Friday, April 30, 2021

Addicted in Cursing





Menjadikan keterhubungan sebagai prioritas seringkali akan menjadi jebakan untuk kelompok masyarakat yang terbiasa dengan eksklusivitas.

Eksklusivitas pada civil society terjadi seperti busa yang muncul dari proses membersihkan diri.  Jika menelisik secara sistemik kenapa busa bisa terjadi, maka kita akan mengetahui bahwa gesekan adalah sebuah gerak re-inforce yang bisa mempercepat proses pembersihan sebuah permukaan (keras) oleh materi lunak dan cair.  Ikatan kimia yang berubah memang salah satu penyebab kenapa busa bisa terlihat. Tapi jika ditelisik lebih dalam, busa adalah sebuah proses yang tak terkait dengan proses pembersihan itu, terutama dari sisi bagaimana kotoran dari permukaan bergerak, dan arah busa bergerak, hingga selaput udara pada busa pecah.

Eksklusivitas adalah sebuah peristiwa yang terjadi dalam sebuah ikatan yang berbasis pada data, respon, dan karakteristik pola yang sama. Bisa dikatakan perilaku merasa, mengaku, memindai sesuatu adalah sebuah hal yang eksklusif itu bisa dikategorikan sebagai sebuah peristiwa. Bisa ditandai, bisa dikenang, bisa juga jadi pelajaran untuk dianalisa. 

Peristiwa bisa terjadi karena ada hal sistemik yang tersusun oleh mindset, yang mengikat variabel-variabel pikir (knowledge) menjadi sistem, atau rel berpikir, dan pola berpikir untuk  mengulang tindakan. Peristiwa akhirnya terjadi untuk bisa memproduksi impact dan value. Eksklusivitas akan memiliki impact dan value pada sebuah civil society yang bergerak secara kolektif.

Ada hal menarik saat kita terlibat dalam sebuah kelompok yang (terlibat dalam momen) mengeksklusifkan diri. Salah satu yang paling umum adalah daya amplifikasi kemampuan mengukur diri, sekitar, dan orang lain. Kemampuan mengukur ini sejatinya paralel dengan amplikasi pada kemampuan menjaga. Semakin detail variabel yang diukur, semakin kuat kemampuan menjaganya.  

Kemampuan menjaga memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif tentunya akan ada agilitas dalam mempertahankan nilai-nilai yang disepakati bersama saat eksklusivitas terbentuk. Tapi sisi negatifnya adalah kemampuan untuk beradaptasi akan menurun, sedangkan adaptasi adalah modal utama untuk berkoneksi.

Untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi, maka harus dimulai dengan kemampuan untuk memulai. Meng-engage. To starting up, we have to create ignition. Untuk memulai, haruslah ada proses yang membuat reaksi yang bisa mengubah entitas dari es ke cair, dari cair ke uap, atau bahkan ke api, simbol pemantik cahaya. 

Saat sebuah proses mengalami "pembakaran", atau terpantik, maka akan ada penolakan yang bisa mengeraskan ikatan-ikatan sebuah bentuk. Pengerasan (thightening) akan memperkuat batas-batas bentuk (dan identitas). Di sisi lain bentuk adalah wujud dari sebuah koneksi. Bentuk adalah batas. Koneksi adalah sebuah kesadaran tentang keterbatasan. Semakin banyak koneksi, maka keterbatasan adalah energi untuk bergerak. Semakin terbatas sebuah entitas, sejatinya ia akan membutuhkan lebih banyak koneksi.

==

Uraian di atas adalah sebuah gambaran bagaimana cara kita melihat sebuah struktur "gunung es" sebuah sistem yang bekerja. Melihatnya bisa dengan mendekonstruksikan gunung es tersebut menjadi pola-pola baru yang lebih mudah dikenali. Bisa juga dengan pendekatan post-dekonstruksi, yaitu mengonversi pola-pola pengenal menjadi pola-pola penguji sistem. Karena sistem dengan value yang baik adalah sistem yang bisa menguji dirinya sendiri, sehingga mudah menjadi warm entity . Entitas ini berlaku sebagai penyusun struktur sistem pada sebuah dome of thought. 


Monday, April 26, 2021

Menandai Istidraj (Pengabaian atas Ketidakmampuan)




Kesepakatan tidak ada artinya jika perbedaan tak diikat dalam sebuah benang merah bernama kesadaran.

Tak semua orang mengejar kesempurnaan diri. Banyak yang memilih untuk menemukan kesempurnaan dari apa yang dia lalui di setiap nafas, di setiap langkah dan karyanya. Tentunya memilih setelah perjalanan dan pergolakan panjang. Perjalanan yang akhirnya mengurai nafsu menjadi proses bertanya pada peran pribadi. Peran untuk semesta terkecil bernama hati.

Hati bukanlah hal yang terlalu abstrak untuk dipetakan. Seperti layaknya semesta, banyak hal teridentifikasi oleh teleskop yang diarahkan ke atas dan keluar, ternyata memiliki pola yang sama dengan ikatan dan pola-pola jaringan yang membentuk dan memfungsikan tubuh. Betapa stabilnya semesta yang besar bagi kita yang tak sedebunya alam raya ini. Pergolakan yang besar di tepian lubang hitam misalnya,  tetaplah tak menggoyah kestabilan, mungkin justru menjadi pilar yang perkuat kestabilan.  Melihat alam raya yang besar, selain membuat diri kita merasa kecil, sekaligus juga membuat kita merasa memiliki keterhubungan, seperti terhubungnya debu dengan ruang-ruang yang memiliki fungsi yang selalu dipelihara.

Hati dan rasa percaya seperti saudara kembar, yang satu berwujud fisik, yang satu lagi berwujud laku dan impact. Betapa hati itu seperti wadah yang membuat banyak perbedaan beradu dan berpadu seperti adonan, menyusut, mengembang, saling terikat untuk satu tujuan, atau minimal untuk menjadi ingatan dan rasa baru. Saat timbul rasa tidak percaya, tentunya ini adalah situasi yang akan membuat sebagian dari (wadah) hati ini tak berfungsi, dan adonan menjadi tak kalis, seperti adonan roti yang memiliki gumpalan tepung yang akhirnya jadi batu saat dipanggang dalam oven.

Saat tak percaya, maka akan ada jeda, akan ada celah, akan ada rongga seperti jurang yang akan jika harus dihubungkan, harus dengan pengorbanan, dan harus dengan mengukur. Menyambung antar jurang dengan tali, atau dengan sling besi yang bisa menahan beban, atau berjuang untuk menyambung dengan jembatan, yang bisa sangat mahal, bernama kesepakatan.  Tenaga yang besar ini tentunya adalah sebuah cara, sebuah wujud untuk memfungsikan hati dan menjadikan rasa baru menjadi sesuatu yang bisa dibagikan kepada generasi penerus, sesuatu yang bernama rasa menghargai.

Penghargaan itu seperti sebuah ritual, sebuah proses yang disadari untuk dijalankan dalam rangka mengingat kesepakatan. Menghargai bukanlah sebuah proses yang nyaman saat tak ingat dengan kesepakatan yang telah terjadi, atau tak merasakan manfaatnya, seperti saat kita sudah merasa sudah terlalu banyak yang telah dibagi. Penghargaan berkonversi menjadi "material" yang seolah harus dicapai dengan kesadaran transaksional, "jika ini maka itu, jika tak itu maka tak ini". Kesepakatan transaksional akan mengamplifikasi kemampuan mengukur, dan mendesak kemampuan percaya hanya saat berada di level rasa nyaman, bukan rasa menginspirasi. Percaya saat orang membuat senang, membuat kenyang, dan membuat tertawa. 

Hati banyak berperan dalam kesadaran, tapi jika di dalamnya banyak rasa tidak percaya, maka hati hanya akan menjadi kontainer untuk mewadahi rasa tak nyaman, yang akhirnya menekan kesadaran pada kecanduan pada nilai-nilai materialistik. Kecanduan pada nilai ukur dan nilai materialistik dalam banyak cerita seringkali melemahkan ingatan kita pada kesadaran. Kesadaran untuk menerima proses mempercayai tanpa syarat. 

Pada kondisi tak berpercaya, pertukaran nilai baru akan terjadi setelah ada  jaminan. Jaminan yang berujung pada lamanya berproses untuk mengukur dampak pribadi di semesta yang lebih luas. Dalam ranah mikro, hati  tak lagi bisa memaknai syukur (pada lahirnya rasa baru). Hati seolah jadi batu. 



Friday, April 23, 2021

Berjajar di Tepi (Seni Meminta Maaf)




Kita semua butuh celah/jeda/jarak. Bisa untuk delay dalam sistem yang menyempurnakan jalannya siklus sistem. Bisa juga dalam bentuk perbedaan, yang sengaja dibuat, atau yang terjadi alami. Celah yang muncul akibat ketidaktahuan. Celah adalah kelaziman. Perbedaan adalah sebuah ciri pembelajaran.


Tak semua harus terhubung. Banyak hal yang harus dibiarkan memiliki rongga. Rongga yang memang kadang memancing kita untuk "mengukur" dan kadang melepaskan diri dari kemampuan mengukur, mengaktifkan kemampuan lain yang kadang tak butuh kemampuan mengukur, seperti halnya mencintai dan mengikhlaskan hal yang benar-benar berbeda dengan keinginan.

Banyak hal yang bisa ditimbulkan saat kemampuan mengukur kita dimasukkan ke dalam dimensi yang sangat terukur. Ini terbukti bagaimana kita mengalami fatigue saat "terjebak" di dunia komunikasi virtual. Seringkali kita tak merasa bahwa kemampuan mengukur kita mengalami turbulence hebat di dunia virtual (yang dibangun dengan sangat terukur) sehingga kemampuan mengukur kita menyerang psikis kita dalam bentuk kebosanan, bahkan kesadaran kita  (dalam bentuk abai atas konten). 

Hidup di dalam dunia yang sangat terukur dan autopilot justru membutuhkan kemampuan untuk mengikhlaskan, menerima tanpa bertanya  tentan konstelasi dialektika virtual yang sedang terjadi. Bahkan fatigue bisa terjadi hanya dalam 20 menit pertama di kala kesadaran kita menurun di level order, menjalankan sesuatu hanya karena kewajiban, bukan di kesadaran tertinggi (englightment). 

Peristiwa fatigue di dunia dialektika virtual ini sebenarnya terjadi di saat kita berada di dunia fisik. Hanya memang kemampuan mengukur kita menutup ke-fatigue-an kita, sehingga kebenaran adalah milik para pengukur yang paling presisi. Dan itu dihidupkan seperti obor yang seringkali diestafetkan atas dasar ego sindikasi pengetahuan. Ketika melakukan sebuah sesi online, maka kemampuan mengukur tidak lagi menjadi hal yang utama. 

Kebenaran data, kepresisian data, kecepatan meraih data, bukanlah hal utama. Yang akan membuat pertemuan menjadi hidup adalah ketika kita tahu kita sedang berdialog dengan orang yang tepat, yang memiliki sanad (garis jejak trust) atas data dan knowledge yang dimiliki. Yang membuat pertemuan menjadi hidup juga adalah ketika ada "celah" dan delay yang menekan kemampuan "nafsu mengukur" kita, dan mengamplifikasi kemampuan merasa, dan mengikhlaskan diri, sehingga mampu larut dalam chemistry yang kadang memang  sering diawali oleh pola pola interaksi dan dialektika yang tak memiliki bentuk.

Masuk di dunia dialektika virtual ini seolah menempatkan diri kita di tepi jurang. Apakah jurang ini membuat takut karena tak ada info tentang ukuran jurang? Ataukah jurang ini akan membuat kita terhubung dengan sesama penghuni tepi jurang dan menjadikan tepi jurang sebagai  cerita yang membuat bahagia? Atau malah sibuk menciptakan boneka-boneka kesepakatan ala tokens dan coins yang memperkaya kita, di sela salah langkah saja bisa membuat kita jatuh ke jurang. Toh akhirnya akan terpecah sebelum kita sempat menukarnya. Terjatuh di jurang yang nyata mungkin bisa membuat kita mati. Tapi ada juga jurang yang tidak nyata, ketika kita terjatuh di "celah" yang "menyambungkan" perbedaan, karena kita tak sempat mengembangkan kemampuan lain selain mengukur. 

Akan ada masa kita akan masuk ke dunia tanpa uang. Dunia yang tak butuh lagi koin dan token untuk menyelamatkan diri. Keberadaan kita di tepi akan dijamin dengan kemampuan lain kita seperti berkoneksi, mengikhlaskan, mencintai, dan memaafkan.

Memaafkan itu bukan tentang jual beli. Memaafkan itu tentang ilmu menikmati hidup di tepi jurang


Tuesday, April 20, 2021

Memaknai Sudut



Dapat dipastikan setiap orang memiliki peristiwa yang membuat dirinya mendapatkan pelajaran untuk bisa berubah cepat. Tentunya ada juga yang tidak berubah cepat, tapi tetap harus berubah. Jika tidak, konsekwensinya akan berdampak panjang pada kesadaran. 

Setelah merekam beberapa pola dan data yang terungkap saat peristiwa aglomerasi atau terkoneksinya sebuah sistem dan area, kali ini pada organisasi yang settled di civil society, bisa dipastikan ada beberapa rongga dan celah yang bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Namun hal itu adalah hal wajar. Kesempurnaan adalah milik pencipta yang terus mencipta secara berkesinambungan. Kalo istilah kampung tetangga adalah sustain in creation. 

Seringkali sebuah perubahan adalah sebuah penciptaan, khususnya untuk perubahan yang membutuhkan ruang untuk ditanggapi, dirasakan dan dijalani. Misalnya pada kepengurusan baru sebuah organisasi bermukim warga. Pengubahan dari iuran bulanan yang tanpa denda menjadi memiliki denda bisa jadi memiliki dampak sistemik. Warga bisa terbelah menjadi banyak faksi, misalnya kelompok "sok asik" non saklek yang lama ada kini terpecah menjadi kelompok "sok asik" yang menjadi saklek karena kenyamanan ide-ide mereka yang (seolah) diterima (atau sebenarnya diterima karena di-apatis-asi warga). Kelompok ini berhadapan dengan kelompok "ga asik" yang susah diatur, atau sedikit memiliki perbedaan pandangan (yang kadang simpel seputar hak publik untuk parkir) misalnya. Kelompok-kelompok ini bisa saja menjadi kelompok baru saat denda diterapkan. Bubble menjadi terbelah menjadi bubble syar'i dan tak syar'i (karena masuk dalam ranah riba - mubah), dan bubble-bubble baru yang mungkin bisa saja tak diduga, walau sebenarnya bisa terpetakan jika dipantau dan di-scan melalui pengukuran kesadaran.

Memobilisasi individu untuk jadi bubble front berbasis ekonomi ( isu riba-non riba) jauh lebih cepat  dibanding dengan menciptakan bubble berbasis belief (benar-salah -baik - buruk). Saat berbasis ekonomi, tak butuh artefak sistem untuk menjadi "katalis", tapi saat berbasis belief, artefak sistem adalah sebuah data yang wajib ada untuk mengunci bentuk dari dialektika sebuah bubble

Yap. Seringkali kita melewati tahap mengukur kesadaran kita saat menghadapi perubahan. Kadang kita ga sadar kita yang biasa berkarya dalam bahagia (senang, damai, ikhlas) harus berubah menjadi berkarya untuk sesuatu, yang sebenarnya tak berada di level kesadaran yang biasa dijalankan. Perubahan yang mengubah kesadaran bisa jadi jebakan dan sumber permasalahan tak hanya pada level individu, tapi juga interaksi kelompok. Apalagi perubahan ini sudah menyangkut belief seseorang khususnya tentang pengambilan keuntungan yang tak sesuai kaidah kepercayaan.

Banyak perbedaan yang muncul saat memandang bagaimana orang mengambil keuntungan dari keadaan. Misalnya pada penerapan denda pada aturan-aturan di sebuah civil society. Penerapan denda dalam social engineering itu seperti sebuah operasi diferensiasi/mengonversi sistem value menjadi material. Ini sangat fundamental, jika kita tak cepat sadar untuk kembali ke kesadaran di level mencerahkan. Mengonversi nilai menjadi material pada dasarnya adalah alat untuk menurunkan kesadaran orang lain. Pada dasarnya adalah alat yang bisa memulai sebuah sistem bully pada society

Tentunya sistem ini akan disetujui oleh orang yang biasa menurunkan kesadaran orang lain sampai level ketakutan dan ketidaknyamanan (pem-bully). Tapi tentunya di sisi lain akan ada sistem yang akan menetralkan, baik dari renggangan waktu dan momen, yang membuat semua harus belajar.

Yap, dalam desain,  sudut adalah sebuah area yang akan mempertemukan dua elemen atau lebih. Pertemuan dua elemen atau lebih akan menghasilkan pembelajaran, dan usaha untuk mengembalikan keadaan menjadi terukur dan berfungsi, atau mengembalikan kesadaran ke level yang tertinggi, sebelum terkena gangguan pem-bully

Saat ada yang tersudut (by system), saatnya kembali belajar secara kolektif untuk meluruskan. Meluruskan tak selalu memulai dari awal. Tapi bisa dengan membuat keseimbangan yang memperbanyak keluarnya energi pikir.

