Sunday, December 24, 2017

Partikel Penjaga Madani




Sebuah obrolan Higgs-Bosson di grup alumni, membuka pintu untuk beberapa kemungkinan ke mana kapal bernama indonesia ini berlabuh.Betapa setiap partikel memiliki cycle, dan setiap ciptaan memiliki ritmenya. Lalu apakah peran Higgs-Bosson?

Tak usahlah disebut partikel Tuhan, karena tak mencipta, cukup untuk memelihara. Cukup saja panggil partikel kuncen, atau mungkin lebih cocok partikel dukun. Dan "dukun" bergerak bukan karena kuasanya, tapi kesadarannya, bahwa ia bagian dari yang lain, yang harus berkomunikasi. Lalu anggaplah, awan terlihat bolong dan bergeser.

Bukan karena "dukun" punya kekuatan, toh ribuan dukun di negeri ini tak bisa melepaskan Belanda yang bercokol 350 tahun. Jadi, madani adalah bukan cerita tentang panen raya. Madani adalah cerita tentang cara menjaga, berkomunikasi, dan berbicara. Saat itulah Tuhan Yang Maha Besar mengabulkan doa. Karena itu juga Tuhan menciptakan jeda.

Cycle, tempo, beat, kalo di alat musik bernama ryhtm. Rythm, sebuah strategi penyusun harmoni, di samping melodi dan suara suara atmospheric. Dan satu lagi yang hilang di era musik digital ini, bias. Bias, sedikit kesalahan, fals, atau undercontrolled miss, adalah pelembut pesan. Betapa musik musik digital yang bergrafik kotak-kotak sanggup menghilangkan pamor musik bergrafik kurva. Kurva yang berasal dari titian nada aksioma, dan disambung oleh para bias, sehingga tangga-tangga tadi berasimtut. Betapa perbedaan kini harus dipertajam untuk hanya mendapatkan kedalaman makna.

Semakin dalam bermusik dengan cara mengikuti arus digital, maka semakin tajam kita menikmati perbedaan. Di sisi lain saat bermusik, khususnya saat ngejam, kita biasa saling tunggu. Yang paling jago adalah yang paling ahli dalam teknik "menunggu" ini. Menunggu dengan indah. Hati hati dengan orang yang suka telat. Bisa jadi dia sedang mengasses dengan membuat sebuah spektrum masalah jadi lebih lebar dan mudah dicacah. Apalagi si pengasses punya kemampuan pindah di atas rata rata .

Jika jaman dahulu perjalanan terasyik adalah perjalanan menemui puncak gunung menemui Sang Gusti, dengan jalan menanjak namun landai, kali ini seperti perjalanan ke atas gunung, namun di atas sudah berupa undakan tajam, dan simbol simbol penjaga.

Kita, bangsa yang besar ini, kadang terlalu asyik mencari nyaman. Di saat kenyamanan datang, kita jadi lupa dengan pembuka gerbang dan kesepakatan. Tapi tak apa, selama kita masi ingat cara berdoa. Itu masih lebih dari cukup.

Saturday, October 07, 2017

Mahkota Dahlia Hitam



Menakar berapa besar pengorbanan yang kita beri untuk anak sama saja dengan menimbang seberapa berat nafas yang dilalui saat meminta pada Ilahi.

Pengorbanan, kata yang muncul saat ada yang terhempas, ada yang menepi, terselamatkan.

Pengorbanan adalah pilihan kata bagi orang orang yang sempat menghitung nafas, lalu sempat ketakutan bahwa nafas itu akan habis, padahal bunga dan pohon baru penghasil oksigen tiap hari tumbuh.

Pengorbanan sekali lagi bukanlah tentang menimbang bekal menuju sejahtera. Pengorbanan bukan tentang menerima rasa sakit. Pengorbanan adalah bunga, yang ia akan berkembang saat akar tidak tersiksa, batang tak terhempas angin, dan sari bisa mempersiapkan diri untuk menyebar, syukur syukur bisa meregenerasi.

Pengorbanan bukan cara mencapai keseimbangan. Tapi bagaimana setiap ciptaan memberi arti, walau itu adalah kegelapan. Gelap pun ingin berbunga, ingin dijaga, dan memberi arti dengan bertambah, untuk temani, laksana putik dan sari, yang akhirnya kehilangan jarak karena saling menyinta.

Cinta adalah syukur yang mengalir dalam darah. Cinta menembus ruang dan waktu. Seringkali ia berkendara rindu. Seringkali ia bertemankan kegelapan. Tempat terdekat untuk merasakan pesan Pembisik Yang Maha Penyayang.

Tuhan Yang baik. Terima kasih atas bunga dahlia hitam yang kau kirim. PesanMu kuterima.  Izinkan Aku kembali bersimpuh.

Tuesday, September 26, 2017

Gonjang Ganjing



Tak menduga, tapi sekaligus memahami, setiap manusia akan dihadapkan pada proses memilih nasib bangsanya. Ini bukan tentang pemilu, tapi tentang sebuah fase yang menjadikan manusia tak lagi memiliki waktu untuk menimbang. Memilih tanpa waktu, seperti sebuah tindakan langsung, laksana menepuk nyamuk yang mendarat di dahi.

