Thursday, March 04, 2021

Objective Bias




Ternyata tak cukup hanya mengukur. Banyak hal yang harus dilepaskan, dinikmati, dan dirasakan secara alami saat menuju sesuatu. 

Kurang lebih sudah empat hari saya tidak bisa banyak menggunakan kaki setelah sempat terjatuh di saat melewati polisi tidur berpasir dan oli,  plus ban depan yang gundul. Untungnya kaki cuma luka lecet seluas steak 200 gr, dan engkel kaki sekadar shock, karena ketarik, sehingga saya sekarang berjalan perlahan dengan memegangi dinding. Iya lah, untung, dengan model kecelakaan waktu itu yang saya alami, yaitu ban depan selip di kecepatan 30km/jam, harusnya ada resiko patah tulang atau luka dalam karena membentur bahu jalan. 

Ini masih jauh lebih "baik" dari pengalaman  harus melihat pantat truk mendekat dalam kecepatan 70km/jam, yang Alhamdulillahnya, masih diberi reflek menghindar juga oleh Sang Penjaga Hati. Untung masih hidup, walau mobil harus terperosok selokan samping tol, dan cuma pecah kaca samping, tanpa goresan pada cat. 

Perjalanan bermotor sebenarnya normal saja. Jalanan antar kampung di daerah Pondok Aren sedikit lengang, bukan di jam kerja saat pengendara motor rata-rata sedang masyuk dengan adrenalin tingginya agar bisa sampai ke tujuan.  Jika saya terjatuh di jam-jam tersebut, rasanya ada resiko lain dari kecelakaan yang saya alami, yaitu bisa benturan dari dua arah. Bukan kecelakaan mandiri. Titik kejadian bisa saja lebih memorable.


===

Demikianlah sekelumit cerita pembuka tulisan ini. Awalnya saya ingin menulis tentang kehati-hatian bukanlah sebuah prinsip utama untuk mencapai tujuan. Kehati-hatian, sebuah prinsip yang lahir dari proses mengukur jarak (antara dua atau lebih titik-entitas) saat belajar dan berkarya, ternyata belumlah lengkap. Ternyata seiring perjalanan waktu menulis, banyak input baru yang saya dapatkan terkait dengan "celah". Celah ini kadang tak kita sadari hadir, diantara sesuatu yang saya ukur, yang saya hadapi, saya benturkan sendiri, dan celah yang muncul di badan setelah benturan.  

Saya buka dengan input terbaru yang saya dapatkan sebelum menulis ini. Hari Kamis malam, 12 jam sebelum saya mem-posting tulisan ini, saya mengikuti sebuah sesi online yang sedang membahas bagaimana membahasakan rasa dalam gerak, dan peluncuran buku Social Presencing Theater (SPT).  Saya di sana sebagai community scriber, menjadi bagian komunitas, mengikuti sesi dengan terlibat secara rasa dan gestur hingga menghasilkan produk visual.  Silakan cari tahu sendiri apa itu SPT.  Saya ingin menceritakan hal lain yang terjadi saat sesi. Dalam sesi online ber-zoom itu, ada sesi breaking out room, untuk kita berinteraksi satu sama lain secara personal, hanya berdua dengan partner yang (biasanya belum kita kenal), menggunakan teknik SPT dan merasakan sebuah entitas pengikat-penyambung, yang diistilahkan dengan "Ma", dalam sebuah dialog berbasis rasa percaya. 

Rasanya, sekitar 8 bulan sebelum launching buku SPT ini, rekan, atau bisa dibilang mentor saya dari Taiwan pernah mengundang saya di sesi online-nya untuk melakukan scribing di acaranya yang full berbahasa Taiwan. Saya mencoba membuat scribing dengan pendekatan generatif scribing, merasakan intensi, membaca gesture, dan merasakan gerak dari tubuh semampu apa yang bisa saya rasakan. Di akhir acara, saya presentasikan scribing saya, dengan tema "Future are Magnificent", dan ternyata memang mereka sedang membicarkan tentang masa depan.  Saya rasa mentor saya tersebut sudah mendapatkan terlebih dahulu pemahaman tentang "Ma" ini. Lalu mencobanya bersama saya. Beliau sempat menuliskan pengalamannya di artikel ini.  