#aingmahnaon 

Friday, April 16, 2021

Berkarya untuk Pencipta



Pergolakan batin bukanlah jadi alasan untuk tidak berkarya. Berkarya adalah sebuah dimensi yang berbeda. Memasuki dimensi berkarya adalah sebuah usaha untuk mengemas waktu dengan kemasan yang bisa mudah diingat, dan cukup gampang untuk dikenang.

Ketika manusia lahir, sesungguhnya telah dibekali oleh kemampuan untuk mencari perhatian. Dengan teriakan (pada umumnya) dan rasa yang dikenang oleh ibu, adalah  kemampuan yang memaksa orang untuk mengingat "perbuatan" kita sebagai jabang bayi. Unintended consequences, kalo istilah kampung tetangga. Walau kemampuan itu bukan kemampuan yang bisa diukur, tetap memberikan kesan dan rasa bahwa  teriak dan memberi rasa sakit adalah salah satu kemampuan dasar dari manusia, sejak lahirnya.

Lalu apa beda kemampuan dan karya? Kemampuan adalah sisi koin yang berbeda dengan karya, jika disatukan. Jika disatukan ia memiliki nilai tukar. Jika dipisah, ia akan jadi cerita yang membuat kita masuk ke dalam dimensi ukur.

Berkarya secara spesifik adalah proses meluaskan ruang. Apapun karya yang kita hasilkan akan memerlukan ruang untuk menempatkan karya kita, atau sekadar ruang berpikir yang dibutuhkan agar karya kita mencapai harkat dan martabatnya, yaitu sebagai sebuah pemberian. 

Karya tak lain dan tak bukan adalah sebuah proses memberi, agar semua mendapatkan kesan dan rasa. Syukur-syukur mendapatkan manfaat. 

Membuat karya yang bermanfaat tentunya menjadi sebuah kerangka bahasa yang sangat politis, jika karya adalah proses untuk memberi. Saat memberi, mengharapkan respon baik tentunya bukanlah sebuah respon yang alamiah. Seorang pemberi, atau bisa dikatakan seorang dermawan akan memberi tanpa perlu pamrih dari orang yang dia beri, yang seharusnya setara dengannya. Seseorang yang memberi, bukan selalu karena ada yang lebih dan yang kurang. Banyak yang memberi, karena ingin berbagi kesetaraan. Manfaat apa yang didapat dari memberi adalah urusan pemberi dengan Pemilik Dirinya. Urusan yang sering kali berlangsung dalam bentuk dialektika, dalam dialog tanpa bahasa.

Berkarya adalah sebuah usaha berdialog dengan Sang Pencipta. Dialog dengan yang diberi, atau siapapun di sekitar pemberian, itu lebih sekadar fase untuk bersilaturahmi, mengingat, mengikat, dan menjaga sebuah ikatan dalam sebuah kelompok. 

Saat berkarya, tentunya akan ada waktu yang diinvestasikan, yang digunakan. Bisa dikatakan waktu yang digunakan untuk berkarya adalah sebuah token dalam bahasa digital, atau jaminan untuk bisa membandingkan karya kita dengan value yang ada di area of influences kita. Dalam dimensi dunia yang isinya saling mengukur, semakin banyak ukuran yang dimiliki sebuah karya, semakin punya dampak ia di setiap posisinya, semakin warm dia sebagai data yang ternotifikasi. Tapi dunia tak hanya memiliki dimensi yang isinya entitas-entitas yang saling mengukur saja.  Dalam dimensi Penciptaan, sebuah karya adalah dialog antara waktu dan proses. Dialog ini bermuara pada penempatan diri, sebagai karya Pencipta, dalam rel pengakuan atas lumrahnya sebuah perubahan. Sebuah proses yang terus berlangsung. Mengubah suatu bentuk ke bentuk lain, agar terbentuk ingatan baru. Syukur-syukur menjadi ingatan baru yang lebih kuat. 

Jika proses Penciptaan diturunkan pada level yang jauh, jauh, lebih mikro, ia akan menjadi semacam proses reverse engineering. Dimana sang karya berkarya untuk Pencipta. Proses berkarya yang membuat kita semakin mengingat-Nya. Apapun bentuk karya kita. Tak perlu dibahas di dalam dimensi penciptaan, yang sejatinya ada di dimensi keikhlasan. 

Saat berada di dimensi keikhlasan, semua terjadi karena memang harus terjadi. We're born for the moment, atau di bahasa pasifnya, this is the moment we're born for. Beda cerita jika kita hidup di dalam dimensi entitas yang selalu ingin mengukur. Karena sejatinya, sebuah entitas yang telah mengalami proses reverse engineering, ia adalah entitas yang sudah siap.

Tuesday, April 13, 2021

Manifestasi Sentuhan




Menjauhi kebencian dan mendekati semangat untuk menjaga adalah perjuangan.


Ini bukan tulisan berbau politik. Sama sekali bukan. Saya sendiri tak punya minat untuk berpolitik, karena politik itu harus punya intensi tujuan (kadang jangka pendek). Saya merasa tujuan saya sudah tercapai. Saya hanya menikmati hidup, dan hanya ingin menjadikan dunia menjadi tempat ternikmat untuk bersyukur, karena saya ga tau tempat bersyukur lain selain nanti di alam setelah kehidupan. 

Perjalanan selanjutnya adalah tentang bagaimana terus menjaga agar tak mudah cepat tua. Tua berarti sel semakin sulit untuk beregenerasi. Saya ingin sel saya terus beregenerasi, setidaknya se-sel berpikir saya. Karena jika bicara tentang sel fisik, maka tak ada yang bisa mengalahkan gravitasi, yang menarik kita ke dimensi baru, di setiap gerak yang kita jalani. Jika saja kita sudah bisa berdamai dengan gravitasi, tentunya penuaan adalah cerita lama. Dan  gravitasi tak harus dilawan, karena melawan perubahan, percepatan, dan pergantian adalah kebodohan.

