Friday, April 23, 2021

Berjajar di Tepi (Seni Meminta Maaf)




Kita semua butuh celah/jeda/jarak. Bisa untuk delay dalam sistem yang menyempurnakan jalannya siklus sistem. Bisa juga dalam bentuk perbedaan, yang sengaja dibuat, atau yang terjadi alami. Celah yang muncul akibat ketidaktahuan. Celah adalah kelaziman. Perbedaan adalah sebuah ciri pembelajaran.


Tak semua harus terhubung. Banyak hal yang harus dibiarkan memiliki rongga. Rongga yang memang kadang memancing kita untuk "mengukur" dan kadang melepaskan diri dari kemampuan mengukur, mengaktifkan kemampuan lain yang kadang tak butuh kemampuan mengukur, seperti halnya mencintai dan mengikhlaskan hal yang benar-benar berbeda dengan keinginan.

Banyak hal yang bisa ditimbulkan saat kemampuan mengukur kita dimasukkan ke dalam dimensi yang sangat terukur. Ini terbukti bagaimana kita mengalami fatigue saat "terjebak" di dunia komunikasi virtual. Seringkali kita tak merasa bahwa kemampuan mengukur kita mengalami turbulence hebat di dunia virtual (yang dibangun dengan sangat terukur) sehingga kemampuan mengukur kita menyerang psikis kita dalam bentuk kebosanan, bahkan kesadaran kita  (dalam bentuk abai atas konten). 

Hidup di dalam dunia yang sangat terukur dan autopilot justru membutuhkan kemampuan untuk mengikhlaskan, menerima tanpa bertanya  tentan konstelasi dialektika virtual yang sedang terjadi. Bahkan fatigue bisa terjadi hanya dalam 20 menit pertama di kala kesadaran kita menurun di level order, menjalankan sesuatu hanya karena kewajiban, bukan di kesadaran tertinggi (englightment). 

Peristiwa fatigue di dunia dialektika virtual ini sebenarnya terjadi di saat kita berada di dunia fisik. Hanya memang kemampuan mengukur kita menutup ke-fatigue-an kita, sehingga kebenaran adalah milik para pengukur yang paling presisi. Dan itu dihidupkan seperti obor yang seringkali diestafetkan atas dasar ego sindikasi pengetahuan. Ketika melakukan sebuah sesi online, maka kemampuan mengukur tidak lagi menjadi hal yang utama. 

Kebenaran data, kepresisian data, kecepatan meraih data, bukanlah hal utama. Yang akan membuat pertemuan menjadi hidup adalah ketika kita tahu kita sedang berdialog dengan orang yang tepat, yang memiliki sanad (garis jejak trust) atas data dan knowledge yang dimiliki. Yang membuat pertemuan menjadi hidup juga adalah ketika ada "celah" dan delay yang menekan kemampuan "nafsu mengukur" kita, dan mengamplifikasi kemampuan merasa, dan mengikhlaskan diri, sehingga mampu larut dalam chemistry yang kadang memang  sering diawali oleh pola pola interaksi dan dialektika yang tak memiliki bentuk.

Masuk di dunia dialektika virtual ini seolah menempatkan diri kita di tepi jurang. Apakah jurang ini membuat takut karena tak ada info tentang ukuran jurang? Ataukah jurang ini akan membuat kita terhubung dengan sesama penghuni tepi jurang dan menjadikan tepi jurang sebagai  cerita yang membuat bahagia? Atau malah sibuk menciptakan boneka-boneka kesepakatan ala tokens dan coins yang memperkaya kita, di sela salah langkah saja bisa membuat kita jatuh ke jurang. Toh akhirnya akan terpecah sebelum kita sempat menukarnya. Terjatuh di jurang yang nyata mungkin bisa membuat kita mati. Tapi ada juga jurang yang tidak nyata, ketika kita terjatuh di "celah" yang "menyambungkan" perbedaan, karena kita tak sempat mengembangkan kemampuan lain selain mengukur. 

Akan ada masa kita akan masuk ke dunia tanpa uang. Dunia yang tak butuh lagi koin dan token untuk menyelamatkan diri. Keberadaan kita di tepi akan dijamin dengan kemampuan lain kita seperti berkoneksi, mengikhlaskan, mencintai, dan memaafkan.

Memaafkan itu bukan tentang jual beli. Memaafkan itu tentang ilmu menikmati hidup di tepi jurang


Tuesday, April 20, 2021

Memaknai Sudut



Dapat dipastikan setiap orang memiliki peristiwa yang membuat dirinya mendapatkan pelajaran untuk bisa berubah cepat. Tentunya ada juga yang tidak berubah cepat, tapi tetap harus berubah. Jika tidak, konsekwensinya akan berdampak panjang pada kesadaran. 

