Thursday, December 31, 2020

Berkas Cahaya di Gorong - Gorong



Ingin curahkan kemarahan dalam karya cat air...Tapi kutakut karya ini nanti jadi mantra dan jimat penghancur. Maka biarkan ketakutan ini jadi obat untuk membuat marahku menjadi cinta


Hmmm...tulisan ini sebenarnya sudah ditulis di 2021. Tapi timezonenya ngikut New York. Hmm gpp. Kita tulis saja. Waktunya pendek. 30 menit lagi Jumatan. Ok. Kita coba dalam waktu 6 menit. Menulis sesuatu yang mengganjal selama 2020. Di 2020, kita diguncang dengan beberapa hal terkait dengan kejiwaan. Yang utama adalah memaknai "bebas", "menang", dan "kuat".

COVID meliputi kita mulai urusan tingkat makro sampai tingkat mikro. Kadang dalam organisasi yang memiliki target, definisi terbebas, menang, dan kuat, menjadi blur dan tentunya ini mempengaruhi pattern gerak kru tim.

Izinkan saya sedikit berbagi konten yang dibagi rekan. Apa sih menang itu? Mungkin tepatnya, bagaimana si rasanya menang yang senyap itu? Sehingga pada titik tertentu, saat kita sebenarnya sudah mencapai kemenangan, kita tak bingung, dan tak mudah ..sekali lagi.. hufft bosen nyebutnya... terjerumus dan tergiring algoritma.

Salah satu ciri menang adalah "semua terbuka dan terhubung". Setidaknya bagi makhluk-makhluk di dunia gorong-gorong, di dunia surveillance, di dunia tak ada panca indera yang bisa dipakai, peta yang menjadi utuh adalah sebuah kemenangan.

Di titik (kemenangan) ini, pintu-pintu kesadaran terbuka. Dengan cepat kita bisa mencapai level kesadaran ke 7 (enlighted..inspired.. insightful, dsb).. ya.. mestakung dimiliki oleh para pemenang. Jadi mereka tidak mendapat mestakung dulu baru menang. Tapi secara psikologi ya menang dulu.

Di balik terbukanya pintu kesadaran, sebenarnya terbuka juga pintu ketakutan. Ketakutan kehilangan momen. Lalu mengunci momen yang ada menjadi sebuah "monumen kesadaran". Ini agak riskan. Kemenangan yang membuat sorak sorai, membuat berisik, .. bisa jadi... adalah jebakan. Instead we're holding the level of our consciousness, we fall deep into sacrecity from adversity.

Jadi saat momen kemenangan itu datang, bersorak sorai adalah sebuah pilihan tersier. Yang primer adalah, yak.. lu ada di level kesadaran tertinggi. Yang bisa mengoneksikan dirilu dengan apa saja... bahkan dalam senyap. Ya. Kemenangan dalam senyap tak butuh pengakuan. karena lu sudah terhubung dengan -yang harus terhubung- di level kesadaran tertinggi. Setidaknya dalam level of trust. Trust.. sebuah kendara pelipat waktu. Penghilang buih-buih administratif dan basa basi... dan lu bisa nyaman kembali bekerja dalam senyap.

Jika pun harus berisik dan bersorai, itu dalam urusan decoy saja. Seperti lensa, menjadi "transparant filter" yang mengubah fokus. Sekadar mengisi hari. Menambah buih-buih hiburan.

Dalam konteks senyap lain... Kemenangan adalah ketertundukan atas kehendak semesta. Kalo istilah salah satu kerabat pedagang loak, "qui victor sit specialis est impignorauit"... pemenang adalah "Si terkhusyu yang tergadaikan"...


Saat Pungguk dan Godot merindukan Terang Bulan




Rasanya ingin menulis artikel penutup tahun. Tapi tahun ini sudah kebanyakan tulisan. 49 tulisan di blog ini, di tahun 2020. Produktif sekali. Padahal kan sekarang bukan penulis.. Dulu pas jadi jurnalis onlen, tepatnya jadi baut di pabrik media si targetnya 45 tulisan sehari...targetnya. Apa karena profesi di SIM-nya masih wartawan?


