Monday, March 29, 2021

Power of Existences



Menguasai jurus bukan berarti menguasai pertandingan. Tapi dengan memiliki jurus, setidaknya kita bisa mulai membuka jalan.


Masih banyak yang harus dilatih. Bahkan jurus hanya (maksimal) 10% skill yang diperlukan saat bertarung. Apalagi sebuah pertarungan yang resikonya kematian. Setidaknya, keberanian (untuk mengukur) dan keikhlasan (untuk memercayakan elemen di luar diri) adalah faktor utama yang bisa menentukan seseorang bisa menguasai dan mengendalikan momen. Momen apapun itu, termasuk momen pertarungan. 


Keberanian tak bisa datang dengan sendirinya, walau ada beberapa kasus faktor keluarga, sering disebut faktor genetik, berperan dalam membentuk respon individu untuk lebih agile dalam merespon rangsangan “situasi/masalah” yang bisa mengaktifkan panca indera. Saya masih ga terlalu percaya tentang gen bisa langsung menggerakkan mindset untuk selaras dengan karakter yang ada pada generasi sebelumnya. Saya lebih percaya bawa syaraf yang ter-activate karena kita melakukan/melatih skill tertentu itu akan tercetak di gen selanjutnya dengan relatif identik, sehingga tak terlalu banyak penyesuaian yang dibutuhkan. Untuk mencapai keberanian, tetaplah dibutuhkan upaya upaya sadar yang bisa menyentuh level batas-batas manusia dalam merencanakan, berlatih, dan berkeputusan. “To make transformation in system, the systems should be tested by itself,” ujar salah satu Profesor yang sering saya ikuti untuk mendisiplinkan kesadaran saya.


Keberanian tak akan muncul saat kita tak terbiasa dengan proses, “let it go”. Melepaskan jurus yang kita miliki, mengambil keputusan dan resiko, dan menentukan titik awal untuk bertindak. Menerima resiko adalah pasangan sejati dari proses memberanikan diri. Hal ini tentunya menyangkut dengan kemampuan kita untuk berikhlas. Berikhlas bisa juga berarti melepaskan kemampuan mengukur kita, dan menjadikan elemen-elemen yang tak terukur menguasai, dan jika beruntung, mengendalikan proses yang sedang kita selami dan jalani. Keikhlasan juga bukan tentang pencarian akhir, karena saat dalam keikhlasan, kita tak lagi peduli kapan rasa sakit akan berakhir. Kesadaran mulai dikendalikan oleh memori alam bawah sadar yang membawa kita pada proses menerima hal baru yang bisa menjadi jalan baru. Keikhlasan banyak berurusan dengan alam bawah sadar, alamiahnya begitu. Ketika kita terbiasa dalam kesadaran tertinggi (menurut bagan Dr Hawkins), setidaknya akan berpasangan dengan alam bawah sadar yang juga di level tertinggi, yaitu bisa meramu data-data alam bawah sadar secara simultan, muncul sebagai ide yang tak terpikirkan dan terpolakan sebelumnya. Muncul sebagai instrumen semesta yang “seolah” mendukung proses yang kita sedang jalankan.


Setidaknya itu yang saya alami. Setidaknya itu yang terjadi saat saya berada di titik nadir, ketika kekuatan besar mencoba “menghilangkan” peran manusia biasa seperti saya. Kekuatan besar yang bisa berkata “saya bisa habiskan kamu”. Kekuatan saya yang saya sadari masi tersisa pada saat itu adalah kekuatan untuk meminta doa, dan kekuatan dari Ilahi berupa kepercayaan untuk bisa bangun di esok hari. Di titik itulah saya tersadar, bahwa bangun tidur itu bukan urusan remeh. Bangun tidur adalah sebuah tanda, bahwa Tuhan masih mempercayai kita untuk menjalani hari baru yang Ia Ciptakan. Setidaknya itu yang menguatkan saya untuk berkata, “Bismillah”.



Saya ga butuh cerita hal selanjutnya, setidaknya hidup ini adalah tentang menjaga keseimbangan, mengingatkan (syiar) pada yang tak imbang, dan sisanya adalah pertunjukan semesta (pelajaran besar) dari Ilahi. Semoga kita dijauhkan dari sifat 'istidraj, merasa bisa lepas dari Kuasa Ilahi, merasa bisa menguasai, merendahkan, dan mengobok-obok ciptaan-Nya yang lain, tak menganggap ciptaan Tuhan yang lain, yang attach pada kita, sebagai amanah (untuk kita jaga), walau barang senafas (sepersekian detik). 

Friday, March 26, 2021

Trust, Sang Penjaga Kubur (Trauma)




Lupa adalah berkah. Setidaknya demikian, kalo tak mau disebut sebuah "mesin waktu" ;)


Banyak hal yang memengaruhi memori manusia, atau bagaimana manusia mengingat momen.  Betul sekali, sebuah momen. Momen yang membuat manusia melakukan sebuah proses, atau rangkaian proses. Salah satunya proses mengingat. Mengingat adalah proses untuk mengunci rangkaian pola, data , dan respon (disingkat momen, atau bisa juga diistilahkan area perform) pada koordinat ruang dan waktu. Kuncian itulah yang diletakkan dalam peta besar, istilahnya  semesta kecil manusia yang bernama otak. Setidaknya ya begitu, hampir semua studi mengatakan bahwa memori tersimpan di otak. 

Studi lain mengungkapkan, ingatan juga bisa tersimpan dalam gerak, setidaknya dia sudah berupa reflek yang kadang muncul tak terkontrol. Bisa juga muncul karena alam bawah sadar kita ter-trigger untuk bangun, dan mengambil alih kontrol memori yang tadinya sama sekali tak kita ingat.


==

Saya ingat sekali bagaimana istri saya lupa dengan sakitnya di masa kecil, saat kehamilan anak kedua saya di tahun 2010. Istri mengalami gangguan dahsyat pada pencernaannya ketika kehamilan memasuki usia kandungan 20 minggu. Makanan sama sekali tak bisa masuk, dan mual begitu parah sehingga harus diinfus dan perut seperti kram. 

Dokter kandungan mendiagnosa melalui alat USG, terlihat memang pertumbuhan bayi mulai menekan organ pencernaan, terutama lambung dan usus halus. Dokter kandungan pun membuat surat rujukan kepada internis untuk dilakukan USG pada perut, untuk mengecek kondisi perut dan gangguan yang terjadi pada istri. Kami pun berdiskusi lama dengan Internis tersebut. Sepertinya internis belum menemukan apa yang menjadi masalah utama, penyebab mual hebat, pada istri. 

Beliau pun membuat surat rujukan, agar istri diperiksa oleh psikiater. Yes! Dokter ahli kejiwaan. Karena secara klinis, yang bisa dilakukan hanya memberi infus, dan pemberian obat anti mual dan nyeri malah membuat kondisi mual semakin parah. (Mohon maaf jika mengganggu) Muntah istri saya sudah hanya berisi cairan asam lambung yang berwarna hijau lumut. 

Saya dan istri pun keesokan hari, melakukan janji bertemu dengan psikiater. Oh iya, semenjak serangan mual hebat itu datang, istri memang langsung saya bawa ke rumah sakit, dan dirawat. Pertemuan dengan psikiater berlangsung kurang lebih setelah 4 hari di rumah sakit, atau di hari ke 5. Pertemuan berlangsung singkat. Dokter hanya memberikan 3 pertanyaan. Satu, apakah punya masalah dengan suami? Kedua, apakah punya masalah dengan mertua? Ketiga, apakah punya keluhan serupa di masa lalu? 

