Saturday, May 22, 2021

Spoiled Brain



Setidaknya ada tiga hal yang terjadi saat kita mengambil resiko: menciptakan celah, mengeringkan suasana, dan meregangkan variabel. 


Hidup ini tak pernah lepas dari usaha untuk menghilangkan ketidaksukaan, meredakan kesedihan, dan mengobati kesakitan. Usaha ini membutuhkan ruang dan waktu. Di sisi lain keberadaan ruang dan waktu mengisyaratkan kerja gravitasi. Mungkin kita hanya mengenal gravitasi dari cerita kecil di buku pelajaran, yang kadang dibelokkan ke permainan tempel menempel dan pengetahuan lain tentang medan magnet. Padahal saat kita bicara gravitasi kita akan banyak bercerita tentang permainan dimensi, manipulasi ruang, dan denyut yang ditimbulkan oleh sang waktu. 


Memahami resiko sebagai pemicu, atau sumbu, dari sebuah proses percepatan adalah sebuah fase baru dalam memahami perjalanan berkolektif. Pengambilan resiko saat sendirian seringkali tak akan menjadi ingatan yang bisa diceritakan di lain waktu. Lain halnya jika resiko tersebut diambil dalam sebuah kondisi kita tak sendiri. Kita bersama satu, dua, atau banyak orang yang memiliki tujuan sama, tapi dengan latar belakang yang berbeda. 


Itulah yang menjadi concern banyak orang saat mengumpulkan orang untuk tujuan tertentu. Mengikat visi sebuah kelompok tentunya tak bisa langsung. Butuh pengondisian (ruang dan waktu), agar tujuan bisa dipahami dalam persentase yang hampir sama. Tentunya butuh pemancing suasana, agar menimbulkan respon terkait rasa yang sama. Dan yang paling penting adalah tentunya kita membutuhkan sebuah daya serap otak yang hampir sama saat berada di kondisi yang relatif sempit, membutuhkan ketepatan dan kecepatan yang sama.


Saat mengambil resiko tentunya akan menciptakan celah, atau gap, atau masalah baru. Dalam pendekatan lain, masalah bisa diartikan dengan situasi. Situasi ini seringkali terkait dengan penciptaan momen. Sejatinya masalah /situasi tak ada yang berlangsung tanpa sengaja. Semua adalah sebuah kesengajaan. Semua bekerja dalam sistem. Hanya saja stakeholder, penentu, penyebab situasi terjadi seringkali bukanlah organ yang bisa diakses langsung dengan komunikasi yang biasa kita lakukan. Tapi setidaknya otak kita bisa disiapkan untuk merekam pola dan cerita yang berlangsung dari sebuah situasi. Otak kita bisa dikondisikan dalam posisi siap untuk menghadapi situasi yang tak dipahami sebelumnya. Istilah teknisnya, ready to unfolding the unknown.


Suasana dalam metafora bermakna dansanya para stakeholder pengatur konteks. Suasana yang kaku, yang kering, tanpa inisiatif di dalamnya tentunya bisa disebabkan oleh ketidaksiapan. Ini yang sering terjadi saat kita mengambil resiko secara mandiri, atau menggunakan wewenang otoritatif. Ketidaksiapan memang seringkali tergambar dalam sebuah bentuk gerak yang tak terpola, mimik yang tak singkron dengan konten yang sedang ditampilkan, dan penggunaan energi yang berlebih. Keringnya suasana bukan berarti "kurangnya pelembab" pada konteks tersebut. Suasana yang kering berarti juga sebuah sinyal inefisiensi yang sedang berlangsung dalam sebuah sistem. Dalam kondisi ini, otak yang siap hanya mampu merekam, tanpa mampu memindai situasi apa yang sedang terjadi. 


Mengambil resiko tentunya bisa mendekatkan kita pada entropi. Mendekatkan kita pada "kodrat" energi yang akan berubah, banyak yang mengistilahkannya dengan kekacauan. Ketidakpahaman terhadap pola yang ada seringkali tergambar sebagai kekacauan, atau tak dapat didefinisikan. Sejatinya yang terjadi adalah hilang dan membaurnya variabel sebuah sistem, seolah tak lagi terlihat awal dan ujungnya. Dalam kondisi ini, gravitasi berperan menjadi alat pengurut, awal-akhir, dan pengurut dimensi dan waktu dari sebuah peristiwa. Dalam kondisi ini, seringkali otak yang siap pun tak bisa merekam dan memindai, seringkali baru bisa memindai saat kaki mulai menjejak. 


Dari cerita di atas, bisa tergambarkan peran otak kita yang penting dalam penjabaran, pemindaian, dan perekaman. Keterbiasaan kita untuk merasakan yang sudah ada, mengulang hal yang terasa nyaman, hanya akan membuat otak menjadi tak siap dengan apapun. Termasuk dengan kenyamanan dalam kebaruan. 

Tuesday, May 18, 2021

Detak Di Sela Detik



Ritme yang semakin cepat bisa menguak banyak hal. 

Saya ingat bagaimana rasanya mengulik lagu-lagu bertempo cepat dan relatif progresif. Saya ingat saat mengulik lagu Surrounded dari Dream Theater. Tentunya Surrounded bukanlah lagu cepat di antara lagu-lagu Dream Theater yang bahkan memiliki banyak lagu bertempo dua kali lebih cepat. 

Butuh waktu hampir 3 bulan kurang lebih waktu itu, di tahun 2000, untuk saya mengulik lagu ini untuk dibawakan di sebuah acara bersama band kampus saya di masa itu.  Bulan pertama saya gunakan untuk berlatih mengikuti partitur yang ada. Sebenarnya saya tak bisa baca  partitur, tapi lebih mengikuti pola yang ada di midi. Jauh lebih simpel untuk saya. Bulan kedua saya gunakan untuk berlatih bersama dengan band dan sedikit banyak melatih dinamika permainan, karena mengikuti partitur saja tak cukup untuk mendapatkan rasa puas dalam memainkan lagu Surrounded. 

Keseruan ada di bulan ketiga. Saya harus menjadi vokalis di lagu ini dalam sebuah festival musik, karena vokalis band kami berhalangan. Lagu Surrounded memainkan beat 4/4 di hampir keseluruhan lagunya, tapi ada beberapa bagian memainkan beat 4/5 (atau 5/7 ya?)... saya lupa teknisnya, namun memori motorik saya masi mampu mengingat  lagunya hingga saat ini.  Terus terang, nyanyi sambil bermain piano lagu Surrounded itu seperti harakiri. Mana waktu itu selain festival, lagu ini saya bawakan juga dalam acara Fancy Night-nya teman-teman FSRD di  tahun 2001. Saat itu bassis dan gitaris beralmamater  FSRD, namun tetap saja itu salah satu momen paling menegangkan dari kejadian manggung saya. 

Hmmm...Saya akan melewatkan cerita di atas, saya akan menceritakan salah satu manggung tersebut di cerita lain. Saya akan mencoba menceritakan bagaimana sih ketegangan yang kita timbulkan dan kelola sendiri bisa mengubah mindset. Saya rasa tak banyak peristiwa yang bisa mengubah mindset, sebuah hal yang basic dari seorang manusia. Karena jika dianalogikan jiwa seorang itu seperti gunung es, maka perilaku akan berada di puncak gunung es dan mindset ada di dasar yang paling bawah. 

Lalu di bawahnya ada karakter dan pola respon, lalu semakin ke bawah ada ilmu terapan yang tersinkronisasi dalam tubuh. Sampai ke bagian bawah gunung es, kita akan menemukan mindset, kepercayaan, dan area trust yang terkait dengan dimensi lain di luar dimensi yang mengikat diri.

Ketegangan saat berkarya bisa jadi karena  ketidaksiapan, atau bisa jadi terlalu siap (overskill). Ketegangan sejatinya adalah sinyal, yang mengabarkan ketidaksinkronan antara satu kondisi dan kondisi lainnya. Akan selalu ada tanda, seperti detak sebelum peledak berfungsi, dan suara lain yang muncul di kepala untuk memastikan sebuah hal itu sudah sinkron atau belum. Akan ada detak di sela detik di setiap rentang perjuangan.

Setiap perjuangan  akan memiliki dan membutuhkan volume nafas yang berbeda, dan juga akan "meminjam" pikiran kita dalam porsi yang berbeda pula. Pikiran yang terpinjam inilah yang akan lama-lama terlatih untuk menerima respon baru yang lebih matang.

Lebih matang karena bisa memetakan masalah tak hanya untuk direspon, tapi juga diletakkan pada tempatnya. Masalah , atau dalam sistem diistilahkan dengan gap atau situasi, jika diletakkan dalam wadah yang tepat akan membuat detik-detik yang mewakili dimensi waktu akan mengeluarkan detaknya. 

Masalah akan jadi tanda yang membuat kita bangkit, dan terus bangkit.