Friday, April 30, 2021

Addicted in Cursing





Menjadikan keterhubungan sebagai prioritas seringkali akan menjadi jebakan untuk kelompok masyarakat yang terbiasa dengan eksklusivitas.

Eksklusivitas pada civil society terjadi seperti busa yang muncul dari proses membersihkan diri.  Jika menelisik secara sistemik kenapa busa bisa terjadi, maka kita akan mengetahui bahwa gesekan adalah sebuah gerak re-inforce yang bisa mempercepat proses pembersihan sebuah permukaan (keras) oleh materi lunak dan cair.  Ikatan kimia yang berubah memang salah satu penyebab kenapa busa bisa terlihat. Tapi jika ditelisik lebih dalam, busa adalah sebuah proses yang tak terkait dengan proses pembersihan itu, terutama dari sisi bagaimana kotoran dari permukaan bergerak, dan arah busa bergerak, hingga selaput udara pada busa pecah.

Eksklusivitas adalah sebuah peristiwa yang terjadi dalam sebuah ikatan yang berbasis pada data, respon, dan karakteristik pola yang sama. Bisa dikatakan perilaku merasa, mengaku, memindai sesuatu adalah sebuah hal yang eksklusif itu bisa dikategorikan sebagai sebuah peristiwa. Bisa ditandai, bisa dikenang, bisa juga jadi pelajaran untuk dianalisa. 

Peristiwa bisa terjadi karena ada hal sistemik yang tersusun oleh mindset, yang mengikat variabel-variabel pikir (knowledge) menjadi sistem, atau rel berpikir, dan pola berpikir untuk  mengulang tindakan. Peristiwa akhirnya terjadi untuk bisa memproduksi impact dan value. Eksklusivitas akan memiliki impact dan value pada sebuah civil society yang bergerak secara kolektif.

Ada hal menarik saat kita terlibat dalam sebuah kelompok yang (terlibat dalam momen) mengeksklusifkan diri. Salah satu yang paling umum adalah daya amplifikasi kemampuan mengukur diri, sekitar, dan orang lain. Kemampuan mengukur ini sejatinya paralel dengan amplikasi pada kemampuan menjaga. Semakin detail variabel yang diukur, semakin kuat kemampuan menjaganya.  

Kemampuan menjaga memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif tentunya akan ada agilitas dalam mempertahankan nilai-nilai yang disepakati bersama saat eksklusivitas terbentuk. Tapi sisi negatifnya adalah kemampuan untuk beradaptasi akan menurun, sedangkan adaptasi adalah modal utama untuk berkoneksi.

Untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi, maka harus dimulai dengan kemampuan untuk memulai. Meng-engage. To starting up, we have to create ignition. Untuk memulai, haruslah ada proses yang membuat reaksi yang bisa mengubah entitas dari es ke cair, dari cair ke uap, atau bahkan ke api, simbol pemantik cahaya. 

Saat sebuah proses mengalami "pembakaran", atau terpantik, maka akan ada penolakan yang bisa mengeraskan ikatan-ikatan sebuah bentuk. Pengerasan (thightening) akan memperkuat batas-batas bentuk (dan identitas). Di sisi lain bentuk adalah wujud dari sebuah koneksi. Bentuk adalah batas. Koneksi adalah sebuah kesadaran tentang keterbatasan. Semakin banyak koneksi, maka keterbatasan adalah energi untuk bergerak. Semakin terbatas sebuah entitas, sejatinya ia akan membutuhkan lebih banyak koneksi.

==

Uraian di atas adalah sebuah gambaran bagaimana cara kita melihat sebuah struktur "gunung es" sebuah sistem yang bekerja. Melihatnya bisa dengan mendekonstruksikan gunung es tersebut menjadi pola-pola baru yang lebih mudah dikenali. Bisa juga dengan pendekatan post-dekonstruksi, yaitu mengonversi pola-pola pengenal menjadi pola-pola penguji sistem. Karena sistem dengan value yang baik adalah sistem yang bisa menguji dirinya sendiri, sehingga mudah menjadi warm entity . Entitas ini berlaku sebagai penyusun struktur sistem pada sebuah dome of thought. 


Monday, April 26, 2021

Menandai Istidraj (Pengabaian atas Ketidakmampuan)




Kesepakatan tidak ada artinya jika perbedaan tak diikat dalam sebuah benang merah bernama kesadaran.