Bagi istri, itu adalah pertanyaan yang menggelikan. Dia menjawab ketiganya dengan nada sama, tak ada masalah dengan semua itu. Karena bagi dia suami adalah orang yang paling terdepan menjaga dia saat terjadi sesuatu di kehamilan, bahkan sebelum hamil. Suami yang membersihkan kasur bekas (maaf) muntah, menyediakan seluruh keperluan, dan yang memaksa istri untuk segera dirawat di rumah sakit karena khawatir dengan kondisi yang menurun cepat. Dan dengan mertua, hubungannya seperti teman curhat, seringkali justru curhat kelakuan suami (saya), karena  ibu saya lah yang paling mampu menasehati saya jika bandel. 

Setidaknya saya mengetik ini berdasarkan testimoni yang ia katakan ke dokter. Tentu saya geer, tapi ya Alhamdulillah kondisinya ternyata demikian. Untuk pertanyaan terakhir, keluhan sakit di masa lalu hanyalah sakit nyeri saat menstruasi tiba, tapi bukan di urusan pencernaan. Dan nyeri ini sudah didiagnosa oleh dokter kandungan dengan ditemukannya kista di rongga rahim, yang akan diambil ketika operasi kelahiran kelak. Begitu rencananya waktu itu. 

Psikiater pun akhirnya memberi surat hasil pemeriksaan yang ditujukan pada internis dan dokter kandungan.  Isinya singkat, tidak ditemukan gangguan jiwa (yes, istilahnya itu, bukan gangguan psikologis lagi), pada pasien yang ia observasi. Setidaknya rekomendasi dari psikiater membuat Internis melakukan tindakan ringan untuk menenangkan istri dengan memberikan oksigen dan frekwensi infus yang lebih rendah. Tak ada lagi pemberian obat, menurut internis, ini adalah bagian untuk meningkatkan respon daya tahan tubuhnya dalam menghadapi gangguan reflek dalam usus yang terkena pertumbuhan bayi.

Waktu berlalu. Berlalu lama. Setidaknya sebelum kelahiran, istri keluar masuk rumah sakit hingga 5 kali, dengan gejala yang sama. Akhirnya persalinan pun berlangsung dalam kondisi prematur di minggu ke-28, karena gerak bayi yang aktif, dan daya reflek usus istri yang cenderung membuat asam lambung meningkat tajam. 

Alhamdulillah anak saya yang lahir prematur tumbuh sehat, dan aktif (sekali).  

Setelah berapa 5 tahun berlalu, semua berjalan normal, lalu (kalo ga salah saat itu) kami makan malam bersama di rumah. Lalu istri bertanya, "Ada es campur ya di kulkas? Pengen ih makan sekarang, tapi takut  kram usus, kaya dulu waktu kecil." 

Saya kaget...

"Hmm.. apa? Tolong di ulang kata-kata tadi..." 

Istri mengatakan sesuatu yang sama sekali belum pernah saya dengar selama pernikahan. "Iya, pengen makan es campur". "Bukan," kata saya, "Bagian yang kram usus waktu kecil," ujar saya yag masih kaget. 

"Gue baru tahu sekarang lho, kalo yang masalah dulu nyeri haid gue pernah lihat jaman ngapel ke rumah. Tapi urusan kram perut waktu kecil, sumpah owe baru denger," ujar saya  yang kaget sekaligus mikir dalam. 

"Oh, iya. Masak sih ga tahu? Oh iya, kayaknya baru keingetan, sih. Iya...jadi dulu waktu umur 5 tahun sering kram usus kalo habis makan eskrim kebanyakan, perut murilit (bahasa Sunda, artinya : terasa muter). Tapi ya, belum pernah kejadian lagi sih, karena aku kan jaga banget kalo makan yang dingin, ga pernah tanpa disertai yang hangat. Selalu ada makanan lain yang lebih hangat," ujar dia, santai. 

Cerita ini seperti membuka peta besar di memori saya, dan tentunya di memori dia.  Ada memori yang sudah terkubur sangat dalam, bisa saya katakan demikian, karena dengan teknik observasi ala psikiater pun (yang pasti sangat ilmiah) memori itu tak bisa bangkit. Justru karena es campur, sebuah cerita yang bagi saya penting, malah terkuak. 

Saya katakan saja sama istri, "Lu harus laporan tu sama dokter yang kebingungan mengobservasi. Minimal mereka pasti tahu apa yang harus dilakukan ke pasien lain dengan gejala yang sama. Gejala kram tapi pelupa," ujar saya sedikit melemaskan diri dan suasana. 


====

Ya...Itulah sedikit cerita yang saya dan istri alami. Deep memory itu bisa menjadi sumber masalah, bisa jadi juga pengubah peta besar cara berpikir. Bagi saya lupa itu bisa menjadi kendara untuk kita memiliki peta alternatif saat memori  yang tersimpan dalam di alam bawah sadar terkuak. Melupakan kejadian bisa jadi tak harus dengan membuat antitesis pemikiran yang membuat lupa. Bisa saja lupa itu adalah hasil kumpulan momen-momen bahagia yang memagari momen sakit. Respon dari pola-pola muncul yang berasal dari deep memory bisa dipetakan dengan metode "coding memory". Istilah kekiniannya mungkin demikian, istilah lamanya adalah dengan kearifan lokal (local wisdom), yang diikat dengan konsensus kolektif (adat). Cara ini banyak dipakai oleh indigeneous tribe, dan menjadi bagian studi khusus dalam ranah socio engineering, untuk pendalaman data terkait dimensi  (ruang dan waktu) yang muncul dalam kesadaran dan ketidaksadaran.  

Tulisan ini saya tulis setelah membaca lagi beberapa catatan pertemuan saya terkait diskusi dengan beberapa kolega mengenai "collective trauma". Jika berbicara tentang trauma, tentunya timbul bukan hanya karena momen yang terkunci pada memori, tapi juga terkait dengan "tercapainya" batas batas daya tahan maksimal fisik dan psikis dalam merespon momen tersebut.

Jika sifatnya kolektif, ini sangat berdampak sistemik dalam usaha membangun kesetaraan, kolaborasi, dan kepercayaan. Dibutuhkan strategi untuk menetralkan trauma kolektif itu agar kepercayaan bisa tumbuh mengikat di sebuah himpunan. Menetralkan trauma kolektif bisa dicapai dengan banyak cara, salah satunya adalah meraih kecerdasan kolektif, dimana sebuah kumpulan sosial saling berbagi data dan respon, dan berada dalam sebuah wadah besar bernama momen berkolaborasi. Cara lain yang bisa dilakukan adalah, menjadi "best partner" untuk mendengarkan momen, yang seringkali adalah, dark moment, yang muncul tiba-tiba, saat berkolaborasi tersebut. Tentunya di momen ini akan banyak tisu dan keheningan karena saling menjaga ruang bertindak. Setidaknya itu yang saya alami, dan pelajari.

