Friday, March 26, 2021

Trust, Sang Penjaga Kubur (Trauma)




Lupa adalah berkah. Setidaknya demikian, kalo tak mau disebut sebuah "mesin waktu" ;)


Banyak hal yang memengaruhi memori manusia, atau bagaimana manusia mengingat momen.  Betul sekali, sebuah momen. Momen yang membuat manusia melakukan sebuah proses, atau rangkaian proses. Salah satunya proses mengingat. Mengingat adalah proses untuk mengunci rangkaian pola, data , dan respon (disingkat momen, atau bisa juga diistilahkan area perform) pada koordinat ruang dan waktu. Kuncian itulah yang diletakkan dalam peta besar, istilahnya  semesta kecil manusia yang bernama otak. Setidaknya ya begitu, hampir semua studi mengatakan bahwa memori tersimpan di otak. 

Studi lain mengungkapkan, ingatan juga bisa tersimpan dalam gerak, setidaknya dia sudah berupa reflek yang kadang muncul tak terkontrol. Bisa juga muncul karena alam bawah sadar kita ter-trigger untuk bangun, dan mengambil alih kontrol memori yang tadinya sama sekali tak kita ingat.


==

Saya ingat sekali bagaimana istri saya lupa dengan sakitnya di masa kecil, saat kehamilan anak kedua saya di tahun 2010. Istri mengalami gangguan dahsyat pada pencernaannya ketika kehamilan memasuki usia kandungan 20 minggu. Makanan sama sekali tak bisa masuk, dan mual begitu parah sehingga harus diinfus dan perut seperti kram. 

Dokter kandungan mendiagnosa melalui alat USG, terlihat memang pertumbuhan bayi mulai menekan organ pencernaan, terutama lambung dan usus halus. Dokter kandungan pun membuat surat rujukan kepada internis untuk dilakukan USG pada perut, untuk mengecek kondisi perut dan gangguan yang terjadi pada istri. Kami pun berdiskusi lama dengan Internis tersebut. Sepertinya internis belum menemukan apa yang menjadi masalah utama, penyebab mual hebat, pada istri. 

Beliau pun membuat surat rujukan, agar istri diperiksa oleh psikiater. Yes! Dokter ahli kejiwaan. Karena secara klinis, yang bisa dilakukan hanya memberi infus, dan pemberian obat anti mual dan nyeri malah membuat kondisi mual semakin parah. (Mohon maaf jika mengganggu) Muntah istri saya sudah hanya berisi cairan asam lambung yang berwarna hijau lumut. 

Saya dan istri pun keesokan hari, melakukan janji bertemu dengan psikiater. Oh iya, semenjak serangan mual hebat itu datang, istri memang langsung saya bawa ke rumah sakit, dan dirawat. Pertemuan dengan psikiater berlangsung kurang lebih setelah 4 hari di rumah sakit, atau di hari ke 5. Pertemuan berlangsung singkat. Dokter hanya memberikan 3 pertanyaan. Satu, apakah punya masalah dengan suami? Kedua, apakah punya masalah dengan mertua? Ketiga, apakah punya keluhan serupa di masa lalu? 

Bagi istri, itu adalah pertanyaan yang menggelikan. Dia menjawab ketiganya dengan nada sama, tak ada masalah dengan semua itu. Karena bagi dia suami adalah orang yang paling terdepan menjaga dia saat terjadi sesuatu di kehamilan, bahkan sebelum hamil. Suami yang membersihkan kasur bekas (maaf) muntah, menyediakan seluruh keperluan, dan yang memaksa istri untuk segera dirawat di rumah sakit karena khawatir dengan kondisi yang menurun cepat. Dan dengan mertua, hubungannya seperti teman curhat, seringkali justru curhat kelakuan suami (saya), karena  ibu saya lah yang paling mampu menasehati saya jika bandel. 

