah bagi para pelanggarnya. Yang saya khawatirkan adalah justru perusakan  dan penguasaan banyak terjadi pada kelompok-kelompok elit kecil yang menjaga marwahnya. Marwah yang dibangun dengan intelejensi berbasis material, yakni IQ. 


Jadi penutup tulisan ini adalah jawaban judul tulisan ini. Bagaimana cara menaikkan IQ?  Bisa banyak, salah satunya rekayasa genetik, atau bisa dengan support systems, jika ingin lebih instant. IQ disini tentulah bukan kemampuan otak, tapi kemampuan area of influence kita mengonsumsi data, pola, dan respon. Apakah ketiga hal tersebut bisa memancing pemilik area of influence untuk mengolahnya menjadi momen yang menaikkan value dan bargaining position? Atau hanya untuk dijadikan koleksi memori di otak yang membuat darah semakin kental?



Sunday, February 21, 2021

Meng-hack Ego



Hacking, atau peretasan - dalam bahasa Indonesia (based on Google Translate), sejatinya adalah proses menempelkan diri pada entitas asing melalui jalan, yang dibuka, berdasarkan pola yang sudah dikenal. 


Entitas asing yang diretas biasanya adalah objek sebuah operasi yang bertujuan untuk memindahkan value dari entitas tersebut ke entitas lain, atau bisa juga lebih ke sebuah simulasi untuk memetakan potensi yang tak disadari. Bisa potensi baik, atau juga potensi buruk. 


Pada konteks kekinian, dimana sebuah entitas yang terkait dengan dunia digital akan terkoneksi ke beberapa platform berbasis protokol keamanan yang berbeda, maka peretasan bisa memiliki fungsi yang baru. Fungsi tersebut memperkuat akuntabilitas sebuah entitas, menjadi memiliki lapisan-lapisan pola respon. Lapisan pola respon ini membuat sebuah entitas lebih adaptif dan akuntabel. 


Dalam sebuah dialog antar sahabat yang ditayangkan di youtube, ada bahasan menarik tentang hacking-gene. Bagaimana memetakan ulang pola pola gen unggulan untuk memperbaiki sebuah generasi. Metode ini sudah diterapkan tak lagi dalam ranah purwarupa, tapi sudah aktualisasi program untuk peningkatan kapasitas sumber daya, dalam hal ini atlet untuk pemenangan kompetisi olahraga. Bagaimana atlet dilatih mulai dini, dan diberi asupan makanan GMF (Genetically Modified Food) yang bisa gradual membuat gen dominan atau pilihan, bertumbuh dan menjadikan profil atlet yang ideal. Yap. Profilling tak lagi hanya urusan pemetaan karakter dan potensi interkoneksi sosial saja. Profilling sudah jauh melangkah ke arah pembentukan peta demografi ideal berbasis rekayasa fisik sumber daya manusia. 


Dalam konstelasi peretasan, hampir bisa dipastikan tak ada yang berlangsung seketika, atau bahasa sononya, instant. Kecuali memang pola-pola yang “ditempel” sudah sangat dikenal dan terknoneksi dengan database yang menyimpan kombinasi pola-pola respon. Peretasan adalah sebuah proses yang gradual, berlapis, dan yang pasti memiliki dampak gradual, dan termonitor pertumbuhan pola-pola responnya.


Kembali ke esensi peretasan, adalah untuk mengenal kembali pola dan membuka jalan baru untuk penguatan respon-respon. Seperti halnya re-mapping ECU pada mobil. Re-mapping tak selalu bertujuan menguatkan spektrum tenaga mobil, tapi bisa juga untuk memperkuat respon lainnya pada mobil. Tujuannya tak lain dan tak bukan untuk menjadi adaptif dalam situasi yang terlihat alami, padahal sudah terskenario. 


