Saturday, June 02, 2012

Mainstreamist vs Extremist


1. "Besok tugas harus sudah dikumpulkan," ujar Mainstreamist.

2. "Matahari sudah terbenam. Keluarlah. Besok kau datang kembali, bawa pesanku, dan pesan barumu," ujar Extremist.

3. "Kamu harus saya hukum," ujar Mainstreamist.

4. "Sudahlah, kamu pulang, istirahat, dan telepon ibumu," ujar Extremist.


Kalimat 1-2 dan 3-4 sebenarnya satu arti. Tak ada yang lebih baik dari kedua percakapan di atas. Keempat percakapan berasal dari dua tokoh di dunia yang sama . Sama-sama melintasi lintas waktu yang sama, dan sama-sama mengejar cerita untuk dibawa pulang. Setiap manusia butuh cerita, minimal cerita itu hanyalah berupa kesenangan ber-BAB lancar di hari berjadwal padat.

Jadwal yang padat menggiring kita pada keterburu-buruan. Jadwal yang padat menggiring kita pada berlaku cepat. Jadwal yang padat seringkali membuat pikiran memampat, sehingga muka terlihat seperti ikan sepat. Mata melong, mulut menyayat. Jadwal yang padat juga seringkali membuat kita terlihat berusaha untuk membuat citra, bahwa kita sedang berjuang mengarungi waktu. Apakah mengarungi waktu harus diperjuangkan?

Waktu tetap bergulir. Tak perlu buru-buru menilai orang satu lebih baik dari lainnya. Tak perlu grasa-grusu memilih calon pemimpin dikala waktu sudah mepet. Keutuhan cerita tak selalu didapat dari perbuatan yang buru-buru. Seperti mencabut padi tanpa akar, dan mencoba menanamnya kembali di tempat lain.

Ada banyak cerita di balik keterpadatan. Ada banyak perilaku yang dihasilkan dari keterpadatan. Ada orang-orang yang akhirnya hidup nyaman, walaupun tak punya apa-apa, karena mereka bisa menikmati bisikan angin. Ada orang yang bisa menikmati deru mobil trailer yang melintas dua meter dihadapannya, karena mereka mendapatkan cerita,"hidup yang berat harus dilalui dengan roda yang berat dan bawaan yang banyak hingga menderu".

Tak ada yang lebih baik dari kedua percakapan di alinea-alinea awal. Tapi jelas ada perbedaan. Sosok Mainstreamist adalah orang-orang yang menikmati keterhanyutannya hingga seperti ikan yang lupa menggunakan sirip. Sosok yang kedua adalah sosok yang penuh cerita, dan tahu cara menikmati waktu yang hanya sedetik. Sosok kedua adalah sosok yang tahu, ilmu tak butuh teori, karena teori itu meng-KWkan esensi ilmu sendiri. Ilmu butuh rasa berbagi, ilmu butuh kemampuan berkenalan dan bercerita. Ilmu pun butuh ibu. Demi perbaikan peradaban, saya bertaruh pada para extremist! Semoga Jakarta kembali diisi oleh para extremist yang dicari penjajah! :)

Salam urbanistis!