Friday, February 19, 2021

Bermanja dengan Pencipta




Waktu, akal, dan kesadaran adalah modal utama individu dalam mencapai kekuatan. Esensi dari kekuatan bukanlah tentang menggunakan tenaga untuk melakukan hal berat. Kekuatan individu adalah kemampuan untuk menjadikan area of influence-nya termitigasi dengan baik. Sebuah cara untuk merdeka dalam berkehendak.

Judul di atas harusnya tak terlalu bernuansa spiritual. Toh jika ditelisik, banyak aktivitas kita memang sangat dekat dengan Pencipta, atau setidaknya, penciptaan. Bernafas, berpikir, dan memilih adalah tiga aktivitas rutin yang seringkali berlangsung tanpa butuh approval dari kesadaran kita. Seringnya kita melewati peran kesadaran dalam bernafas, berpikir, dan memilih membuat kita lebih mudah terpengaruh oleh keinginan. Di sisi lain, keinginan adalah kumpulan pikiran yang terpola untuk membuat individu bertindak atas dasar ingin membuat pasti, real, mengarah pada hal fisik - terpindai panca indera.

Keterikatan kita dengan hal di luar individu akan selalu bersifat sistemik. Sistemik berarti memiliki pola, memiliki tensi dan intensi, serta yang pasti memiliki posisi dalam dimensi ruang dan waktu. Hal ini terjadi dalam hubungan yang paling sederhana sekalipun. Spontanitas pun pada dasarnya bersifat sistemik, namun memang berlangsung dalam timeline yang singkat (di luar zona wajar). 

Keterikatan kita dalam intensi yang kuat dengan sekitar akan membesarkan peta berpikir kita, begitu juga, akan menguatkan daya pijak kita. Daya pijak kita pada pengetahuan individu, dan pengetahuan bersama.

Saat menjadi bagian dari sebuah sistem yang mengikat aktivitas kita, maka kesadaran kita lah yang bisa menjadi panduan. Panduan untuk mengukur apakah aktivitas kita memengaruhi kekuatan kita dalam memilih, berpikir, bahkan bernafas

Menjadi bagian dari sistem merupakan kerja kesadaran yang paling aktual. Aktual untuk memetakan ikatan yang tak bisa diubah, ikatan mana yang bisa dimodifikasi tekanannya, dan ikatan mana yang sangat fleksibel mengikuti intensi kita. 

Ikatan keinginan dalam sadar seharusnya sangat fleksibel, tapi jika keinginan tak melewati peran approval kesadaran, keinginan/intention ini bisa saja menjadi ikatan yang kuat, dan bisa memengaruhi kerja sistem keseluruhan, yang harusnya disepakati secara sadar, sebelumnya. 

Keterikatan kita dalam sistem bisa membentuk kita dalam aktivitas sistemik yang semakin kompleks. Kompleks berarti memiliki variabel yang bertambah, memiliki turunan aktivitas, dan stakeholder-nya. Keterikatan bisa menjadi batas (bonding the systems). Batas antara aktivitas sistem satu bukan bagian dari aktivitas sistem yang lain. 

Keterikatan juga bisa menjadi sebuah bentuk (shaping the systems). Seperti daun yang memiliki rangka, memiliki jaring klorofil hijau yang mengisi rangka dan mengakibatkan daun tersebut memiliki bentuk. Bentuknya bukanlah didasarkan intensi atas keinginan, atau batas gerak. Bentuk bisa lahir dari dimulainya rangkaian aktivitas sistem hingga  berakhirnya. 

Satu sisi lain, ada juga aktivitas yang bersifat menandai, memetakan, mengikat, dalam rangka untuk mengunci dan meniadakan (shaming the systems). Aktivitas ini dalam skala utuh biasanya berlangsung lama, dan memang berlangsung dengan membuat sebuah kondisi kerja sistem dalam kesadaran dan intensi rendah, dengan tujuan akhir yang sifatnya sangat materialistik. Sifat- sifat aktivitas yang bermuara pada hal fisik cenderung meninggalkan jejak, karena memang butuh ruang untuk memindai, dan waktu untuk menyambungkan intensi-intensi menjadi sebuah bentuk buatan yang bisa diatur dalam konteks kesadaran berbasis material

Balik lagi dengan aktivitas bermanja, berdekatan dengan entitas mencipta. Salah satu pegangan terkuat untuk merasakan dekat atau tidaknya kita dengan entitas Pencipta dan penciptaan adalah kesadaran kita. Tanpa kesadaran semua bisa berlangsung tanpa makna, atau bermakna namun sekadar menjadi cerita yang tak memengaruhi kekuatan individu kita dalam merasakan ikatan dengan sistem di luar diri. Baik itu sistem yang sederhana, atau sistem yang rumit yang melibatkan kita dalam kondisi harus berkeputusan sadar setiap saat, misalnya komandan pasukan anti teror yang sedang menghadapi penyanderaan. 