"Ma" ini adalah sebuah prinsip dari Jepang, dibahas dan dikupas di buku yang baru rilis tersebut.  Secara simpel, bisa saya jelaskan prakteknya seperti kita meng-gesture-kan rasa dalam dua sesi. Di sesi pertama, kita diminta untuk merespon dengan gesture, bagaimana rasa saat kondisi stuck, tak punya ide melangkah. Lalu di sesi kedua, kita diminta untuk mengubah gesture seiring dengan bagaimana perasaan kita saat kondisi terbebas. Kedua rasa tersebut harus di-gesture-kan dengan merasakan gerak alamiah saat sesi dimulai, dan berhenti di saat badan tak bergerak lagi.. Hal ini dilakukan bersama-sama, seperti bercermin. 

Pada saat sesi "stuck", masing masing saya dan partner dari San Fransisco melakukan gesture yang berbeda, tapi seiring waktu masuk ke sesi dua, sesi terbebas (dari kondisi stuck), gesture yang kita gerakkan mulai mirip dan ada sebuah ada entitas lain yang memang menjadi "pengatur" ritme gerak kita. Entitas lain ini lah yang memang bisa jadi sebuah outer system yang mengatur ritme gerak alamiah individu. Istilah rekan saya, "ini seperti sebuah perjalanan interdimensional", dan dari saya sendiri sempat beropini, ini seperti mempelajari universe language.

Kami pun kembali ke sesi utama, dimana hadir lebih dari 100 peserta di zoom. Di saat itu saya ingat salah satu pembicara me-review kembali sesi yang dia alami.  Saat itu saya mendengar kata "We're always connected", dan "You can't arrange connection", akan ada hal lain yang selalu menghubungkan sehingga kita akan selalu terhubung. Saya ingat sekali kata-kata itu. Terus terang saya merinding. Ini sedikit mengingatkan saya pada gravitational strings, yang memang mengikat dan menghubungkan kita dalam sebuah dimensi ruang dan waktu, atau yang lebih radikal lagi, seperti bagaimana kita mengemas mikro dimensi kita sendiri dengan kesadaran, dan koneksi (lain di) semesta yang kita miliki dalam ketidaksadaran. Dimensi -yang kita sebut ruang- tapi dalam bahasa sistem bisa disebut celah. Memiliki jarak untuk diukur, memiliki potensi untuk jadi kontainer entitas yang terhubung. 

Sesi berakhir. Saya kembali ingat pada luka-luka saya akibat terjatuh dari motor. Kurang lebih ada 3 zona luka yang saya alami, dengan kedalam luka yang variatif. Mulai yang lukanya sante bae, sampe yang berwarna putih, dalam, karena terkena gesekan dengan kerikil. Maaf jika merinding, ini cuma cerita bagaimana celah itu meng-engage rasa, baik dari saya maupun orang. 

Membahasakan celah selalu akan menimbulkan rasa. Rasa itu bisa dibuat parameter, sistem ukurnya. Salah satunya adalah dengan mengukur titik titik respon saat berinteraksi. Cara mudah mengukur lain adalah dengan gesture. Dari gestur bisa terlihat, jika alamiah, saat ada tensi yang dirasa, gesture akan merefleksikannya dalam sudut maksimalnya, cenderung sudut yang menguatkan rasa. Misalnya saat takut, maka gestur yang bisa terefleksi biasanya akan berupa ketertutupan. Titik-titik bidang yang harusnya terbuka dilindungi oleh titik-titik gesture yang menyudut. Dan seterusnya.

Dari luka dan kejadian terjatuh yang saya alami saya belajar, bahwa skill mengukur bukanlah sebuah alat yang canggih-canggih amat untuk memfigurkan dan membentuk sebuah pemahaman, bahkan sebuah karya dan pengetahuan. Saya lalu teringat, saya dibentuk oleh puluhan pengetahuan dan pengalaman, bagaimana berbuat, berpikir, berniat, yang dimulai dengan mengukur. Kurikulum di sekolah saya dan lingkungan mengutamakan nilai-nilai yang memulai segala dari aktivitas mengukur. Jarang sekali pelajaran tentang cara melepas, selain dengan perintah zakat dan infak sebagai bagian dari ritual ibadah. Itu pun kadang masih pakai ukuran. Masih dengan intensi mengukur.