Tak disadari, ada titik tertentu, pergerakan kita menentukan bagaimana hal lain ikut bergerak. Bahkan bisa jadi hal lain itu adalah negara kita sendiri. Apalah kita, hanya semut yang terancam injakan, kadang terucap di benak. Diri ini tak pernah berbuat lebih dari apa yang dilakukan di dalam rumah ketika mengejar tenggat. Tapi ternyata jika didalami, ada momen tindakan, yang bisa dibaca oleh semua orang. Semua orang, di negeri ini.

Ber-cyber dengan menulis adalah salah satu cara menjadi bisa dilihat di semua orang. Sebentar dulu, bisa saya katakan sekarang membuat akun facebook hanya butuh hitungan tak lebih dari 5 menit, tentunya jika internet kencang.

Jika setiap kita menyadari momen-momen ini, maka tak perlu teriak lagi di jalanan. Tapi ada perkecualian. Teriak di jalanan pun perlu, saat kita membutuhkan pengalih, seperti flare pada pesawat tempur. Flare seolah diam melayang perlahan ketika dilemparkan dari pesawat yang melesat, pesawat tempur lah yang terus meluncur, mendekat,  ke sasaran. Mendekat cepat ke sesuatu yang berbeda. Ada yang memahami sesuatu ini  sebagai musuh, ada yang memahami sesuatu ini sebagai objective, atau bahkan hanya agenda latihan frekwentatif biasa.

Kini negeri butuh para "pilot pesawat tempur", yang bisa mendekat kepada titik titik pembeda, dan titik-titik yang beda. Perbedaan adalah hal yang paling menarik saat ini. Bukan lagi penanda, tapi juga pembentuk cerita. Semiotic barat merumuskannya dalam konsep "memetic engineering", mungkin saya lebih mengistilahkannya dengan, lambe-tic engineering, sebuah kuasa mewujudkan, dengan meracau.

Ketika ada yang  mengatakan itu adalah bubbling approach, saya mengatakannya bahwa itu adalah permainan imaji. Tanpa sadar, bahwa teknik teknik informasi yang digemari sekarang lebih berbentuk pesan pesan subliminal, dan telah menjenuhkan alam bawah sadar.

Jika alam bawah sadar sudah jenuh, maka datanglah masa memilih. Jika semua orang sudah begitu banyak rencana, objective, sasaran, maka akan hilanglah masa menimbang. Tak ada tenggat. Jika memilih tanpa berpikir, maka datanglah gonjang-ganjing.

Dari tulisan di atas, saya cuma bisa memberi pesan dua kata, pada yang ingin menyayangi bangsa ini, "nikmati kemanusiaanmu"

".


Jakarta, 27 September 2019.


Monday, May 15, 2017

Taring-isasi

Saat taring taring sengaja ditonjolkan, bukan lagi gigi seri yang menjadi daya tarik, maka saat itulah sepertinya setiap hal yang dianggap baik hanya bisa diukur dari sisi beratnya, onggokannya, tekstur dagingya, atau bahkan darahnya masih segar ataukah tidak.

Bangsa kini kembali ke era dimana taring lebih penting dari gigi seri. Taring lebih penting dari geraham. Kekuatan menyabik kini lebih diprioritaskan daripada kekuatan memutus, dan menghancurkan.

Siapa bilang kita sedang dipecah belah, gigi seri sudah agak lama beristirahat. Perbedaan sudah kita sadari. Bahkan kita sudah bisa menempatkan diri, dan saling membaca potensi.

Kita pun sudah lama mengalami penghancuran, siapa yang tak ingat saat orang-orang bersarung diburu, orang-orang membawa pedati diteror Westerling, orang-orang yang berekspresi dituduh mal-insani? Saat itu kekuatan kita untuk menghancurkan begitu dahsyat. Bahkan anak cucu pun disikat.

Kini taring yang paling dicari. Tak perlu lah itu bersatu. Tak perlulah kini saling menghancurkan. Cabik secepat mungkin. Tinggalkan, dan biarkan belatung-
belatung yang entah dari mana datangnya, membesar, dan memiliki rasa, seperti apa yang dimangsanya.


Thursday, April 27, 2017

Penyadapan, Harus (?)



Dalam ajaran Islam, setiap manusia dicatat amalnya oleh malaikat Munkar dan Nakir. Secara pendekatan  analogis, penggambaran Munkar dan Nakir memenggambarkan pentingnya pencatatan dari setiap amal yang dilakukan. Manfaatnya tentu bukan hanya untuk penentuan vonis surga-neraka. Tapi pencatatan adalah sebuah proses menuju akuntabilitas. Keseimbangan dalam niat, laku, dan manfaat.

"Pencatatan" Ilahi via "makhluk berbahan dasar cahaya" tentulah bisa jadi bukan seperti yang seperti alam pikir manusia bayangkan. Bahwa setiap makhluk akan meninggalkan jejaknya di tiap detik. Baik itu jejak karbon, peluruhan massa, dan konekstivitasnya dengan semesta. Apakah jejak itu menghasilkan manfaat, turbulense, ataukah bahkan kerusakan?

Lalu apakah setiap manusia harus merekam/mencatat? Dalam kapasitas pembuktian dan akuntabilitas: iya. Tapi pada dasarnya "trust/sistem kepercayaan" bisa menjadikan fase berankuntabilitas menjadi lebih pendek. Bisa menjadi short cut.

Betapa indahnya manusia yang bertakwa, yang telah dijanjikan oleh Tuhan rejeki yang tak diduga dan dilancarkan hisabnya di dunia - akhirat.