Sebagai makhluk yang memiliki dan diberi keterbatasan, tugas utama kita setelah mencapai tujuan pribadi adalah memulai menikmati untaian syukur yang terus terurai dalam elemen terkecil, mulai tiap nafas, hingga tiap sentuhan pada elemen semesta. Hidup ini tentang manifestasi sentuhan. Sentuhan adalah seperti bertemunya titik (entangled), yang bisa berkembang ke penyatuan, pergesekan, atau penempelan untuk dibawa berpindah.

Pemahaman  untuk mendalami kenikmatan dalam terurainya elemen semesta dalam beberapa kesempatan disebut juga sebagai jihad. Bagaimana menikmati pemahaman bahwa  mengurus orang tua, mencari nafkah untuk keluarga, adalah salah satu pencapaian tertinggi dalam ibadah (bersyukur atas kehadirat Sang Pencipta). 

Kenikmatan dalam memahami bisa disebut dengan sebuah proses penghayatan, proses melambatkan cycle berpikir, agar bisa entangled dengan cycle lain yang menggerakkan semesta. Cycle berpikir tak bekerja dalam lautan energi yang tak terindera. Pikiran hanya bisa bergerak karena dipancing oleh panca indera, sedangkan banyak hal di semesta yang memang tak butuh, dan tak bisa dicapai panca indera.  Panca indera bekerja dalam esensi. Tak ada esensi bagi panca indera di sesuatu yang tak bisa dikonversi dalam individu. Panca indera kita diciptakan untuk menjaga diri. Banyak hal yang tak butuh dipetakan panca indera.  Seperti di "lautan" dimensi waktu dan dimensi kebersamaan. Dimensi yang bisa mengecilkan diri kita dalam peta kerja semesta. Semesta tak hanya bekerja untuk menjaga esensi, tapi juga menjaga perekatnya, seperti gravitasi yang menyisakan waktu, dan doa yang menyisakan cahaya. 

Kekagetan kita dalam memahami hal-hal baru bisa saja menjadi sembuah momen untuk berproduksi dan bergerak cepat. Selain itu, ada momen lain yang bisa kita manfaatkan. Momen itu adalah untuk mengecilkan diri dalam memosisikan keberhasilan, atau kegagalan kita dalam sebuah momen besar berkemanusiaan. Kita sebagai individu, hanyalah 1/berapa milyar populasi manusia. Tentunya dari sisi ini kita adalah kecil, apalagi jika dibandingkan dengan umur manusia/umur bumi. Momen mengecilkan diri adalah salah satu cara untuk memasuki dan merasakan dimensi bersentuhan dengan cycle lain, kerja lain, dalam semesta. Ketika bersentuhan, maka tak sekonyong konyong kita bisa melihat peta sistem sebuah momen. Setidaknya butuh pendalaman dan penghayatan, perjuangan menyisihkan waktu, untuk entangled dengan sanad (ilmu), dengan data, dan dengan verifikasi. 

Memanifestasi sentuhan adalah perjuangan. Berjuang mengecilkan nama dalam peran, menguatkan diri dalam menjaga yang sudah terlahir "baik-baik", dan menguatkan kesetaraan dalam berkemanusiaan. Karena tanpa kesetaraan, kontribusi, dan sentuhan, kita mudah sekali untuk membenci.





Sunday, April 11, 2021

Merasakan Lebih Dalam




Kemarin saat berhenti di pinggir jalan untuk mengecek notifikasi WA yang masuk, saya dikagetkan oleh motor yang berhenti mendadak karena meghindar dari agitasi pengendara mobil yang tak mau menepi. 


Lalu tiba-tiba ada selintas pemandangan yang rasanya beda saat kejadian sederhana tadi. Seolah semua itu terhubung, seperti salah satu pelaku peristiwa adalah organ untuk pelaku/organ lain. Mungkin bisa diistilahkan dengan embodying, seolah perbedaan perbedaan yang muncul di depan mata itu hanya menunjukkan rangkaian lain, mata rantai lain. Lalu yang paling mengubah suasana, adalah ternyata terasa bahwa saya adalah bagian dari mata rantai "organ" dari peristiwa tersebut.


Apa peran saya? Secara hukum, jika terjadi kecelakaan, maka saya akan bisa menjadi saksi. Dalam sudut pandang jurnalistik, saya adalah narasumber kunci, yang bisa dianonimkan atas dasar menjaga independensi pers. Dalam sekala pengondisian, saya bisa saja mengambil momen untuk menguatkan cerita kejadian, dengan memberhentikan mobil tersebut, dan memetakan peran orang orang terlibat dengan pelaku, dan korban, dalam konteks untuk memberi pelajaran.


Embodying, adalah sebuah fase saat kita berada dalam proses pembelajaran dan berkesadaran. Merasakan sekitar menjadi diri kita, dan jika kita melambatkan lagi laju pikir kita, kita akan mulai melihat gambaran, atau peta, dan jika lebih dilambatkan lagi, maka akan terlihat pola yang menyebabkan sebuah peristiwa bisa terjadi. 


Pelambatan atau delay, bisa dijelaskan dalam sebuah cerita pembelajaran bersama systems thinking. Secara logika, pembelajaran ini bukanlah hal yang serumit pembelajaran fisika kuantum misalnya. Yang rumit adalah ketika kita harus bisa meng-embodying pembelajaran ini dalam kehidupan sehari hari (di masa datang). Kehidupan sehari-hari yang seringkali terjebak pada ruang momen sebab-akibat, padahal banyak hal berlaku sistemik, sudah berlaku lama, berulang. Kadang sesuatu yang berlaku berulang, memiliki perluasan sehingga banyak yang terlibat, dan menjadi kompleks. Di situlah skill embodying menjadi perlu untuk melambatkan respon pikir, rasa, dan berkesadaran kita, agar bisa memiliki gambaran lebih utuh atas kondisi yang sedang terjadi. 