Trauma kolektif akan berbeda di setiap wilayah, atau negara. Amerika Serikat punya trauma kolektif terkait isu rasialisme. Afrika Selatan punya trauma kolektif terkait apharteid. Beberapa negara Afrika dan Amerika Selatan punya trauma kolektif terkait perbudakan. Di Asia pun setiap negara punya trauma kolektifnya. Indonesia pun demikian, dengan trauma "1965" yang masi sering menjadi trauma baru dalam hubungan sosial kemasyarakatan di saat penting transformasi digital ini. Setidaknya masing-masing dari kita ada dalam posisi (alam bawah sadarnya) masing-masing ketika berhadapan dengan trauma ini. Saya yang juga bagian/turunan dari keluarga yang tumbuh  di satu organisasi keagamaan terbesar pun punya cara untuk selalu berproduktif dalam menyehatkan civil society. 

Saya tak bisa memberikan saran apa-apa. Selain ya itu, perkuat rasa percaya, karena itu menyehatkan. Setidaknya membuat kita lupa pada hal yang membuat kita sakit, dan membuat kita ingat pada hal yang membuat kita sakit, di momen yang tepat. Kepercayaan (trust), bisa dikonversi menjadi thrust, saat intensi untuk berkolektif menghasilkan momen-momen kolaborasi.  

Setidaknya kita bisa terhindar dari permainan para bohir yang memainkan "trauma" sebagai alat untuk menguasai alam bawah sadar kita. Kita juga bisa secara sadar dan mungkin reflek menghindar untuk terjebak di momen yang bermuara pada aktivitas yang tak produktif dan tak berorientasi pada kepentingan berkemanusiaan, apalagi mempertajam naluri. Padahal itu yang kita butuhkan saat ini. Naluri (conscience), sebagai "pisau bedah" utama dalam  membuang "kanker" yang mematikan hati. 





Sunday, March 21, 2021

Balancing Journey




Proses  menyeimbangkan seringkali adalah proses yang panjang, apalagi jika setiap proses harus diukur dan dibuat peta resikonya. Jika orang menganggap sebuah proses sebagai loop, saya lebih senang menganggapnya sebagai journey


Balancing loop bagi saya adalah partner bagi reinforce loop, khususnya dalam skema architype-nya systems thinking. Banyak juga yang memosisikan balancing loop dan reinforce loop sebagai lawan. Setidaknya dua elemen ini bekerja ritmik dalam sebuah sistem. Perbedaan yang signifikan tentunya adalah yang satu mencegah terjadinya efek bola salju pada sebuah proses, satu lagi mempercepat.

Banyak hal yang terjadi pada kita tanpa disadari, khususnya terkait proses interaksi dan bertumbuh, bahkan proses "meranggas", ternyata adalah bagian dari sistem besar yang sedang mengendalikan kita pada tujuan tertentu. Tujuan ini bisa saja sifatnya mutualisme seperti lebah dan bunga, komensalisme seperti ikan remora dan hiu, dan seringkali sifatnya parasitisme, seperti germo dan para executed-humanbeing-nya. Kondisi ini bisa dibilang bisa dibilang wajar, jika dilihat dari sisi pandang bahwa simbiosis ini harus ada/eksis,  karena mayoritas tindakan kita didasarkan proses yang relatif pendek, yaitu proses bertransaksi, dan mendapatkan selisih dari transaksi tersebut.

Pendidikan dasar kita tak pernah mengenalkan filsafat dari sebuah proses. Dulu, di era analog, saat data bertukar dengan cara yang lebih alamiah, mungkin belum terlalu signifikan untuk mengenalkan filsafat. Pendidikan dasar kita seringkali memang hanya menjelaskan hal teknis terbungkus dalam teknik storytelling yang dimetaforakan. Sehingga alam bawah sadar kita memang tak terlatih untuk menangkap dan merespon sebuah peristiwa yang bisa jadi ujungnya membuat kerugian bahkan kecelakaan pada kita.

Filosofi kadang selalu menjadi "darling" dalam sebuah proses rumit. Setidaknya banyak kata-kata di dalamnya yang cocok dijadikan "quote" untuk dicetak di kaos, dan kaosnya digunakan di kafe sambil ngopi-ngopi. Sebenarnya kita sering mendapatkan esensi "filosofi" saat kita melakukan hal-hal kolektif, khususnya di sebuah kumpulan yang berkumpul dalam waktu lama. Seringkali kumpulan ini dikuatkan korsanya dengan meng-0-kan ego individu kumpulan tersebut. Ini adalah bagian "pencekokkan" makna filosofi yang instan, dengan opspek, plonco, dan kegiatan orientasi berbasis fisik. Proses ini seringkali masi dilakukan di kumpulan-kumpulan analog dan organik seperti di kampus dan organisasi pemuda kemasyarakatan. 

Tentunya teknik-teknik yang bersifat fisik saat ini punya resiko besar untuk ditolak oleh masyarakat (civil society). Kegiatan menguatkan korsa seharusnya tak lagi menekankan pada menekankan "persamaan rasa (panca indera)". Penguatan korsa sejatinya ada di alam bawah sadar, mindset, bahkan pemahaman akan "asal". Banyak hal yang bisa dilakukan di area alam bawah sadar ini. Salah satu yang paling dasar yang sering dilakukan di lembaga yang banyak berurusan dengan pengelolaan dan pengendalian mindset individu maupun kelompok adalah dengan konversi.  Mengonversi pemahaman dasar untuk menjadikan seorang individu lebih agile, adaptif, dan skeptis di ekosistemnya. Bahasa simpelnya, menjadikan individu yang lebih kritis. 

Saat bicara tentang ekosistem, tentunya akan terkait dengan "rantai makanan". Ada yang memakan, ada yang dimakan. Tentunya bukan secara harafiah, tapi secara kontrol kesadaran dan kepentingan. Akan ada pembentukan hirarki dan dialektika baru, atau kekhasan baru, yang terbentuk. Seringkali pembentukan dialektika ini bisa berdampak lahirnya sebuah civil society baru yang lebih kuat. Tapi ada juga dialektika yang terbangun menguatkan reinforce loop dari sistem baru yang lebih corrupted, membuat individu lebih terkunci dan kesadarannya turun sampai level terendah. Seringkali kita menyebutnya terkunci dalam sistem bully.

Di sinilah peran balancing loop bisa dimanfaatkan untuk mengurai simpul-simpul yang corrupt tersebut. Perjalanan peran balancing loop ini bisa sangat panjang, bisa juga sangat singkat. Panjang  saat yang diurai simpulnya ternyata terkait dengan systems besar yang relatif balanced. Bisa cepat dan pendek jika simpul yang harus diurai memang memiliki "celah" sehingga penguraian bisa berlangsung cepat. Celah dalam artian, sistem yang dijalankan ternyata memang tidak ter-blend dalam sebuah peta karakter, atau memang karakter melakukan hal-hal artificial, dalam istilah lain, belum lulus melewati "lie detector"

Melatih diri untuk memetakan situasi bisa jadi adalah sebuah pelajaran dasar dalam berinteraksi. Dengan memahami situasi, maka sebuah cerita bisa disusun, respon bisa dirangkai, dan pola bisa dimainkan. Ini penting di saat data, energi, dan koneksi dijadikan onderdil utama sebuah mesin bernama algoritma sosial. 