Tak semua orang mengejar kesempurnaan diri. Banyak yang memilih untuk menemukan kesempurnaan dari apa yang dia lalui di setiap nafas, di setiap langkah dan karyanya. Tentunya memilih setelah perjalanan dan pergolakan panjang. Perjalanan yang akhirnya mengurai nafsu menjadi proses bertanya pada peran pribadi. Peran untuk semesta terkecil bernama hati.

Hati bukanlah hal yang terlalu abstrak untuk dipetakan. Seperti layaknya semesta, banyak hal teridentifikasi oleh teleskop yang diarahkan ke atas dan keluar, ternyata memiliki pola yang sama dengan ikatan dan pola-pola jaringan yang membentuk dan memfungsikan tubuh. Betapa stabilnya semesta yang besar bagi kita yang tak sedebunya alam raya ini. Pergolakan yang besar di tepian lubang hitam misalnya,  tetaplah tak menggoyah kestabilan, mungkin justru menjadi pilar yang perkuat kestabilan.  Melihat alam raya yang besar, selain membuat diri kita merasa kecil, sekaligus juga membuat kita merasa memiliki keterhubungan, seperti terhubungnya debu dengan ruang-ruang yang memiliki fungsi yang selalu dipelihara.

Hati dan rasa percaya seperti saudara kembar, yang satu berwujud fisik, yang satu lagi berwujud laku dan impact. Betapa hati itu seperti wadah yang membuat banyak perbedaan beradu dan berpadu seperti adonan, menyusut, mengembang, saling terikat untuk satu tujuan, atau minimal untuk menjadi ingatan dan rasa baru. Saat timbul rasa tidak percaya, tentunya ini adalah situasi yang akan membuat sebagian dari (wadah) hati ini tak berfungsi, dan adonan menjadi tak kalis, seperti adonan roti yang memiliki gumpalan tepung yang akhirnya jadi batu saat dipanggang dalam oven.

Saat tak percaya, maka akan ada jeda, akan ada celah, akan ada rongga seperti jurang yang akan jika harus dihubungkan, harus dengan pengorbanan, dan harus dengan mengukur. Menyambung antar jurang dengan tali, atau dengan sling besi yang bisa menahan beban, atau berjuang untuk menyambung dengan jembatan, yang bisa sangat mahal, bernama kesepakatan.  Tenaga yang besar ini tentunya adalah sebuah cara, sebuah wujud untuk memfungsikan hati dan menjadikan rasa baru menjadi sesuatu yang bisa dibagikan kepada generasi penerus, sesuatu yang bernama rasa menghargai.

Penghargaan itu seperti sebuah ritual, sebuah proses yang disadari untuk dijalankan dalam rangka mengingat kesepakatan. Menghargai bukanlah sebuah proses yang nyaman saat tak ingat dengan kesepakatan yang telah terjadi, atau tak merasakan manfaatnya, seperti saat kita sudah merasa sudah terlalu banyak yang telah dibagi. Penghargaan berkonversi menjadi "material" yang seolah harus dicapai dengan kesadaran transaksional, "jika ini maka itu, jika tak itu maka tak ini". Kesepakatan transaksional akan mengamplifikasi kemampuan mengukur, dan mendesak kemampuan percaya hanya saat berada di level rasa nyaman, bukan rasa menginspirasi. Percaya saat orang membuat senang, membuat kenyang, dan membuat tertawa. 

Hati banyak berperan dalam kesadaran, tapi jika di dalamnya banyak rasa tidak percaya, maka hati hanya akan menjadi kontainer untuk mewadahi rasa tak nyaman, yang akhirnya menekan kesadaran pada kecanduan pada nilai-nilai materialistik. Kecanduan pada nilai ukur dan nilai materialistik dalam banyak cerita seringkali melemahkan ingatan kita pada kesadaran. Kesadaran untuk menerima proses mempercayai tanpa syarat. 

Pada kondisi tak berpercaya, pertukaran nilai baru akan terjadi setelah ada  jaminan. Jaminan yang berujung pada lamanya berproses untuk mengukur dampak pribadi di semesta yang lebih luas. Dalam ranah mikro, hati  tak lagi bisa memaknai syukur (pada lahirnya rasa baru). Hati seolah jadi batu.