Sunday, April 30, 2023

Perjalanan Terjauh



Bagi sebagian makhluk-makhluk yang menggadaikan hati nurani  pada ambisinya, perjalanan mudik bisa jadi perjalanan yang mengganggu benaknya, mengganjal akalnya. Bahkan ada beberapa anasir pembising menyebutkan dan mengaitkan perjalanan mudik sebagai pemborosan dan penyebab turunnya produktivitss.

Jika dilihat resiprok, tentunya bisa saja sebuah pemborosan dan penurunan produktivitas. Di sisi lain, kita juga harus jujur bahwa perjalanan mudik berarti juga perjalanan mendekatkan diri ke asal. Di setiap proses identifikasi, pengenalan, rerouting, reconnecting, sejatinya akan membuat sebuah keadaan atau kadang kapital, bisa jadi lebih kuat.

Tentunya juga hal ini tak selalu terlihat jernih, karena seringkali perjalanan mudik menjadi momentum untuk memasang patok-patok pengaruh di social body sebuah keluarga besar. Inilah yang seringkali menimbulkan gap antara generasi. Pertanyaan frekwentatif dan stimulatif seringkali melebarkan gap antargenerasi, di saat yang sama mudik adalah momen bertemunya inspirasi bersama untuk memiliki badan sosial yang besar, untuk dikapitalisasi, ataupun untuk menjadi pemicu bangkitnya nilai-nilai luhur masa lalu, atau bahasa socio engineering-nya “value entangled”. 

Setiap bentuk besar tersusun dari bentuk-bentuk (kecil) penyusunnya. Begitu pula dengan keluarga besar, atau dengan sebuah bangsa yang besar. Namun kadang cerita kecil ini bisa saja tertutup oleh sebuah value besar yang tak bisa dibendung, karena memang sudah saatnya sebuah keluarga, dan bangsa bangsa besar terbentuk. 


Seorang rekan berkata, “Indonesia ini ada karena ‘Atas Berkat Rahmat Alloh’, bukan karena lain. Bertahan pun bukan karena yang lain. Silahkan uji pendapat ini. Indonesia  ada seperti Ka’bah yang dijaga Abdul Muthallib. Karena memang harus ada. Untuk menjaga dunia di akhir masanya. Silahkan hancurkan, maka yang akan tersisa adalah Pertunjukan KekuasaanNya. Silahkan pasang patok-patok gaib untuk coba hilangkan Rahmat Tuhan. Semua akan berakhir pada datangnya tentara tentara langit yang membersihkan dosa dan membuat hati bersinar.”

Mudik bukan selalu tentang pulang ke kampung halaman. Mudik adalah representasi bagaimana kita mencari asal. Mencari source. Istilah yang digunakan ahli ahli pemetaan social value dalam meng-unlock sebuah nilai di masyarakat asal, bisa berbasis genetik, ataupun berbasis jejak rantai intelektual. 

Mudik adalah cara mensafarkan diri. Saat safar, diri kita secara tak langsung memasuki dimensi berjuang dengan segala resikonya. Hukum dan ushul fiqih (pembentuk konstruksi hukumnya) pun bisa berlaku beda. Seperti halnya orang-orang yang sedang arribath, menjaga perbatasan. Sebuah cara berjuang yang menjadi cita-cita orang orang yang selesai dengan dirinya. 

Mudik adalah cara lain ber-arribath, menjaga perbatasan, mencari dimensi asal yang menguatkan nilai-nilai dasar kemanusiaan.  Mudik  adalah cara lain mencapai alpha zone, atau ada yang menyebut quantum zone, dimana waktu (masa lalu, kini, dan depan) berada berhimpitan dan bukan variabel utama. Di zona ini, yang signifikan adalah variabel penciptaan gestur-gestur terbaik, jika bisa secara kolektif. 

Mudik adalah cara lama menguatkan kemanusiaan, yang akan selalu mendapatkan perlawanan orang orang “sok baru”. Beruntunglah orang orang yang harus berjalan lebih jauh, karena bisa mengenal ruang baru, rejeki baru. Beruntunglah orang yang bisa menikmati tensi, karena di setiap tensi ada ruang pemahaman baru yang jauh lebih besar. Tentunya jika kita berhasil membuka kunci-kunci hati.

Saturday, April 15, 2023

Tirakat Langit vs Tirakat Bumi

“Berkata langit padaku, bahwa dia akan kirimkan pandawa-pandawa terbaik untuk menjaga bumi. Di sisi lain, bumi pun ingin menjaga agar tetap berputar dan bisa menjadikan langit sebagai atap terbaik,” ujar Seorang Pande, sebutan seorang sahabat yang sudah lama meninggalkan ibukota, dan kini mengabdikan hidupnya untuk menjaga irigasi.


“Kebisingan di kota membuatku ingin menepi, dan mencari sudut-sudut yang lebih tinggi untuk memandang lebih luas,” ujar Pande. Dahulu beliau adalah seorang marketer handal. Berawal dari menjadi Advertising Executive (AE) istilah lain dari sales untuk perusahaan yang menjual jasa promosi dan/atau advertising, lalu di ujung “karirnya” Pande mendapat tugas untuk mempersiapkan sebuah unit baru di kantornya. Unit baru yang memanfaatkan big data untuk memetakan pasar. 

“Jika dikatakan aku lelah dengan pekerjaan menelan big data itu, mungkin benar. Tapi tepatnya aku ini sudah kenyang, lalu muntah, lalu kutelan lagi, lalu muntah lagi, lalu kutelan lagi, hingga waktunya apa yang kumuntahkan dan kutelan itu diambil oleh tim lain untuk diolah menjadi entah. Di ujung karir, aku tak tahu apa yang kumakan. Aku hanya merasakan bau yang seperti racun. Jangankan membaca kata big data secara utuh, baru lihat huruf -b nya saja pandanganku berubah menjadi abu-abu. Tempatku bukan di bangunan dengan kabel tercanggih itu lagi,” Pande bertutur sambil membelah batang bambu untuk dijadikan pengganti batang pagar yang rusak diterjang babi hutan tadi malam..

Kehadiran kami berdua di sebuah tempat di sisi utara timur Gunung Batur ini sudah direncanakan dari dua tahun yang lalu. Pande sering mengirimkan tulisan-tulisan tentang bagaimana sebuah tensi besar yang sedang terbangun. Tensi yang dimanfaatkan bukan oleh bangsa ini, untuk dijadikan ajang balas dendam yang berdarah darah, tak menyisakan pemenang. 

Kami duduk di sebuah bale yang berada di sebelah mata air yang membasahi petak sawah berpadi setinggi mata kaki. Masih terlihat riak air di lahan sawah yang sedang giat diairi. Lalu Pande mulai bercerita…

“Setelah sepuluh tahun menjadi agen yang memasarkan produk ke orang-orang yang menjadi wakil perusahaan, aku cukup bisa mengetahui apakah produk yang sedang saya tawarkan ditolak atau diterima hanya dari melihat gesture orang orang itu di lima detik pertama. Sama seperti halnya saya bisa menilai karakter orang hanya dari melihat mereka menyetir di dua menit pertama. Banyak rekan yang telah resign dari perusahaan mengajakku untuk ikut mengajar di konsultan pelatihannya. Tapi kutolak. Aku merasa kemampuan melihat gesture ini bukanlah keahlian yang harus diturunkan. Aku merasa seperti memiliki ilmu hawa beracun. Seperti ilmu hitam bagiku,”

“Sampai pesan-pesan itu kau baca. Aku baru sadar ini mungkin sebuah cerita lama tentang ‘Semua ada waktunya’. Tuhan memberi kemampuan ini agar aku bisa membaca perseteruan besar  yang akan  terjadi. Perseteruan yang tidak perlu. Karena jika perseteruan  terjadi menjadi perpecahan dan pembantaian, itu karena sama-sama menyembah ketidaktahuan. Dosen matematikaku pernah berkata, bahwa pertidaksamaan dibuat bukan untuk mencari jawaban. Tapi untuk merapikan posisi. Tapi yang terjadi saat ini, semua orang-orang yang merasa baik itu ingin mencari jawaban.”

“Di beberapa tahun terakhir, aku dititipi ilmu baru, yang ternyata ilmu purba, yang bisa membuka kunci-kunci ingatan yang keluar dari sulbiku. Bahwa aku adalah keturunan ke tujuh dari para penjaga naskah naskah Idrisiyah. Dahulu mereka memilih untuk berhimpun dalam sebuah wadah bernama kerajaan. Lalu mereka memilih melepas ikatan kuasa, dan menyebar di sekitar untuk menjadi sumur-sumur penyegar.  Kau akan bisa melihat citri mereka yang selalu tinggal di tempat tak berair, lalu lahirkan mata air baru untuk sekitar. Mereka kini jalankan pesan-pesan dalam naskah melalui ajaran penyempurna, dengan laku tertinggi, walau mereka tahu, ajaran penyempurna hanya akan hanya bisa dikuasai sempurna oleh yang memiliki darah ksatria sang pembawa.”

“Naskah idrisiyah akan  tetap terjaga di tempat yang tak kasat nafsu dan mata. Sedangkan ajaran pengunci dari ayahanda Syits akan terlihat di setiap titik perubahan besar. Walau yang memahaminya mungkin hanya sampai generasi ke empat dari para pendiri kerajaan penjaga. Ilmu ini bukan tentang memanjakan pikir. Ia adalah ilmu-ilmu penyimpul. Penyimpul gerak dan rasa. Penyimpul rasa dan masa. Ilmu simpul ini adalah cara pandawa kedua, Ayah Syits, membangun bulan, mengunci bumi dan langit di masa siang seperti malam, yang kini semakin terasa sama. Iya. Masa masa penyimpul akan kembali tiba. Mungkin saya, kamu, atau yang kamu sayangi, akan memiliki kesempatan yang sama.”

“Aku memanggilmu untuk menceritakan sebuah cerita, yang harus kuceritakan dengan langsung menatap matamu. Karena ini tentang penyimpul. Yang memang harus selalu terhubung. Ini tentang cerita orang-orang yang hidup di dimensi yang lebih tinggi, dimensi pembungkus dimensi keinginan.”

“Kita semua terhubung. Kita semua berayah sama. Yang dikirim langit untuk mengharumkan bumi yang sudah berbau bangkai dan darah.  Anak ayah kita yang pertama memiliki misi lain untuk mengikat luka. Cucunya memiliki misi lain untuk mengembalikan cahaya agar tak lagi membakar, tapi sebagai penunjuk jalan.”

“Kini keturunan dari anak dan cucu saling berseteru. Sang keturunan anak yang mengharumkan bumi merasa keturunan sang cucu adalah pembuat silau yang  membuat bumi selalu terjaga. Ada masa dimana memang keturunan sang cucu mengikat keturunan pengikathh bumi dengan kuncian pelumpuh sehingga mata harus terus melihat langit, melihat cahaya. Tak peduli harus buta. Puncaknya mungkin belum tiba. Keturunan sang anak kini mulai bisa membuka kuncian. Dan ingin menghancurkan seluruh keturunan sang cucu. Karena mereka tak saling kenal lagi, walaupun satu ayah di bawah langit yang sama.”

“Tugas ku, tugasmu, jika terpanggil, adalah membuat pemahaman, bahwa di setiap pertentangan selalu ada gambaran yang besar. Setiap ikatan pada rebana akan mengencangkan bunyi rebana. Tapi saling menghancurkan tidak akan menghasilkan apa-apa.”

“Aku adalah penjaga cahaya. Keturunan dari ayah pengunci, cucu sang ayah pengharum bumi. Cucu yang bertugas memegang tirakat idrisiyah. Tirakat pemberi jalan. Kau adalah keturunan dari ayah pengharum bumi. Ayah pengunci. Syits, sang pengunci. Penjaga tanah rembulan. Karena semua ada waktunya. Arus pertentangan akan datang kembali. Kembalilah dan kuatkanlah gambaran besar. Semoga tak lagi sekitar dan keturunan kita saling menghancurkan. Pertentangan adalah cara membuat wadah pemahaman kita menjadi besar. Agar waktu tak lagi memperbudak keinginan anak cucu kita.”