Saturday, April 11, 2020

Emerging Justice



Begini. Di beberapa waktu ke depan kita akan dihadapkan pada suasana yang bertempo cepat tapi butuh keputusan-keputusan tepat. Hingga akhirnya kita harus menguatkan kesadaran

Jangan lagi templatis. Yap. Karena kita dibesarkan dengan hal-hal yang kadang kita tak tahu sebabnya. Hal templatis menjauhkan kita dari kesadaran. Kesadaran pribadi, dan kesadaran bersama. Kadang saat kita membahas penyebab munculnya hal templatis, muncullah tabu. Ini wajar, saat kita mulai memasuki kesadaran bersama. Bagi saya memperkuat kesadaran bersama dalam waktu singkat bisa dikatakan sebagai salah satu cara berkeadilan, di kondisi yang serba membuat orang survive saat ini.

Kesadaran penting untuk bisa berpikir cepat. Semakin terlatih, maka semakin banyak koneksi yang bisa disurfacing, dieksplorasi. Dan banyak yang telah berlatih untuk itu.

Inilah yang menyebabkan kini saya ga percaya teori konspirasi. Teori super templatis yang mengunci kesadaran dan kodrat kita sebagai manusia bebas. Masi berat untuk menerima pernyataan saya ini? Coba saya ulang pakai narasi lain.


Saya ga percaya teori konspirasi. Saya bikin analoginya sesimpel mungkin. Ada 3 sutradara lagi audisi.

Sutradara 1: jenius. IQnya mungkin di rata rata 220. kalo bikin rencana detail. storiboard lengkap. temen dan tabungan banyak.

Sutradara 2:
IQ: n/a. Kerjaan agen beras di pasar induk, tapi dari kecil pawang hujan dan ular. Ga bisa boker di luar selain di rumah

Sutradara 3:
IQ tercatat: 160. Tapi rajin belajar. Sahabatnya banyak. HOKInya besar kalo terkait nyawanya. Tapi apes kalo urusan delegasiin kerjaan ke orang. Ga bakat milih tim. Tapi tetep HOKI.

Yang menentukan pentas di panggung adalah pemilik gedung teater. Entah cara milih sutradaranya gimana. Cuma memang seolah sutradara 1 terlihat hoki. Seolah cara dia yang benar. Padahal setiap tender manggung ya kans nya sama.

Lalu apa teori konspirasi itu? Ya ga ada. Adanya bahasa marketing saja. Semuanya tergantung pemilik gedung teater.


Dan tiap saat ada sutradara-sutradara baru muncul berusaha ikut tender manggung. Toh tendernya terbuka. Sutradara ini bisa juga disamakan dengan mazhab. Tapi tetep mazhab utama ya tetep 3 itu: mazhab elit, mazhab pasar induk, dan mazhab so-so makan bakso. Karena 3 mazhab ini hapal bener dengan karakter panggung dan kemauan pemilik gedung teater.

ini mah cuma analogi simpel. dibikin rumit juga bisa banget.
sengaja dibikin simpel buat bahan bikin meme. masa meme rumit..

Pada akhirnya kita tahu, bahwa waktu itu relatif, bahkan kita tak perlu waktu lama,untuk menjadi baik. Tentunya saat kesadaran kita di titik maksimal. Menjadi baik adalah sebuah hal termudah yang bisa dilakukan ilmu tertinggi, ilmu tanpa waktu, ilmu Kun Fa Yakun. Menjadi baik, ya kenapa tidak?

Bahkan dua gambar di atas sebenarnya adalah pengejawantahan dari 2 simbol di bawah. Tentunya diejawantahkan dengan mencoba untuk sadar penuh.
  

Thursday, April 09, 2020

Belajar Mengenal Diri dan Lingkungan

Oleh: Indra Zaka Permana (a.k.a. Private! a.k.a. Zonderzulu)

Editor: Bu Rina Kusuma
(Teks tulisan untuk Buku Komunitas Graphic Recorder Indonesia)


*klik gambar untuk memperbesar



Data tahun 2010 menyebutkan penduduk Indonesia dibawah usia dua puluh tahun mencapai angka 37%. Ini artinya sepertiga dari populasi Indonesia adalah anak-anak dan remaja.

Mereka terdiri dari berbagai macam suku, terbesar adalah suku Jawa dan Sunda. Juga memeluk agama yang berbeda-beda, tinggal di ekosistem yang beraneka macam dan memiliki bahasa lokal yang beragam. Pada masa tumbuh anak dan remaja, aktivitas berkenalan, bermain dan berkelompok adalah proses penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri, membangun toleransi dan membuka wawasan untuk menerima perbedaan.