Saturday, March 20, 2021

Usainya Era Mencari Short Cut




Permainan logika untuk memenangkan perdebatan rasanya sudah menjadi bagian dari keseharian. Minimal saat menanggapi komen yang terlihat out of context dari apa yang kita utarakan di media sosial. Ke depan, permainan logika itu seperti music box saja. Hanya untuk dilihat di kamar tidur, sendirian. ;)


Adanya perdebatan adalah salah satu ciri sebuah kondisi dalam keadaan damai, walau ciri itu jarang kita sadari, bahkan dimasukkan bukan dalam ciri kondisi damai. Keadaan berbeda jika dalam sebuah area indeks hate speech mulai mengalahkan proses perdebatan. Atau dialektika yang terjadi (misalnya di komentar postingan social media) sudah diisi oleh pembuktian-pembuktian yang turbulence, yang sebenarnya hanya monolog. Apapun yang diposting seolah hanya berisi "saya benar, kamu salah". 

Kolom komentar di sosial media idealnya bukanlah sebuah dialog yang setara. Komentar pada postingan sosial media layaknya berlaku seperti n pada  algoritma x pangkat n. Komentar yang semakin banyak akan mengamplifikasi nilai x secara eksponensial. Saya sering mengatakan ini pada rekan-rekan yang seringkali terlalu reaktif komen di postingan yang berbau politik. Tentunya saya melakukan ini dengan offline, karena saya rasa percuma jika saya letakkan di kolom komentar yang hanya membantu mengamplifikasi posisi "lawan". 

Bagi saya, pertemuan offline akan selalu mahal dan tentunya memiliki kualitas yang lebih mumpuni daripada pertemuan di algoritma postingan sosial media. Saya sering mengistilahkannya dengan "ngopi-ngopi".  Panjang cerita kenapa kopi menjadi simbol tabayyun  (pertemuan untuk memverifikasi dan mencari kesetaraan), mungkin saya akan tulis khusus di sebuah tulisan, terkait perjalanan saya dulu mengikuti beberapa teman yang hobi menanam kopi, dan membudidayakannya. Mungkin setelah saya diizinkan Ilahi bikin touring ke Gunung Rinjani, nanti. 

Pertemuan offline akan mengikat ruang, waktu, dan tentunya biaya. Namun dalam banyak hal akan membuat dialektika berjalan lancar. Jika pun tak lancar, pengungkapan data akan membuat dialektika berjalan dan kadang membutuhkan "wasit" untuk proses verifikasi dan kesetaraan bisa terus berlangsung.  Pertemuan offline akan membuat panca indera saling berinteraksi, memberi respon. Apalagi di tengahnya disajikan teaser dan "cemilan" untuk menyambungkan dua intensi berbeda yang seolah tak berhubungan. Tapi selama ini adalah pertemuan antar manusia, rasanya ketidaksambungan ga se-absurd saat kita berinteraksi dengan entitas yang dinamakan virus corona, sang penyebab pandemi. 

Masa pandemi yang melelahkan mungkin bagi sebagian orang sudah berakhir. Sudah mulai banyak pertemuan yang dilakukan secara offline. Setidaknya pemandangan bagaimana orang mulai tak terlalu takut dengan pandemi adalah sebuah hiburan, di sisi lain sebuah ironi, karena toh protokol harus tetap dijalankan, dan virus masih belum terkalahkan. Efek vaksin mungkin akan relatif terasa di enam hingga dua tahun ke depan. Tentunya ditandai dengan melonggarnya protokol, dan peran official dalam menjaga protokol tersebut. Tapi bagi saya yang awam, progres interaksi manusia yang kembali "merapat"  tentunya membawa angin segar, karena banyak peluang yang bisa muncul. Tentunya perdebatan sehat pun mulai muncul.

Saya rasa ini akan memengaruhi iklim berpolitik kita. Perdebatan di ranah offline, tak tersiar media, namun tetap dalam rangka verifikasi data akan membuat bubble-bubble isu pecah dan tak menjadi gangguan signifikan. Orang sudah terlalu jenuh dengan amplifikasi wacana, saya rasa ini era yang tepat untuk bagaimana data yang dimiliki oleh civil society, diolah menjadi semacam pagar hidup yang mensejahterakan isi pagar, dan di luar pagarnya. Tentunya akan terlihat terlalu idealis. Tapi saya rasa data yang hidup (warm data) akan membuat civil society lebih mudah terkoneksi secara fisik. Terserah apa isi koneksi tersebut, apakah perdebatan, kolaborasi, atau bahkan mungkin adu value hingga beresiko timbulnya korban, seperti yang terjadi di Myanmar pada saat saya menulis ini.

Peristiwa di Myanmar sedikit banyak adalah cerminan bagaimana sebuah operasi yang terlalu banyak ditulis dalam perencanaan dan doktrin, menjadi bumerang dalam keutuhan sebuah civil society. Dan saya sedikit berprediksi dengan data yang saya miliki, Myanmar akan melaluinya dalam proses yang lebih panjang dari yang sebelumnya. Hal ini akibat bagaimana bubbling isu tak menjadi jaminan sebuah rencana bisa berjalan dengan matang. Matang disini berarti accomplished. Karena sejatinya sebuah rencana adalah sebuah proses untuk berakuntabel. Bisa diamati dari berbagai sisi, diimbang, diukur, dan dipetakan resikonya. 

Beda cerita dengan rencana-rencana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertemu dalam ranah offline. Akan banyak rancangan cadangan yang bisa ter-bubbling, muncul, dan menjadi solusi alternatif. Akan ada ikatan trust yang terbentuk terkait kesepakatan yang terjadi. Minimal trust untuk "memberi waktu" atau buying time. Trust ini akan mahal rasanya jika terjadi di dunia online. Buying time bukan lagi pilihan, karena seolah data sudah tergelar, terkait dengan big (and deep) data, bahkan resource dari komputer kuantum, dan kita tinggal memilih. Saya bukan sedang cerita tentang bagaimana panasnya kisah Partai Demokrat. Saya sedang cerita bagaimana kekuatan orang-orang pemegang data yang bisa bertemu di level trust itu bisa menghasilkan produk instan yang bisa saja dianggap akuntabel. Akuntabilitas adalah level pencapaian tertinggi dalam bersistem dan berorganisasi. Setidaknya itulah yang dipercaya oleh Sang Robot, dalam film Mr. Robot. 

Pelajaran penting sedang berlangsung. Bagaimana trust dan akuntabilitas bisa menyetir sebuah civil society, secara masif dan sistemik. Bagaimana memilih bukan lagi cara untuk berkuasa, dan trust menjadi sebuah entitas yang artificial dan modified. Bagaimana dunia ini bukan tentang menang kalah, tapi tentang bianglala yang berputar, kadang saat di bawah kita melihat jalan keluar, dan saat di atas bisa melihat dunia. 




Monday, March 15, 2021

Saat Karya jadi Mantra



Penekanan keinginan bukanlah kunci ketersampaian. Kadang perulangan penyampaian niat yang datar, namun konsisten, membuat wadah pendamping kesadaran menjadi wadah pendukung terkuat dalam bertindak. Seperti halnya saat melantunkan zikir yang belum dipahami artinya.