Pertanyaan besar muncul saat berada di keadaan, apa yang harus diukur jika kita tak tahu dimana koordinat dan dimensi kita berada? Apa yang harus dipegang? Inilah yang saya rasakan sesaat setelah jatuh. Tangan tak lagi ada di setang motor. Mata hanya melihat aspal dan belanjaan tomat yang tergencet badan sendiri. Di situlah skill mengukur saya tak bisa digunakan untuk mengontrol keadaan. 

Seiring dengan semakin bergabungnya ilmu-ilmu sains (rekayasa nilai dan materi alamiah) dengan ilmu - ilmu sosial (rekayasa keterhubungan, pola, dan perilaku) dalam sebuah ekosistem eco engineering, maka pengetahuan untuk berkenalan dengan celah, merasakan entitas yang tak harus diukur,  dan memaksimalkan energi celah tersebut,  bisa dilakukan dengan jalan memahami "Ma". Mulai mengenal dan berkerabat dengan "Ma" bisa membuka celah ke dimensi lain. Dimensi yang penuh energi dan keterhubungan. Dimensi yang bisa menguatkan value individu dan kolektif dalam berkarya.

Sepertinya kalo tidak terjatuh dan tak terluka seperti saat ini, rasanya tulisan tentang rasa dalam bercelah ini ga akan terpikirkan. Terima kasih kembali kepada Maha Penjaga Ranting Sidrat. 



*dan saya teringat dengan Almarhum Pak Habibie dengan julukan Mr. Crack-nya. Alfatihah untuk Pak Habibie. 

Sunday, February 28, 2021

Indonesia itu Negara Superpower ;)



Kembali lagi saya memberi judul tulisan yang edgy, agar bisa langsung di-notice oleh rekan yang membaca. Setidaknya saya memulai tulisan dengan niat berdoa, agar bisa diaminkan bersama. Tentunya jika sudah berupa doa, itu bukan lagi sebuah harapan untuk berpindah dari utopia satu ke utopia lainnya, bukan? ;)


Sudah terlalu banyak pembahasan (atau mungkin pembelaan) bahwa Indonesia ini diberkahi dengan kekayaan alam dan materialnya yang bisa mengalahkan ratusan negara di dunia, tapi (katanya) warganya ga bisa mengelolanya. Ada juga bahasan bagaimana kekayaan plasma nutfah dikonservasi, dan rencana besar pemetaannya. Dipetakan untuk dijadikan base untuk bargain value di era transaksi berdasarkan kekuatan modal dasar sistem database digital sebuah bangsa.


Coba kita lihat dari sudut lain. Sudut yang jarang kita bahas, tapi mungkin hampir tiap hari kita lalui, bahkan rasakan. Apa sih kekuatan Indonesia, atau kekayaan Indonesia, yang tiap hari kita nikmati, tapi tak pernah diukur sebagai modal untuk menjadi kaya, atau bahasa naifnya, terlihat lebih di negara lain? Tak lain dan tak bukan adalah rangkaian aktivitas mengukur kita.  Bangsa ini senang untuk mengukur. Macam-macam satuan ukurnya. Bahkan yang terkenal, “Asta Kosala Kosali”, adalah sebuah sistem ukur yang bisa mengalahkan konstanta seperti “golden ratio-nya Fibonacci”. Mengalahkan dalam konteks penggunaannya untuk aktivitas berporduksi di masyarakat nusantara, khususnya yang memiliki akses dengan ajaran Hindu di masanya.


Itu baru Asta Kosala Kosali. Sebuah sistem ukur berbasis rasio badan dan aktivitas manusia. Masih sangat banyak sistem ukur yang bisa digunakan untuk mengukur dimensi, berat, bahkan unsur-unsur intangible seperti “hari baik-hari buruk”.. bahkan mengukur chemistry antar manusia pun bangsa ini memiliki sistem ukurnya, seringkali dikemas dalam atmosfer gosip dan ghibah :D.