Berkenalan juga merupakan cara belajar yang nyaman dan asyik. Bahkan bisa mendapatkan hal baru secara tidak sengaja dan menguatkan energi untuk menyelesaikan masalah. Hanya saja semakin beranjak usia anak menuju remaja, ditambah dengan makin tingginya penggunaan gadget pada anak dan remaja, menyebabkan mereka berada di “menara gading”.

Mereka lebih memilih mengisolir dirinya ketimbang bersosialisasi dengan kawan sebayanya. Ditambah lagi proses berkenalan sering menjadi momok menakutkan karena bertemu situasi baru yang mereka tidak familiar. Sehingga bisa muncul rasa tertekan, malu, dan takut.

Sebagai graphic recorder, saya ingin mencari jalan bagaimana mengurai kompleksitas dengan cara yang mudah dan menyenangkan. Metode yang saya lakukan adalah menggunakan visual sebagai metode berkenalan.

Tahap Simpel Berani “Kenalan”

1. Baca Pola Dasar dari setiap kerumitan yang terlihat

2. Temukan ide dari setiap pola dengan mencari ide di kuadran masa lalu (background), masa kini (environment setting) masa depan (skill yang dimiliki), dan Masa (lah) Elo! (Intrik, hal yang terjadi saat kita mentok)

3. Pilih 3-4 ide, masing masing satu dari setiap kiadran, untuk dijadikan subjek, predikat , dan objek sebuah kalimat. Buatlah kalimat. Sebuah cerita pun terbentuk, bukan? Kaget dengan cerita yang tak diduga tersusu ? Coba visualkan.

4. Bisa juga lho dilakukan dengan saling tanya jawab, membuat pola rekan lalu membuat kolaborasi cerita

Ini saya terapkan di Rumah Amalia yang diinsiasi oleh Bapak Agus Syafii di kawasan …. Rumah Amalia adalah rumah belajar untuk anak anak kurang mampu. Seringkali rasa rikuh, enggan, dan tidak percaya diri muncul saat sesi berlangsung. Namun seiring waktu anak-anak bisa menikmati permainan saat tahu cerita lebih dalam tentang alam dan rekannya. Saya juga pernah menerapkan metode ini di Green School Bali saat event Eco Festival pada awal Mei 2019 silam. Sesi tersebut dihadiri siswa grade 4 dan 5.


========

Data from 2010 stated that the population of Indonesia under the age of twenty years reached 37%. This means that one third of Indonesia's population is children and adolescents.

They consist of various kinds of tribes, the biggest are Javanese and Sundanese. Also embraced different religions, living in diverse ecosystems and having diverse local languages. During the growing up of children and adolescents, acquaintance, play and group activities are important processes for growing self-confidence, building tolerance and opening up insights to accept differences.

Getting acquainted is also a comfortable and fun way of learning. It can even get new things accidentally and strengthen energy to solve problems. It's just that as children get older into adolescence, coupled with the higher use of gadgets in children and adolescents, causing them to be in the "ivory tower".
They prefer to isolate themselves rather than socializing with peers. Plus the process of getting acquainted often becomes a frightening specter for meeting new situations that they are not familiar with. So that it can appear depressed, shy, and afraid.

As a graphic recorder, I want to find a way to unravel complexity in an easy and fun way. The method I do is use visuals as a method of getting acquainted.

Simple Stance Dare "Acquaintance"

1. Read the Basic Pattern of every complexity that is seen
2. Find ideas from each pattern by searching for ideas in the past quadrant (background), present (environment setting) future (skills possessed), and Masa (lah) Elo! (Intrigue, the thing that happens when we get stuck)
3. Choose 3-4 ideas, one from each quadrant, to be the subject, predicate and object of a sentence. Make a sentence. A story is formed, right? Shocked by the unexpected story? Try to visualize.
4. You can also do it by questioning each other, making partner patterns and then making story collaboration


I applied this at the Amalia House which was initiated by Mr. Agus Syafii in the South Tangerang area. Amalia House is a learning house for underprivileged children. Often awkwardness, reluctance, and lack of confidence appear during the session. But over time children can enjoy the game when they know deeper stories about nature and their partners. I have also applied this method at Bali's Green School during the Eco Festival event in early May 2019. The session was attended by students in grades 4 and 5.

Wednesday, April 08, 2020

Saat Merah dan Biru bertemu di Malam Berbulan Purnama



Saya pernah mengunggah status di sosial media, isinya bahwa sebuah postingan dan komen itu kedudukannya tidak setara. Komen itu bisa dibilang pangkat n dari sebuah status X. Jadi meladeni komen di sosial media itu seperti mengucek pakaian yang sudah dibubuhi deterjen. Buih membuncah, dan pakaian kita jadi bersih. Yap, entitas yang menempel pada pakaian itu bagi saya seperti niatan. Niatan untuk berbuat sesuatu bisa hilang hanya gara-gara meladeni komen. Pakaiannya sendiri netral, sebagai penutup dan pengisi sebuah konteks. 

Niatan, atau intention dalam bahasa Inggris adalah sebuah modal untuk menambah value dari apapun yang kita lakukan. Baik hal rutin maupun tak rutin. Niatan ini seperti panggilan yang muncul dari kesadaran (consciousness). Niatan ini yang membuat ritual menjadi bernilai ibadah atau bernilai lebih sistemik dalam sebuah struktur sosial.


Sebelumnya saya menganggap bahwa cerita dari sebuah produk bisa membuat produk memiliki nilai lebih. Iya mungkin itu masih benar. Tapi cerita bisa dibangun dari template yang sudah ada, dan akhirnya sebuah produk beresiko berisi cerita kopong. Cerita juga bisa terbangun dari niat, bahkan cerita bisa terbangun dari kesadaran kita saat memahami sebuah benda. Untuk hal ini saya akan menjelaskannya di postingan tersendiri setelah tulisan ini. 

Kenapa saya selalu menyinggung kesadaran (consciousness)? Ya, karena itu inti dari kita ber-hidup. Hidup adalah sadar. Tidur sendiri adalah lag/gap/dilatasi, yang memiliki makna lain. Bisa jadi pembuat ritme, bisa juga jadi pemutar adonan rasa. Tapi saya lebih meyakini  sadar dan tidur bukanlah urusan telor dan ayam. Saya bisa meyakini sadar adalah titik 0 manusia. Sadar lebih dulu ada, baru ada ketidaksadaran.  Saat sadar kita bisa berkoneksi, berkoneksi, berkoneksi, hingga muncullah kesadaran kolektif. Jika sebuah produk lahir dari sebuah kesadaran kolektif, maka tinggal tunggu waktu produk tersebut meledak di pasar. Jika hanya berupa needs yang  tak sadar, atau hanya jadi pengganjal kesadaran lain, ia bisa saja menjulang. Tapi jadi candu, sebuah cycle kehidupan yang memutus, tidak menghidupkan. 

Akhirnya, needs dan intention akan mengisi hari-hari kita di era serba cepat, beralur dinamis, dan bermakna penuh hirarki. Kita hanya butuh lebih banyak merasakan pijakan. Benturan yang mulai terasa ritmenya, keramaian yang mulai sayup, dan akhirnya merasakan satu titik sunyi, hanya kita dan sosok Pencipta. Saat terhubung dengan pencipta, kita merasakan khusyuk walau di dalam ruang terbising. Bisa merasakan ritme, dan jika mau, bisa menentukan ritme.  

Tulisan ini saya buat di saat langit berhias supermoon, udara berisi kedukaan atas wafatnya orang-orang baik, malam terkumpulnya catatan, dan sertifikat adaptive leadership yang ga saya duga bisa saya dapatkan.  Saat saya bilang baik, berarti bukan tentang pribadi. Tapi pengaruhnya pada luar dirinya (outer-me), pada pijakannya. Pada negerinya. Pada langitnya. 




Malam ini malam Nisfu Sya'ban, bagi saya malam penuh makna. Malam di mana semua catatan tak lagi catatan, tapi sebuah gambaran perbuatan yang terkumpul dan terhubung padaNya. Saat semua terhubung padaNya, maka ruang dan waktu hanyalah mainan orang-orang yang masih menanyakan  kenapa hidup ini berisi penuh ketidaksetaraan, seperti pangkat n pada status x. 

Ya sejatinya kita adalah 0. Dan selalu 0. Sebaik apapun yang kita lakukan, Itu semua hak semesta. Kita hanya dipercaya, hanya simpul, yang diikat oleh Pencipta. Bukan simpul mati. Mungkin hanya sesaat. 

Saya rasa itu renungan pagi ini. Sedikit puisi penutup di hari yang penat ini


Di masa benar terlihat salah

Biarkan ritual terlihat telanjang,
yang mentah melihat riya.
yang matang melihat Pencipta, yang ada di mana-mana, bahkan di hadapan ciptaan.

Esensi, ubun-ubun, pijakan,
semua semesta ciptaan. .
.
Biarkan berisik
hingga terasa kesunyian itu
hadir dari ruang terdalam
yang hanya dikunjungi Pencipta

#supermoon