Keteraturan adalah sebuah hal yang seolah menjadi hal yang dituju oleh manusia yang ingin berada di zona "kebenaran", atau dianggap benar. Keteraturan yang dikejar biasanya ditandai dengan pola yang jelas, perulangan yang konstan, keterkaitan yang hirarkikal, atau kadang fraktal. Keteraturan ini mengurat, menadi, menjadi bagian ritme keseharian, bahkan ritme yang masuk ke dalam alam bawah sadar.

Dalam kajian lain, keteraturan justru menjadi awal kejenuhan. Keteraturan membuat kesadaran yang berada pada level "ketaatan", menjadi sebuah beban yang sering mengakibatkan depresi, keterpurukan mental  karena terkunci dalam batas-batas pikiran. Saya ingat sekali salah satu rekan, dua orang malah, pernah mengomentari status  saya.. Saat itu saya membuat status "ngasal" tentang damainya surga  jika bisa dibawa ke bumi, semua dalam kebaikan dan keteraturan. Rekan saya tersebut komentar, "so boring", dan satunya lagi "meh banget dong kalo gitu". Kebetulan mereka berdua rekan wanita. Saya kaget karena komentar ini biasanya dikeluarkan teman laki-laki yang kadang memang cenderung "edgy" saat berinteraksi. Saya berasumsi rekan wanita saya ini benar-benar mengungkapkan isi hatinya dengan apa adanya. Di situ saya merenung lama. 5 menit lah. 5 menit lama lah untuk sebuah single thought, atau mungkin "empty thought"... 

Komentar rekan saya tersebut bisa dikatakan sebagai pemicu dekonstruksi pemikiran saya pada pemahaman tentang "akhir yang baik" seperti definisi surga, atau yang setara lainnya. Tentunya sampai saat ini percaya "akhir yang baik" itu ada dan sebuah keniscayaan. Tapi tentunya tak bisa diseragamkan antara satu individu dan individu yang lain. Karena inti makhluk hidup itu ya satu, akan dan harus mengenal akhir.  Setelah itu, ya terserah masing-masing, setidaknya itu yang saya tekankan pada diri saya. Mencapai akhir yang baik bukanlah sebuah intensi menguatkan citra, atau pencitraan. Mencapai akhir yang baik tentunya dalam skala turunan terkecil, harus disusun dari proses-proses yang baik. Jika pun harus berjudi, maka harus mengenal ritme kapan kira-kira sesuatu berakhir bagi diri kita, dan di situlah kita mencoba sisi terbaik kita.

Perjalanan waktu membuat saya mulai meninggalkan pergumulan pemikiran tentang akhir yang baik. Setidaknya sampai salah satu sahabat, mentor saya, seorang yang ahli dalam bela diri, membuktikan kata-kata nya sendiri. Dia pernah berkata, "ilmu tertinggi dalam silat adalah saat seseorang tahu bagaimana cara ia mati". Dan dia telah meninggalkan dunia ini, dengan membawa pemahaman itu secara paripurna. Cara dia. Bisa saya katakan begitu.  Kejadiannya tahun lalu, dan pergumulan pemikiran saya mulai memasuki fase baru. Bagaimana menyusun rangkaian yang baik, dan menajamkan diri untuk menangkap ritme yang terjadi pada diri kita, khususnya ritme-ritme yang membawa diri kita pada "fase akhir". 

Di fase ini lah saya menemukan, bertemu, dan ditemukan oleh sebuah wadah besar, bisa saya sebut keluarga, yang mempersiapkan dan melatih kesadarannya, dengan berbagai metode. Ada yang melatih kesadaran dengan meningkatkan kedisiplinan dalam menyelesaikan komitmen-komitmen kecil. Ada yang melatih kesadaran dengan mempertajam kemampuan menyimak dan mendengar, dibanding mengungkapkan. Dan baru beberapa hari lalu, saya bertemu dengan kolega yang sedang memperdalam kekuatan kesadarannya, dengan cara membuat karya-karya nya selalu diniatkan tampil dalam level persembahan.

Yap. Apapun karyanya, walau hanya ingin mengganti air galon. Karya bukan selalu tentang ide yang menjadi materi yang tertangkap panca indera. Karya bisa jadi adalah sebuah gerak sinergis yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, dan membuat lompatan energi pada momen yang dihasilkan. Baik lompatan energi positif, atau bisa negatif. Rekan ini sangat concern di bagaimana memulai niat dengan mengaitkan diri ke pijakan dan ujung kepala ke langit. Rekan ini juga sangat concern bagaimana merasakan batasan adalah sebuah medium untuk menguatkan energi, dan yang membuat saya penasaran adalah, bagaimana membuat setiap karya sinergi/sama dengan doa, dan setiap kata menjadi mantra.

Mantra bukanlah tentang kata-kata yang memiliki makna tertentu untuk tujuan tertentu. Mantra adalah tentang keharmonisan kata dan semesta. Bagaimana kadang mewakilkan kondisi yang terjadi saat ini hanya dalam satu kata, melalui proses mindfulness. Proses merasakan batas-batas diri, batas sakit, batas ego, batas rasa. Jika kita mengetahui batas, maka kita akan memiliki rangkaian medium, yang menjadi wadah besar untuk bangkitnya energi. Jika kita berkarya dengan niat untuk berterima kasih pada kontainer semesta yang memberi kesempatan, walau sedang marah, energi kita akan menjadi penguat, dan mengubah setiap karya menjadi pengundang restu semesta. 

Atau prosesnya kadang bisa dibalik, saat kita mengulang sebuah intensi atau niatan secara teratur, terangkai hingga hitungan ribuan, seperti zikir, sejatinya ini adalah proses menyulam wadah, semakin banyak sulaman/perulangan, semakin besar wadah tersebut. Prosesnya seperti memecah - dan merangkai. Tinggal tunggu saatnya, saat batas datang, saat rasa  sakit menjadi batas yang membangkitkan energi untuk berbuat, maka wadah yang kita sulam tadi menjadi wadah yang sangat membantu kita dalam menjadikan karya kita sebagai penyambung pada semesta. 

Selain sahabat saya yang telah wafat tersebut, saya juga memiliki rekan lain yang bisa dikatakan berada di dunia yang tak bisa terlalu diungkap. Bagaimana perjalanan hidupnya menuntunnya menjadi orang yang sangat ikhlas, namun sangat cepat untuk bergerak dan memiliki teman yang banyak saat kondisi tertentu datang dan harus disikapi dengan mengerahkan energinya untuk "menjaga". "Hidup ini tentang saling menjaga," - ungkapnya di sela - sela ngelindur saat dalam perjalanan antar kota. 

Ini bukan tentang keajaiban. Ini adalah tentang "akhir" dari setiap manusia, yang memiliki keterbatasan. Akhir dari setiap makhluk yang menjadikan keteraturan menjadi candu. Kadang perilaku kita saat ber-digital adalah candu yang merusak. Butuh mantra yang berkaitan dengan socio engineering untuk memecahnya.

Setidaknya saya ga usah khawatir jika di surga nanti suasananya akan boring atau meh seperti bayangan rekan saya. Akhir "penuh mantra" yang berbeda dari setiap individu akan hasilkan rangkaian hiburan yang tiada henti. 





Friday, March 12, 2021

Quantum Business



Melepaskan semua kehendak dalam sebuah wadah kebijakan, adalah cara tercepat untuk memasuki celah dan dimensi terumit, sekalipun. 

Peruntungan kita dalam mengais rezeki kini tak hanya tergantung semata karena terjadinya transaksi. Banyak faktor yang menentukan apakah sebuah peruntungan benar-benar definit merupakan rezeki kita, atau sekadar proxy yang mengetes batas-batas kemampuan maksimal kita.

Memulai sebuah "jalan pedang" mencari peruntungan, nafkah, atau pendapatan adalah sebuah usaha yang setara dengan memulai hubungan baru dengan orang baru di hari baru. Walau kita akan berhadapan dengan orang yang sama, gaya komunikasi yang sama, tetaplah hari selalu berubah. Perubahan hari dari sisi pengamatan ruang adalah perubahan variabel-variabel eksternal dari sebuah ruang "bersuhu kamar", kalo istilah orang lab, yang akan mengubah respon pelaku/stakeholder yang berada dalam ruang tersebut, langsung maupun tidak langsung. Langsung memengaruhi respon para pelaku jika terkait dengan arah-gerak-tumbuh (fisik) dari pelaku, dan berpengaruh secara tidak langsung saat perubahan terjadi pada suasana, atmosfer, atau ambience dari sistem yang berlaku di ruangan. 

Rasanya menjadi sebuah keniscayaan dalam alam yang tidak dihubungkan oleh "status" apapun itu (status di media sosial atau status sosial), sebuah proses mencari peruntungan akan dimulai dengan kondisi saling menandai, dan berakhir pada proses saling mengikat, jika tak mau dikatakan saling melindungi.  Proses menandai bisa terjadi saat ada proses penangkapan intensi yang sama. Saat ada intensi yang sama, maka akan tergelar "jalan raja" menuju proses lain seperti saling mengukur, saling membaca batas, saling membaca lingkup, lalu dimulailah proses transaksi tersebut. Di era digital dan serba berlandaskan uang digital, proses ini akan berlangsung seolah di bawah kesadaran, merasuki sistem reflek individu, dan sistem yang agak sakral, yaitu sistem mindset

Proses "jalan raja" ini umumnya dikenal sebagai algoritma. Kumpulan formula yang mengikat data, pola, dan tentunya energi (penggerak) yang menentukan sebuah bentuk pertukaran (transaksi) dalam konteks perdagangan. Tentunya ada hal lain selain algoritma yang sering dianggap bagian dari algoritma, seperti user interface dan/atau pengalaman menggunakan algoritma tersebut. Jika dalam dunia analog pengalaman adalah guru, maka di dunia digital pengalaman adalah kumpulan pola yang bisa jadi penentu batas. Makna yang hampir sama, namun sedikit terasa menjadi lebih "berdimensi".

Dalam perkembangan selanjutnya, atau bisa dibilang dalam timeline waktu yang mungkin sebentar lagi tiba, sebuah peruntungan bisa jadi bukan lagi bagian utuh dari sebuah proses transaksi. Batas-batas pengukuran dalam menentukan kesamaan intensi sudah merupakan keuntungan saat (sebelum) kita melakukan transaksi. Kita bisa untung sebelum transaksi. Analogi simpelnya, bagaimana kita bisa membayar seluruh "buah" di "kebun" dengan harga jumlah batang pohon yang terlihat. Ini seperti tengkulak, tapi ya sejatinya,  itulah pedagang-pedagang yang bisa ambil keuntungan di dunia digital untuk sementara ini.

Betul. Hanya sementara, karena di -the day after tomorrow, saat minimal akses 5G sudah merata, maka sebuah pencarian peruntungan tak lagi hanya berdasarkan transaksi, atau peta potensi dan intensi. Peruntungan adalah sebuah gerak memecah-merasuk yang membentuk dimensi. Semua diukur tak lagi berdasarkan single-holistic variable transaction, tapi yang paling beruntung adalah yang bisa selalu menjaga "gap" menjadi energi. Jaman kini kita selalu dilatih dngan polarisasi di dunia politik. Polarisasi ini sering diistilahkan dengan tension, atau dalam konteks yang lebih produktif, dikategorikan dalam creative tension. Seiring waktu, "karet" yang mengikat tension akan memudar, dan bentuk sejatinya keluar, yaitu gap.  Sejatinya, gap adalah sebuah hal positif, yang selalu bisa membuat energi tak lepas ke "dimensi" lain. Semakin dewasa kita dalam mengelola "gap" tersebut, maka semakin terukur energi dan peruntungan yang dihasilkan. 

Ada satu yang bisa menjembatani gap atau polarisasi. Ia bernama conscience, atau bahasa Indonesia adalah nurani. Nurani ini tak selalu kita pakai dalam hal berlogika, tapi dalam hal keputusan yang terkait rasa -ter, nurani ini biasanya hadir, walau kadang tetap juga tidak dipakai. Di era super diverse, atau bisa disebut era kuantum, nurani menjadi konstanta yang bisa mengolah dimensi sebuah sistem bisnis atau transaksi menjadi lebih entangled, mudah ter-attach, dan mudah dieksplorasi untuk menjadi petilasan peradaban.


*huft, tulisan hari ini agak berat. "Tapi apa boleh buat tahi kambing bulat bulat ";), sebuah istilah yang sering diungkapkan seorang guru kimia favorit saya di Ganesha Operation, dulu. 


Monday, March 08, 2021

Membedah Esensi Perubahan




Hampir semua hal datang berangsur, walau secara visual terlihat datang dengan menyeluruh. Setidaknya selalu berangsur, saat dirasakan. Kecuali hal yang sudah masuk derajat "Kun Faya Kun", tentunya. 


Hari ke-7 setelah luka jatuh dari motor, rasa sakit pada luka yang mengering, dan urat yang ketarik masih cukup jelas dan berhasil mengambil jatah kesadaran saya di tiap detail aktivitas, termasuk hingga sesaat sebelum tidur dan sesaat baru bangun tidur. Ada perbaikan, ada proses penyembuhan yang dirasakan, seperti luka yang sebagian mulai mengering, dan ada yang sudah terlepas dan meninggalkan kulit baru. Kemarin,  sudah bisa "nekad" bermotor lagi untuk mengajak anak menghilangkan kebosanan school from home-nya. 

Saya yakin ketika kejadian motor terjatuh, kerusakan itu pun datang berangsur, walau dalam waktu sekejap. Jika diambil dengan kamera ber-speed 1000fps, maka pasti akan ada titik pertama hingga terakhir yang terdampak, tak serempak. Mungkin tak semua yang terdampak benturan mengalami kerusakan. Pasti ada yang malah menemukan titik resonansinya, mencapai batas kekuatan yang masih bisa dikelola.  Saya merasakan itu terjadi pada daya tahan tubuh saya. 

Beberapa saat setelah kejadian, saya berniat mengobati diri sendiri. Masi ada stok betadine, obat radang, dan parasetamol di kotak obat. Saya minum saja. Ternyata hanya cukup untuk 3 hari. 3 hari setelah itu saya merasakan perbedaan antara menggunakan obat dan tidak. Luar biasa bedanya. Selama 3 hari setelah  terluka, selama memakan obat radang, saya masih bisa berjalan santai tapi pelan di sekitar rumah. Setelah obat habis, kaki yang terkilir ternyata mengeluarkan rasa aslinya. Rasanya seperti keram, menarik hingga ke pinggang kiri. 

Saya coba mengaplikasikan resep ibu saya, yaitu "tidurkan saja". Saya berusaha mencari posisi yang lebih nyaman untuk berbaring. Walaupun rasa sakit itu awalnya seperti tarikan yang mengganggu seluruh kesadaran, lama-lama rasa sakit itu menurun intensitasnya seperti denyut. Saya berusaha bersugesti bahwa tidur ini adalah obat, obat, dan obat. Obat untuk menambah oksigen ke otak, obat untuk perbaikan jaringan, dan obat untuk mengonversi rasa sakit menjadi rasa "saling menarik" antara satu  benda dan lain dalam badan. Saya rasa sugesti saya cukup berhasil untuk menurunkan "gangguan" kesakitan.  Saya mulai bisa berjalan di sekitar rumah lagi, walaupun kadang rasa keram itu suka datang tiba-tiba. Solusi saya cuma satu, langsung mencari tempat duduk, posisi mengambil nafas dalam sepuluh hitungan, lalu menenangkan diri. Berusaha mengubah tensi yang konstan, menurunkannya menjadi denyut,lalu disela dengan aktivitas relaksasi lain.

Ada satu obat yang tetap harus saya beli yaitu betadine. Ini lebih karena ingin menjaga dari resiko masuknya kuman dari luar saja. Agak kompleks jadinya jika ada variabel lain yang mengganggu proses kesembuhan. Sekitar tiga tahun lalu, saya sendiri pernah mendapat gigitan serangga tomcat di bagian paha saat duduk di kursi teras untuk menerima tamu. Ternyata ada tomcat di kursi. Tomcat itu tertindih dan menggigit bagian paha bawah dekat lipatan lutut. Racun tomcat ini sangat menyebar cepat. Bagian tubuh yang terkena racun dalam hitungan menit akan melepuh dan bergelembung, terisi cairan darah putih, mirip luka lebih terkena knalpot, tapi cepat sekali menggelembungnya. Luka bekas tomcat ini cukup besar, saya waktu itu tak langsung membersihkan bekas gigitan, karena masih ada tamu. Saya cuma merasa panas di paha, dan ternyata cukup fatal. Salah satu usaha awal yang saya lakukan adalah membalur luka tersebut dengan betadine, sebagai antiseptik. Melumpuhkan "variabel" penyerang tubuh.  Kejadian tergigit tomcat membuat saya selalu siap sedia dengan antiseptik. 

Tak ada kejadian yang tak terkait dengan apa yang sudah kita persiapkan. Akan selalu ada manfaat dari persiapan yang kita lakukan, baik dari logistik, skill, dan pengetahuan. Tak ada juga kejadian yang terjadi secara sekaligus. Jika ditelaah dengan teliti, pasti berangsur, walau mungkin dalam waktu yang sangat cepat dan berdampak cukup luas. Persiapan dan daya respon kita sangat berpengaruh pada semakin kompleksnya masalah yang datang. Mengundang variabel luar yang belum kita kenal bisa jadi malah memperumit keadaan. 

Variabel luar yang bisa kita andalkan adalah variabel yang sudah menjadi bagian dari solusi pembelajaran kita di kejadian sebelumnya. Ya, semua yang kita alami harus dipetakan dalam konsep pembelajaran. Semata agar kita bisa terus beradaptasi, bergerak fungsional, dan "tajam" (berdaya saing). Ini dalam konteks mengukur dampak. 

Jika dalam konteks menjadikan diri yang lebih holistik, tentunya hal luar pun sebenarnya bagian dari kita. Sejatinya semesta yang tertangkap "seolah  berada di luar diri" oleh panca indera, sebenarnya masih jadi "bagian" diri dalam bentuk dinding-dinding dimensi yang bisa memengaruhi keadaan kita. Baik saat siap atau tidak siap. Kesiapan sering direpresentasikan dalam niat. Niat adalah sebuah patok, semacam intensi untuk "share loc" di tengah semesta kehendak dan penciptaan. Niat yang terhubung dengan batas rasa akan menguatkan respon-respon kita pada hal yang akan datang. Kesakitan akan melahirkan peluang untuk bisa memetakan titik-titik penyebab menjadi lebih luas. 

As need, pain is inevitable. As necessary, pain is avoidable. Changes is container to set the pain as window of opportunities. 

Akhirnya saya berhasil menuntaskan tulisan tentang perubahan (apapun) dalam angle kejadian yang saya alami. Setidaknya niat awal sudah diperkuat di judul. Setidaknya jika kita melihat perubahan, lihatlah dalam kacamata pembelajaran sehingga kita bisa tak mudah dikuasai "algoritma sakit" yang konstan. Buatlah rasa sakit itu jadi denyutan saja. Ga bae menyimpan rasa sakit. ;).

Thursday, March 04, 2021

Objective Bias




Ternyata tak cukup hanya mengukur. Banyak hal yang harus dilepaskan, dinikmati, dan dirasakan secara alami saat menuju sesuatu. 

Kurang lebih sudah empat hari saya tidak bisa banyak menggunakan kaki setelah sempat terjatuh di saat melewati polisi tidur berpasir dan oli,  plus ban depan yang gundul. Untungnya kaki cuma luka lecet seluas steak 200 gr, dan engkel kaki sekadar shock, karena ketarik, sehingga saya sekarang berjalan perlahan dengan memegangi dinding. Iya lah, untung, dengan model kecelakaan waktu itu yang saya alami, yaitu ban depan selip di kecepatan 30km/jam, harusnya ada resiko patah tulang atau luka dalam karena membentur bahu jalan. 

Ini masih jauh lebih "baik" dari pengalaman  harus melihat pantat truk mendekat dalam kecepatan 70km/jam, yang Alhamdulillahnya, masih diberi reflek menghindar juga oleh Sang Penjaga Hati. Untung masih hidup, walau mobil harus terperosok selokan samping tol, dan cuma pecah kaca samping, tanpa goresan pada cat. 

Perjalanan bermotor sebenarnya normal saja. Jalanan antar kampung di daerah Pondok Aren sedikit lengang, bukan di jam kerja saat pengendara motor rata-rata sedang masyuk dengan adrenalin tingginya agar bisa sampai ke tujuan.  Jika saya terjatuh di jam-jam tersebut, rasanya ada resiko lain dari kecelakaan yang saya alami, yaitu bisa benturan dari dua arah. Bukan kecelakaan mandiri. Titik kejadian bisa saja lebih memorable.


===

Demikianlah sekelumit cerita pembuka tulisan ini. Awalnya saya ingin menulis tentang kehati-hatian bukanlah sebuah prinsip utama untuk mencapai tujuan. Kehati-hatian, sebuah prinsip yang lahir dari proses mengukur jarak (antara dua atau lebih titik-entitas) saat belajar dan berkarya, ternyata belumlah lengkap. Ternyata seiring perjalanan waktu menulis, banyak input baru yang saya dapatkan terkait dengan "celah". Celah ini kadang tak kita sadari hadir, diantara sesuatu yang saya ukur, yang saya hadapi, saya benturkan sendiri, dan celah yang muncul di badan setelah benturan.  