Tentunya tak perlu dulu membahas afirmitas dari sistem ukur tersebut, apalagi sistem-sistem ukur yang berlaku di lingkup kecil. Ada dulu saja, notifikasi dulu saja. Itu harusnya sudah bisa kita syukuri. Sistem ukur ini secara tak langsung adalah benteng, atau bahasa digitalnya, adalah algoritma penetral, yang bisa membantu Indonesia ini ga terpuruk amat dalam jebakan algoritma pemecah ikatan-ikatan sosial dalam sebuah operasi shaping the pattern-ya para bohir-bohir anti teritori fisik,  yang ingin ambil keuntungan sepihak di era revolusi digital.Beberapa konstalasi sistem ukur ini berdiri sendiri, seperti sistem ukur yang tersanding di primbon Jawa, atau sistem ukur asta kosala-kosali yang sudah kita sebutkan. Saya ingat juga di cerita Kho Ping Hoo dengan ukuran -seper… -seper.. nya. 


Cara mengukur dalam sisi lain adalah cara menyambungkan cerita. Dari sisi ini, bisa terbayang bahwa bisa bercerita juga adalah sebuah cara memperkaya diri, menguatkan data di sebuah kumpulan data yang berpola. Saat ini, setelah banyak yang berbagi ilmu tentang cara berkenalan dan mengolah data, lalu menyusun dan "menghidupkan" kumpulan data (yang sudah dikenal) tersebut dalam sebuah literasi. Proses ini terus berlanjut dengan bagaimana kemampuan literasi ini menjadi 4 dimensional, yaitu tak hanya memengaruhi peer to peer (yang memiliki medium-antara berupa ukuran tertentu), tapi juga membuat data menjadi bersifat holistik dengan kemampuan men-storytelling-kan data tersebut dalam sebuah produk yang sesuai dengan konteks.  


Itu baru yang tertulis. Sistem ukur yang tidak tertulis tentunya lebih banyak, bahkan bisa menjadi nilai mengikat di sebuah sistem keluarga. Bagaimana sebuah keluarga mengukur kapan anaknya harus disunat, kapan sang ayah harus memulai proses menanam dan memanen, berapa lama sang ibu harus menyimpan cadangan makanannya, semua ada ukurannya. Ukuran-ukuran ini lebih banyak terkonversi dalam nilai-nilai budaya, dan terbungkus dalam sistem kepercayaan (belief), sehingga menjadi sebuah materi yang intangible, dan relatif menjadi agak rumit untuk diurai, karena lapisan verifikasinya menjadi berlapis.


Jika saja sistem ukur ini diletakkan dalam konteks pengisian database terkait aktivitas di jaman digital ini, pola-pola yang digunakan tersebut akan memperkaya sebuah konstalasi sistem dan daya tawar di sebuah civil society. Saya teringat dengan sebuah sesi dengan tim yang sedang mengonservasi aktivitas sebuah suku yang tinggal di tengah laut. Mereka memiliki sistem ukur yang relatif advance, karena menggunakan perbandingan rasi bintang hingga ke level rasio untuk ritme aktivitas melaut mereka. Aktivitas melaut pun dibagi menjadi beberapa bagian yang terintegrasi dalam sebuah budaya mematangkan sumber daya manusia angguta suku mereka untuk lebih agile, sustain, dan integrate dengan ekosistem mereka. Yap. Ekosistem di sini berarti juga terkait dengan penguatan rantai makanan (memakan-dimakan), terkait dengan rantai konsumsi. 


Sebuah konstelasi yang mengikat aktivitas, bahkan mewarnai budaya bisa menjadi penanda bahwa sebuah civil society bisa melakukan bargaining value untuk kepentingan konservasi ataupun komersil. Nilai tukarnya bisa saja berupa duplikasi dan multiplikasi sistem budaya untuk disebar di level ikatan civil society yang lebih luas (lebar), atau lebih dalam. 