Ya sudah. Kita jadikan saja 2020 ini urbanistis memproduksi 50 tulisan. Mungkin dimulai di sini saja. Kadang kita ingin mengungkapkan segala rasa dengan status. Hmmm.. Kata mengungkapkan agak terlalu abstrak. Coba kita ganti dengan kata mengonversi. Kata yang lebih terukur bagi rekan rekan di dunia digital dan socio engineering. #halah

Istilah terukur juga ga lagi terkait dengan "penggaris", yang punya skala ukuran berdasarkan metrik atau inchi. Istilah terukur di saat ini lebih ke urusan terpetakan, terbaca "pohon ceritanya", atau yang lebih serius, terekam pola algoritmanya.

Lalu apa isi tulisan untuk akhir tahun, karena tulisan-tulisan di atas lebih ke hal yang sudah sering dibahas di tulisan sebelumnya? Mungkin tulisan akhir tahun ini adalah tulisan "penghela nafas" saja. Karena saya ga ingin sok suci bersyukur atas 2020 yang luar biasa, dsb... Nyatanya emang lebih banyak menghela napasnya, kok. Santai saja.

2020 memang luar biasa. Iya. Saya punya beberapa momen spesial.

Tapi 2020 ini adalah semacam "upper cut" bagi saya. Dimana ada pukulan yang tak terlihat mengenai saya telak di dagu, saat seolah tak ada ancaman untuk itu.

Yak. 2020 ini adalah tahun berbunyinya hal-hal yang sepantasnya tidak berbunyi. Hal yang sunyi ikut berbunyi. Hal-hal yang kalo kita tahu bisa berakibat panjang, yang ikut berbunyi. Yak. tahun ini tahun yang sangat bising. Bukan tentang lebarnya spektrum berita yang kontennya seolah harus kita telan mentah mentah di saat "keilmuan" kita belum siap. Bukan tentang itu. Ketidaksiapan ala siswa plonco sudah sering saya rasakan.

Mungkin, ini analisa kasar saja. Memang semua yang ada di sistem lagi di "test the system itself", sebuah syarat asesmen buat naek kelas. Mungkin lho ya.

Ini tentang bisingnya orang-orang yang harusnya diam. Harusnya senyap.


Thanks God (bahasa Jawa, "untungnya") , ada darah jurnalis yang ada di saya. Sehingga dengan tertatih saya bisa bertahan untuk menunggu penyebab si senyap teriak begitu kencang. Proses menunggu yang paling memuakkan. Menunggu di sela batu air terjun.

Ya setidaknya di 2020 ini, adalah proses yang paling membuat badan "berlumut". Seolah pungguk dan godot saling menanti kue terang bulan. Mungkin belum saatnya membersihkan diri. Kue terang bulan masi belum datang.

Kabarnya kue terang bulan akan muncul dari balik air terjun, tempat godot dan pungguk bersembunyi menanti, hingga penuh lumut.

Saya pun iseng bertanya. Ini dia kalimat yang diucapkan saat saya berbicara dengan godot, "beri saya 7 2020 lagi, saya akan ubah dunia".. Lalu saya berkata, "Kang, sarekeun... moal baleg"


-end-



Tuesday, December 29, 2020

Anti Counter Narrative (?)




Bikin status "melihat sesuatu yang tidak terlihat" di sosmed bakal terlihat eye catching. Padahal cuma lagi ngecek perkembangan bisul di pantat.

Itulah sedikit analogi daripada yang namanya counter narrative (kesakitan). Di jaman Orde Baru narasi dibuat berdasarkan garis komando. Saya rasa demikan. Di manapun sih. Baik di pemerintahan ataupun di media. Tidak ada, atau jarang, narasi dibuat berdasarkan sesuatu yang terlebih dahulu viral. Tentunya karena sesuatunya berjalan dengan analog, lebih banyak unsur mobilitas dan kontak fisik, juga jenis hubungannya saling terhubung tapi tak simultan. Verifikasinya relatif ketat. Karena itu fungsi intelijen dalam pemerintahan, dan para editor di dunia media, berjalan dengan alamiah. Melihat potensi, atau angle dari sebuah konten, menunggu afirmasi, lalu sebuah perencanaan peliputan bisa dijalankan dengan "sempurna".

Jangan tanya itu konsep perencanaan peliputan di jaman digital ini. Dahulu perencanaan peliputan bisa diarahkan sampai gaya tulisan dan bahkan produk turunannya jauh hari, bahkan berbulan bulan sebelumnya. Tapi sekarang mungkin (karena sudah lama juga saya tak di ruang keramat a.k.a. ruang redaksi) banyak berkutat di ketersambungan dan intensi hubungan dengan narasumber. Karena peran narasumber tak lagi hanya sumber berita, tapi juga zonder, kurir, yang menjadi "sampel" untuk mengukur batas dan memetakan peta sebuah algoritma yang lagi berjalan. Pola perjalanan dan pergerakannya bisa jadi berita.

Pergerakan, penggiringan, penjebakan, penguncian, adalah pola pola umum yang terjadi saat algoritma media (dan tentunya sosial media) merajai pasar panca indera penglihatan.

Seperti yang sudah diceritakan jaman dulu banget, dimana salah satu definisi "fitnah akhir jaman" adalah : terlibat (bisa terkunci, terperangkap, tergiring) dalam sesuatu yang tidak kita pahami. Tidak kita pahami ini bisa berarti tidak bisa dikontrol, atau semacam terseret arus.

Terlibat/dituduh melakukan sesuatu yang tidak kita lakukan itu mah definisi fitnah dari jaman manusia baru berevolusi meureun (istilahnya) kalo dilihat dari interaksi monyet. Mungkin bahkan saat belum berevolusi. Terjadi di kumpulan monyet yang menerapkan sistem komunal. Ya di sistem ala monyet tentunya. yak. Tull. Definisi fitnah yang jadul banget. BIsa dibilang definisi pra-evolusi

Lalu bagaimana agar generasi muda (esp. anak) ga kena jebakan "fitnah akhir jaman"... ya ga harus memahami segala perangkap algoritma, yang punya kecenderungan untuk harus kita ikuti satu persatu, fase per fase. Di situlah peran ilmu "black box" (bahasa metoda desain/merangkai jaman uyut), atau bahasa kekiniannya shaping the data, bisa dipake.

Mau ga mau harus diakui kita dibekali asumsi. Kalo orang terpelajar dibekali dengan "hipotesa". Sayangnya asumsi sangat gampang dibentuk oleh algoritma. Sedangkan hipotesa butuh level verifikasi, dan prosesnya ga terlalu singkat.

Nah, jalan tengahnya bisa dengan banyak mengenalkan proses "shaped the data". Bisa dengan dari memadukan bahasa. Bahasa tak hanya tekstual dan lisan. Ada bahasa lain yangjarang digunakan sebagai penentu keputusan, yaitu bahasa gesture, bahasa mimik, bahasa intonasi.

Baru saja lihat artikel tentang bagaimana Messi memutuskan tendangan penalti dengan membaca gesture dan mimik kiper. Ya salah satunya itu. Tentunya ada ilmu lain yang bersifat "anti gesture". Kapan-kapan lah kita bahas entuh.

Kumpulan bahasa ini bisa saling terkait, dan ga perlu sampe level hipotesa, sebuah "bahasa baru" yang lebih kongkret dari asumsi bisa muncul.

Kenapa lebih kongkret? karena bahasa ini terkait dengan kesadaran komunal. Ketika bahasa teks, verbal, gesture, dan mimik, digunakan oleh individu, maka ia akan mudah memengaruhi kondisi kesadaran komunal.