Saya buka dengan input terbaru yang saya dapatkan sebelum menulis ini. Hari Kamis malam, 12 jam sebelum saya mem-posting tulisan ini, saya mengikuti sebuah sesi online yang sedang membahas bagaimana membahasakan rasa dalam gerak, dan peluncuran buku Social Presencing Theater (SPT).  Saya di sana sebagai community scriber, menjadi bagian komunitas, mengikuti sesi dengan terlibat secara rasa dan gestur hingga menghasilkan produk visual.  Silakan cari tahu sendiri apa itu SPT.  Saya ingin menceritakan hal lain yang terjadi saat sesi. Dalam sesi online ber-zoom itu, ada sesi breaking out room, untuk kita berinteraksi satu sama lain secara personal, hanya berdua dengan partner yang (biasanya belum kita kenal), menggunakan teknik SPT dan merasakan sebuah entitas pengikat-penyambung, yang diistilahkan dengan "Ma", dalam sebuah dialog berbasis rasa percaya. 

Rasanya, sekitar 8 bulan sebelum launching buku SPT ini, rekan, atau bisa dibilang mentor saya dari Taiwan pernah mengundang saya di sesi online-nya untuk melakukan scribing di acaranya yang full berbahasa Taiwan. Saya mencoba membuat scribing dengan pendekatan generatif scribing, merasakan intensi, membaca gesture, dan merasakan gerak dari tubuh semampu apa yang bisa saya rasakan. Di akhir acara, saya presentasikan scribing saya, dengan tema "Future are Magnificent", dan ternyata memang mereka sedang membicarkan tentang masa depan.  Saya rasa mentor saya tersebut sudah mendapatkan terlebih dahulu pemahaman tentang "Ma" ini. Lalu mencobanya bersama saya. Beliau sempat menuliskan pengalamannya di artikel ini.  

"Ma" ini adalah sebuah prinsip dari Jepang, dibahas dan dikupas di buku yang baru rilis tersebut.  Secara simpel, bisa saya jelaskan prakteknya seperti kita meng-gesture-kan rasa dalam dua sesi. Di sesi pertama, kita diminta untuk merespon dengan gesture, bagaimana rasa saat kondisi stuck, tak punya ide melangkah. Lalu di sesi kedua, kita diminta untuk mengubah gesture seiring dengan bagaimana perasaan kita saat kondisi terbebas. Kedua rasa tersebut harus di-gesture-kan dengan merasakan gerak alamiah saat sesi dimulai, dan berhenti di saat badan tak bergerak lagi.. Hal ini dilakukan bersama-sama, seperti bercermin. 

Pada saat sesi "stuck", masing masing saya dan partner dari San Fransisco melakukan gesture yang berbeda, tapi seiring waktu masuk ke sesi dua, sesi terbebas (dari kondisi stuck), gesture yang kita gerakkan mulai mirip dan ada sebuah ada entitas lain yang memang menjadi "pengatur" ritme gerak kita. Entitas lain ini lah yang memang bisa jadi sebuah outer system yang mengatur ritme gerak alamiah individu. Istilah rekan saya, "ini seperti sebuah perjalanan interdimensional", dan dari saya sendiri sempat beropini, ini seperti mempelajari universe language.

Kami pun kembali ke sesi utama, dimana hadir lebih dari 100 peserta di zoom. Di saat itu saya ingat salah satu pembicara me-review kembali sesi yang dia alami.  Saat itu saya mendengar kata "We're always connected", dan "You can't arrange connection", akan ada hal lain yang selalu menghubungkan sehingga kita akan selalu terhubung. Saya ingat sekali kata-kata itu. Terus terang saya merinding. Ini sedikit mengingatkan saya pada gravitational strings, yang memang mengikat dan menghubungkan kita dalam sebuah dimensi ruang dan waktu, atau yang lebih radikal lagi, seperti bagaimana kita mengemas mikro dimensi kita sendiri dengan kesadaran, dan koneksi (lain di) semesta yang kita miliki dalam ketidaksadaran. Dimensi -yang kita sebut ruang- tapi dalam bahasa sistem bisa disebut celah. Memiliki jarak untuk diukur, memiliki potensi untuk jadi kontainer entitas yang terhubung. 

Sesi berakhir. Saya kembali ingat pada luka-luka saya akibat terjatuh dari motor. Kurang lebih ada 3 zona luka yang saya alami, dengan kedalam luka yang variatif. Mulai yang lukanya sante bae, sampe yang berwarna putih, dalam, karena terkena gesekan dengan kerikil. Maaf jika merinding, ini cuma cerita bagaimana celah itu meng-engage rasa, baik dari saya maupun orang. 

Membahasakan celah selalu akan menimbulkan rasa. Rasa itu bisa dibuat parameter, sistem ukurnya. Salah satunya adalah dengan mengukur titik titik respon saat berinteraksi. Cara mudah mengukur lain adalah dengan gesture. Dari gestur bisa terlihat, jika alamiah, saat ada tensi yang dirasa, gesture akan merefleksikannya dalam sudut maksimalnya, cenderung sudut yang menguatkan rasa. Misalnya saat takut, maka gestur yang bisa terefleksi biasanya akan berupa ketertutupan. Titik-titik bidang yang harusnya terbuka dilindungi oleh titik-titik gesture yang menyudut. Dan seterusnya.

Dari luka dan kejadian terjatuh yang saya alami saya belajar, bahwa skill mengukur bukanlah sebuah alat yang canggih-canggih amat untuk memfigurkan dan membentuk sebuah pemahaman, bahkan sebuah karya dan pengetahuan. Saya lalu teringat, saya dibentuk oleh puluhan pengetahuan dan pengalaman, bagaimana berbuat, berpikir, berniat, yang dimulai dengan mengukur. Kurikulum di sekolah saya dan lingkungan mengutamakan nilai-nilai yang memulai segala dari aktivitas mengukur. Jarang sekali pelajaran tentang cara melepas, selain dengan perintah zakat dan infak sebagai bagian dari ritual ibadah. Itu pun kadang masih pakai ukuran. Masih dengan intensi mengukur.

Pertanyaan besar muncul saat berada di keadaan, apa yang harus diukur jika kita tak tahu dimana koordinat dan dimensi kita berada? Apa yang harus dipegang? Inilah yang saya rasakan sesaat setelah jatuh. Tangan tak lagi ada di setang motor. Mata hanya melihat aspal dan belanjaan tomat yang tergencet badan sendiri. Di situlah skill mengukur saya tak bisa digunakan untuk mengontrol keadaan. 

Seiring dengan semakin bergabungnya ilmu-ilmu sains (rekayasa nilai dan materi alamiah) dengan ilmu - ilmu sosial (rekayasa keterhubungan, pola, dan perilaku) dalam sebuah ekosistem eco engineering, maka pengetahuan untuk berkenalan dengan celah, merasakan entitas yang tak harus diukur,  dan memaksimalkan energi celah tersebut,  bisa dilakukan dengan jalan memahami "Ma". Mulai mengenal dan berkerabat dengan "Ma" bisa membuka celah ke dimensi lain. Dimensi yang penuh energi dan keterhubungan. Dimensi yang bisa menguatkan value individu dan kolektif dalam berkarya.

Sepertinya kalo tidak terjatuh dan tak terluka seperti saat ini, rasanya tulisan tentang rasa dalam bercelah ini ga akan terpikirkan. Terima kasih kembali kepada Maha Penjaga Ranting Sidrat. 



*dan saya teringat dengan Almarhum Pak Habibie dengan julukan Mr. Crack-nya. Alfatihah untuk Pak Habibie.