Wednesday, December 05, 2012

Pleki, Jangan Paksa Aku Mandi Tanah Lagi



 Bona letih, badannya pegal-pegal. Dari jam delapan pagi  ia harus bermain basket di sekolah. Hari ini memang masa-masa pekan olah raga antar kelas. Tak ada pelajaran karena UAS baru saja selesai. Bona jadi salah satu andalan  yang mewakili kelas 11 untuk bermain dengan kelas-kelas lain.
Tak terasa matahari sudah begitu terik. Sayup suara azan pun mengumandang dari balik dedaunan pohon manggis yang tumbuh di depan kios rokok Pak Mur. “Minta air putih sedikit ke Pak Mur, pasti dia mengijinkan, toh sepertinya jualannya laku pagi ini, “ pikir Bona. Gratis is the best.

“Minta air, Pak Mur!”

“Ambil saja, Bon. Kalo mau pake es ambil sana di termos, Pak Mur mau ke masjid dulu ya Bon.”

“Terima kasih ya Pak. Ga ada yang nungguin Pak?”

“Biarin si Pleki aja yang nungguin. Tapi tau tuh kemana dia,” ujar Pak Mur yang bersarung kotak-kotak putih. Pak Mur ini terkenal santai, namun ingatannya panjang. Jadi tahu siapa yang ngebon sama dia + jumlahnya dengan detail.

..”hmm.. air putih  ini enak sekali,”  gumam Bona, menghibur diri.


“KAMPRET LU”

Pergi ke sana! ” terdengar suara hardikan dari rumah di balik kios. Sekelebat ada anjing berlari. Anjing itu menggigit plastik hitam kecil. Anjing itu ternyata Pleki, peliharaan Pak Mur. Tapi ekspresi Pleki begitu terlihat serius berlari menjauh. Cepat sekali.  Ritual minum air putih gratisan pun terhenti.

..”Huh, najis mughaladah,” tiba-tiba  teriakan  itu mengiringi  hardikan dan keterbirit-biritan anjing. “Anjing itu menyentuh gamis ane, ane harus cari tanah.. Ah tidak, ane harus mandi lagi saja,” ujar sosok yang tiba-tiba muncul dari balik kios rokok Pak Mur. Ternyata dia Umar, baru saja bergerak menuju masjid, untuk shalat dhuhur berjamaah.

“Hoi, Umar!,” sapa Bona. Umar, salah satu rekan Bona yang rumahnya paling dekat sekolah.  Umar memang getol sama urusan organisasi agama, tapi Bona kurang tertarik, karena sepak terjangnya dirasa terlalu agitatif.

“Salah apa tuh anjing, kenape najis?”  Bona penasaran. “Ya emang najis,brur! Tuh si Pleki sering  seliweran  di mari (di sini –red). Sampe akhirnya gamis Ane  kena deh sama hidungnya. Ribet dah urusannye.
“Urusan ape Mar, sampe ribet amat?”

“Ya ane telat ikut majelis (dhuhur berjamaah)”, keluh Umar.

“Seribet itu ye?”

“Iye” tegas Umar

Ane mandi tanah dulu ye Bon.”

Iye dah”
….
Akhirnya Bona baru bisa menghabiskan segelas air putih.


Plekiii…Plekiii. Ade ade aje lu, Plek. Nyang satu numpahin keribetan hidupnya sama elu, nyang satu ihlasin realita sama elu.

“Jadi inget cerita Ashkabul Kahfi, atau para sahabat Rasul yang berburu dengan bantuan anjing. Ribet ga ye mereka? Semesta begitu ribetkah? “

Nb:
Ini cara bersihin najis mughaladah. Ribet? Relatif. Tergantung kadar keikhlasan. Beribadah ikhlas itu bikin kita damai, dan agama pun akhirnya tak perlu dibela-bela, hanya karena kelemahan dan ketidakikhlasan kita. 

Tuesday, November 27, 2012

Menakar Prasangka



Pengemis di waktu-waktu tertentu mengisi persimpangan-persimpangan jalan. Mengisi ujung jalan dengan tiang lampu pengatur lalu-lintas, duduk sila di trotoar dan mulai mengais rejeki.

Jam kerjanya tak diketahui, mungkin 12 jam, mungkin 8 jam, atau kurang dari itu. Tapi (sekali lagi) di waktu-waktu tertentu, mereka memang konsisten mengisi ruang-ruang sudut jalanan.