Salah satu cara menikmati kedekatan dengan entitas Penciptaan adalah merasakan proses dalam rasa dan gesture maksimal. Merasakan daya tahan maksimal dari tubuh yang beraktivitas adalah salah satu cara. Sakit (pain) dan cidera (hurt) adalah dua hal berbeda. Sakit bisa jadi gerbang untuk mengetahui ruang dan waktu dalam dimensi kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran yang lebih tinggi akan membuat dimensi waktu berjalan lebih lambat. Hal yang tadinya bersifat responsif kini menjadi bisa terkontrol, seperti atlet atlet bela diri hard impact yang terlatih dalam kecepatan tinggi menghindari pukulan dalam jarak hitungan milimeter. Pain bisa membentuk sistem. Hurt bisa memberikan batasan pada sistem. Jangan lupa, absences bisa membuat shaming the systems - membuat sebuah sistem daya tahan menjadi tak berguna. 

Bermanja dengan Pencipta bukanlah tentang ritual mengingat dan merasa dekat. Memetakan daya tahan dan kemampuan bersadar adalah salah satu ciri khas. Ciri dari orang-orang yang bermanja dengan Pencipta dan proses penciptaan adalah selalu berlatih, berlatih, dan berlatih.  Bermanja dengan Pencipta adalah sebuah proses meningkatkan rasa sadar, hingga dalam skala tertinggi yang  akan mengundang keterikatan sistem lain a.k.a mestakung (semesta mendukung). Tak heran, dalam cerita sufi, orang-orang yang "terlalu" cinta dengan Penciptanya, mereka mengejar rasa sakit (pain). Bisa jadi dengan itu mereka punya "dimensi" yang lebih luas dari yang kita lihat. 








Tuesday, February 16, 2021

The Future of Sovereignty


 

Our politic’s path had became more materialistics. That’s lead to less awareness decision related to efficiency in maintaining budget, and increasing –instant respond- productivity. It have connection with our carbon footprint.

 

Global warming is not just an issue, but significantly connected with our collective awareness and respond.  It’s also connected with the vulnerable policy while the nature ‘speak loudly’, and the phenomenon leads to social divides issues.

 

Indonesia is a country that born by agreement of equal stakeholder of civil society. Yes, it as not from a representation of local kingdom, or religion, that tends to dominated each others, but all of them represents themselves as civil society, who have non materialistic vision, but purely base on the vision to making future reality.

 

Mufakat, is an Indonesian language, that represent the way of process that will overcoming the harvest of solution from prototyping in civil society. This process leads to the decreasing budget in running a mission in political path. Before we achieve ‘mufakat’, usually we did gotong-royong, or I could called it work with heart. That were the main tool in engaging civil society in Indonesia.

 

The materialistic path (territorial & powerbase) of Indonesian politician vision in mid 50’s made all stakeholder of civil society balancing themselves into materialistic variables that made artificial equilibrium in the nation systems through power-base-driven-strategy. The hidden-slavery revealed in dark-demonic-cycles of economical system. These dark circumstance were born by collective unconsciousness of society in maintaining the power and territories. The vision for embracing the sovereignty were not becoming priority.

 

So the future of our sovereignty  are depends to our awareness in surfacing collective consciousness, and build lot bridges of opportunities between artificial tension. The collective consciousness can be achieved while three basic element in civil society naturally revealed. First, equality in law, there're no segregation or disruption from unintended stakeholder to push regulation for individual purposes or margin. The second element are freedom in transaction and have right to access maximum accountability in accessing data, and have intention to build -free economic slavery- society. The last basic element that could shaped civil society were responsible culture, and responsive legal action to heal segregation of culture and religion. The three element should be tied in accountable governmentship. 


The succeed of implementation from this three element could lead to create new accountable society. Society who had high demand in transparancy, connectivity, and agility. The future of sovereignty are accountable citizenship, who have legit bargaining skill and value to overcome the new era , the "no money" civilization, or being "the chain" of digital economy era.  



Sunday, February 14, 2021

Menanam Bibit di Puncak Gunung



Apa arti kesombongan, jika kebanggaan itu harus diungkap untuk menjadi pagar generasi. Apakah para pendaki sombong karena mereka ada di langit? Apakah gunung sombong karena ia terlanjur jadi pasak bumi?


Saya teringat dengan mimpi yang saya alami sesaat sebelum salah satu anak saya lahir. Saya pergi ke Gunung Semeru, dan saat melalui Ranu Kumbolo, saya dititipi bibit oleh seorang nenek dengan kudung yag dibelit di kepala (khas wanita muslim jaman pergerakan NU dan Muhammadiyah di jaman kemerdekaan), untuk ditanam di puncak. Saya iyakan saja, toh tinggal tanam, saya tak disuruh menjamin bibit itu tumbuh dan merawatnya.