Setelah merekam beberapa pola dan data yang terungkap saat peristiwa aglomerasi atau terkoneksinya sebuah sistem dan area, kali ini pada organisasi yang settled di civil society, bisa dipastikan ada beberapa rongga dan celah yang bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Namun hal itu adalah hal wajar. Kesempurnaan adalah milik pencipta yang terus mencipta secara berkesinambungan. Kalo istilah kampung tetangga adalah sustain in creation. 

Seringkali sebuah perubahan adalah sebuah penciptaan, khususnya untuk perubahan yang membutuhkan ruang untuk ditanggapi, dirasakan dan dijalani. Misalnya pada kepengurusan baru sebuah organisasi bermukim warga. Pengubahan dari iuran bulanan yang tanpa denda menjadi memiliki denda bisa jadi memiliki dampak sistemik. Warga bisa terbelah menjadi banyak faksi, misalnya kelompok "sok asik" non saklek yang lama ada kini terpecah menjadi kelompok "sok asik" yang menjadi saklek karena kenyamanan ide-ide mereka yang (seolah) diterima (atau sebenarnya diterima karena di-apatis-asi warga). Kelompok ini berhadapan dengan kelompok "ga asik" yang susah diatur, atau sedikit memiliki perbedaan pandangan (yang kadang simpel seputar hak publik untuk parkir) misalnya. Kelompok-kelompok ini bisa saja menjadi kelompok baru saat denda diterapkan. Bubble menjadi terbelah menjadi bubble syar'i dan tak syar'i (karena masuk dalam ranah riba - mubah), dan bubble-bubble baru yang mungkin bisa saja tak diduga, walau sebenarnya bisa terpetakan jika dipantau dan di-scan melalui pengukuran kesadaran.

Memobilisasi individu untuk jadi bubble front berbasis ekonomi ( isu riba-non riba) jauh lebih cepat  dibanding dengan menciptakan bubble berbasis belief (benar-salah -baik - buruk). Saat berbasis ekonomi, tak butuh artefak sistem untuk menjadi "katalis", tapi saat berbasis belief, artefak sistem adalah sebuah data yang wajib ada untuk mengunci bentuk dari dialektika sebuah bubble

Yap. Seringkali kita melewati tahap mengukur kesadaran kita saat menghadapi perubahan. Kadang kita ga sadar kita yang biasa berkarya dalam bahagia (senang, damai, ikhlas) harus berubah menjadi berkarya untuk sesuatu, yang sebenarnya tak berada di level kesadaran yang biasa dijalankan. Perubahan yang mengubah kesadaran bisa jadi jebakan dan sumber permasalahan tak hanya pada level individu, tapi juga interaksi kelompok. Apalagi perubahan ini sudah menyangkut belief seseorang khususnya tentang pengambilan keuntungan yang tak sesuai kaidah kepercayaan.

Banyak perbedaan yang muncul saat memandang bagaimana orang mengambil keuntungan dari keadaan. Misalnya pada penerapan denda pada aturan-aturan di sebuah civil society. Penerapan denda dalam social engineering itu seperti sebuah operasi diferensiasi/mengonversi sistem value menjadi material. Ini sangat fundamental, jika kita tak cepat sadar untuk kembali ke kesadaran di level mencerahkan. Mengonversi nilai menjadi material pada dasarnya adalah alat untuk menurunkan kesadaran orang lain. Pada dasarnya adalah alat yang bisa memulai sebuah sistem bully pada society

Tentunya sistem ini akan disetujui oleh orang yang biasa menurunkan kesadaran orang lain sampai level ketakutan dan ketidaknyamanan (pem-bully). Tapi tentunya di sisi lain akan ada sistem yang akan menetralkan, baik dari renggangan waktu dan momen, yang membuat semua harus belajar.

Yap, dalam desain,  sudut adalah sebuah area yang akan mempertemukan dua elemen atau lebih. Pertemuan dua elemen atau lebih akan menghasilkan pembelajaran, dan usaha untuk mengembalikan keadaan menjadi terukur dan berfungsi, atau mengembalikan kesadaran ke level yang tertinggi, sebelum terkena gangguan pem-bully

Saat ada yang tersudut (by system), saatnya kembali belajar secara kolektif untuk meluruskan. Meluruskan tak selalu memulai dari awal. Tapi bisa dengan membuat keseimbangan yang memperbanyak keluarnya energi pikir.

#aingmahnaon