Tak tahu apakah sudut jalanan adalah tempat paling 'menguntungkan'. Tak tahu juga neraca laba mereka saat  meminta-minta di posisi itu, dibandingkan harus berjalan keliling komplek, mengetuk pagar setiap gerbang rumah.

Mereka sedang berusaha, iya, berusaha meminta.

Di sisi lain, ada sosok-sosok jiwa  yang berusaha memberi, berbagi, dan menyisihkan pendapatan mereka untuk diserahkan ke 'semesta'. Mereka sadar bahwa mereka adalah milik semesta. Mereka berusaha mengaitkan diri dengan semesta dengan cara memberi, berbagi, dan menyisih.

Memberi, berbagi, dan menyisihkan harta adalah sebuah rutinitas yang seringkali menyandu. Tak terasa hampir setengah harta seringkali tersisih. Namun hal itu tak membuat jiwa dan waktu terkorupsi. Hanya mungkin ada satu hal yang seringkali terkorupsi,  ialah prasangka.

Prasangka yang ada sudut hati seringkali terusik saat ingin berbagi. Daftar pertanyaan seolah membumbung tinggi ingin mengonfirmasi apakah yang ingin kita bagi ini benar-benar untuk semesta, ataukah hanya untuk para oportunis yang bermain posisi bawah untuk 'menangkap' harta yang terlempar?..


Terlalu banyak konfirmasi, seringkali justru malah mengurai waktu. Dan hanya menjadikan kita 'pemangsa' skenario Tuhan. Terlalu sering kita merencana, sampai lupa kita malah merencana hubungan antarmanusia, yang sama sekali tak bisa dilakukan saat kita belum mengenal.

Pengemis yang (seolah) penuh derita itu memainkan perannya sebagai penakar rejeki orang, dengan tangannya yang jadi timbangan. Seringkali dengan kelemahan prasangka kita, kita jadi tak tahu siapa yang menjadi pemangsa, kita kah , atau si pengemis.

Merencana, atau bahkan hingga mengikuti sekolah merencana, membuat kita menjadi Tuhan-Tuhan kecil yang berhak menilai orang lain. Padahal kita tak pernah bisa mengetahui seseorang buang air besar seberapa cemplungan. Bahkan kita tak pernah mengetahui seseorang beberapa kali menelan ludah, karena sedang tercengang menatap karya Tuhannya.

Merencana, berprasangka, dan menakar adalah 3 hal yang biasa dilakukan barang ciptaan. Mengenal adalah pengikatnya. Mengenal adalah pintunya. Kita tak pernah bisa melakukan ketiga hal itu tanpa akhirnya melalui pintu pengenalan.

Terlalu banyak orang di luar pintu, yang harus kita kenal. Karena syarat untuk jadi manusia itu simpel, ia bisa membuka pintu. (titik)

Sunday, November 25, 2012

Mulutmu, Klaksonmu?



Pagi-pagi, saya sudah mendengar berita Munarman dipukuli gara-gara menglakson berlebihan di jalan raya. Bagi saya ini adalah berita ironi, antara rasa ingin tertawa, dan prihatin  (kebetulan rasa prihatin ini sudah mulai kebal karena dilatih oleh berita-berita kekerasan yang spartan di media lokal kita).

Rasa ingin tertawa seringkali berasal dari humor. Humor seringkali adalah rangkaian kebodohan yang dirangkai oleh kecerdasan. Saya masih selalu merasa salut untuk  para komedian sejati yang punya range pemikiran lebar. Merangkai cerita (apapun) jadi tak wajar, tapi tak juga berlebihan.

Kemacetan adalah salah satu hal yang wajar di Jakarta. Banyak hal yang dihasilkan dari macet. Esensinya sih, macet adalah resultan dr beberapa kebodohan kecil. Orang cerdas seringkali membungkusnya dalam cerita2 inspiratif di timeline social media, seperti twitter atau status facebook.  Bukan keinginan pencet klakson :P

Pencet klakson berarti memberi peringatan akan bahaya/kondisi tak ideal di sekitar. Bukan beritahu "saya adalah bahaya, saya tak ideal" :D

Esensinya, memencet klakson bertujuan untuk "mengganggu", membuat orang perhatian terhadap suatu hal. Bukan prpanjangan mulut sbnarnya :D

Jk ada 1 suara klakson, sjatinya ada 1 hal "gak beres".. jk ada 2 ya kelipatannya,dst. Bkn u/ brkomunikasi. Komunikasi mngarah ke keindahan.