Mimpi itu berakhir saat saya baru saja berbalik dari mengemas tenda, sesaat setelah menatap puncak Semeru. Saya dibangunkan oleh panggilan interkom dari penjaga piket kamar operasi. Operasi sudah selesai, pihak keluarga dipersilahkan melihat kondisi. Yak. Saya selama operasi duduk di mushola kecil dekat ruang tunggu. Karena saya tak boleh menemani istri yang saat itu memang kondisinya harus melewati tindakan khusus karena persalinan premature-nya.  Saya berdoa di mushola kecil itu, tertidur sebentar, dan sekilas mimpi Gunung Semeru itu hadir. 


Saya rasa setiap orang tua memiliki momen spesial ketika sang anak lahir. Segenting-gentingnya tugas ketika anak lahir, momen akan selalu ada dan dikenang. Bagi saya, momen kelahiran anak bukan hanya tanda memasuki gerbang kehidupan baru, tapi juga menjadi soal baru yang harus dijawab. 


Anak adalah pesan Ilahi melalui semesta perempuan. Ibu. Anak adalah pesan yang kadang belum terbuka. Menanti pesan terbuka bisa jadi sebuah pelajaran lain lagi. Anak tak cuma “bidadari atau malaikat” yang dititipkan untuk akhirnya menjadi manusia. Anak adalah pondasi pikir kehidupan kita. Bagaimana hidupnya menjadi variabel berpikir yang terus melengkapi jalannya algoritma-algoritma aktivitas kita. Variabel yang kadang tak harus dijawab x sama dengan berapa, dan y sama dengan berapa. 


Kadang sebuah perhitungan berlangsung untuk menjadi penguat akuntabilitas kita. Perhitungan yang bisa mengisi waktu agar memudahkan kita di hari pertanggungjawaban. Momen ter- stock opname-nya semua isi hati dan kehendak.


Akuntabilitas di jaman dulu, di hari ini, dan di hari depan konteksnya akan selalu berubah. Hal yang tidak berubah adalah tentang keterhubungan, kesinambungan, dan kejernihan dari sebuah cara dan proses berpikir dan berkarya. Pertanyaan bersama untuk kita yang masih hidup, bagaimana kita akan mengukir alat ukur yang bernama "akuntabilitas" untuk menjadi alat barter di era super digital, era tanpa uang? Akuntabilitas bukanlah tentang nama baik. Tapi lebih kepada simpul-simpul. Nama baik masih bisa dirusak oleh proxy, sedangkan merusak akuntabilitas akan berakibat pada jejak kerusakan civil society. 


Pondasi dari akuntabilitas adalah penerimaan atas keadaan dan kesaksian yang kuat hingga tercatat. Tercatat dan bisa menjadi momen yang penuh nilai. Nilai tambah bagi yang terlibat menjadi subjek sebuah konteks di sebuah keadaan. Lalu bagaimana cara menanamkan semangat berakuntabilitas pada anak? Salah satu jawabannya adalah selalu mengondisikan keadaan seperti perjalanan menuju puncak gunung. 


Jika membayangkan fase saat mendaki, akan terbagi tiga, menjelang mendaki, saat di tengah pendakian, dan akhir pendakian. Di lereng menjelang pendakian, banyak sekali kumpulan harap. Kumpulan harap para pendaki yang selalu melihat puncak. Bergerak ke atas menanjak menuju punggung gunung, akan banyak pertunjukan aksi yang bisa menjadi pelajaran, baik dan buruk. Banyak juga makanan yang bisa dibagikan bagi yang berbaik hati atau yang memasrahkan perjalanannya pada semesta. Saat di puncak, yang ada adalah tatapan ke bawah, tatapan pada horison yang mengelilingi, tatapan yang mengubah. Mengubah pikiran menjadi salah satu kekuatan terhebat kita. 


Mimpi dititipi benih untuk ditanam di puncak adalah sebuah pelajaran yang masih menjadi PR. Bisa jadi sebelum sampai puncak dikelilingi horison, ada baiknya menanam. Ada baiknya menunduk. Menunduk untuk menanam. Biarkan lah suara suara harap atau arahan melarang ini-itu menjadi bahan senyum. Rasanya setelah menanam, saya akan terus ke puncak untuk melihat tumbuhnya benih, atau melihat horison dengan harap yang lain. 



*) Tambahan:


Keluar dari mushola, tempat saya menanti sesi operasi, lirik lagu Semeru (dinyanyikan bersama Vivid Revolt) ini pun muncul di kepala


Semilir lembut dingin berhembus

di puncak gunung Semeru

mengingatkanku pada lembayung biru


yang turun di antara mimpi

di dalam sanubari

menanti hariku yang sepi


Terdengar alunan 

buaian sendu

titisan jiwa, aku menanti


Lihatlah mentari pagi

kini kan bersinar lagi

menentramkan asa

dalam kehangatan


Kubiarkan pagi ini membawaku

ke dalam hangatnya

nikmat mencinta...