Friday, January 13, 2023

Kedaulatan dari Dalam Rimba




"Kedaulatan adalah rasa cukup..."

Ucapan yang terlontar dari seorang guru di hari-hari akhir sebuah perjalanan di dalam rimba membuat saya berpikir  hingga berbulan-bulan untuk satu kalimat itu. Makna kedaulatan yang saya pahami selama ini seolah terurai tanpa sisa. Kedaulatan yang berupa sebuah rasa merdeka untuk berkehendak justru tidak ada artinya saat kita tidak memiliki kemampuan untuk "menghabiskan diri", dan melebur dengan semesta. 

Ikhlas, kalo menurut salah satu mentor saya. Namun ikhlas bukanlah rejeki untuk orang orang yang masih memuja rasa. Ikhlas adalah menjadi titik, titik setitik titiknya di dalam semesta. Ikhlas adalah untuk insan yang sudah bisa "saciduh metu, saucap nyata".

Jika digambarkan, ikhlas adalah dimensi dimensi yang terhubung, yang terasa saat mata terpejam. Menghilangkan penat, dan menembus ruang, menembus waktu. “The quantum state,” ujar sahabat. Dimana ruang dan waktu bukan variabel yang utama lagi. Ada banyak variabel baru yang membentuk konstelasi, dan resultan untuk berarah.


Berjalan Mencari Manfaat

Ikhlas adalah kedaulatan untuk insan yang telah menjadi semesta. Menjadikan nikmat dan sakit adalah hal yang sama sama Pemberian Tuhan. Bahkan Berkah dari Tuhan, Sang Pencipta Rasa. Untuk yang masih menata rasa, rasa cukup adalah sebuah spektrum kedaulatan yang masih bisa memberikan manfaat. 

Dalam spektrum rasa cukup, kita akan bisa mengukur, dan bisa menghitung. Dalam rasa cukup, kita masih bisa melihat jauh dan dekat dengan cara yang mudah, tidak membuat pegal rasa dan pegal mata. Dalam spektrum rasa cukup, kita masih bisa mengatur nafas.

Perjalanan dengan rekan di dalam rimba membuka mata saya, bahwa rasa cukup adalah alat untuk berpijak, selain kaki untuk meninggikan badan, dan melangkah. Rasa cukup telah membuat masyarakat Adat bisa bertahan di dalam hutan terdalam. Bagi mereka ekonomi adalah cara untuk mengelola bekal di lumbung, dan pertemuan dengan masyarakat di luar adat mereka adalah kesempatan untuk mengembangkan nilai dan etika. Pertukaran nilai terjadi saat etika mengembang dan menjadi ruang ruang nyaman untuk bertumbuh. Tak harus dengan uang.

Matinya Uang 

Jauh sekali dengan apa yang terjadi di kota. Atau di bumi yang pengisinya menganggap uang adalah alat yang tak bisa tak ada. Di kota, uang seolah telah jadi bumi itu sendiri, bahkan menentukan detak jantung dan hela nafas. Bahkan uang menggerus etika dan nilai di setiap level pertemuan di perjalanan waktu. Seolah terhubung, namun syaratnya harus dengan menyamakan nilai, di saat setiap individu tak memiliki nilai yang sama atas setiap pembelajaran. 

Kembali ke rimba yang menakutkan untuk yang terlalu terlena dengan nafas yang memburu. Banyak ancaman yang datang di rimba. Tiap saat, tiap waktu, namun semua terasa memberikan pelajaran mahal. Pacet yang datang seharusnya bisa jadi teman, yang memberitahu apakah darah kita kental atau terlalu encer. Apakah makanan kita sehat atau terlalu berkimia. Babi hutan yang datang dengan nafas memburu di tengah malam seringkali mengagetkan untuk orang yang terbuai nafas. Namun menjadi mentor alami bagi orang orang yang ingin belajar berbagi getaran dan pesan dengan semesta,"kami adalah semesta, yang terhubung," hingga babi hutan kembali bergerak menghilang di balik semak. 

Tak ada itu ambisi. Tak ada itu iming iming, bahkan tak ada uang yang bisa menyatukan kami dengan semesta. Uang tak berdaulat di dalam rimba. 

Bergerak dan Berhimpun

Bagi kami yang di rimba, semua hal yang terjadi membuat kami lebih cergas dalam bergerak, lebih senang dalam berhimpun. Karena saat kami bergerak bersama, saat kami berhimpun dalam kerekatan panca indera, itulah cara yang terbaik untuk merasakan masa depan. Karena di saat yang paling mendesak, masa depan adalah di titik kami berpijak. Tidak lebih, tidak kurang. 

Kedaulatan adalah cara kami mencukupi diri dalam kegelapan. 

Apa adanya. 

Sekuat tenaga.