So, we're not talk about delivering assumption about things... we're talking about how to hold the 'floor' with the same level of consciousness..

Ya tentunya ini bukan tentang konten benar salah. Ini tentang tools, teknologi, atau pisau. Pisau bisa digunakan oleh orang baik, atau orang terlihat baik, atau orang yang pengen terlihat baik, dengan memegang pisau.



-end-

Bagai Pungguk Tercocok Hidung




Saya ga tahu gimana caranya berkarya karena benci atau hasud...atau setidaknya saya tidak pernah punya niat seperti itu. Biasanya berkarya karena pengen berkarya saja. Kalo bisa bikin orang ketawa atau pengen boker. Ga tau ya kalo orang lain yang merasakan kebencian di karya saya. Mungkin pas saya bikin lagi ada syaiton pengen nebeng.

Mungkin disitu salah satu dari seribu letak bego saya. Btw, kalo update status bukan berkarya kan ya... Kalo bikin status julid, wa bil khususnya di twitter, si saya jago. Di FB mah rada jaim. Tapi untuk berkarya dengan semangat hasud, bahasa kasarnya. Atau mengarahkan, bahasa halusnya, saya masih belajar, belajar, belajar, banyak. Berlatih pun belum.


Tentang karya, saya selalu ingat Tesla dan karya-karya turunannya. Setelah itu lalu membayangkan bagaimana "ide" itu dijual masif oleh pendirinya. I just wondering.. @elonmusk is a kind of walking algorithm... a man who use his breath rythm as tool to mapping the market (and followers, also).. or in simple analogy, the market follows like smoke from exhaust pipe of car..... of course that #imho.


Back to "geng hydra". "No. We're not facing the oligarchy. It's Hydra. Oligarchy is just a skin. Who can stopped people making money from others? We're not facing the Geng Hydra. We boiled with it. Mixed as Fries."


Bicara tentang para "pengarah", para fans algoritma, maka kembali lagi kita membicarakan golden ratio. Golden ratio is about path to be followed. Golden ratio always become effective weapon for borjuis. Tho, golden ratio is a powefful weapon. But essentially not for creating disparity.


Borjuis is just like survival mode, relatively passive, but "the hydra" made disparity as conquering mode. it could seep and lunge to the deepest cell of your trust circle, creates disparity, an then, distrust.


Coba cek toko sayur, toko agen reseller, toko agen frozen terdekat anda, kalo ada waktu cek jaringannya, ada yang mengarah ke siapa... dan senyum manis bisa tersimpul. Senyum manis ironis. Probabilitas ketemu si cinta hydra mungkin 40%. Mayan gede lah itu untuk ukuran sel.


Mereka bisa jadi apa saja. di mana saja. kapan saja. Jumlahnya ga banyak. tapi movementnya mungkin bisa 7x lebih cepat dari gerakan ambushnya gerilyawan pol pot ke markas tentara amerika.


Jadi kesimpulannya, tolong menolonglah dalam kebaikan. minimal catat. Tolong siapapun, walau itu pemimpin yang lu keki-in. Civil society harus tetap tegak, independen, dan menjunjung kesetaraan.


Karena muara dari kedaulatan di era digital adalah di kekuatan bargaining value sebuah civil society. Nilai tukar a.k.a mata uang di era kedepan adalah itu. Dan inti kekuatan civil society adalah kekuatan cycle of trust, karena sistem kesepakatan yang mengikat saja tak cukup di era informasi yang terus bergerak dan berubah ini. Oiya, ada satu lagi, peta paten dan kekaryaan juga penting untuk era ini. Jadi ya mulai sekarang jangan lupa untuk kasi tanda tangan sketsa-sketsa gabutnya ya.. siapa tau. Gitu lo

"Mau ngebacot sebener apapun, kalo bukan di circle of trust, ya butuh dana buat jadi badut" - seorang rekan, fatalist.

-end-