Monday, March 29, 2021

Power of Existences



Menguasai jurus bukan berarti menguasai pertandingan. Tapi dengan memiliki jurus, setidaknya kita bisa mulai membuka jalan.


Masih banyak yang harus dilatih. Bahkan jurus hanya (maksimal) 10% skill yang diperlukan saat bertarung. Apalagi sebuah pertarungan yang resikonya kematian. Setidaknya, keberanian (untuk mengukur) dan keikhlasan (untuk memercayakan elemen di luar diri) adalah faktor utama yang bisa menentukan seseorang bisa menguasai dan mengendalikan momen. Momen apapun itu, termasuk momen pertarungan. 


Keberanian tak bisa datang dengan sendirinya, walau ada beberapa kasus faktor keluarga, sering disebut faktor genetik, berperan dalam membentuk respon individu untuk lebih agile dalam merespon rangsangan “situasi/masalah” yang bisa mengaktifkan panca indera. Saya masih ga terlalu percaya tentang gen bisa langsung menggerakkan mindset untuk selaras dengan karakter yang ada pada generasi sebelumnya. Saya lebih percaya bawa syaraf yang ter-activate karena kita melakukan/melatih skill tertentu itu akan tercetak di gen selanjutnya dengan relatif identik, sehingga tak terlalu banyak penyesuaian yang dibutuhkan. Untuk mencapai keberanian, tetaplah dibutuhkan upaya upaya sadar yang bisa menyentuh level batas-batas manusia dalam merencanakan, berlatih, dan berkeputusan. “To make transformation in system, the systems should be tested by itself,” ujar salah satu Profesor yang sering saya ikuti untuk mendisiplinkan kesadaran saya.


Keberanian tak akan muncul saat kita tak terbiasa dengan proses, “let it go”. Melepaskan jurus yang kita miliki, mengambil keputusan dan resiko, dan menentukan titik awal untuk bertindak. Menerima resiko adalah pasangan sejati dari proses memberanikan diri. Hal ini tentunya menyangkut dengan kemampuan kita untuk berikhlas. Berikhlas bisa juga berarti melepaskan kemampuan mengukur kita, dan menjadikan elemen-elemen yang tak terukur menguasai, dan jika beruntung, mengendalikan proses yang sedang kita selami dan jalani. Keikhlasan juga bukan tentang pencarian akhir, karena saat dalam keikhlasan, kita tak lagi peduli kapan rasa sakit akan berakhir. Kesadaran mulai dikendalikan oleh memori alam bawah sadar yang membawa kita pada proses menerima hal baru yang bisa menjadi jalan baru. Keikhlasan banyak berurusan dengan alam bawah sadar, alamiahnya begitu. Ketika kita terbiasa dalam kesadaran tertinggi (menurut bagan Dr Hawkins), setidaknya akan berpasangan dengan alam bawah sadar yang juga di level tertinggi, yaitu bisa meramu data-data alam bawah sadar secara simultan, muncul sebagai ide yang tak terpikirkan dan terpolakan sebelumnya. Muncul sebagai instrumen semesta yang “seolah” mendukung proses yang kita sedang jalankan.


Setidaknya itu yang saya alami. Setidaknya itu yang terjadi saat saya berada di titik nadir, ketika kekuatan besar mencoba “menghilangkan” peran manusia biasa seperti saya. Kekuatan besar yang bisa berkata “saya bisa habiskan kamu”. Kekuatan saya yang saya sadari masi tersisa pada saat itu adalah kekuatan untuk meminta doa, dan kekuatan dari Ilahi berupa kepercayaan untuk bisa bangun di esok hari. Di titik itulah saya tersadar, bahwa bangun tidur itu bukan urusan remeh. Bangun tidur adalah sebuah tanda, bahwa Tuhan masih mempercayai kita untuk menjalani hari baru yang Ia Ciptakan. Setidaknya itu yang menguatkan saya untuk berkata, “Bismillah”.



Saya ga butuh cerita hal selanjutnya, setidaknya hidup ini adalah tentang menjaga keseimbangan, mengingatkan (syiar) pada yang tak imbang, dan sisanya adalah pertunjukan semesta (pelajaran besar) dari Ilahi. Semoga kita dijauhkan dari sifat 'istidraj, merasa bisa lepas dari Kuasa Ilahi, merasa bisa menguasai, merendahkan, dan mengobok-obok ciptaan-Nya yang lain, tak menganggap ciptaan Tuhan yang lain, yang attach pada kita, sebagai amanah (untuk kita jaga), walau barang senafas (sepersekian detik). 

No comments: