Saturday, July 24, 2021

Polarisasi Ternyata Obat



Berita yang cenderung bising menjelang tengah tahun 2021 ini ternyata bermula karena ada "tim kecil" lagi unjuk gigi.

Yo wis nak. Sudah terdengar. Monggo balik kandang.

Sebuah institusi yang bekerja sesuai khittah-nya akan menjadi "new organ of perspective", yang menjadi radar, memindai the blind spot of the systems, dan bermanfaat untuk penguatan akuntabilitas.

Yang terlalu berlebih itu memang tidak baik. Sebagai institusi, akuntabilitas itu bukan hanya berlaku sebagai cermin dan penyeimbang, tapi juga pemantik momen-momen penguatan pikiran yang memantik respon tubuh: Akuntabilitas adalah obat

Mungkin bagi pelaku kerja kreatif, kerja yang menjadi obat adalah kerja yang "happy", yang punya banyak ruang untuk kontemplasi. Tapi untuk ranah ranah regulasi, kerja dengan semangat akuntabilitas adalah kerja menyembuhkan. Menyembuhkan spirit of silo, dan penguatan institusi.

Ujungnya, polarisasi adalah asesmen untuk bisa bekerja lebih sistemik dan sindikatif. Objektif dan jujur saja tidak cukup. Apalagi saat harus dengan bekerja sistem di derajat "manajemen kuantum", dimana data (past), (live)streaming (sekarang), dan skenario (future) terikat satu dalam gesture.

Dalam gesture kapitalistik, "blind spot of the systems" sering dipetakan sebagai "kambing hitam". Bahkan seringkali dibentuk. Dalam gesture circular capabilities/collective societies, blind spot of the systems justru dibutuhkan sebagai pembangkit intensi, pengarahpandang.

Pernahkah melihat orang tua kita, para pensiunan, malah sakit ketika tak beraktivitas. Saya mungkin salah satu yang memiliki ayah berusia di atas 70 tahun yang masih gemar kerja, mengawasi proyek bangunan di lapangan. Di titik itulah kerja menjadi "penyembuh" bagi mereka. Kerja bukan hanya tentang mengerjakan tugas, tapi juga meringankan metabolisme, dan mempercepat sel-sel rusak untuk beregenerasi. Ya bisa saja.

Obat tak selalu pahit. Ada juga yang sakit. Persona yang pernah memperbaiki salah/retak sendi ke Pak Haji yang jago urut mungkin bisa paham.

Thursday, June 17, 2021

Titik Seluas Dunia




Berbicara tentang singularitas seharusnya tak membawa kita ke dalam suasana yang serba rumit. Sayangnya, singularitas adalah kerumitan, jika tak dijalankan dalam cycle yang wajar.

Wajar. Sebuah kata yang menurut KBBI online berarti: biasa sebagaimana adanya tanpa tambahan apa pun, menurut keadaan yang ada; sebagaimana mestinya.  Wajar dalam makna KBBI ini dekat pada makna dari proses yang alami, tak disentuh manusia. Seperti anak kucing yang masih mau didekati dan diurus oleh induknya.

Kewajaran juga bisa diartikan sebagai rangkaian siklus utuh dalam sebuah sistem, tanpa terganggu oleh intensi untuk membuat cycle reinforce atau symptomatic solution yang membuat sebuah kerja sistem tidak terlihat alamiah lagi. Saya jadi ingat kata-kata Rifat Sungkar dalam sebuah vlog-nya, "Kalo bisa makan sendiri, Lu makan sendiri. Kalo lu minta disuapin, pasti ada aja lu merasa kurang. Bersyukur aja, dan berjuang aja tentang apa yang bisa kita lakukan dan apa yang kita bisa dapatkan ".. kurang lebih demikian ujarnya. 

Ada titik titik yang bisa dilakukan agar sesuatu terlihat alamiah. Yap. Saya istilahkan dengan titik. Pada perjalanannya, titik titik itu bisa saya namakan titik singularitas. Titik yang bisa juga dijadikan momen untuk bangkit berhitung, berbenah, berhubungan dengan entitas yang tak terbatas. Titik-titik mestakung. Momen saat support dan "keajaiban-keajaiban" datang ini seringkali, bahkan mungkin, selalu, seperti titik. Titik yang dinanti oleh fotografer yang menemukan angle terbaik dari targetnya. Titik yang dinanti sniper, yang rela menunggu berminggu untuk tuntaskan misinya. Momen tersebut datang dalam titik. Titik yang mengubah energi menjadi cerita. Cerita menjadi sejarah. Sejarah menjadi jalan bagi bermaknanya genetika manusia pada peradaban. Titik titik yang kini banyak disimpan oleh para tetua adat dalam bungkus cerita-cerita bijak, yang kini kembali di-trace oleh para pembesar pembesar Ivy League, untuk mengembalikan dunia yang terlanjur rusak akibat pola berpikir berujung entropi. 

Singularitas. Saya lebih senang menguraikan singularitas seperti cerita-cerita perubahan yang berlangsung dalam titik. Saat waktu dan ruang bergabung dalam niatan. Saat hadirkan masa depan dalam lingkaran. Saat menemukan pemimpin yang kita jadikan role masa depan yang mengawal kita memasuki dimensi waktu di depan langkah. Singularitas adalah awal. Namun ia tak pernah berada di belakang. Ia berada di titik kita berpijak. Singularitas membawa kita kepada niatan terkuat. Membawa kita pada Hadirat penguasa pemilik derajat Kun fa Ya Kun (Jadi, Maka Jadilah). 

Tidak pernah ada pagi tanpa harapan, sebagaimana tidak pernah ada senja tanpa renungan. Berangkat, dan pulang adalah perjalanan yang menguatkan esensi sebuah titik. Semua akan berangkat. Semua akan berpulang. 

Monday, June 14, 2021

Mengurai Kembali Algoritma yang Kadaluwarsa




Sejatinya kita terus bertumbuh. Walau mungkin bukan tambah tinggi, tapi mendekat dengan pembusukan, yang menyuburkan tanah, menumbuhkan pohon, pabrik kesegaran. 

 

Bersyukurlah masih ada sistem belief yang memengaruhi manusia. Sistem belief membuat manusia memiliki bentuk pikir dan arah melangkah. Sistem ini seringkali menjaga bahasa halusnya, atau memagari bahasa formalnya, manusia dalam menentukan pilihan dan memosisikan dirinya di masa lalu, masa kini, dan terutama masa depan.

Tak banyak yang memosisikan diri di masa depan berdasar sistem belief. Semua masih dalam tahap desire, mimpi, atau semacam pola-pola delusi yang banyak diinsepsi dogma pada level kesadaran rendah, penuh tekanan. Tidak dalam level kesadaran tertinggi. 

Rendahnya kesadaran saat kita memosisikan diri di masa depan membuat kita lebih mudah terpengaruh, dan terinsepsi pola pola, atau di masa kini sering diistilahkan algoritma, yang bisa memolakan masa depan lebih logis, lebih dialektikal, dan lebih terbuka pada semangat-semangat untuk saling terkoneksi pada potensi-potensi baru yang bisa menggerakkan dan membesarkan diri. 

Sejatinya kehadiran ide dalam keberadaan kita di situasi tertentu adalah momen. Namun seringkali kita masih dalam level ketakutan untuk merealisasikan ide tersebut menjadi sebuah inisiasi ide di ruang-ruang kolektif. Sejatinya kita lebih sering untuk mengerdilkan kesadaran kita, hingga ide itu hanya disimpan di memori kepala  yang gampang terhapus oleh ingatan yang bermomen lebih kuat, atau disimpan di dimensi tanpa batas bernama hati, hingga ide itu melebur menjadi sebuah tanda tanya di momen lain. 

Menjawab pertanyaan adalah sebuah momen untuk membesarkan, sekaligus untuk menyambungkan momen terdahulu yang mungkin terlewat, atau sengaja kita lepas karena ketakutan. Setidaknya Sang Maha Memberi peluang untuk hamba-Nya untuk selalu berproses, dan ruang penerimaan itu selalu dalam kondisi terbuka.

Ruang penerimaan berupa tersambungnya lingkar-lingkar pembelajaran, lingkar-lingkar keterhubungan niat, pikir, dan hati. Dalam lingkar tersebut, ada energi yang besar untuk membangkitkan kesadaran individu dalam tingkat tertinggi. Dalam level persembahan, dalam keikhlasan, dan membuka pintu pintu tersingkronisasinya energi-energi penghuni semesta. 

We're all the learner, we're all guardian. The rest is the path.

Friday, May 28, 2021

Menyeberang atau Berenang



Tak terlalu susah untuk menyeberang dengan berenang di sungai yang berarus lemah. Jadi susah ketika ada jembatan lebar dan bagus untuk selfie.

Susah di sini bukan berarti rumit seperti pelajaran matematika. Kesusahan seringkali terjadi karena kita membiarkan pilihan masuk ke alam bawah sadar kita, menguasai ritme nafas dan akhirnya detak jantung, karena komposisi dan ritme makan jadi berubah. 

Bersyukurlah bangsa ini memiliki kata "atau", atau bangsa yang menggunakan bahasa inggris memiliki kata or. Kata ini ditakdirkan terdengar netral. Tidak mengarah ke pilihan pertama atau ke dua. Saya selalu yakin dalam lahirnya sebuah kata, sebuah simbol pertukaran yang disepakati bersama, kelahiran "atau" ini punya latar cerita panjang tentang kesetaraan. Cerita yang juga mengandung cerita pahit kehancuran dari yang senang dengan penghancuran dan niat pembinasaan pada orang-orang yang memperjuangkan kesetaraan. 

Kesetaraan menjadi penting saat kita dalam posisi memilih. Kesetaraan juga penting dalam bertransaksi. Saya banyak mendapat tausiah oleh rekan seorang pembelajar dan juga pengacara, bahwa bisnis yang terbaik adalah yang setara. Setidaknya saya percaya, hingga saat ini, jika tidak setara maka tidak syar'i. 

Semua kesepakatan dan keputusan harus diikat di awal, terhadap situasi ke depan yang akan dihadapi. Kesetaraan bisa disimbolkan dalam timbangan. Kesetaraan bisa juga disimbolkan dalam akuntabilitas, adanya sebuah proses pencatatan yang setara dan balance, terlihat dari semua sisi. Setidaknya dari 4 sisi (mata) jika dalam standar legal, atau 6 sisi (kamera) jika mengikuti standar bagaimana mengambil video yang baik ala Hollywood. 

Tulisan ini tak akan sepanjang biasanya. Ini hanya sebuah tulisan pengantar bagi sahabat-sahabat yang akan memilih (dalam kesetaraan). Tak ada yang salah dalam keinginan memilih yang "salah". Kesalahan dalam memilih sering sekali terjadi karena ketidaksiapan dengan pilihan kita. Apapun pilihan kita, sebaiknya kita tahu terlebih dulu dimensi dampak dari pilihan-pilihan yang ada. Seringkali pilihan yang "benar" adalah yang tak sesuai dengan kondisi kita saat ini, tapi memang pilihan kita untuk hari "nanti".


*Tulisan ini dibuat sebelum manusia-manusia yang ingin kesetaraan memilih turun ke jalan untuk kebaikan hari "nanti"

Saturday, May 22, 2021

Spoiled Brain



Setidaknya ada tiga hal yang terjadi saat kita mengambil resiko: menciptakan celah, mengeringkan suasana, dan meregangkan variabel. 


Hidup ini tak pernah lepas dari usaha untuk menghilangkan ketidaksukaan, meredakan kesedihan, dan mengobati kesakitan. Usaha ini membutuhkan ruang dan waktu. Di sisi lain keberadaan ruang dan waktu mengisyaratkan kerja gravitasi. Mungkin kita hanya mengenal gravitasi dari cerita kecil di buku pelajaran, yang kadang dibelokkan ke permainan tempel menempel dan pengetahuan lain tentang medan magnet. Padahal saat kita bicara gravitasi kita akan banyak bercerita tentang permainan dimensi, manipulasi ruang, dan denyut yang ditimbulkan oleh sang waktu. 


Memahami resiko sebagai pemicu, atau sumbu, dari sebuah proses percepatan adalah sebuah fase baru dalam memahami perjalanan berkolektif. Pengambilan resiko saat sendirian seringkali tak akan menjadi ingatan yang bisa diceritakan di lain waktu. Lain halnya jika resiko tersebut diambil dalam sebuah kondisi kita tak sendiri. Kita bersama satu, dua, atau banyak orang yang memiliki tujuan sama, tapi dengan latar belakang yang berbeda. 


Itulah yang menjadi concern banyak orang saat mengumpulkan orang untuk tujuan tertentu. Mengikat visi sebuah kelompok tentunya tak bisa langsung. Butuh pengondisian (ruang dan waktu), agar tujuan bisa dipahami dalam persentase yang hampir sama. Tentunya butuh pemancing suasana, agar menimbulkan respon terkait rasa yang sama. Dan yang paling penting adalah tentunya kita membutuhkan sebuah daya serap otak yang hampir sama saat berada di kondisi yang relatif sempit, membutuhkan ketepatan dan kecepatan yang sama.


Saat mengambil resiko tentunya akan menciptakan celah, atau gap, atau masalah baru. Dalam pendekatan lain, masalah bisa diartikan dengan situasi. Situasi ini seringkali terkait dengan penciptaan momen. Sejatinya masalah /situasi tak ada yang berlangsung tanpa sengaja. Semua adalah sebuah kesengajaan. Semua bekerja dalam sistem. Hanya saja stakeholder, penentu, penyebab situasi terjadi seringkali bukanlah organ yang bisa diakses langsung dengan komunikasi yang biasa kita lakukan. Tapi setidaknya otak kita bisa disiapkan untuk merekam pola dan cerita yang berlangsung dari sebuah situasi. Otak kita bisa dikondisikan dalam posisi siap untuk menghadapi situasi yang tak dipahami sebelumnya. Istilah teknisnya, ready to unfolding the unknown.


Suasana dalam metafora bermakna dansanya para stakeholder pengatur konteks. Suasana yang kaku, yang kering, tanpa inisiatif di dalamnya tentunya bisa disebabkan oleh ketidaksiapan. Ini yang sering terjadi saat kita mengambil resiko secara mandiri, atau menggunakan wewenang otoritatif. Ketidaksiapan memang seringkali tergambar dalam sebuah bentuk gerak yang tak terpola, mimik yang tak singkron dengan konten yang sedang ditampilkan, dan penggunaan energi yang berlebih. Keringnya suasana bukan berarti "kurangnya pelembab" pada konteks tersebut. Suasana yang kering berarti juga sebuah sinyal inefisiensi yang sedang berlangsung dalam sebuah sistem. Dalam kondisi ini, otak yang siap hanya mampu merekam, tanpa mampu memindai situasi apa yang sedang terjadi. 


Mengambil resiko tentunya bisa mendekatkan kita pada entropi. Mendekatkan kita pada "kodrat" energi yang akan berubah, banyak yang mengistilahkannya dengan kekacauan. Ketidakpahaman terhadap pola yang ada seringkali tergambar sebagai kekacauan, atau tak dapat didefinisikan. Sejatinya yang terjadi adalah hilang dan membaurnya variabel sebuah sistem, seolah tak lagi terlihat awal dan ujungnya. Dalam kondisi ini, gravitasi berperan menjadi alat pengurut, awal-akhir, dan pengurut dimensi dan waktu dari sebuah peristiwa. Dalam kondisi ini, seringkali otak yang siap pun tak bisa merekam dan memindai, seringkali baru bisa memindai saat kaki mulai menjejak. 


Dari cerita di atas, bisa tergambarkan peran otak kita yang penting dalam penjabaran, pemindaian, dan perekaman. Keterbiasaan kita untuk merasakan yang sudah ada, mengulang hal yang terasa nyaman, hanya akan membuat otak menjadi tak siap dengan apapun. Termasuk dengan kenyamanan dalam kebaruan. 

Tuesday, May 18, 2021

Detak Di Sela Detik



Ritme yang semakin cepat bisa menguak banyak hal. 

Saya ingat bagaimana rasanya mengulik lagu-lagu bertempo cepat dan relatif progresif. Saya ingat saat mengulik lagu Surrounded dari Dream Theater. Tentunya Surrounded bukanlah lagu cepat di antara lagu-lagu Dream Theater yang bahkan memiliki banyak lagu bertempo dua kali lebih cepat. 

Butuh waktu hampir 3 bulan kurang lebih waktu itu, di tahun 2000, untuk saya mengulik lagu ini untuk dibawakan di sebuah acara bersama band kampus saya di masa itu.  Bulan pertama saya gunakan untuk berlatih mengikuti partitur yang ada. Sebenarnya saya tak bisa baca  partitur, tapi lebih mengikuti pola yang ada di midi. Jauh lebih simpel untuk saya. Bulan kedua saya gunakan untuk berlatih bersama dengan band dan sedikit banyak melatih dinamika permainan, karena mengikuti partitur saja tak cukup untuk mendapatkan rasa puas dalam memainkan lagu Surrounded. 

Keseruan ada di bulan ketiga. Saya harus menjadi vokalis di lagu ini dalam sebuah festival musik, karena vokalis band kami berhalangan. Lagu Surrounded memainkan beat 4/4 di hampir keseluruhan lagunya, tapi ada beberapa bagian memainkan beat 4/5 (atau 5/7 ya?)... saya lupa teknisnya, namun memori motorik saya masi mampu mengingat  lagunya hingga saat ini.  Terus terang, nyanyi sambil bermain piano lagu Surrounded itu seperti harakiri. Mana waktu itu selain festival, lagu ini saya bawakan juga dalam acara Fancy Night-nya teman-teman FSRD di  tahun 2001. Saat itu bassis dan gitaris beralmamater  FSRD, namun tetap saja itu salah satu momen paling menegangkan dari kejadian manggung saya. 

Hmmm...Saya akan melewatkan cerita di atas, saya akan menceritakan salah satu manggung tersebut di cerita lain. Saya akan mencoba menceritakan bagaimana sih ketegangan yang kita timbulkan dan kelola sendiri bisa mengubah mindset. Saya rasa tak banyak peristiwa yang bisa mengubah mindset, sebuah hal yang basic dari seorang manusia. Karena jika dianalogikan jiwa seorang itu seperti gunung es, maka perilaku akan berada di puncak gunung es dan mindset ada di dasar yang paling bawah. 

Lalu di bawahnya ada karakter dan pola respon, lalu semakin ke bawah ada ilmu terapan yang tersinkronisasi dalam tubuh. Sampai ke bagian bawah gunung es, kita akan menemukan mindset, kepercayaan, dan area trust yang terkait dengan dimensi lain di luar dimensi yang mengikat diri.

Ketegangan saat berkarya bisa jadi karena  ketidaksiapan, atau bisa jadi terlalu siap (overskill). Ketegangan sejatinya adalah sinyal, yang mengabarkan ketidaksinkronan antara satu kondisi dan kondisi lainnya. Akan selalu ada tanda, seperti detak sebelum peledak berfungsi, dan suara lain yang muncul di kepala untuk memastikan sebuah hal itu sudah sinkron atau belum. Akan ada detak di sela detik di setiap rentang perjuangan.

Setiap perjuangan  akan memiliki dan membutuhkan volume nafas yang berbeda, dan juga akan "meminjam" pikiran kita dalam porsi yang berbeda pula. Pikiran yang terpinjam inilah yang akan lama-lama terlatih untuk menerima respon baru yang lebih matang.

Lebih matang karena bisa memetakan masalah tak hanya untuk direspon, tapi juga diletakkan pada tempatnya. Masalah , atau dalam sistem diistilahkan dengan gap atau situasi, jika diletakkan dalam wadah yang tepat akan membuat detik-detik yang mewakili dimensi waktu akan mengeluarkan detaknya. 

Masalah akan jadi tanda yang membuat kita bangkit, dan terus bangkit. 


Friday, May 14, 2021

Melatih Kesabaran dengan Rasa Sakit




Sejatinya sabar itu tak ada batasnya. Kesabaran adalah sebuah perayaan. Perayaan menikmati batas-batas jiwa dan raga kita sendiri.

Seringkali kita salah mendefinisikan arti perayaan. Perayaan bukanlah tentang proses "menghabiskan" apa yang kita miliki untuk meraih state of contentment, atau mengekalkan dimensi rasa puas. Perayaan sejatinya sering mewadahi  proses membuka, mengangkat, dan membesarkan. Tujuan utamanya agar adanya aliran yang mengaitkan rasa satu orang, hingga banyak orang dalam satu waktu. 

Merayakan batas jiwa dan raga ini bisa berlaku secara sunyi, dalam sebuah proses yang mungkin hanya kita tahu, lalu pada akhirnya perlahan memasuki dimensi waktu yang di situ terdapat momen untuk saling terkait dengan orang lain yang melakukan "perayaan" yang sama. 

Coba saya urai konsepsi di atas dalam sebuah peristiwa kecil yang mungkin banyak diantara kita merasakan yang sama. Ini cerita bagaimana cara kita menyikapi jerawat. Jerawat yang muncul di waktu yang tak bisa direncanakan, dan seringkali mengambil tempat di pikiran kita saat peristiwa berjerawat berbarengan dengan momen lain yang membutuhkan penampilan kita, Misalnya saat ada wawancara di media yang membutuhkan visual wajah kita. Ya, ga semua orang punya momen untuk tampil di televisi. Tapi semua orang bisa menghadapi masalah jerawat.  Di titik inilah kita bisa mengambil garis start, untuk memulai perjalanan memahami arti perayaan pada rasa yang tak nyaman. Rasa yang tak nyaman itu bisa jadi sebuah momen perayaan. Bagaimana sebuah momen berjerawat bisa membuka peta, mengangkat tekad merawat wajah yang awalnya tak terpikirkan, dan bisa saja momen berjerawat ini menjadi sebuah momen kita untuk menghasilkan karya. Bisa jadi karya yang besar. Karya yang terhubung secara rasa. 

Namun rasanya banyak yang sudah lupa bagaimana rasanya berjerawat. Atau butuh energi agak besar untuk mengingatnya (karena tak terasa terlalu penting juga)

Sebuah proses perayaan sejatinya adalah proses berkegiatan saat kesadaran kita ada di titik tertinggi. Kesadaran untuk menampilkan diri dan karya sepenuh jiwa. Energi kesadaran  tertinggi akan saling terhubung. Bisa terhubung dalam rasa, bisa terhubung dalam wadah peristiwa yang sama, atau yang lebih holistik, bisa dalam sebuah rangkaian "mestakung" yang sama. 

Jika berjerawat adalah sebuah proses yang sering diabaikan dan sering dilupakan. Coba kita ingat lagi momen lain. Coba kita mengingat saat-saat kita merasakan luka atau momen tersakit pada tubuh (fisik kita) yang membuat kita tak bisa melupakan rasa sakit atau kita tak bisa mengontrol diri pada rasa yang terjadi di tubuh. Akan lebih mudah mengingatnya dibanding momen saat kita berjerawat. Akan lebih mudah melepaskan konteks kapan terjadinya saat kita mengingat bagaimana rasa sakit yang terasa. 

Begitulah mungkin gambaran yang paling mendekati bagaimana kita memahami kesabaran. Kesabaran itu adalah perayaan yang membutuhkan kemampuan kita untuk merasakan batas konteks (waktu dan momen), dan batas rasa. Batas konteks akan membutuhkan rangkaian momen. Batas rasa akan membutuhkan energi yang akan menguras kemampuan kita berkoneksi dan bertumbuh.   Bukankan sebuah proses yang berada dalam proses pembelajaran pasti akan membutuhkan energi yang  besar dan berulang? Itulah yang terjadi saat kita melatih meluaskan dimensi (perayaan) kesabaran kita.  Tentu ada batasnya. Namun seberapa besar batas itu bisa kita kelola. Dengan melatih mengonversi  rasa sakit yang merusak (hurt) menjadi rasa  sakit yang menyembuhkan (pain). Minimal menyembuhkan daya ingat kita. 

Perbanyak pain, kurangi hurt, dan perbesar wadah kesadaran dan merayakannya.  Tentunya akan lebih beruntung saat kita bisa merayakan dalam dimensi pembelajaran. 

Tuesday, May 11, 2021

Cara Malam dan Siang Berdansa




Salah satu cara untuk menjaga ikatan adalah dengan mengikat janji. Janji yang selalu ditepati adalah salah satu keindahan lain yang kadang kita anggap sepele, seperti saat kita melewatkan begitu saja pergantian siang menuju malam, dan kadang sedikit perenungan di saat malam menuju siang, karena kita sama-sama sering berjanji untuk mengisi hari baru.


Berjanji adalah sebuah cara untuk menciptakan momen, sekaligus mengingatnya. Mengikat cerita, mengikat rencana, mengikat gerak kita untuk menjalankan hal di luar momen yang tercipta. Janji bisa jadi adalah sebuah materi tanpa selubung, material tanpa terindera, namun bisa membuat individu terbungkus dan terpetakan dalam derajat kemakhlukan. 

Janji adalah esensi yang lepas dari wujud, fisik yang terindera, dan karakter makhluk. Malam dan siang adalah sebuah momen yang tak bisa dibantah, walau berada di dalam bunker sekalipun. Karena bagi beberapa orang, malam dan siang bisa terasa walau ada di tempat yang jauh di ideal untuk merasakan momen (yang sebenarnya) mahal di dunia ini, walau dalam batas waktu tertentu. 

Malam dan siang adalah sebuah proses yang berlangsung dengan jejaknya. Jejak perubahan yang membuat kita bisa melangkah dan kita bisa berhenti. Perubahannya membuat ruang-ruang yang terlalui oleh momen  perubahan ini menjadi lebih mengakar dalam menjejaki diri, lebih memaknai dari dua sisi, ketika di siang, dan ketika di malam. Begitulah ketika janji diamati dari dua hal yang berbeda, saat belum berjanji, dan telah berjanji, dan terus berjanji lagi. Perubahan-perubahan tentang janji yang sama akan menciptakan cerita-cerita kecil yang mengurung momen menjadi lebih cepat untuk dilupakan. 

Jika melihat perjalanan para musafir pesepeda yang pulang kampung, sudah petang, dan berada di ujung nafas karena keletihan,  padahal masih di tengah tanjakan yang mungkin baru dicapai setelah matahari tenggelam, pilihan akan muncul. Itu secara normal. Tapi bisa jadi pilihan tidak muncul, karena perubahan adalah momen yang harus dijalani, tetap berjalan tanpa harus berhenti. Berjalan saja, nikmati rasa gelap yang berpeluh, dan biarkan rasa letih itu tak lagi menguasai jasad, dan perubahan adalah bagian dari kemampuan yang bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan sesosok makhluk. Makhluk yang bisa dikatakan sebagai agen semesta. Agen mestakung. 


Waktu nya ada. Mungkin sebentar lagi saatnya tiba.  


Sunday, May 09, 2021

Menyapih Rasa Ragu




Jalan yang melebar, jalan yang lurus, jalan yang semakin nyaman, sama sekali bukan tanda bahwa kita akan sampai pada tujuan. 

Izinkan saya memulai dengan membawa narasi tentang awan. Awan yang terbentuk dari kondensasi dan berbagai macam reaksi yang berkumpul di ruang besar bernama atmosfer. Ruang yang dari sisi lain bisa kita lihat sebagai wadah. Wadah untuk berkumpul, bergerak, menyaring, melepas, dan menjalankan sistem yang terkait dengan wadah lain yang terpengaruh gravitasi, dan wadah-wadah tak kasat mata yang memiliki fungsi  kuat dalam memengaruhi kerja wadah-wadah kasat mata.

Semua kerja dalam wadah tersimbolisasi dalam awan. Awan yang memiliki bentuk, yang memiliki nama dan karakter sesuai bentuk susunan dan ketinggiannya. Dalam sisi lain bentuk awan kadang diartikan harafiah sebagai pesan yang terkait pada peristiwa tertentu. Peristiwa yang secara sistem sama sekali tak terkait dengan kerja yang membentuk awan itu sendiri. Awan adalah sebuah citra tanpa pencitraan. Menjadi pencitraan ketika kita menangkapnya sebagai pesain yang mewakili peran kita di "dunia bawah", yang terikat dengan gravitasi. 

Izinkan sekali lagi saya tetap berada di angkasa, dengan imaji saya. Karena mengajak teman untuk berimaji tentunya membutuhkan energi. 

Awan bergerak tanpa batas. Yang membatasi mungkin adalah gerak sistem termal dan sistem-sistem besar lain. Lalu ada sistem yang kadang ditemui "dunia bawah", dikatakan sebagai pawang, untuk mengatur awan sehingga memiliki batas dan geraknya. Saya tak akan membahas ini, ataupun jika saya bahas, maka akan sangat, sangat, sangat dalam kondisi yang tidak ideal. Yap. Tidak ideal. 

Bergerak bebas, meneduhi, atau memberi hujan di area yang memang waktunya hujan, adalah idealisme awan. Ideal karena bergerak dalam sebuah rangkai sistem yang besar. Sistem yang memang menjaga keberlangsungan. Menjaga agar hal-hal minor tak menjadi perusak hal-hal yang terlanjur (terpilih) untuk menjadi besar. Idealisme dalam kebesaran adalah kondisi ideal dari hal-hal yang berlangsung lama, seperti iklim. Iklim ada untuk menjaga, cuaca datang untuk mengubah.

Perubahan adalah tanda dari kehidupan. Seperti bunga yang pernah jadi putik, maka perubahan adalah sebuah idealisme yang akan terasa jika menjejak tanah. Mengikat diri pada gravitasi, mengikat diri pada sebuah arus besar tentang keterikatan kebiasaan. Kebiasaan untuk terkait, dan kebiasaan untuk beradaptasi. 

Pada akhirnya, sebagai manusia, kita hidup menjejak tanah. Jika pun kita sedang berada di dimensi tak terikat gravitasi, maka kita akan terikat oleh waktu, yang terbentuk oleh gravitasi. Kita juga akan terikat dengan ruang, yang terbentuk oleh gravitasi dan hal-hal yang menjadi elemen pembentuk jalan kita. 

Rasa ragu itu akan mengganggu  keputusan. Keputusan untuk terbang ke atas awan, dan keputusan untuk menjejak di bumi. Rasa ragu akan menjadi distorsi di ruang dan waktu. Pada ruang, keraguan akan menyisakan warna-warna malu. Pada waktu, keraguan akan menciptakan momen yang tak bisa diingat (bad sector). 

Friday, April 30, 2021

Addicted in Cursing





Menjadikan keterhubungan sebagai prioritas seringkali akan menjadi jebakan untuk kelompok masyarakat yang terbiasa dengan eksklusivitas.

Eksklusivitas pada civil society terjadi seperti busa yang muncul dari proses membersihkan diri.  Jika menelisik secara sistemik kenapa busa bisa terjadi, maka kita akan mengetahui bahwa gesekan adalah sebuah gerak re-inforce yang bisa mempercepat proses pembersihan sebuah permukaan (keras) oleh materi lunak dan cair.  Ikatan kimia yang berubah memang salah satu penyebab kenapa busa bisa terlihat. Tapi jika ditelisik lebih dalam, busa adalah sebuah proses yang tak terkait dengan proses pembersihan itu, terutama dari sisi bagaimana kotoran dari permukaan bergerak, dan arah busa bergerak, hingga selaput udara pada busa pecah.

Eksklusivitas adalah sebuah peristiwa yang terjadi dalam sebuah ikatan yang berbasis pada data, respon, dan karakteristik pola yang sama. Bisa dikatakan perilaku merasa, mengaku, memindai sesuatu adalah sebuah hal yang eksklusif itu bisa dikategorikan sebagai sebuah peristiwa. Bisa ditandai, bisa dikenang, bisa juga jadi pelajaran untuk dianalisa. 

Peristiwa bisa terjadi karena ada hal sistemik yang tersusun oleh mindset, yang mengikat variabel-variabel pikir (knowledge) menjadi sistem, atau rel berpikir, dan pola berpikir untuk  mengulang tindakan. Peristiwa akhirnya terjadi untuk bisa memproduksi impact dan value. Eksklusivitas akan memiliki impact dan value pada sebuah civil society yang bergerak secara kolektif.

Ada hal menarik saat kita terlibat dalam sebuah kelompok yang (terlibat dalam momen) mengeksklusifkan diri. Salah satu yang paling umum adalah daya amplifikasi kemampuan mengukur diri, sekitar, dan orang lain. Kemampuan mengukur ini sejatinya paralel dengan amplikasi pada kemampuan menjaga. Semakin detail variabel yang diukur, semakin kuat kemampuan menjaganya.  

Kemampuan menjaga memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif tentunya akan ada agilitas dalam mempertahankan nilai-nilai yang disepakati bersama saat eksklusivitas terbentuk. Tapi sisi negatifnya adalah kemampuan untuk beradaptasi akan menurun, sedangkan adaptasi adalah modal utama untuk berkoneksi.

Untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi, maka harus dimulai dengan kemampuan untuk memulai. Meng-engage. To starting up, we have to create ignition. Untuk memulai, haruslah ada proses yang membuat reaksi yang bisa mengubah entitas dari es ke cair, dari cair ke uap, atau bahkan ke api, simbol pemantik cahaya. 

Saat sebuah proses mengalami "pembakaran", atau terpantik, maka akan ada penolakan yang bisa mengeraskan ikatan-ikatan sebuah bentuk. Pengerasan (thightening) akan memperkuat batas-batas bentuk (dan identitas). Di sisi lain bentuk adalah wujud dari sebuah koneksi. Bentuk adalah batas. Koneksi adalah sebuah kesadaran tentang keterbatasan. Semakin banyak koneksi, maka keterbatasan adalah energi untuk bergerak. Semakin terbatas sebuah entitas, sejatinya ia akan membutuhkan lebih banyak koneksi.

==

Uraian di atas adalah sebuah gambaran bagaimana cara kita melihat sebuah struktur "gunung es" sebuah sistem yang bekerja. Melihatnya bisa dengan mendekonstruksikan gunung es tersebut menjadi pola-pola baru yang lebih mudah dikenali. Bisa juga dengan pendekatan post-dekonstruksi, yaitu mengonversi pola-pola pengenal menjadi pola-pola penguji sistem. Karena sistem dengan value yang baik adalah sistem yang bisa menguji dirinya sendiri, sehingga mudah menjadi warm entity . Entitas ini berlaku sebagai penyusun struktur sistem pada sebuah dome of thought. 


Monday, April 26, 2021

Menandai Istidraj (Pengabaian atas Ketidakmampuan)




Kesepakatan tidak ada artinya jika perbedaan tak diikat dalam sebuah benang merah bernama kesadaran.

Tak semua orang mengejar kesempurnaan diri. Banyak yang memilih untuk menemukan kesempurnaan dari apa yang dia lalui di setiap nafas, di setiap langkah dan karyanya. Tentunya memilih setelah perjalanan dan pergolakan panjang. Perjalanan yang akhirnya mengurai nafsu menjadi proses bertanya pada peran pribadi. Peran untuk semesta terkecil bernama hati.

Hati bukanlah hal yang terlalu abstrak untuk dipetakan. Seperti layaknya semesta, banyak hal teridentifikasi oleh teleskop yang diarahkan ke atas dan keluar, ternyata memiliki pola yang sama dengan ikatan dan pola-pola jaringan yang membentuk dan memfungsikan tubuh. Betapa stabilnya semesta yang besar bagi kita yang tak sedebunya alam raya ini. Pergolakan yang besar di tepian lubang hitam misalnya,  tetaplah tak menggoyah kestabilan, mungkin justru menjadi pilar yang perkuat kestabilan.  Melihat alam raya yang besar, selain membuat diri kita merasa kecil, sekaligus juga membuat kita merasa memiliki keterhubungan, seperti terhubungnya debu dengan ruang-ruang yang memiliki fungsi yang selalu dipelihara.

Hati dan rasa percaya seperti saudara kembar, yang satu berwujud fisik, yang satu lagi berwujud laku dan impact. Betapa hati itu seperti wadah yang membuat banyak perbedaan beradu dan berpadu seperti adonan, menyusut, mengembang, saling terikat untuk satu tujuan, atau minimal untuk menjadi ingatan dan rasa baru. Saat timbul rasa tidak percaya, tentunya ini adalah situasi yang akan membuat sebagian dari (wadah) hati ini tak berfungsi, dan adonan menjadi tak kalis, seperti adonan roti yang memiliki gumpalan tepung yang akhirnya jadi batu saat dipanggang dalam oven.

Saat tak percaya, maka akan ada jeda, akan ada celah, akan ada rongga seperti jurang yang akan jika harus dihubungkan, harus dengan pengorbanan, dan harus dengan mengukur. Menyambung antar jurang dengan tali, atau dengan sling besi yang bisa menahan beban, atau berjuang untuk menyambung dengan jembatan, yang bisa sangat mahal, bernama kesepakatan.  Tenaga yang besar ini tentunya adalah sebuah cara, sebuah wujud untuk memfungsikan hati dan menjadikan rasa baru menjadi sesuatu yang bisa dibagikan kepada generasi penerus, sesuatu yang bernama rasa menghargai.

Penghargaan itu seperti sebuah ritual, sebuah proses yang disadari untuk dijalankan dalam rangka mengingat kesepakatan. Menghargai bukanlah sebuah proses yang nyaman saat tak ingat dengan kesepakatan yang telah terjadi, atau tak merasakan manfaatnya, seperti saat kita sudah merasa sudah terlalu banyak yang telah dibagi. Penghargaan berkonversi menjadi "material" yang seolah harus dicapai dengan kesadaran transaksional, "jika ini maka itu, jika tak itu maka tak ini". Kesepakatan transaksional akan mengamplifikasi kemampuan mengukur, dan mendesak kemampuan percaya hanya saat berada di level rasa nyaman, bukan rasa menginspirasi. Percaya saat orang membuat senang, membuat kenyang, dan membuat tertawa. 

Hati banyak berperan dalam kesadaran, tapi jika di dalamnya banyak rasa tidak percaya, maka hati hanya akan menjadi kontainer untuk mewadahi rasa tak nyaman, yang akhirnya menekan kesadaran pada kecanduan pada nilai-nilai materialistik. Kecanduan pada nilai ukur dan nilai materialistik dalam banyak cerita seringkali melemahkan ingatan kita pada kesadaran. Kesadaran untuk menerima proses mempercayai tanpa syarat. 

Pada kondisi tak berpercaya, pertukaran nilai baru akan terjadi setelah ada  jaminan. Jaminan yang berujung pada lamanya berproses untuk mengukur dampak pribadi di semesta yang lebih luas. Dalam ranah mikro, hati  tak lagi bisa memaknai syukur (pada lahirnya rasa baru). Hati seolah jadi batu. 



Friday, April 23, 2021

Berjajar di Tepi (Seni Meminta Maaf)




Kita semua butuh celah/jeda/jarak. Bisa untuk delay dalam sistem yang menyempurnakan jalannya siklus sistem. Bisa juga dalam bentuk perbedaan, yang sengaja dibuat, atau yang terjadi alami. Celah yang muncul akibat ketidaktahuan. Celah adalah kelaziman. Perbedaan adalah sebuah ciri pembelajaran.


Tak semua harus terhubung. Banyak hal yang harus dibiarkan memiliki rongga. Rongga yang memang kadang memancing kita untuk "mengukur" dan kadang melepaskan diri dari kemampuan mengukur, mengaktifkan kemampuan lain yang kadang tak butuh kemampuan mengukur, seperti halnya mencintai dan mengikhlaskan hal yang benar-benar berbeda dengan keinginan.

Banyak hal yang bisa ditimbulkan saat kemampuan mengukur kita dimasukkan ke dalam dimensi yang sangat terukur. Ini terbukti bagaimana kita mengalami fatigue saat "terjebak" di dunia komunikasi virtual. Seringkali kita tak merasa bahwa kemampuan mengukur kita mengalami turbulence hebat di dunia virtual (yang dibangun dengan sangat terukur) sehingga kemampuan mengukur kita menyerang psikis kita dalam bentuk kebosanan, bahkan kesadaran kita  (dalam bentuk abai atas konten). 

Hidup di dalam dunia yang sangat terukur dan autopilot justru membutuhkan kemampuan untuk mengikhlaskan, menerima tanpa bertanya  tentan konstelasi dialektika virtual yang sedang terjadi. Bahkan fatigue bisa terjadi hanya dalam 20 menit pertama di kala kesadaran kita menurun di level order, menjalankan sesuatu hanya karena kewajiban, bukan di kesadaran tertinggi (englightment). 

Peristiwa fatigue di dunia dialektika virtual ini sebenarnya terjadi di saat kita berada di dunia fisik. Hanya memang kemampuan mengukur kita menutup ke-fatigue-an kita, sehingga kebenaran adalah milik para pengukur yang paling presisi. Dan itu dihidupkan seperti obor yang seringkali diestafetkan atas dasar ego sindikasi pengetahuan. Ketika melakukan sebuah sesi online, maka kemampuan mengukur tidak lagi menjadi hal yang utama. 

Kebenaran data, kepresisian data, kecepatan meraih data, bukanlah hal utama. Yang akan membuat pertemuan menjadi hidup adalah ketika kita tahu kita sedang berdialog dengan orang yang tepat, yang memiliki sanad (garis jejak trust) atas data dan knowledge yang dimiliki. Yang membuat pertemuan menjadi hidup juga adalah ketika ada "celah" dan delay yang menekan kemampuan "nafsu mengukur" kita, dan mengamplifikasi kemampuan merasa, dan mengikhlaskan diri, sehingga mampu larut dalam chemistry yang kadang memang  sering diawali oleh pola pola interaksi dan dialektika yang tak memiliki bentuk.

Masuk di dunia dialektika virtual ini seolah menempatkan diri kita di tepi jurang. Apakah jurang ini membuat takut karena tak ada info tentang ukuran jurang? Ataukah jurang ini akan membuat kita terhubung dengan sesama penghuni tepi jurang dan menjadikan tepi jurang sebagai  cerita yang membuat bahagia? Atau malah sibuk menciptakan boneka-boneka kesepakatan ala tokens dan coins yang memperkaya kita, di sela salah langkah saja bisa membuat kita jatuh ke jurang. Toh akhirnya akan terpecah sebelum kita sempat menukarnya. Terjatuh di jurang yang nyata mungkin bisa membuat kita mati. Tapi ada juga jurang yang tidak nyata, ketika kita terjatuh di "celah" yang "menyambungkan" perbedaan, karena kita tak sempat mengembangkan kemampuan lain selain mengukur. 

Akan ada masa kita akan masuk ke dunia tanpa uang. Dunia yang tak butuh lagi koin dan token untuk menyelamatkan diri. Keberadaan kita di tepi akan dijamin dengan kemampuan lain kita seperti berkoneksi, mengikhlaskan, mencintai, dan memaafkan.

Memaafkan itu bukan tentang jual beli. Memaafkan itu tentang ilmu menikmati hidup di tepi jurang


Tuesday, April 20, 2021

Memaknai Sudut



Dapat dipastikan setiap orang memiliki peristiwa yang membuat dirinya mendapatkan pelajaran untuk bisa berubah cepat. Tentunya ada juga yang tidak berubah cepat, tapi tetap harus berubah. Jika tidak, konsekwensinya akan berdampak panjang pada kesadaran. 

Setelah merekam beberapa pola dan data yang terungkap saat peristiwa aglomerasi atau terkoneksinya sebuah sistem dan area, kali ini pada organisasi yang settled di civil society, bisa dipastikan ada beberapa rongga dan celah yang bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Namun hal itu adalah hal wajar. Kesempurnaan adalah milik pencipta yang terus mencipta secara berkesinambungan. Kalo istilah kampung tetangga adalah sustain in creation. 

Seringkali sebuah perubahan adalah sebuah penciptaan, khususnya untuk perubahan yang membutuhkan ruang untuk ditanggapi, dirasakan dan dijalani. Misalnya pada kepengurusan baru sebuah organisasi bermukim warga. Pengubahan dari iuran bulanan yang tanpa denda menjadi memiliki denda bisa jadi memiliki dampak sistemik. Warga bisa terbelah menjadi banyak faksi, misalnya kelompok "sok asik" non saklek yang lama ada kini terpecah menjadi kelompok "sok asik" yang menjadi saklek karena kenyamanan ide-ide mereka yang (seolah) diterima (atau sebenarnya diterima karena di-apatis-asi warga). Kelompok ini berhadapan dengan kelompok "ga asik" yang susah diatur, atau sedikit memiliki perbedaan pandangan (yang kadang simpel seputar hak publik untuk parkir) misalnya. Kelompok-kelompok ini bisa saja menjadi kelompok baru saat denda diterapkan. Bubble menjadi terbelah menjadi bubble syar'i dan tak syar'i (karena masuk dalam ranah riba - mubah), dan bubble-bubble baru yang mungkin bisa saja tak diduga, walau sebenarnya bisa terpetakan jika dipantau dan di-scan melalui pengukuran kesadaran.

Memobilisasi individu untuk jadi bubble front berbasis ekonomi ( isu riba-non riba) jauh lebih cepat  dibanding dengan menciptakan bubble berbasis belief (benar-salah -baik - buruk). Saat berbasis ekonomi, tak butuh artefak sistem untuk menjadi "katalis", tapi saat berbasis belief, artefak sistem adalah sebuah data yang wajib ada untuk mengunci bentuk dari dialektika sebuah bubble

Yap. Seringkali kita melewati tahap mengukur kesadaran kita saat menghadapi perubahan. Kadang kita ga sadar kita yang biasa berkarya dalam bahagia (senang, damai, ikhlas) harus berubah menjadi berkarya untuk sesuatu, yang sebenarnya tak berada di level kesadaran yang biasa dijalankan. Perubahan yang mengubah kesadaran bisa jadi jebakan dan sumber permasalahan tak hanya pada level individu, tapi juga interaksi kelompok. Apalagi perubahan ini sudah menyangkut belief seseorang khususnya tentang pengambilan keuntungan yang tak sesuai kaidah kepercayaan.

Banyak perbedaan yang muncul saat memandang bagaimana orang mengambil keuntungan dari keadaan. Misalnya pada penerapan denda pada aturan-aturan di sebuah civil society. Penerapan denda dalam social engineering itu seperti sebuah operasi diferensiasi/mengonversi sistem value menjadi material. Ini sangat fundamental, jika kita tak cepat sadar untuk kembali ke kesadaran di level mencerahkan. Mengonversi nilai menjadi material pada dasarnya adalah alat untuk menurunkan kesadaran orang lain. Pada dasarnya adalah alat yang bisa memulai sebuah sistem bully pada society

Tentunya sistem ini akan disetujui oleh orang yang biasa menurunkan kesadaran orang lain sampai level ketakutan dan ketidaknyamanan (pem-bully). Tapi tentunya di sisi lain akan ada sistem yang akan menetralkan, baik dari renggangan waktu dan momen, yang membuat semua harus belajar.

Yap, dalam desain,  sudut adalah sebuah area yang akan mempertemukan dua elemen atau lebih. Pertemuan dua elemen atau lebih akan menghasilkan pembelajaran, dan usaha untuk mengembalikan keadaan menjadi terukur dan berfungsi, atau mengembalikan kesadaran ke level yang tertinggi, sebelum terkena gangguan pem-bully

Saat ada yang tersudut (by system), saatnya kembali belajar secara kolektif untuk meluruskan. Meluruskan tak selalu memulai dari awal. Tapi bisa dengan membuat keseimbangan yang memperbanyak keluarnya energi pikir.

#aingmahnaon 

Friday, April 16, 2021

Berkarya untuk Pencipta



Pergolakan batin bukanlah jadi alasan untuk tidak berkarya. Berkarya adalah sebuah dimensi yang berbeda. Memasuki dimensi berkarya adalah sebuah usaha untuk mengemas waktu dengan kemasan yang bisa mudah diingat, dan cukup gampang untuk dikenang.

Ketika manusia lahir, sesungguhnya telah dibekali oleh kemampuan untuk mencari perhatian. Dengan teriakan (pada umumnya) dan rasa yang dikenang oleh ibu, adalah  kemampuan yang memaksa orang untuk mengingat "perbuatan" kita sebagai jabang bayi. Unintended consequences, kalo istilah kampung tetangga. Walau kemampuan itu bukan kemampuan yang bisa diukur, tetap memberikan kesan dan rasa bahwa  teriak dan memberi rasa sakit adalah salah satu kemampuan dasar dari manusia, sejak lahirnya.

Lalu apa beda kemampuan dan karya? Kemampuan adalah sisi koin yang berbeda dengan karya, jika disatukan. Jika disatukan ia memiliki nilai tukar. Jika dipisah, ia akan jadi cerita yang membuat kita masuk ke dalam dimensi ukur.

Berkarya secara spesifik adalah proses meluaskan ruang. Apapun karya yang kita hasilkan akan memerlukan ruang untuk menempatkan karya kita, atau sekadar ruang berpikir yang dibutuhkan agar karya kita mencapai harkat dan martabatnya, yaitu sebagai sebuah pemberian. 

Karya tak lain dan tak bukan adalah sebuah proses memberi, agar semua mendapatkan kesan dan rasa. Syukur-syukur mendapatkan manfaat. 

Membuat karya yang bermanfaat tentunya menjadi sebuah kerangka bahasa yang sangat politis, jika karya adalah proses untuk memberi. Saat memberi, mengharapkan respon baik tentunya bukanlah sebuah respon yang alamiah. Seorang pemberi, atau bisa dikatakan seorang dermawan akan memberi tanpa perlu pamrih dari orang yang dia beri, yang seharusnya setara dengannya. Seseorang yang memberi, bukan selalu karena ada yang lebih dan yang kurang. Banyak yang memberi, karena ingin berbagi kesetaraan. Manfaat apa yang didapat dari memberi adalah urusan pemberi dengan Pemilik Dirinya. Urusan yang sering kali berlangsung dalam bentuk dialektika, dalam dialog tanpa bahasa.

Berkarya adalah sebuah usaha berdialog dengan Sang Pencipta. Dialog dengan yang diberi, atau siapapun di sekitar pemberian, itu lebih sekadar fase untuk bersilaturahmi, mengingat, mengikat, dan menjaga sebuah ikatan dalam sebuah kelompok. 

Saat berkarya, tentunya akan ada waktu yang diinvestasikan, yang digunakan. Bisa dikatakan waktu yang digunakan untuk berkarya adalah sebuah token dalam bahasa digital, atau jaminan untuk bisa membandingkan karya kita dengan value yang ada di area of influences kita. Dalam dimensi dunia yang isinya saling mengukur, semakin banyak ukuran yang dimiliki sebuah karya, semakin punya dampak ia di setiap posisinya, semakin warm dia sebagai data yang ternotifikasi. Tapi dunia tak hanya memiliki dimensi yang isinya entitas-entitas yang saling mengukur saja.  Dalam dimensi Penciptaan, sebuah karya adalah dialog antara waktu dan proses. Dialog ini bermuara pada penempatan diri, sebagai karya Pencipta, dalam rel pengakuan atas lumrahnya sebuah perubahan. Sebuah proses yang terus berlangsung. Mengubah suatu bentuk ke bentuk lain, agar terbentuk ingatan baru. Syukur-syukur menjadi ingatan baru yang lebih kuat. 

Jika proses Penciptaan diturunkan pada level yang jauh, jauh, lebih mikro, ia akan menjadi semacam proses reverse engineering. Dimana sang karya berkarya untuk Pencipta. Proses berkarya yang membuat kita semakin mengingat-Nya. Apapun bentuk karya kita. Tak perlu dibahas di dalam dimensi penciptaan, yang sejatinya ada di dimensi keikhlasan. 

Saat berada di dimensi keikhlasan, semua terjadi karena memang harus terjadi. We're born for the moment, atau di bahasa pasifnya, this is the moment we're born for. Beda cerita jika kita hidup di dalam dimensi entitas yang selalu ingin mengukur. Karena sejatinya, sebuah entitas yang telah mengalami proses reverse engineering, ia adalah entitas yang sudah siap.

Tuesday, April 13, 2021

Manifestasi Sentuhan




Menjauhi kebencian dan mendekati semangat untuk menjaga adalah perjuangan.


Ini bukan tulisan berbau politik. Sama sekali bukan. Saya sendiri tak punya minat untuk berpolitik, karena politik itu harus punya intensi tujuan (kadang jangka pendek). Saya merasa tujuan saya sudah tercapai. Saya hanya menikmati hidup, dan hanya ingin menjadikan dunia menjadi tempat ternikmat untuk bersyukur, karena saya ga tau tempat bersyukur lain selain nanti di alam setelah kehidupan. 

Perjalanan selanjutnya adalah tentang bagaimana terus menjaga agar tak mudah cepat tua. Tua berarti sel semakin sulit untuk beregenerasi. Saya ingin sel saya terus beregenerasi, setidaknya se-sel berpikir saya. Karena jika bicara tentang sel fisik, maka tak ada yang bisa mengalahkan gravitasi, yang menarik kita ke dimensi baru, di setiap gerak yang kita jalani. Jika saja kita sudah bisa berdamai dengan gravitasi, tentunya penuaan adalah cerita lama. Dan  gravitasi tak harus dilawan, karena melawan perubahan, percepatan, dan pergantian adalah kebodohan.

Sebagai makhluk yang memiliki dan diberi keterbatasan, tugas utama kita setelah mencapai tujuan pribadi adalah memulai menikmati untaian syukur yang terus terurai dalam elemen terkecil, mulai tiap nafas, hingga tiap sentuhan pada elemen semesta. Hidup ini tentang manifestasi sentuhan. Sentuhan adalah seperti bertemunya titik (entangled), yang bisa berkembang ke penyatuan, pergesekan, atau penempelan untuk dibawa berpindah.

Pemahaman  untuk mendalami kenikmatan dalam terurainya elemen semesta dalam beberapa kesempatan disebut juga sebagai jihad. Bagaimana menikmati pemahaman bahwa  mengurus orang tua, mencari nafkah untuk keluarga, adalah salah satu pencapaian tertinggi dalam ibadah (bersyukur atas kehadirat Sang Pencipta). 

Kenikmatan dalam memahami bisa disebut dengan sebuah proses penghayatan, proses melambatkan cycle berpikir, agar bisa entangled dengan cycle lain yang menggerakkan semesta. Cycle berpikir tak bekerja dalam lautan energi yang tak terindera. Pikiran hanya bisa bergerak karena dipancing oleh panca indera, sedangkan banyak hal di semesta yang memang tak butuh, dan tak bisa dicapai panca indera.  Panca indera bekerja dalam esensi. Tak ada esensi bagi panca indera di sesuatu yang tak bisa dikonversi dalam individu. Panca indera kita diciptakan untuk menjaga diri. Banyak hal yang tak butuh dipetakan panca indera.  Seperti di "lautan" dimensi waktu dan dimensi kebersamaan. Dimensi yang bisa mengecilkan diri kita dalam peta kerja semesta. Semesta tak hanya bekerja untuk menjaga esensi, tapi juga menjaga perekatnya, seperti gravitasi yang menyisakan waktu, dan doa yang menyisakan cahaya. 

Kekagetan kita dalam memahami hal-hal baru bisa saja menjadi sembuah momen untuk berproduksi dan bergerak cepat. Selain itu, ada momen lain yang bisa kita manfaatkan. Momen itu adalah untuk mengecilkan diri dalam memosisikan keberhasilan, atau kegagalan kita dalam sebuah momen besar berkemanusiaan. Kita sebagai individu, hanyalah 1/berapa milyar populasi manusia. Tentunya dari sisi ini kita adalah kecil, apalagi jika dibandingkan dengan umur manusia/umur bumi. Momen mengecilkan diri adalah salah satu cara untuk memasuki dan merasakan dimensi bersentuhan dengan cycle lain, kerja lain, dalam semesta. Ketika bersentuhan, maka tak sekonyong konyong kita bisa melihat peta sistem sebuah momen. Setidaknya butuh pendalaman dan penghayatan, perjuangan menyisihkan waktu, untuk entangled dengan sanad (ilmu), dengan data, dan dengan verifikasi. 

Memanifestasi sentuhan adalah perjuangan. Berjuang mengecilkan nama dalam peran, menguatkan diri dalam menjaga yang sudah terlahir "baik-baik", dan menguatkan kesetaraan dalam berkemanusiaan. Karena tanpa kesetaraan, kontribusi, dan sentuhan, kita mudah sekali untuk membenci.





Sunday, April 11, 2021

Merasakan Lebih Dalam




Kemarin saat berhenti di pinggir jalan untuk mengecek notifikasi WA yang masuk, saya dikagetkan oleh motor yang berhenti mendadak karena meghindar dari agitasi pengendara mobil yang tak mau menepi. 


Lalu tiba-tiba ada selintas pemandangan yang rasanya beda saat kejadian sederhana tadi. Seolah semua itu terhubung, seperti salah satu pelaku peristiwa adalah organ untuk pelaku/organ lain. Mungkin bisa diistilahkan dengan embodying, seolah perbedaan perbedaan yang muncul di depan mata itu hanya menunjukkan rangkaian lain, mata rantai lain. Lalu yang paling mengubah suasana, adalah ternyata terasa bahwa saya adalah bagian dari mata rantai "organ" dari peristiwa tersebut.


Apa peran saya? Secara hukum, jika terjadi kecelakaan, maka saya akan bisa menjadi saksi. Dalam sudut pandang jurnalistik, saya adalah narasumber kunci, yang bisa dianonimkan atas dasar menjaga independensi pers. Dalam sekala pengondisian, saya bisa saja mengambil momen untuk menguatkan cerita kejadian, dengan memberhentikan mobil tersebut, dan memetakan peran orang orang terlibat dengan pelaku, dan korban, dalam konteks untuk memberi pelajaran.


Embodying, adalah sebuah fase saat kita berada dalam proses pembelajaran dan berkesadaran. Merasakan sekitar menjadi diri kita, dan jika kita melambatkan lagi laju pikir kita, kita akan mulai melihat gambaran, atau peta, dan jika lebih dilambatkan lagi, maka akan terlihat pola yang menyebabkan sebuah peristiwa bisa terjadi. 


Pelambatan atau delay, bisa dijelaskan dalam sebuah cerita pembelajaran bersama systems thinking. Secara logika, pembelajaran ini bukanlah hal yang serumit pembelajaran fisika kuantum misalnya. Yang rumit adalah ketika kita harus bisa meng-embodying pembelajaran ini dalam kehidupan sehari hari (di masa datang). Kehidupan sehari-hari yang seringkali terjebak pada ruang momen sebab-akibat, padahal banyak hal berlaku sistemik, sudah berlaku lama, berulang. Kadang sesuatu yang berlaku berulang, memiliki perluasan sehingga banyak yang terlibat, dan menjadi kompleks. Di situlah skill embodying menjadi perlu untuk melambatkan respon pikir, rasa, dan berkesadaran kita, agar bisa memiliki gambaran lebih utuh atas kondisi yang sedang terjadi. 


Dalam suasana yang terlihat kompleks, apalagi di sana banyak terjadi polarisasi dan kondisi silo, khususnya saat organisasi masi di level terendah berupa titik titik fungsi, belum jadi organ, skill embodying harus terus, terus, dan terus dilatih, diulang, dirasakan. Awalnya mungkin terasa seperti kerumitan adalah energi yang liar, lalu kita arahkan menjadi energi yang memiliki awal dan akhirnya a.k.a memiliki arah. Dan seringkali memang tak linear, tapi tersusun dari kumpulan cycle proses.  Saat kita berada dalam proses yang memiliki awal dan akhir, sejatinya kita sudah berada dalam posisi yang baik. 


Saat kita memiliki arah, maka kita sudah memiliki peran dalam semesta. Dalam dunia digital, maka kita sudah bergerak jadi warm data. Minimal sudah ada arah ke sana. Minimal kita sudah mulai menjadi agen mestakung.


Lalu teringat dengan apa yang dilakukan oleh supir minibus yang mencoba memaksakan diri mengambil jalur dan hampir menyelakai pemotor lain, maka ada gambaran baru yang muncul. Ada pembelajaran yang didapatkan, bahwa keberadaan saya di posisi pengamat adalah momen untuk menenangkan pemotor, yang mungkin saja bisa responsif menyerang kembali pengendara mobil. 


Peran kita mungkin kecil. Tapi bisa menyelamatkan hati, yang kadang luasnya bisa seluas samudera.

Saturday, April 10, 2021

Hikmah Kebijaksanaan



Kepintaran individual semakin ditinggalkan. Collective intelligence kini semakin digalakkan karena bermanfaat untuk jadikan sebuah organisasi, bertransformansi menjadi organ artifisial, yang memiliki dampak langsung pada pengaturan kesadaran komunal.

Saat melakukan perjalanan yang jauh  atau melalui jalan yang belum kita lalui, biasanya, ga selalu, kita  akan melewati satu fase dimana kita menemukan "focal point" dari perjalanan yang menjadi ikon pengingat. Pengingat atas perjalanan yang telah kita lewati di masa depan. Focal point punya makna yang sedikit berbeda dengan point of interest. Karena focal point bisa terjadi setelah melalui proses perubahan komposisi dan struktur, bukan hal yang bisa dipaksakan seperti terbentuknya point of interest di sebuah komposisi visual. 

Untuk meraih proses yang ber-focal point, tentunya membutuhkan elemen pembentuk proses yang memang saling berkait, saling mengukur, dan saling memberi kontribusi. Masing-masing memiliki porsi berbeda di setiap fase proses yang terjadi. Hilangnya kontribusi sebuah elemen tentunya akan menjadi sebuah jeda proses yang memengaruhi rasa. Jika point of interest itu karakternya biasanya ditentukan oleh angle yang melihat, sebuah komposisi terlihat cantik dari sudut pandang tertentu, maka focal point itu terlahir dari perjalanan, muncul dari sebuah proses. Bisa dinikmati dari berbagai angle

Saya bisa menceritakan beberapa proses tentang terbentuknya focal point, tapi biarlah itu saya ceritakan di tulisan saya yang lain nanti, saat momennya tepat. Kali ini saya membuka tulisan dengan bahasa focal point, untuk menuju inti tulisan (biasa lah orang indonesia sukanya deduktif, inti belakangan), yaitu bagaimana mencapai sebuah proses yang memancing kita untuk berada di kesadaran tertinggi. 

Saya mengambil frase "hikmah kebijaksanaan" sebagai judul tulisan ini. Kata ini bukan main-main. Kata yang hanya kumpulan orang dalam kesetaraan yang bisa menemukan hubungan  antara hikmah dan kebijaksanaan. Kata ini  adalah kata baru pada jamannya (jaman melepaskan diri dari penjajahan fisik dan ketergantungan pada pelindung berskala global), walaupun saya yakin sekarang ini makna kata hikmah kebijaksanaan (kembali) seperti masih di alam ruh, belum ke alam janin untuk dilahirkan kembali. Yap.. belum. Bukan  tidak. Bukan sudah mati.

Frase yang berhasil menjadi "juara 5 besar" dalam pengisi  dasar negara tentunya punya dampak yang besar terkait dengan momen dan pembentuknya. Dalam sebuah momen yang tidak berhikmahkebijaksanaan, tentunya tidak akan menimbulkan focal point pada momen yang bisa saja mengatasnamakan dasar negara, tapi sejatinya menjadi penyebab sebuah kegagalan bertumbuh, bertindak, bahkan bergenerasi. Saya akan lebih fokus pada bagaimana hikmah kebijaksanaan terbentuk secara kolektif. Sama sekali tak akan muncul jika dilakukan dengan sendiri-sendiri. Kenapa? Coba kita urai.

Hikmah sendiri lahir dari sebuah proses, atau dalam kata lain, harus nyebur dulu untuk bisa tau benang merah dari sebuah proses yang (harus) berjalan. Kadang saat tercebur, kadang ada yang tenggelam, tak memiliki alur dalam prosesnya,  tapi ada yang kadang  menyelam, menemukan alur, dan secara senyap sampai di tujuan, dengan nafas yang terengah tentunya, lalu diulang lagi, terus menerus. Terus diulang sampai ia menemukan cara agar menyelam tidak terengah, dan tetap bisa silence. Karena mengeluh dan meramaikan suasana menyelam akan mengganggu konsentrasi saat melakukan penyelaman. Akhirnya, pada satu titik, entah karena fisiknya sudah mampu menyelam hingga itungan 2 digit menit seperti saudara kita di Bajo dan di tim-tim khusus, atau kah dia punya tim penyedia oksigen di dasar laut, itu adalah sebuah benang merah yang menguat di sela proses yang terus dilatih (dan diulang), merasuk hingga muscle memories.  

Jangan tanya tentang rasa sakit saat seseorang mencapai dan menemukan benang merah  dalam berproses. Jangan tanya kenapa kita mendapatkan hikmah dari proses yang kita jalani, karena jawabannya akan sangat langitan sekali. Karena hikmah adalah kerja semesta, yang di-trigger oleh komponen semesta yang bertasbih (yang memiliki kesadaran tertinggi), sehingga isi hidupnya adalah pengabdian pada Entitas Infinit Penciptaan.

Lalu di mana kebijaksanaan itu? Tentunya kata sakti kedua ini pun tak lahir dalam proses berkesendirian. Jika kebijaksanaan dianalogikan sebagai wadah, ia haruslah wadah yang mampu mewadahi tak hanya keragaman, tapi juga sekaligus kesetaraan, dan mewadahi  hasrat. Keragaman, kesetaraan, dan hasrat, adalah 3 elemen yang bisa menguatkan diri, sekaligus juga bisa menghancurkan. 

Tanpa kebijaksanaan, 3 elemen ini akan mengaktifkan diri sebagai bom waktu. Kapan meledaknya? Ya bisa langsung meledak, jika tak ada yang memiliki hikmah dalam wadah tersebut. Hikmah berlaku sebagai pengerem, kebijaksanaan berlaku sebagai gudang peledak, yang bisa mengubah peradaban, bisa sangat cepat. Dalam hitungan semesta: Kun fa yakun. 

