Friday, August 12, 2022

Seni Dalam Ruang Operasi



Memainkan ritme, hirarki intensi, grafik ketegangan, dan menjadi bagian dari langkah yang dibuat adalah salah satu bentuk berseni. 

Sekitar 14 tahun lalu pernah secara takdir dipertemukan oleh seorang dokter kandungan yang memiliki "spek" konsulen dan memiliki keahlian sekaligus penemuan dalam teknik sayatan bedah. Dokter kandungan ini memiliki teknik bedah yang bisa membuat sebuah operasi tumor rahim besar yang memiliki resiko pengangkatan rahim berlangsung aman dan berakhir baik. Tanpa mengangkat rahim, dan rahim masih berfungsi. Sang pemilik rahim masih bisa memiliki anak lagi. 

Banyak pengetahuan yang bisa tersimak pada saat itu dari sisi non medis. Mulai dari cara mempersiapkan operasi, tools yang dipakai, gesture yang ditampilkan, dan treatment pada pasien yang tak seperti prosedur operasi biasa yang cenderung kaku dan membuat kalut. Ingat sekali saat itu sang dokter memakai jubah bedah berwarna hijau terang berlengan sangat pendek seolah hampir seperti baju kutung, dan gesture santai sang dokter yang sambil siul lalu menyambut pasien yang sudah harus duduk di kursi roda dan didorong perawat. Sang dokter berdiri di depan pintu operasi dan mempersilahkan sambil berkata, "Yuk, mangga lebet". Begitu ramah dan santai. 

Pengalaman tersebut masih lekat kuat di memori. Karena memang sebelumnya mendengar kata operasi itu sangatlah terasa serius. Walaupun memang itu adalah tindakan serius. Namun untuk masuk ruang operasi memang seharusnya tidak langsung dalam grafik ketegangan yang tinggi. Sebuah hal serius memang sebaiknya dimulai dengan kesadaran tertinggi, dan kesadaran tertinggi (act by enlightment) tidak bisa dimulai dengan ketegangan karena ketegangan adalah bagian dari kesadaran rendah (act by fear). 

Cerita operasi tersebut menjadi pegalaman berharga yang bisa jadi bekal saat menghadapi dan mengamati kejadian penting yang beresiko besar, terkait nyawa, negara, atau mungkin nama baik. Sebuah sesi workshop memperkuat alasan ini. Sang fasilitator sempat berkata bahwa alam sadar yang ditandai dengan munculnya rasa ingin (bergerak, mencapai, menjadi bagian tujuan tertentu) akan memiliki value yang tinggi jika disertai dengan olahan harmoni alam bawah sadar, atau bisa dikatakan, jika bisa menari dengan alam bawah sadar. 

Sebuah tindakan penting akan memiliki impact dan pembelajaran besar, jika tak mau disebut sejarah, diwariskan menjadi legenda, dan pelakunya menjadi pahlawan, jika dilakukan dengan harmoni dan dukungan semesta. 

Alam bawah sadar adalah alam yang seringkali dianggap alam lain yang tak bisa dikontrol dan banyak juga yang tak percaya, khususnya para analis dan ahli teori. Sedangkan bagi para praktisi mindfulness, ketidaksadaran ini bisa dijejaki dengan merasakan dan membuat semua gerak terskalakan dalam ritme nafas. 

Merasakan nafas adalah kuncinya. Jika dalam kondisi lebih statis dan tenang, kita bisa merasakan detak jantung. Jika lebih statis lagi, maka bisa merasakan gerak angin, kehadiran, dan gerak yang ada di sekitar, seperti ranting, pepohonan. Inilah salah satu pengaruh yang bisa dihasilkan saat menjejaki sebuah aktivitas yang tak bisa dikontrol (seperti gerak jantung dan nafas ketika harus melakukan aktivitas intens di ritual berbasis panca indera). 

Seringkali ketidaksadaran memang tak terlalu terasa dalam ritme tinggi, kecuali memang refleknya sudah dilatih untuk terkondisikan tenang dalam aktivitas beritme tinggi. Apakah harus dilatih untuk bisa mengontrol/memiliki reflek--gerak tak disadari dan hal-hal yang dilakukan dalam ritme tinggi? Jawabannya tentu relatif. Bagi yang merasa hidup ini harus dinikmati dan disyukuri, tentunya sebuah langkah yang bisa menguatkan rasa nikmat dan syukur akhirnya harus dieksporasi jua. 

Akhirnya bagi para penikmat seni, seni adalah momen berdansanya kesadaran dan ketidaksadaran dalam lantai dansa bernama nurani. 

 

Wednesday, August 10, 2022

Eksplorasi Deduktivisme a.k.a. Teknik Ngemong




Istilah "Bangsa Indonesia lebih senang dengan pendekatan induktif" rasanya kurang tepat. Mungkin  "Anak bangsa lebih senang dengan pendekatan deduktif, dan warga Indonesia lebih senang induktif" rasanya  akan lebih tepat.

Bagi bapackbapack yang hampir tiap hari anter anak sekolah dari jaman TK pake motor, perubahan anak dari posisi dibonceng di depan lalu karena sudah tumbuh tinggi lalu harus  duduk ke belakang adalah hal besar yang tak terduga. Sebelumnya, di perjalanan biasa ngobrol pake style tutur kata induktif lalu harus diubah jadi deduktif. Perubahan yang cukup signifikan. Jurnalis/penulis tentunya akan paham rasa bahasa ini.

Perubahan cara berliterasi ini sangat terasa dan mengejutkan karena di saat yang sama pekerjaan banyak terkait dengan fasilitasi dan kampanye literasi.  Perubahan posisi duduk ini sama sekali tak menjadi perhatian pada awalnya.  Khususnya untuk yang mengantsr anak pake roda dua.

Mungkin akan berbeda pengalamannya bagi yang memakai roda empat untuk mengantar anak.  Risetnya akan berbeda.

Bertumbuhnya anak sejak TK tak hanya fisik saja. Cara bertutur, berpendapat dan berinteraksi (khususnya saat perjalanan mengantar ke sekolah) tumbuh beriringan. Kini begitu terasa,  anak yang sudah berumu tanggung (umur 11 tahun) ini  cara berbicaranya mulai mix. Kalimatnya lebih panjang. Ide dalam setiap tuturnya semakin dalam. Sudah punya teritori untuk pendapatnya, walau  masi belum bisa melepaskan diri dari sosok (intensi) orang tuanya, dan ini sudah pernah terpetakan sebelumnya. Satu hal baru yang butuh penyesuaian/gesturing adalah seputar penyikapan posisi duduk.

Seiring berpindahnya posisi duduk, maka mulai ada bahasa baru yang dipelajari, yaitu bahasa peluk. Cara peluk anak saat dibonceng itu berbeda, saat ia lelah karena belajar keras, lelah karena bosan, atau memang mengantuk. Mulai hapal beberapa gestur khas ini. Cukup membantu dalam eksplorasi dunia deduktif ini.

Kalo dalam pertemanan, teknik literasi bisa kita disebut teknik berbasa-basi. Cara ini biasanya menempatkan rangkaian ide secara berurutan sebelum sampai kepada pesan utama. Tapi khusus untuk mengurus anak, istilahnya mungkin bukan basa-basi. Istilah "ngemong" terasa lebih pas.

Ngemong itu seperti menaikkan layangan. 

Pada layangan, ada benang yang menghubungkan kita dan layangan, dan ada angin yang membuat layangan itu berubah fungsi jadi alat pengarung angin. 

Sedangkan basa-basi itu seperti ngurusin orang orangan sawah. Butuh angin, hanya untuk perkeras "bunyi". Ya bisa saja layangannya bentuk orang-orangan sawah. Tapi tetap fungsinya akan beda. Apalagi feel-nya.

Angin dalam analogi ini adalah konteks. Saat ngemong, kunci utama dalam membuat emongan berhasil adalah konteks. Apakah bisa kita memanfaatkan konteks untuk membuat anak mengetahui perannya, ya kalo bisa manfaat dirinya saat ada di keluarga.

Jika dalam interaksi biasa, yang bukan ngemong, kita bisa memanfaatkan konteks untuk membuat individu lebih "berbunyi". Bisa dibilang kalo dari bahasa social engineering, ngemong itu adalah aktivitas yang membuat orang menjadi tak hanya dirinya, tapi juga bagian dari social body. Bagian dari dimensi yang lebih tinggi dari "menjadi", yaitu dimensi wadah. Mewadahi.

===
*Sementara baru bisa share itu dulu. Ide tulisan ini didapat saat perjalanan pulang antar anak. Saat ini waktunya cuci motor. Siapa tau dapat ide lagi. Doakan.