Sebut saja dalam ranah kuliner, bukankah sebuah makanan adalah hasil dari proses aktivitas menakar, mengukur, menghimpun, materi-materi, menjadi bisa nikmat (berkualitas) untuk dikonsumsi? Betapa banyak sajian kuliner nusantara memainkan spektrum rasa yang lebar, sekaligus memainkan kedalaman proses dalam pembuatannya. Hampir jarang makanan Indonesia disajikan dengan mayoritas proses masak yang sederhana. Selalu ada pendalaman. Coba lihat bagaimana masakan seperti rendang dibuat, atau seperti pepeda, seperti ayam betutu, semua (dari Timur ke Barat) setidaknya memiliki satu atau lebih sajian yang dikemas ala masakan untuk Raja, penguasa yang in-charge di sebuah teritori dan keadaan. Kedalaman ini membuktikan kemampuan mengukur bangsa kita bukan di level survival. Tapi sudah sampai level “persembahan”. Level kesadaran tertinggi, berupa elaborasi rasa syukur pada keberadaannya di area of influence yang lebih besar. 


Ngomong-ngomong kedalaman sebuah civil society, maka saya tidak bisa tidak, harus mengaitkannya dengan budaya gotong royong yang ada Nusantara. Saat ini betapa kesalnya saya dengan operasi pencatutan nama gotong royong pada usaha-usaha untuk menguntungkan diri sendiri untuk memodifikasi dasar negara yang sejatinya hanya akan melemahkan kedaulatan. Rasa kesal ini hampir sama dengan rasa kesal saat nama “agama” dibajak oleh para entitas yang memonopoli afirmasi sistem kebenaran a.k.a teroris. Tak cuma gotong royong, bahkan isu kebhinnekaan pun dan semua yang berbau “tanah nusantara” berusaha dipisahkan, ala operasi pemisahan minyak-air, oleh para bohir-bohir yang tak berbasis teritori. Intinya si, pembajakan itu selalu bisa membuat kesal orang yang hidupnya berbasis pada membuat karya (orisinal). 


Gotong royong sejatinya adalah sebuah kumpulan sistem ukur untuk mengikat/membuat patok-patok sistem secara vertikal. Mulai tingkat konsep (mindset) di level dasar, hingga level event (engagement), yang terlihat di permukaan. Sistem ini bukanlah sama sekali sistem “sama rasa sama rata ala komunis” yang digaungkan oleh seseorang, yang saya yakini, memang punya misi tertentu terkait kelompok tertentu yang ingin Indonesia ini semata-mata adalah Melayu. Melayu memang salah satu “bibit pewarna” terkuat di Nusantara. Tetapi usaha untuk membuatnya menjadi “uni color” hanya akan memperlemah bargaining position, disetel untuk menuju bangsa yang mudah di-remote, padahal sejatinya dari sisi warna, daya tawar kita sudah sangat tinggi. 


Nama bisa apa saja, tapi sistem ukur vertikal seperti gotong royong ini kini (terlanjur) sedang diobservasi serius, dikonversi dalam pendekatan socio engineering, dan dibuat versi “compact” atau konstantanya, sehingga bisa diterapkan di banyak ekosistem (dan habitat). Rasa terima kasih saya pada “tetua” yang membela bangsa ini di hadapan para “tetua” bohir, di masa krisis Y2K - awal pembuka abad ke-21. Bisa dikatakan gotong royong adalah sistem yang lagi “gold” banget untuk diolah menjadi menu santapan ala raja. Tentunya masih banyak kumpulan sistem ukur lain yang sudah dikenal, tapi belum dijadikan menu untuk santapan raja. Coba perkuat kesadaran dengan tools/teknologi (sosial) yang sedang banyak dikampanyekan, lalu lihat, observasi, dan ukur dari jangkauan pandang kita, mulai dari aktivitas kita sehari-hari. Banyak sekali yang bisa diukur, daripada mengikuti (algoritma) ajakan untuk habiskan waktu mengukur dosa. Karena masing-masing entitas sudah punya tugas di muka bumi :D


Selamat menjadi warga calon negara superpower! ;)