Setidaknya saya mengetik ini berdasarkan testimoni yang ia katakan ke dokter. Tentu saya geer, tapi ya Alhamdulillah kondisinya ternyata demikian. Untuk pertanyaan terakhir, keluhan sakit di masa lalu hanyalah sakit nyeri saat menstruasi tiba, tapi bukan di urusan pencernaan. Dan nyeri ini sudah didiagnosa oleh dokter kandungan dengan ditemukannya kista di rongga rahim, yang akan diambil ketika operasi kelahiran kelak. Begitu rencananya waktu itu. 

Psikiater pun akhirnya memberi surat hasil pemeriksaan yang ditujukan pada internis dan dokter kandungan.  Isinya singkat, tidak ditemukan gangguan jiwa (yes, istilahnya itu, bukan gangguan psikologis lagi), pada pasien yang ia observasi. Setidaknya rekomendasi dari psikiater membuat Internis melakukan tindakan ringan untuk menenangkan istri dengan memberikan oksigen dan frekwensi infus yang lebih rendah. Tak ada lagi pemberian obat, menurut internis, ini adalah bagian untuk meningkatkan respon daya tahan tubuhnya dalam menghadapi gangguan reflek dalam usus yang terkena pertumbuhan bayi.

Waktu berlalu. Berlalu lama. Setidaknya sebelum kelahiran, istri keluar masuk rumah sakit hingga 5 kali, dengan gejala yang sama. Akhirnya persalinan pun berlangsung dalam kondisi prematur di minggu ke-28, karena gerak bayi yang aktif, dan daya reflek usus istri yang cenderung membuat asam lambung meningkat tajam. 

Alhamdulillah anak saya yang lahir prematur tumbuh sehat, dan aktif (sekali).  

Setelah berapa 5 tahun berlalu, semua berjalan normal, lalu (kalo ga salah saat itu) kami makan malam bersama di rumah. Lalu istri bertanya, "Ada es campur ya di kulkas? Pengen ih makan sekarang, tapi takut  kram usus, kaya dulu waktu kecil." 

Saya kaget...

"Hmm.. apa? Tolong di ulang kata-kata tadi..." 

Istri mengatakan sesuatu yang sama sekali belum pernah saya dengar selama pernikahan. "Iya, pengen makan es campur". "Bukan," kata saya, "Bagian yang kram usus waktu kecil," ujar saya yag masih kaget. 

"Gue baru tahu sekarang lho, kalo yang masalah dulu nyeri haid gue pernah lihat jaman ngapel ke rumah. Tapi urusan kram perut waktu kecil, sumpah owe baru denger," ujar saya  yang kaget sekaligus mikir dalam. 

"Oh, iya. Masak sih ga tahu? Oh iya, kayaknya baru keingetan, sih. Iya...jadi dulu waktu umur 5 tahun sering kram usus kalo habis makan eskrim kebanyakan, perut murilit (bahasa Sunda, artinya : terasa muter). Tapi ya, belum pernah kejadian lagi sih, karena aku kan jaga banget kalo makan yang dingin, ga pernah tanpa disertai yang hangat. Selalu ada makanan lain yang lebih hangat," ujar dia, santai. 

Cerita ini seperti membuka peta besar di memori saya, dan tentunya di memori dia.  Ada memori yang sudah terkubur sangat dalam, bisa saya katakan demikian, karena dengan teknik observasi ala psikiater pun (yang pasti sangat ilmiah) memori itu tak bisa bangkit. Justru karena es campur, sebuah cerita yang bagi saya penting, malah terkuak. 

Saya katakan saja sama istri, "Lu harus laporan tu sama dokter yang kebingungan mengobservasi. Minimal mereka pasti tahu apa yang harus dilakukan ke pasien lain dengan gejala yang sama. Gejala kram tapi pelupa," ujar saya sedikit melemaskan diri dan suasana. 