Dalam sebuah situasi yang genting diperlukan sinergitas antara mind, heart, dan intention (keinginan). Mind sangat terkait dengan susunan data. Heart sangat terkait dengan koneksi kesadaran dan interkoneksitas diri dan lingkungan (alam + sosial). Sedangkan intensi sangat terkait dengan respon keingan saat receiving, dan giving.  Sinergitas ini akan menjadi tumpul saat sistem pendukung yang melekatkan ketiga elemen , yaitu ego, terkunci dalam alam bawah sadar. Tumpul bisa jadi saling tak terkoneksi, atau bisa jadi memang berjalan lambat karena gangguan alter ego yang memberi aliran energi pada memori.  


Ketajaman sinergitas mind, heart, dan intention ini bisa diasah, dijaga, dan dikembangkan menjadi kombinasi komposisi sinergitas untuk menyikapi respon sesuai kombinasi yang dilatih. Salah satu cara yang efektif tak lain dan tak bukan adalah dengan meretas sistem pendukung, dalam hal ini ego. Peretasan ego bisa dengan memetakan ritme, dan mengombinasikannya dengan memori sadar dalam sebuah  medium bernama mindfulness


Ritme selalu terkait dengan momen. Momen selalu terkait dengan konten dan waktu. Di sisi lain, memori sadar bisa dipetakan dengan melatih kontrol fisik, gestur, hingga titik-titik terkecil yang membentuk sebuah batas rasa. Mindfulness merupakan sebuah proses yang melatih ego untuk merasakan batas, bentuk, dan pecahan secara terus menerus, hingga alter ego tak lagi menjadi sumber energi terpantiknya simulasi-simulari rasa (lain, yang tak dibutuhkan) dari alam bawah sadar.  


Melatih ego untuk merasakan batas, bentuk, dan pecahan yang efektif adalah dengan menjalankan latihan fisik berpola dan bertarget. Bisa berpola individual untuk menguatkan memori, bisa kolektif untuk menguatkan respon.  Salah satu target yang bisa dilatih adalah melatih batas-batas gestur tubuh pada titik maksimal, dalam hal ini, mengenal rasa sakit (pain) dan rasa sakit (hurt) secara lebih faktual. Pembiasaan diri pada batas-batas maksimal akan mengurangi celah-celah misleading-nya sebuah ego pada fungsinya sebagai tools perekat sinergitas mind, heart, dan intention



Sebagai kata penutup, karena itulah, saya senang bersepeda menaiki bukit, menikmati tanjakan, kayuh per kayuh. Artikel ini adalah sebuah jawaban yang paling (meta-) scientific  (menurut saya) untuk rekan yang bertanya, “Kok senang amat gowes nanjak? Single speed pulak? Tolong jelaskan dengan logis”.. 








Friday, February 19, 2021

Bermanja dengan Pencipta




Waktu, akal, dan kesadaran adalah modal utama individu dalam mencapai kekuatan. Esensi dari kekuatan bukanlah tentang menggunakan tenaga untuk melakukan hal berat. Kekuatan individu adalah kemampuan untuk menjadikan area of influence-nya termitigasi dengan baik. Sebuah cara untuk merdeka dalam berkehendak.

Judul di atas harusnya tak terlalu bernuansa spiritual. Toh jika ditelisik, banyak aktivitas kita memang sangat dekat dengan Pencipta, atau setidaknya, penciptaan. Bernafas, berpikir, dan memilih adalah tiga aktivitas rutin yang seringkali berlangsung tanpa butuh approval dari kesadaran kita. Seringnya kita melewati peran kesadaran dalam bernafas, berpikir, dan memilih membuat kita lebih mudah terpengaruh oleh keinginan. Di sisi lain, keinginan adalah kumpulan pikiran yang terpola untuk membuat individu bertindak atas dasar ingin membuat pasti, real, mengarah pada hal fisik - terpindai panca indera.

Keterikatan kita dengan hal di luar individu akan selalu bersifat sistemik. Sistemik berarti memiliki pola, memiliki tensi dan intensi, serta yang pasti memiliki posisi dalam dimensi ruang dan waktu. Hal ini terjadi dalam hubungan yang paling sederhana sekalipun. Spontanitas pun pada dasarnya bersifat sistemik, namun memang berlangsung dalam timeline yang singkat (di luar zona wajar). 

Keterikatan kita dalam intensi yang kuat dengan sekitar akan membesarkan peta berpikir kita, begitu juga, akan menguatkan daya pijak kita. Daya pijak kita pada pengetahuan individu, dan pengetahuan bersama.

Saat menjadi bagian dari sebuah sistem yang mengikat aktivitas kita, maka kesadaran kita lah yang bisa menjadi panduan. Panduan untuk mengukur apakah aktivitas kita memengaruhi kekuatan kita dalam memilih, berpikir, bahkan bernafas

Menjadi bagian dari sistem merupakan kerja kesadaran yang paling aktual. Aktual untuk memetakan ikatan yang tak bisa diubah, ikatan mana yang bisa dimodifikasi tekanannya, dan ikatan mana yang sangat fleksibel mengikuti intensi kita. 

Ikatan keinginan dalam sadar seharusnya sangat fleksibel, tapi jika keinginan tak melewati peran approval kesadaran, keinginan/intention ini bisa saja menjadi ikatan yang kuat, dan bisa memengaruhi kerja sistem keseluruhan, yang harusnya disepakati secara sadar, sebelumnya. 

Keterikatan kita dalam sistem bisa membentuk kita dalam aktivitas sistemik yang semakin kompleks. Kompleks berarti memiliki variabel yang bertambah, memiliki turunan aktivitas, dan stakeholder-nya. Keterikatan bisa menjadi batas (bonding the systems). Batas antara aktivitas sistem satu bukan bagian dari aktivitas sistem yang lain. 

Keterikatan juga bisa menjadi sebuah bentuk (shaping the systems). Seperti daun yang memiliki rangka, memiliki jaring klorofil hijau yang mengisi rangka dan mengakibatkan daun tersebut memiliki bentuk. Bentuknya bukanlah didasarkan intensi atas keinginan, atau batas gerak. Bentuk bisa lahir dari dimulainya rangkaian aktivitas sistem hingga  berakhirnya. 

Satu sisi lain, ada juga aktivitas yang bersifat menandai, memetakan, mengikat, dalam rangka untuk mengunci dan meniadakan (shaming the systems). Aktivitas ini dalam skala utuh biasanya berlangsung lama, dan memang berlangsung dengan membuat sebuah kondisi kerja sistem dalam kesadaran dan intensi rendah, dengan tujuan akhir yang sifatnya sangat materialistik. Sifat- sifat aktivitas yang bermuara pada hal fisik cenderung meninggalkan jejak, karena memang butuh ruang untuk memindai, dan waktu untuk menyambungkan intensi-intensi menjadi sebuah bentuk buatan yang bisa diatur dalam konteks kesadaran berbasis material

Balik lagi dengan aktivitas bermanja, berdekatan dengan entitas mencipta. Salah satu pegangan terkuat untuk merasakan dekat atau tidaknya kita dengan entitas Pencipta dan penciptaan adalah kesadaran kita. Tanpa kesadaran semua bisa berlangsung tanpa makna, atau bermakna namun sekadar menjadi cerita yang tak memengaruhi kekuatan individu kita dalam merasakan ikatan dengan sistem di luar diri. Baik itu sistem yang sederhana, atau sistem yang rumit yang melibatkan kita dalam kondisi harus berkeputusan sadar setiap saat, misalnya komandan pasukan anti teror yang sedang menghadapi penyanderaan. 

Salah satu cara menikmati kedekatan dengan entitas Penciptaan adalah merasakan proses dalam rasa dan gesture maksimal. Merasakan daya tahan maksimal dari tubuh yang beraktivitas adalah salah satu cara. Sakit (pain) dan cidera (hurt) adalah dua hal berbeda. Sakit bisa jadi gerbang untuk mengetahui ruang dan waktu dalam dimensi kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran yang lebih tinggi akan membuat dimensi waktu berjalan lebih lambat. Hal yang tadinya bersifat responsif kini menjadi bisa terkontrol, seperti atlet atlet bela diri hard impact yang terlatih dalam kecepatan tinggi menghindari pukulan dalam jarak hitungan milimeter. Pain bisa membentuk sistem. Hurt bisa memberikan batasan pada sistem. Jangan lupa, absences bisa membuat shaming the systems - membuat sebuah sistem daya tahan menjadi tak berguna. 

Bermanja dengan Pencipta bukanlah tentang ritual mengingat dan merasa dekat. Memetakan daya tahan dan kemampuan bersadar adalah salah satu ciri khas. Ciri dari orang-orang yang bermanja dengan Pencipta dan proses penciptaan adalah selalu berlatih, berlatih, dan berlatih.  Bermanja dengan Pencipta adalah sebuah proses meningkatkan rasa sadar, hingga dalam skala tertinggi yang  akan mengundang keterikatan sistem lain a.k.a mestakung (semesta mendukung). Tak heran, dalam cerita sufi, orang-orang yang "terlalu" cinta dengan Penciptanya, mereka mengejar rasa sakit (pain). Bisa jadi dengan itu mereka punya "dimensi" yang lebih luas dari yang kita lihat. 








Tuesday, February 16, 2021

The Future of Sovereignty


 

Our politic’s path had became more materialistics. That’s lead to less awareness decision related to efficiency in maintaining budget, and increasing –instant respond- productivity. It have connection with our carbon footprint.

 

Global warming is not just an issue, but significantly connected with our collective awareness and respond.  It’s also connected with the vulnerable policy while the nature ‘speak loudly’, and the phenomenon leads to social divides issues.

 

Indonesia is a country that born by agreement of equal stakeholder of civil society. Yes, it as not from a representation of local kingdom, or religion, that tends to dominated each others, but all of them represents themselves as civil society, who have non materialistic vision, but purely base on the vision to making future reality.

 

Mufakat, is an Indonesian language, that represent the way of process that will overcoming the harvest of solution from prototyping in civil society. This process leads to the decreasing budget in running a mission in political path. Before we achieve ‘mufakat’, usually we did gotong-royong, or I could called it work with heart. That were the main tool in engaging civil society in Indonesia.

 

The materialistic path (territorial & powerbase) of Indonesian politician vision in mid 50’s made all stakeholder of civil society balancing themselves into materialistic variables that made artificial equilibrium in the nation systems through power-base-driven-strategy. The hidden-slavery revealed in dark-demonic-cycles of economical system. These dark circumstance were born by collective unconsciousness of society in maintaining the power and territories. The vision for embracing the sovereignty were not becoming priority.

 

So the future of our sovereignty  are depends to our awareness in surfacing collective consciousness, and build lot bridges of opportunities between artificial tension. The collective consciousness can be achieved while three basic element in civil society naturally revealed. First, equality in law, there're no segregation or disruption from unintended stakeholder to push regulation for individual purposes or margin. The second element are freedom in transaction and have right to access maximum accountability in accessing data, and have intention to build -free economic slavery- society. The last basic element that could shaped civil society were responsible culture, and responsive legal action to heal segregation of culture and religion. The three element should be tied in accountable governmentship. 


The succeed of implementation from this three element could lead to create new accountable society. Society who had high demand in transparancy, connectivity, and agility. The future of sovereignty are accountable citizenship, who have legit bargaining skill and value to overcome the new era , the "no money" civilization, or being "the chain" of digital economy era.  



Sunday, February 14, 2021

Menanam Bibit di Puncak Gunung



Apa arti kesombongan, jika kebanggaan itu harus diungkap untuk menjadi pagar generasi. Apakah para pendaki sombong karena mereka ada di langit? Apakah gunung sombong karena ia terlanjur jadi pasak bumi?


Saya teringat dengan mimpi yang saya alami sesaat sebelum salah satu anak saya lahir. Saya pergi ke Gunung Semeru, dan saat melalui Ranu Kumbolo, saya dititipi bibit oleh seorang nenek dengan kudung yag dibelit di kepala (khas wanita muslim jaman pergerakan NU dan Muhammadiyah di jaman kemerdekaan), untuk ditanam di puncak. Saya iyakan saja, toh tinggal tanam, saya tak disuruh menjamin bibit itu tumbuh dan merawatnya.


Mimpi itu berakhir saat saya baru saja berbalik dari mengemas tenda, sesaat setelah menatap puncak Semeru. Saya dibangunkan oleh panggilan interkom dari penjaga piket kamar operasi. Operasi sudah selesai, pihak keluarga dipersilahkan melihat kondisi. Yak. Saya selama operasi duduk di mushola kecil dekat ruang tunggu. Karena saya tak boleh menemani istri yang saat itu memang kondisinya harus melewati tindakan khusus karena persalinan premature-nya.  Saya berdoa di mushola kecil itu, tertidur sebentar, dan sekilas mimpi Gunung Semeru itu hadir. 


Saya rasa setiap orang tua memiliki momen spesial ketika sang anak lahir. Segenting-gentingnya tugas ketika anak lahir, momen akan selalu ada dan dikenang. Bagi saya, momen kelahiran anak bukan hanya tanda memasuki gerbang kehidupan baru, tapi juga menjadi soal baru yang harus dijawab. 


Anak adalah pesan Ilahi melalui semesta perempuan. Ibu. Anak adalah pesan yang kadang belum terbuka. Menanti pesan terbuka bisa jadi sebuah pelajaran lain lagi. Anak tak cuma “bidadari atau malaikat” yang dititipkan untuk akhirnya menjadi manusia. Anak adalah pondasi pikir kehidupan kita. Bagaimana hidupnya menjadi variabel berpikir yang terus melengkapi jalannya algoritma-algoritma aktivitas kita. Variabel yang kadang tak harus dijawab x sama dengan berapa, dan y sama dengan berapa. 


Kadang sebuah perhitungan berlangsung untuk menjadi penguat akuntabilitas kita. Perhitungan yang bisa mengisi waktu agar memudahkan kita di hari pertanggungjawaban. Momen ter- stock opname-nya semua isi hati dan kehendak.


Akuntabilitas di jaman dulu, di hari ini, dan di hari depan konteksnya akan selalu berubah. Hal yang tidak berubah adalah tentang keterhubungan, kesinambungan, dan kejernihan dari sebuah cara dan proses berpikir dan berkarya. Pertanyaan bersama untuk kita yang masih hidup, bagaimana kita akan mengukir alat ukur yang bernama "akuntabilitas" untuk menjadi alat barter di era super digital, era tanpa uang? Akuntabilitas bukanlah tentang nama baik. Tapi lebih kepada simpul-simpul. Nama baik masih bisa dirusak oleh proxy, sedangkan merusak akuntabilitas akan berakibat pada jejak kerusakan civil society. 


Pondasi dari akuntabilitas adalah penerimaan atas keadaan dan kesaksian yang kuat hingga tercatat. Tercatat dan bisa menjadi momen yang penuh nilai. Nilai tambah bagi yang terlibat menjadi subjek sebuah konteks di sebuah keadaan. Lalu bagaimana cara menanamkan semangat berakuntabilitas pada anak? Salah satu jawabannya adalah selalu mengondisikan keadaan seperti perjalanan menuju puncak gunung. 


Jika membayangkan fase saat mendaki, akan terbagi tiga, menjelang mendaki, saat di tengah pendakian, dan akhir pendakian. Di lereng menjelang pendakian, banyak sekali kumpulan harap. Kumpulan harap para pendaki yang selalu melihat puncak. Bergerak ke atas menanjak menuju punggung gunung, akan banyak pertunjukan aksi yang bisa menjadi pelajaran, baik dan buruk. Banyak juga makanan yang bisa dibagikan bagi yang berbaik hati atau yang memasrahkan perjalanannya pada semesta. Saat di puncak, yang ada adalah tatapan ke bawah, tatapan pada horison yang mengelilingi, tatapan yang mengubah. Mengubah pikiran menjadi salah satu kekuatan terhebat kita. 


Mimpi dititipi benih untuk ditanam di puncak adalah sebuah pelajaran yang masih menjadi PR. Bisa jadi sebelum sampai puncak dikelilingi horison, ada baiknya menanam. Ada baiknya menunduk. Menunduk untuk menanam. Biarkan lah suara suara harap atau arahan melarang ini-itu menjadi bahan senyum. Rasanya setelah menanam, saya akan terus ke puncak untuk melihat tumbuhnya benih, atau melihat horison dengan harap yang lain. 



*) Tambahan:


Keluar dari mushola, tempat saya menanti sesi operasi, lirik lagu Semeru (dinyanyikan bersama Vivid Revolt) ini pun muncul di kepala


Semilir lembut dingin berhembus

di puncak gunung Semeru

mengingatkanku pada lembayung biru


yang turun di antara mimpi

di dalam sanubari

menanti hariku yang sepi


Terdengar alunan 

buaian sendu

titisan jiwa, aku menanti


Lihatlah mentari pagi

kini kan bersinar lagi

menentramkan asa

dalam kehangatan


Kubiarkan pagi ini membawaku

ke dalam hangatnya

nikmat mencinta...


Friday, February 12, 2021

The Art of Spinning Machine




Saya selalu suka dengan cara kerja mesin pintal, menggabungkan bulu-bulu (bisa bulu domba, atau kapas) yang berukuran pendek menjadi rangkaian yang kemudian dirapikan jadi benang. Ada satu elemen yang selalu membuat saya tertarik di mesin pintal tersebut, elemen itu adalah bagian ujung kecil yang tajam, bisa dikatakan jarum. Jarum pintal. Jarum yang dalam dongeng eropa bisa membuat seorang putri tertidur.


Tugas jarum pada mesin pemintal dan mesin jahit berbeda. Di mesin jahit jarum berfungsi sebagai "pengantar" benang untuk mengunci ikatan antar kain. Pada mesin pintal, jarum berfungsi untuk "memecah serabut" seperti menyisir, memutar, untuk akhirnya membuat serabut itu menjadi lebih mudah untuk diurai jadi benang. Proses yang sempurna layaknya kalimat. Proses yang memiliki mekanisme seperti imbuhan yang berada di awal, tengah, dan akhir.

Mekanisme mesin selalu berawal dari prosesi berpikir, "apa-bagaimana-ke mana". Prosesi berpikir analitis sederhana, yang juga mencerminkan norma berpikir yang berlaku pada sebuah konteks peradaban. Prosesi memverifikasi sesuatu apakah sesuatu itu datanya bisa dipertanggungjawabkan (punya penjamin urutan hingga ke sumber data). Berlanjut kemudian ke prosesi untuk mengetahui bagaimana sesuatu mengaitkan dirinya dengan lingkungan, dan jika memiliki gerak, lanjut pada prosesi melihat kemana arah geraknya. Prosesi ini bisa juga ditemukan di pasar. Pasar, tempat untuk bertukar, melihat untuk mengetahui, dan merangkai  nilai-nilai yang dibutuhkan, untuk dibawa pulang.  

Susunan pikir ini sering disebut algoritma dalam peta data "tak tampak". Data yang bisa dikatakan harta, dan ada yang menyebutknya sebagai (sumber) energi. Data pada masa kini seperti bulu-bulu domba dan kapas. Terlihat saling terikat, menggumpal, namun nirkontek. Butuh mesin algoritma yang sesuai kontek yang mampu mengurai data tersebut menjadi benang-benang sehingga bisa menjadi entitas benang pengikat, bahkan bahan kain untuk penahan entitas lainnya. 

Dalam sebuah kondisi yang terlihat "menggumpal", bisa jadi memang belum ada mesin pintal yang cocok di sana. Bisa jadi kalaupun ada mesin pintal, belum ada jarum yang cukup tajam dan ditakuti yang bisa mengurai gumpalan. Bisa jadi mesin pintalnya masi baru hanya bisa menggulung, dengan daya urai yang rendah. Atau bisa jadi belum ada operatornya.  Kondisi ini hanya akan memperparah sebuah siklus produksi, bisa jadi siklus peradaban.

Melihat mesin pintal membuat saya optimis. Selalu ada jalan keluar dari persoalan yang menggumpal, mulai menumpuk seperti awan cumulonimbus, lalu menghadirkan "distraksi/kekacauan pada sistem" seperti teori termodinamika 2 yaitu  entropi dari sistem yang terisolasi selalu bertambah atau tetap konstan. Dalam arti lain, entropi mulai mengambil peran. Semua akan terurai. Mesin pemintal bisa jadi penahan, atau bahkan bisa jadi sebuah mesin entropi kecil yang mengurai gumpalan menjadi sesuatu yang lebih rapi dan bisa disusun lagi. 

Ada satu bacaan yang baru saya baca kemarin (11 Februari 2021) tentang bagaimana sebuah partikel bisa terlepas dari rangkaian panjang. Ini cerita yang beda lagi. Jika dianalogikan dalam sebuah proses pemintalan, cerita ini adalah cerita bagaimana sebuah serbuk kapas terlepas dari ikatan sesaat setelah dipintal, lalu menjadi partikel bebas, yang juga berujung pada entropi. Partikel bebas ini bisa berwujud banyak, ia bisa jadi freelance yang tak terima dimainkan oleh sistem pembayaran, bisa jadi berbentuk ronin, para pejuang yang kehilangan komando, bisa jadi anti counter narrative, sosok-sosok yang memetakan pola pembentukan opini lalu menetralkannya. Satu lagi yang saya sedang sangat concern, yaitu partikel bebas yang bisa berbentuk manusia yang dijadikan konstanta, dan tanpa henti menghasilkan algoritma. 

Akhirnya saya bisa dapat menganalogikannya. Mesin pintal adalah analogi yang agak nyaman saya gunakan untuk saat ini. 

Tuesday, February 09, 2021

Listed and Targetted



Kita ga harus mengerti semua hal yang terjadi dalam hidup. Tapi kalo bisa, semua yang kita lakukan, kita rasakan, kita pahami, bisa terkonversi jadi ibadah (penyerahan diri pada Pencipta Semesta), agar mendapat pahala (pembelajaran menuju keikhlasan)

Tulisan kali ini agak "santai". Awalnya saya mau kasi judul "Gak Asik Vs Sok Asik", tapi terkesan toxic, padahal kan ini netral dan santai. Karena percuma juga dibahas serius. Ini bukan untuk dibahas. Tapi dipraktekkan. Mungkin ga harus kita juga yang memraktekkan. Let's our hand (and-i hope-heart,too) always clean and sanitized ;). Sekadar tahu saja. Jika pernah dalam sebuah himpunan, lalu ada sosok yang mengritisi idemu, sampai titik nadir, lalu suatu saat dia pake ide itu semua & dia dapat nama,... itu namanya kamu kurang persiapan. Saya ga bisa bela. Cuma menyarankan, kamu jangan down, up aja. #opoiki #kalimatmotivasiyanggamemotivasi


Saran saya yang 7 tahun lagi masuk "manula", manusia lima puluh tahun, belajarlah matematika khususnya logika, himpunan, irisan, negasi, dan teknik beserta skill untuk menyayat lainnya. Dijamin kamu lupa sama masa lalu. Kalo bisa ilmu tersebut langsung dari gurunya, bukan dari buku. Agar dapat sanad keilmuannya. Agar akuntabilitas kamu meningkat. Karena buku itu ilmu KW 3 (saya dengar istilah ini dari arsitek senior pecinta arsitektur nusantara  di salah satu kuliah umumnya di UI). 


#kalimatuntukbikinlupamasalahlama

#demimasalahbaruyanglebihmembangun  

#melatihrasamentokyanglebihscientific


Apalagi kalo kamu dah masuk "daftar nama". Daftar nama apapun itu. Daftar nama lama, daftar nama balasan, daftar nama akibat perseteruan generasi, daftar nama dari perseteruan di era terbentuknya collective trauma, atau daftar nama apapun, termasuk daftar nama yang menyebabkan gerbang rumah dicoret atau ditandai, apapun itu. Saya cuma bisa mendoakan, semua bisa  tobat beneran (bukan sok bertobat karena lagi bertugas bikin peta), mampu meraih kemampuan berkesadaran paripurna dan bijaksana, sehingga mengurangi resiko saling menyakiti lagi.  


Kamu ga tahu saja (dan ga harus tahu si, ini pembelajaran berkelanjutan dan kolektif, bekal buat anak cucu), kamu bisa saja sudah dipepet, di-scan, dipetakan, dari jaman dewasa secara formal - saat merasa boleh pacaran. Anggap saja jaman hari pertama masuk SMA. Beruntung kalo kamu masih hidup, jika ternyata kamu sudah ter-captured. Ada juga yang sudah wafat, seperti sahabat saya, seorang pecinta seni rakyat dan juga translator. Setidaknya kamu ga sendirian. Banyak yang harusnya gitu, terpengaruh operasi pemepetan, akhirnya jadi gini. Harusnya jadi mastermind di belakang panggung, akhirnya jadi player di depan panggung, dsb. Jadikan hal yang ga bisa kita respon di awal menjadi sebuah variabel respon pada generasi penerus kita. Intinya carpe diem. Jalani saja, catat, selesaikan tugas, yang tak selesai jadi pelajaran ke anak cucu. Semua ada umurnya.   #kalimatkeikhlasan 


Dan kamu bisa saja terus dipepet oleh jaringan entitas terlatih yang terlihat ga penting. Sesuatu yang dimulai saat ada entitas "ga penting" yang bisa mengondisikan sistem, mengunci target (misalnya dengan menginisiasi secara formal -karena terekam- terdata membangun opini like-dislike), lalu meng-engage dan mengatur sistem, seperti pengontrak yang terkondisikan dipilih jadi calon ketua RT oleh para pemilik rumah. That's how the world of "listed man" works… Berlangsung alamiah. Intrusi yang sering juga terjadi di organisasi yang punya potensi independensi  dan akuntabilitas yang tinggi. Karena independensi dan akuntabilitas adalah "musuh" dari corrupted systems, atau sistem yang bertendensi menciptakan ketidaksetaraan a.k.a. untung sak (karep) dewe. 


Cuma bisa bilang. Setidaknya kamu ga pernah sendirian. Semua terpetakan, terpolakan, dan semua memiliki muara. Kritik saya cuma satu, semua para penikmat kesenjangan saat ini masih pake cara lama. Yap, lama. Cara  yang saat ini dari 1km pun sudah tersnif-snif, terpetakan dengan teknik yang baru (sebenernya udah banyak beredar, tapi karena ego, gengsi untuk dipelajari). Agak susah berhasil jika menghadapi era revolusi daya tukar, apalagi rahasia bukanlah masalah ketertutupan-keterbukaan akses, tapi kemampuan untuk me-reset, memahat, me(ng)-emerge kumpulan pola menjadi momen dan pola baru yang besar, yang tentunya bisa terkait kemana mana. 


Silahkan saja pake cara lama, jika ga sayang sama anak istri, dan generasi generasi penerus. Bangsa ini sudah terlalu banyak luka. Masih banyak yang belum mengering. 


Indonesia ini terlalu indah untuk dijadikan sekadar halaman rumah.


Makanya saya  ga terlalu suka terrarium.. Tapi ya terrarium bagus buat melatih rasa sayang pada detail. ...Tapi bukan untuk saya. #kokjadisaya


Kalo saya lebih senang dekat mata air dan sekitarnya, yang real-real saja. Lebih dekat dengan alam membuat kita lebih banyak bersyukur. Apalagi mendekatinya dengan pain (sakit karena ada elemen yang melewati daya tahan) dahulu. Karena pain bisa menyehatkan pikiran. Sedangkan hurt (sakit karena cedera -rusak) itu bisa diobati oleh pikiran yang sehat.. 


Yaaa.. Kalo ga ada mata air,  nongkrong di dekat Sanyo juga gapapa. #nyucidongsaya 


Hasbunalloh wanimal wakil. Wamakaru Wamakarullah. Mahasuci Pemilik Lauhul Mahfudz.