Dalam suasana yang terlihat kompleks, apalagi di sana banyak terjadi polarisasi dan kondisi silo, khususnya saat organisasi masi di level terendah berupa titik titik fungsi, belum jadi organ, skill embodying harus terus, terus, dan terus dilatih, diulang, dirasakan. Awalnya mungkin terasa seperti kerumitan adalah energi yang liar, lalu kita arahkan menjadi energi yang memiliki awal dan akhirnya a.k.a memiliki arah. Dan seringkali memang tak linear, tapi tersusun dari kumpulan cycle proses.  Saat kita berada dalam proses yang memiliki awal dan akhir, sejatinya kita sudah berada dalam posisi yang baik. 


Saat kita memiliki arah, maka kita sudah memiliki peran dalam semesta. Dalam dunia digital, maka kita sudah bergerak jadi warm data. Minimal sudah ada arah ke sana. Minimal kita sudah mulai menjadi agen mestakung.


Lalu teringat dengan apa yang dilakukan oleh supir minibus yang mencoba memaksakan diri mengambil jalur dan hampir menyelakai pemotor lain, maka ada gambaran baru yang muncul. Ada pembelajaran yang didapatkan, bahwa keberadaan saya di posisi pengamat adalah momen untuk menenangkan pemotor, yang mungkin saja bisa responsif menyerang kembali pengendara mobil. 


Peran kita mungkin kecil. Tapi bisa menyelamatkan hati, yang kadang luasnya bisa seluas samudera.

Saturday, April 10, 2021

Hikmah Kebijaksanaan



Kepintaran individual semakin ditinggalkan. Collective intelligence kini semakin digalakkan karena bermanfaat untuk jadikan sebuah organisasi, bertransformansi menjadi organ artifisial, yang memiliki dampak langsung pada pengaturan kesadaran komunal.

Saat melakukan perjalanan yang jauh  atau melalui jalan yang belum kita lalui, biasanya, ga selalu, kita  akan melewati satu fase dimana kita menemukan "focal point" dari perjalanan yang menjadi ikon pengingat. Pengingat atas perjalanan yang telah kita lewati di masa depan. Focal point punya makna yang sedikit berbeda dengan point of interest. Karena focal point bisa terjadi setelah melalui proses perubahan komposisi dan struktur, bukan hal yang bisa dipaksakan seperti terbentuknya point of interest di sebuah komposisi visual. 

Untuk meraih proses yang ber-focal point, tentunya membutuhkan elemen pembentuk proses yang memang saling berkait, saling mengukur, dan saling memberi kontribusi. Masing-masing memiliki porsi berbeda di setiap fase proses yang terjadi. Hilangnya kontribusi sebuah elemen tentunya akan menjadi sebuah jeda proses yang memengaruhi rasa. Jika point of interest itu karakternya biasanya ditentukan oleh angle yang melihat, sebuah komposisi terlihat cantik dari sudut pandang tertentu, maka focal point itu terlahir dari perjalanan, muncul dari sebuah proses. Bisa dinikmati dari berbagai angle

Saya bisa menceritakan beberapa proses tentang terbentuknya focal point, tapi biarlah itu saya ceritakan di tulisan saya yang lain nanti, saat momennya tepat. Kali ini saya membuka tulisan dengan bahasa focal point, untuk menuju inti tulisan (biasa lah orang indonesia sukanya deduktif, inti belakangan), yaitu bagaimana mencapai sebuah proses yang memancing kita untuk berada di kesadaran tertinggi. 

Saya mengambil frase "hikmah kebijaksanaan" sebagai judul tulisan ini. Kata ini bukan main-main. Kata yang hanya kumpulan orang dalam kesetaraan yang bisa menemukan hubungan  antara hikmah dan kebijaksanaan. Kata ini  adalah kata baru pada jamannya (jaman melepaskan diri dari penjajahan fisik dan ketergantungan pada pelindung berskala global), walaupun saya yakin sekarang ini makna kata hikmah kebijaksanaan (kembali) seperti masih di alam ruh, belum ke alam janin untuk dilahirkan kembali. Yap.. belum. Bukan  tidak. Bukan sudah mati.

Frase yang berhasil menjadi "juara 5 besar" dalam pengisi  dasar negara tentunya punya dampak yang besar terkait dengan momen dan pembentuknya. Dalam sebuah momen yang tidak berhikmahkebijaksanaan, tentunya tidak akan menimbulkan focal point pada momen yang bisa saja mengatasnamakan dasar negara, tapi sejatinya menjadi penyebab sebuah kegagalan bertumbuh, bertindak, bahkan bergenerasi. Saya akan lebih fokus pada bagaimana hikmah kebijaksanaan terbentuk secara kolektif. Sama sekali tak akan muncul jika dilakukan dengan sendiri-sendiri. Kenapa? Coba kita urai.

Hikmah sendiri lahir dari sebuah proses, atau dalam kata lain, harus nyebur dulu untuk bisa tau benang merah dari sebuah proses yang (harus) berjalan. Kadang saat tercebur, kadang ada yang tenggelam, tak memiliki alur dalam prosesnya,  tapi ada yang kadang  menyelam, menemukan alur, dan secara senyap sampai di tujuan, dengan nafas yang terengah tentunya, lalu diulang lagi, terus menerus. Terus diulang sampai ia menemukan cara agar menyelam tidak terengah, dan tetap bisa silence. Karena mengeluh dan meramaikan suasana menyelam akan mengganggu konsentrasi saat melakukan penyelaman. Akhirnya, pada satu titik, entah karena fisiknya sudah mampu menyelam hingga itungan 2 digit menit seperti saudara kita di Bajo dan di tim-tim khusus, atau kah dia punya tim penyedia oksigen di dasar laut, itu adalah sebuah benang merah yang menguat di sela proses yang terus dilatih (dan diulang), merasuk hingga muscle memories.  