====

Ya...Itulah sedikit cerita yang saya dan istri alami. Deep memory itu bisa menjadi sumber masalah, bisa jadi juga pengubah peta besar cara berpikir. Bagi saya lupa itu bisa menjadi kendara untuk kita memiliki peta alternatif saat memori  yang tersimpan dalam di alam bawah sadar terkuak. Melupakan kejadian bisa jadi tak harus dengan membuat antitesis pemikiran yang membuat lupa. Bisa saja lupa itu adalah hasil kumpulan momen-momen bahagia yang memagari momen sakit. Respon dari pola-pola muncul yang berasal dari deep memory bisa dipetakan dengan metode "coding memory". Istilah kekiniannya mungkin demikian, istilah lamanya adalah dengan kearifan lokal (local wisdom), yang diikat dengan konsensus kolektif (adat). Cara ini banyak dipakai oleh indigeneous tribe, dan menjadi bagian studi khusus dalam ranah socio engineering, untuk pendalaman data terkait dimensi  (ruang dan waktu) yang muncul dalam kesadaran dan ketidaksadaran.  

Tulisan ini saya tulis setelah membaca lagi beberapa catatan pertemuan saya terkait diskusi dengan beberapa kolega mengenai "collective trauma". Jika berbicara tentang trauma, tentunya timbul bukan hanya karena momen yang terkunci pada memori, tapi juga terkait dengan "tercapainya" batas batas daya tahan maksimal fisik dan psikis dalam merespon momen tersebut.

Jika sifatnya kolektif, ini sangat berdampak sistemik dalam usaha membangun kesetaraan, kolaborasi, dan kepercayaan. Dibutuhkan strategi untuk menetralkan trauma kolektif itu agar kepercayaan bisa tumbuh mengikat di sebuah himpunan. Menetralkan trauma kolektif bisa dicapai dengan banyak cara, salah satunya adalah meraih kecerdasan kolektif, dimana sebuah kumpulan sosial saling berbagi data dan respon, dan berada dalam sebuah wadah besar bernama momen berkolaborasi. Cara lain yang bisa dilakukan adalah, menjadi "best partner" untuk mendengarkan momen, yang seringkali adalah, dark moment, yang muncul tiba-tiba, saat berkolaborasi tersebut. Tentunya di momen ini akan banyak tisu dan keheningan karena saling menjaga ruang bertindak. Setidaknya itu yang saya alami, dan pelajari.

Trauma kolektif akan berbeda di setiap wilayah, atau negara. Amerika Serikat punya trauma kolektif terkait isu rasialisme. Afrika Selatan punya trauma kolektif terkait apharteid. Beberapa negara Afrika dan Amerika Selatan punya trauma kolektif terkait perbudakan. Di Asia pun setiap negara punya trauma kolektifnya. Indonesia pun demikian, dengan trauma "1965" yang masi sering menjadi trauma baru dalam hubungan sosial kemasyarakatan di saat penting transformasi digital ini. Setidaknya masing-masing dari kita ada dalam posisi (alam bawah sadarnya) masing-masing ketika berhadapan dengan trauma ini. Saya yang juga bagian/turunan dari keluarga yang tumbuh  di satu organisasi keagamaan terbesar pun punya cara untuk selalu berproduktif dalam menyehatkan civil society. 

Saya tak bisa memberikan saran apa-apa. Selain ya itu, perkuat rasa percaya, karena itu menyehatkan. Setidaknya membuat kita lupa pada hal yang membuat kita sakit, dan membuat kita ingat pada hal yang membuat kita sakit, di momen yang tepat. Kepercayaan (trust), bisa dikonversi menjadi thrust, saat intensi untuk berkolektif menghasilkan momen-momen kolaborasi.  

Setidaknya kita bisa terhindar dari permainan para bohir yang memainkan "trauma" sebagai alat untuk menguasai alam bawah sadar kita. Kita juga bisa secara sadar dan mungkin reflek menghindar untuk terjebak di momen yang bermuara pada aktivitas yang tak produktif dan tak berorientasi pada kepentingan berkemanusiaan, apalagi mempertajam naluri. Padahal itu yang kita butuhkan saat ini. Naluri (conscience), sebagai "pisau bedah" utama dalam  membuang "kanker" yang mematikan hati. 





No comments: