Sunday, January 30, 2011

Hibernasi...ah..




"Realita seolah tak berarti saat mimpi tak sanggup untuk hadir".... Nnngg...itu bahasa galau yang keluar dari rekan saya. Ia telah bergadang kurang lebih empat hari lamanya. Nggak kebayang bisa seperti itu.. Tapi itulah kenyataan yang saya dapatkan.

Menurut saya, lelah juga rasanya kalo kita selalu hidup dan memanfaatkan panca indera tanpa waktu istirahat. Sepertinya diam itu perlu,karena saat diam kita bisa merasakan mimpi.

Mungkin inilah permainan yang diajarkan Tuhan, nama lengkapnya permainan dinamika hidup. Tuhan memberikan keseimbangan dari semua aspek hidup. Tuhan juga seringkali hadir pada saat kita merasa seimbang. begitu banyak inspirasi yang hadir saat kita berada dalam posisi seimbang. Setiap perbedaan seolah meberikan makna,dan itu adalah inspirasi.

Saya pernah juga mencoba untuk bergadang lebih dari dua hari. Suer, bukan puas dengan hasil kerja yang didapatkan. Kelelahannya menghilangkan interest saya pada apa yang saya lakukan. Dulu, sebelum kerja di media saya adalah seorang creative di event organizer. Namanya terdengar keren, tapi saya membayangkannya seperti kerjaan yang benar benar melelahkan otak. Kerja saya adalah mempersiapkian proposal, menyiapkan publikasi,dan desain panggung untuk event band dan tour band. 3inone. Boro-boro menikmati band yang manggung.. kerja saya adalah mempersiapkan panggung di malam hingga pagi hari, lalu siangnya tidur karena kelelahan, dan bangun malam saat konser usai, pengen nonton, tapi badan tak bisa dipaksa kompromi.Begitu terus selama hampir setahun.

Hmm, bayangkan saja otak yang diberi handuk karena terlalu banyak cairan otak yang terpakai untuk dijadikan energi berpikir.... Lebay terdengarnya, tapi itulah pelajaran berharga yang saking mahalnya ga akan saya beli lagi... :D

Betapa istirahat itu mahal, saat kita melewati proses yang wajar. Bagi saya, istirahat adalah investasi untuk tubuh, inspirasi untuk mimpi, dan tentunya menurunkan kerja otak yang fluktuatif.

Monday, January 24, 2011

Melintasi Jakarta Tanpa Peluh


Akhirnya...

Hampir empat bulan saya membisu untuk menuliskan kata-kata di udara Jakarta... oh.. saya sudah tidak di jakarta. Terhitung 5 Desember 2010 kemarin, saya telah pindah ke kawasan Japos,Tangerang, surganya para pekerja sub urban ibukota.

Kelahiran anak membuat saya bahagia, namun itu adalah kebahagiaan yang tak bisa terbungkus dalam kata-kata. Terlalu banyak bahagia itu, terlalu banyak judul yang harus saya buat hingga saya merasa, menuliskan kebahagiaan tentang anak bisa-bisa jadi bahagia yang basa basi.

Seperti kata orang galau di halte enam bulan yang lalu, "cinta itu perbuatan, pengorbanan, sama sekali bukan kata-kata"... Itulah yang membuat saya berada dalam dunia kontradiksi untuk curhat dalam kata-kata cinta, empat bulan ini ..

Bahagia, kesal dengan dinamika politik kantor, membuat saya justru fokus memikirkan hal-hal yang bersifat formal. Tugas ya dikerjakan, rencana ya dijalankan. Empat bulan saya tak banyak melakukan hal-hal yang nakal. Nakal, diluar alur perputaran otak. Menulis di blog ini adalah sebuah hal yang nakal...Huh, terasa bukan di tulisan saya ini, empat bulan tak nge-blog membuat tulisan begitu formal, tidak nakal...


Alhamdulillah..

Akhirnya cerita baru pun tertulis...
Kenakalan itu bisa jadi hal yang formal...ternyata..

Tuhan mengirimkan "kenakalan" itu pada saya tadi pagi, dalam bentuk kisah nyata sang penjual bubur.

Istri saya yang supel, menggemari bubur ayam yang dijual di gerobak motor. Motor bergerobak tepatnya. Rasanya enak, ada tongcai (wortel kering yang asin) ala makanan Cina. Enak bukan karena bubur ayam yang bergerobak standar, yang dijual sebelum tukang bubur bermotor ini datang, rasanya seperti air payau. Tapi karena memang bumbunya meresap.

Bubur meresap membutuhkan waktu. rasanya yang enak menimbulkan rasa ingin tahu. Istri saya pun bertanya, "Mas, tinggal di mana, kok bisa siang terus jualannya?," ... "Saya dari Tambun, Mbak"... "Tambun? Bekasi? Jauh tuh Mas"... "Ya mau gimana lagi Mbak, namanya cari uang"... pembicaraan terhenti, karena istri saya masih takjub membayangkan jarak jauhnya...

Perjalanan sang tukang bubur, dari Tambun ke Tangerang adalah sebuah perjalanan yang mungkin melelahkan baginya. Namun peluhnya sudah dibungkus dalam kata-kata, "ya mu gimana lagi mbak, namanya cari uang." Peluhnya adalah sebuah kata-kata kepasrahan.

Saya tak tahu pasti, keterkaitan rasa yang enak itu dengan perjalanan jauhnya. Saya tak tahu pasti, bisa-bisanya kota Jakarta tak lagi jadi target tempat berjual bubur baginya. Ia melintasi Jakarta. Tapi ia tak mencari Jakarta... jakarta kelewatan baginya... Jakarta hanyalah sebuah lintasan waktu.. yang mungkin membantu menggurihkan ramuan buburnya...