Jangan tanya tentang rasa sakit saat seseorang mencapai dan menemukan benang merah  dalam berproses. Jangan tanya kenapa kita mendapatkan hikmah dari proses yang kita jalani, karena jawabannya akan sangat langitan sekali. Karena hikmah adalah kerja semesta, yang di-trigger oleh komponen semesta yang bertasbih (yang memiliki kesadaran tertinggi), sehingga isi hidupnya adalah pengabdian pada Entitas Infinit Penciptaan.

Lalu di mana kebijaksanaan itu? Tentunya kata sakti kedua ini pun tak lahir dalam proses berkesendirian. Jika kebijaksanaan dianalogikan sebagai wadah, ia haruslah wadah yang mampu mewadahi tak hanya keragaman, tapi juga sekaligus kesetaraan, dan mewadahi  hasrat. Keragaman, kesetaraan, dan hasrat, adalah 3 elemen yang bisa menguatkan diri, sekaligus juga bisa menghancurkan. 

Tanpa kebijaksanaan, 3 elemen ini akan mengaktifkan diri sebagai bom waktu. Kapan meledaknya? Ya bisa langsung meledak, jika tak ada yang memiliki hikmah dalam wadah tersebut. Hikmah berlaku sebagai pengerem, kebijaksanaan berlaku sebagai gudang peledak, yang bisa mengubah peradaban, bisa sangat cepat. Dalam hitungan semesta: Kun fa yakun. 

Friday, April 02, 2021

Estetika di Dunia Reduksionisme



Beberapa situasi tak lagi bisa dipandang dari satu sisi, malah butuh kedalaman hingga ke level sub atomic untuk memahami bagaimana sebuah dialektika dan momen yang tadinya seperti menyebalkan dan tak punya makna,  ternyata memiliki nilai estetis dan filosofi mendalam.



Saya terkejut sekaligus tertawa melihat dan mendengar anak yang sedang melangsungkan zoom session di sela School From Home-nya. Saya lupa mata pelajaran apa saat itu. Ibu Guru beberapa hari sebelumnya memberi tugas kepada anak didiknya untuk membaca  Kisah Bawang Merah dan Bawang Putih. Tentunya kita sebagian besar tahu cerita itu. Lalu di saat zoom session ini Ibu Guru menanyakan pendapat dan respon anak-anak tentang cerita tersebut. 


“Kalo Bawang Putih bagaimana sifatnya, Anak-anak?” Tanya Ibu Guru

“Baik Buuu,” ujar anak-anak, kompak.

“Lalu bagaimana dengan Bawang Merah?” Tanya Ibu Guru kembali.

“Gak ada akhlaknya, Buu,” jawab anak-anak serempak.


Saya terdiam. Lalu tergelak tertawa. Bagaimana anak memahami cerita dan memberi respon benar-benar di luar dugaan saya. Saya mengukurnya dari bagaimana anak-anak begitu kompak satu suara menjawab dengan bahasa yang sama: gak ada akhlak.


Saya melihat reduksionisme


Di satu sisi baik. Di sisi lain bisa menimbulkan generation gap. Jika dulu saya, yang masih merasakan bagaimana unsur analog menguasai perikehidupan, dari bacaan, dari pengajaran, bahkan dari dogma-dogma di tataran sosial, tentunya akan menjawab pertanyaan Ibu Guru tentang sifat Bawang Merah dengan pemilihan bahasa yang akan berbeda dari rekan-rekan saya yang dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Tapi saat melihat anak berdialektika dengan teman dan gurunya, satu bahasa yang sama menunjukkan ada persamaan yang sama dalam memahami karakter-karakter yang tak sejalan dengan norma yang dijalankan anak anak. Jika tak sejalan, maka tak segan akan dianggap tidak punya akhlak sama sekali. Di satu sisi reduksionisme, di sisi lain juga ini bisa dibilang salah satu karakter umum yang “sudah dibiasakan” berlangsung dalam dialektika anak-anak di usia 10-12 tahun (anak saya saat ini ada di kelas 4 SD). Karakter umum di anak yang sedang mulai belajar berhimpun dan menyamankan dirinya dalam kelompok sosial. 


Bisa dibilang, kelas 4 ini adalah kelas yang paling kompak dari seluruh kelas yang diikuti anak saya. Sayangnya memang tak pernah ada pembelajaran offline karena pandemi. Tapi kebersamaan yang terjadi jauh lebih berkualitas di banding di kelas 1,2, dan 3. Saya bisa bilang demikian karena anak saya selalu semangat saat ingin zoom, dan setelah sesi zoom di kelas. Belum pernah ada masalah dengan pelajaran, kecuali karena masalah teknis karena sinyal jelek atau terputus. Sisanya aktivitas zoom kelas justru membuat anak semangat.


Walau begitu, saya masi terus mengawasi gejala reduksionisme ini. Melihat  dialog kolektif bisa terasa sarkas oleh generasi analog, tapi bagi generasi anak saya ini adalah kelaziman. Saya juga mengurai, bagaimana  bahasa yang lebih ber-layer, masih bisa efektif menghadapi sebuah gejala sosial yang tidak sesuai dengan norma kelompok. 


Saya tak heran kenapa reduksionisme bisa terjadi. Selain karena algoritma (sosial media) yang meredusi analisa,  bisa jadi penggunaan panca indera yang tidak komplet (hanya visual dan pendengaran secara simultan)  membuat analisa menjadi lebih pragmatis tentang sesuatu yang harusnya bisa dinilai lebih holistik. Tapi bagi saya itu bukan faktor terpenting, karena kita banyak menemukan bagaimana individu yang memiliki disabilitas pada panca indera tertentu bisa lebih tajam dan lebih holistik analisanya. Saya menduga, faktor pemahaman kesadaran atas diri dan bagaimana memanfaatkan sekitar adalah kunci bagaimana nilai-nilai holistik bisa memiliki value dan akuntabilitas yang tinggi (bisa jadi warm data, bisa gampang terkoneksi, tervaluasi, dan terverifikasi). 


Pandangan-pandangan reduksionisme ini pernah saya praktekkan dalam proses mendesain saya, jauh di masa ketika kuliah dulu. Ada masa saat saya benar-benar fokus mendesain untuk tujuan mewadahi fungsi. Nilai estetis, atau dalam dunia kuliah arsitektur dulu sering disebut venustas, seyogyanya lahir dari fungsi dan artikulasi fungsi itu sendiri. Hal yang dari luar, apalagi metafora dari sebuah hal yang tak terkait fungsi, adalah haram hukumnya. Ya. Saya pernah di level itu.


Tentunya tidak salah, dari sisi mencari nilai yang aman untuk diraih dalam mata kuliah studio perancangan. Tapi ada konsekwensi yang akhirnya saya hadapi. Saya terlalu terpaku pada referensi, khususnya untuk meraih dan menggali nilai-nilai estetis dari sebuah karya yang berbasis reduksionisme. Saya akhirnya harus berkiblat pada si A, si B, dan itu kalo saya istilahkan dengan istilah anak saya, saya sendiri akhirnya tak memiliki akhlak, pondasi sikap, dalam menentukan nilai estetis dari karya saya.



Menyelami dunia  estetis 


Peristiwa yang terjadi pada sesi zoom anak saya itu berlangsung kurang lebih seminggu yang lalu. Saya baru tulis tadi malam  setelah  membaca sebuah artikel relatif panjang tentan Kadinsky.  Artikel ini bercerita bagaimana Kadinsky menemukan “dirinya” di dalam pemahaman seni, setelah melalui fase-fase spiritual yang sebenarnya terjadii umum pada kita, manusia yang bersosial.


Umum, karena Kadinsiky menemukan nilai estetisnya melalui proses yang tidak seajaib  Gogh misalnya (yang harus gila), walau karya Kadinsky tetap “ajaib” bagi saya yang sama-sam sering menggunakan elemen warna dan geometri. Kedalaman yang diraih Kadinsky dalam sebuah hirarki sosial yang “wajar” adalah sebuah jalan keluar menurut saya, untuk kondisi-kondisi sosial yang banyak mengalami reduksionisme. 


Bagi saya, Kadinsky menemukan estetikanya dalam berkesadaran. Dalam berkesadaran untuk berinteraksi, dalam berkesadaran untuk menemukan kedalaman, dalam berkesadaran untuk merangkai pola. Di sana ada nilai-nilai estetis yang diungkapkannya dalam karya yang di setiap era memiliki kematangan dan kedalaman yang relatif identik. Tidak seperti karya saya misalnya, jika dibandingkan dulu dan sekarang, dulu dangkal sekarang agak dalem dikit, nanti (mungkin) bisa agak bisa dalam bisa bikin kelelep. Kadinsky tetap berkarya di level yang bisa diselami oleh entitas yang berkesadaran awam hingga terdalam. 


Menurut saya demikian. Btw, beraninya saya menempatkan diri saya sebagai pembanding. Ga ada akhlak. :))


Setidaknya saya tersadar. Perasaan sadar yang menggembirakan ini harus dirayakan dengan berkarya, yaitu menulis artikel ini. Tentunya banyak jalan dan simpul yang bisa dijalani dan diurai untuk memulai  meraih nilai-nilai estetis dari karya yang kita buat. Pencarian sejati yang bisa dilakukan adalah mulai dengan mengembalikan kesadaran diri. Mengukur apa yang bisa kita hasilkan di setiap level kesadaran. Mulai dari level terbawah, berkarya saat takut, terdesak, dan dalam kungkungan. Hingga berkarya di level tertinggi, ketika kita menemukan keikhlasan dan bagaimana semesta menjadi sumber energi dan ide untuk setiap nafas dan gerak yang kita lakukan. 


Saya baru ingat, di hari kemarin juga, tepat kira-kira dua jam sebelum baca artikel tentang Kadinsky. Saya bergabung di sebuah forum yang bernarasumber seorang ahli pertanian Australia, keturunan Aborigin. Beliau dalam kesadaran tertingginya, berhasil mereduksi pemahaman lokal yang terlihat rumit terkait pengelolaan tanah dan api. Bagaimana api bisa menjadi motor dan agregator untuk menghidupkan lahan. Ternyata reduksionisme tak selalu berakhir pada kebuntuan estetis. Setidaknya saat di kesadaran tertinggi, dan berkolektif, nilai estetis lahir dari bagaimana kita menghargai diri kita, dan apa yang kita nafas dan pijak. Pengabaian dari unsur -unsur yang "dipandu" oleh panca indera memang akan membuat menurunnya level kesadaran kita. Minimal munculnya rasa jenuh. Reduksionisme diri bisa jadi alat untuk menangkap tanda-tanda vital kolektif yang bisa menggerakkan kebersamaan. Mungkin bisa saya simpulkan demikan. 


Semoga nanti anak saya membaca tulisan ini. Saya belum tahu bagaimana menjelaskan padanya tentang gajala reduksionisme sosial pada saat ini. Mungkin belum saatnya. Biarkan dalam fasenya, terbang bersama seperti burung di sawah yang berpadi menguning, menikmati reduksionisme dalam skala kelompok dan imajinya.