Friday, April 02, 2021

Estetika di Dunia Reduksionisme



Beberapa situasi tak lagi bisa dipandang dari satu sisi, malah butuh kedalaman hingga ke level sub atomic untuk memahami bagaimana sebuah dialektika dan momen yang tadinya seperti menyebalkan dan tak punya makna,  ternyata memiliki nilai estetis dan filosofi mendalam.



Saya terkejut sekaligus tertawa melihat dan mendengar anak yang sedang melangsungkan zoom session di sela School From Home-nya. Saya lupa mata pelajaran apa saat itu. Ibu Guru beberapa hari sebelumnya memberi tugas kepada anak didiknya untuk membaca  Kisah Bawang Merah dan Bawang Putih. Tentunya kita sebagian besar tahu cerita itu. Lalu di saat zoom session ini Ibu Guru menanyakan pendapat dan respon anak-anak tentang cerita tersebut. 


“Kalo Bawang Putih bagaimana sifatnya, Anak-anak?” Tanya Ibu Guru

“Baik Buuu,” ujar anak-anak, kompak.

“Lalu bagaimana dengan Bawang Merah?” Tanya Ibu Guru kembali.

“Gak ada akhlaknya, Buu,” jawab anak-anak serempak.


Saya terdiam. Lalu tergelak tertawa. Bagaimana anak memahami cerita dan memberi respon benar-benar di luar dugaan saya. Saya mengukurnya dari bagaimana anak-anak begitu kompak satu suara menjawab dengan bahasa yang sama: gak ada akhlak.


Saya melihat reduksionisme


Di satu sisi baik. Di sisi lain bisa menimbulkan generation gap. Jika dulu saya, yang masih merasakan bagaimana unsur analog menguasai perikehidupan, dari bacaan, dari pengajaran, bahkan dari dogma-dogma di tataran sosial, tentunya akan menjawab pertanyaan Ibu Guru tentang sifat Bawang Merah dengan pemilihan bahasa yang akan berbeda dari rekan-rekan saya yang dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Tapi saat melihat anak berdialektika dengan teman dan gurunya, satu bahasa yang sama menunjukkan ada persamaan yang sama dalam memahami karakter-karakter yang tak sejalan dengan norma yang dijalankan anak anak. Jika tak sejalan, maka tak segan akan dianggap tidak punya akhlak sama sekali. Di satu sisi reduksionisme, di sisi lain juga ini bisa dibilang salah satu karakter umum yang “sudah dibiasakan” berlangsung dalam dialektika anak-anak di usia 10-12 tahun (anak saya saat ini ada di kelas 4 SD). Karakter umum di anak yang sedang mulai belajar berhimpun dan menyamankan dirinya dalam kelompok sosial. 


Bisa dibilang, kelas 4 ini adalah kelas yang paling kompak dari seluruh kelas yang diikuti anak saya. Sayangnya memang tak pernah ada pembelajaran offline karena pandemi. Tapi kebersamaan yang terjadi jauh lebih berkualitas di banding di kelas 1,2, dan 3. Saya bisa bilang demikian karena anak saya selalu semangat saat ingin zoom, dan setelah sesi zoom di kelas. Belum pernah ada masalah dengan pelajaran, kecuali karena masalah teknis karena sinyal jelek atau terputus. Sisanya aktivitas zoom kelas justru membuat anak semangat.


Walau begitu, saya masi terus mengawasi gejala reduksionisme ini. Melihat  dialog kolektif bisa terasa sarkas oleh generasi analog, tapi bagi generasi anak saya ini adalah kelaziman. Saya juga mengurai, bagaimana  bahasa yang lebih ber-layer, masih bisa efektif menghadapi sebuah gejala sosial yang tidak sesuai dengan norma kelompok. 


Saya tak heran kenapa reduksionisme bisa terjadi. Selain karena algoritma (sosial media) yang meredusi analisa,  bisa jadi penggunaan panca indera yang tidak komplet (hanya visual dan pendengaran secara simultan)  membuat analisa menjadi lebih pragmatis tentang sesuatu yang harusnya bisa dinilai lebih holistik. Tapi bagi saya itu bukan faktor terpenting, karena kita banyak menemukan bagaimana individu yang memiliki disabilitas pada panca indera tertentu bisa lebih tajam dan lebih holistik analisanya. Saya menduga, faktor pemahaman kesadaran atas diri dan bagaimana memanfaatkan sekitar adalah kunci bagaimana nilai-nilai holistik bisa memiliki value dan akuntabilitas yang tinggi (bisa jadi warm data, bisa gampang terkoneksi, tervaluasi, dan terverifikasi). 


Pandangan-pandangan reduksionisme ini pernah saya praktekkan dalam proses mendesain saya, jauh di masa ketika kuliah dulu. Ada masa saat saya benar-benar fokus mendesain untuk tujuan mewadahi fungsi. Nilai estetis, atau dalam dunia kuliah arsitektur dulu sering disebut venustas, seyogyanya lahir dari fungsi dan artikulasi fungsi itu sendiri. Hal yang dari luar, apalagi metafora dari sebuah hal yang tak terkait fungsi, adalah haram hukumnya. Ya. Saya pernah di level itu.


Tentunya tidak salah, dari sisi mencari nilai yang aman untuk diraih dalam mata kuliah studio perancangan. Tapi ada konsekwensi yang akhirnya saya hadapi. Saya terlalu terpaku pada referensi, khususnya untuk meraih dan menggali nilai-nilai estetis dari sebuah karya yang berbasis reduksionisme. Saya akhirnya harus berkiblat pada si A, si B, dan itu kalo saya istilahkan dengan istilah anak saya, saya sendiri akhirnya tak memiliki akhlak, pondasi sikap, dalam menentukan nilai estetis dari karya saya.



Menyelami dunia  estetis 


Peristiwa yang terjadi pada sesi zoom anak saya itu berlangsung kurang lebih seminggu yang lalu. Saya baru tulis tadi malam  setelah  membaca sebuah artikel relatif panjang tentan Kadinsky.  Artikel ini bercerita bagaimana Kadinsky menemukan “dirinya” di dalam pemahaman seni, setelah melalui fase-fase spiritual yang sebenarnya terjadii umum pada kita, manusia yang bersosial.


Umum, karena Kadinsiky menemukan nilai estetisnya melalui proses yang tidak seajaib  Gogh misalnya (yang harus gila), walau karya Kadinsky tetap “ajaib” bagi saya yang sama-sam sering menggunakan elemen warna dan geometri. Kedalaman yang diraih Kadinsky dalam sebuah hirarki sosial yang “wajar” adalah sebuah jalan keluar menurut saya, untuk kondisi-kondisi sosial yang banyak mengalami reduksionisme. 


Bagi saya, Kadinsky menemukan estetikanya dalam berkesadaran. Dalam berkesadaran untuk berinteraksi, dalam berkesadaran untuk menemukan kedalaman, dalam berkesadaran untuk merangkai pola. Di sana ada nilai-nilai estetis yang diungkapkannya dalam karya yang di setiap era memiliki kematangan dan kedalaman yang relatif identik. Tidak seperti karya saya misalnya, jika dibandingkan dulu dan sekarang, dulu dangkal sekarang agak dalem dikit, nanti (mungkin) bisa agak bisa dalam bisa bikin kelelep. Kadinsky tetap berkarya di level yang bisa diselami oleh entitas yang berkesadaran awam hingga terdalam. 


Menurut saya demikian. Btw, beraninya saya menempatkan diri saya sebagai pembanding. Ga ada akhlak. :))


Setidaknya saya tersadar. Perasaan sadar yang menggembirakan ini harus dirayakan dengan berkarya, yaitu menulis artikel ini. Tentunya banyak jalan dan simpul yang bisa dijalani dan diurai untuk memulai  meraih nilai-nilai estetis dari karya yang kita buat. Pencarian sejati yang bisa dilakukan adalah mulai dengan mengembalikan kesadaran diri. Mengukur apa yang bisa kita hasilkan di setiap level kesadaran. Mulai dari level terbawah, berkarya saat takut, terdesak, dan dalam kungkungan. Hingga berkarya di level tertinggi, ketika kita menemukan keikhlasan dan bagaimana semesta menjadi sumber energi dan ide untuk setiap nafas dan gerak yang kita lakukan. 


Saya baru ingat, di hari kemarin juga, tepat kira-kira dua jam sebelum baca artikel tentang Kadinsky. Saya bergabung di sebuah forum yang bernarasumber seorang ahli pertanian Australia, keturunan Aborigin. Beliau dalam kesadaran tertingginya, berhasil mereduksi pemahaman lokal yang terlihat rumit terkait pengelolaan tanah dan api. Bagaimana api bisa menjadi motor dan agregator untuk menghidupkan lahan. Ternyata reduksionisme tak selalu berakhir pada kebuntuan estetis. Setidaknya saat di kesadaran tertinggi, dan berkolektif, nilai estetis lahir dari bagaimana kita menghargai diri kita, dan apa yang kita nafas dan pijak. Pengabaian dari unsur -unsur yang "dipandu" oleh panca indera memang akan membuat menurunnya level kesadaran kita. Minimal munculnya rasa jenuh. Reduksionisme diri bisa jadi alat untuk menangkap tanda-tanda vital kolektif yang bisa menggerakkan kebersamaan. Mungkin bisa saya simpulkan demikan. 


Semoga nanti anak saya membaca tulisan ini. Saya belum tahu bagaimana menjelaskan padanya tentang gajala reduksionisme sosial pada saat ini. Mungkin belum saatnya. Biarkan dalam fasenya, terbang bersama seperti burung di sawah yang berpadi menguning, menikmati reduksionisme dalam skala kelompok dan imajinya.