Bagaimana cara meredam emosi saat diklaskon habis-habisan? Berikut tipsnya :D


  1. Anggap saja pnglakson baru dapat rejeki jadi orang kaya baru. Lagi pamerin klakson impornya
  2. Anggap ada kondisi darurat di blakang, kecipirit misalnya. Menghadapi kondisi darurat tak boleh panik. Santai saja
  3. "Mulutmu, klaksonmu". Beda orang beda mulut. Fungsi utamanya tetep untuk makan. Jika ada makanan sisa, berikan
  4. Bisa jadi balasan Tuhan krn kita dianggap berisik o/ alam. Menyatulah dengan alam, nikmati komunikasi dg semesta.
  5. Lanjutan no. 3, bisa kondisi darurat yg butuh pertolongan kita. Turun dari mobil, tnyakan, "Ada yg bisa saya bantu?"


Mungkin itu yang terjadi pada Munarman, kelima orang itu sebenarnya bantuin dia.. Wallohuallam bissawab

Saturday, June 02, 2012

Mainstreamist vs Extremist


1. "Besok tugas harus sudah dikumpulkan," ujar Mainstreamist.

2. "Matahari sudah terbenam. Keluarlah. Besok kau datang kembali, bawa pesanku, dan pesan barumu," ujar Extremist.

3. "Kamu harus saya hukum," ujar Mainstreamist.

4. "Sudahlah, kamu pulang, istirahat, dan telepon ibumu," ujar Extremist.


Kalimat 1-2 dan 3-4 sebenarnya satu arti. Tak ada yang lebih baik dari kedua percakapan di atas. Keempat percakapan berasal dari dua tokoh di dunia yang sama . Sama-sama melintasi lintas waktu yang sama, dan sama-sama mengejar cerita untuk dibawa pulang. Setiap manusia butuh cerita, minimal cerita itu hanyalah berupa kesenangan ber-BAB lancar di hari berjadwal padat.

Jadwal yang padat menggiring kita pada keterburu-buruan. Jadwal yang padat menggiring kita pada berlaku cepat. Jadwal yang padat seringkali membuat pikiran memampat, sehingga muka terlihat seperti ikan sepat. Mata melong, mulut menyayat. Jadwal yang padat juga seringkali membuat kita terlihat berusaha untuk membuat citra, bahwa kita sedang berjuang mengarungi waktu. Apakah mengarungi waktu harus diperjuangkan?

Waktu tetap bergulir. Tak perlu buru-buru menilai orang satu lebih baik dari lainnya. Tak perlu grasa-grusu memilih calon pemimpin dikala waktu sudah mepet. Keutuhan cerita tak selalu didapat dari perbuatan yang buru-buru. Seperti mencabut padi tanpa akar, dan mencoba menanamnya kembali di tempat lain.

Ada banyak cerita di balik keterpadatan. Ada banyak perilaku yang dihasilkan dari keterpadatan. Ada orang-orang yang akhirnya hidup nyaman, walaupun tak punya apa-apa, karena mereka bisa menikmati bisikan angin. Ada orang yang bisa menikmati deru mobil trailer yang melintas dua meter dihadapannya, karena mereka mendapatkan cerita,"hidup yang berat harus dilalui dengan roda yang berat dan bawaan yang banyak hingga menderu".

Tak ada yang lebih baik dari kedua percakapan di alinea-alinea awal. Tapi jelas ada perbedaan. Sosok Mainstreamist adalah orang-orang yang menikmati keterhanyutannya hingga seperti ikan yang lupa menggunakan sirip. Sosok yang kedua adalah sosok yang penuh cerita, dan tahu cara menikmati waktu yang hanya sedetik. Sosok kedua adalah sosok yang tahu, ilmu tak butuh teori, karena teori itu meng-KWkan esensi ilmu sendiri. Ilmu butuh rasa berbagi, ilmu butuh kemampuan berkenalan dan bercerita. Ilmu pun butuh ibu. Demi perbaikan peradaban, saya bertaruh pada para extremist! Semoga Jakarta kembali diisi oleh para extremist yang dicari penjajah! :)

Salam urbanistis!