Thursday, May 26, 2011

Apakah Kita Masih Butuh Politik?



Di antara cerita perang yang terjadi di hutan-hutan, perkotaan, air, darat, gunung, dan lembah, bangsa Indonesia ternyata terlahir  melalui perdebatan, melalui diskusi, dan olah pikir. Tak ada aturan dalam debat saat itu, hanya rasa ingin mendapatkan makna baru dan pelepasan cita-citalah yang membuat tokoh bangsa mengumpulkan semua ego mereka yang berbeda-beda. Kesepakatan menjadi orientasi dalam menyelesaikan masalah bangsa.

Kesepakatan itu berjudul undang-undang dasar, dan mungkin masih banyak kekurangannya. Seperti payung kecil, kadang tak cukup menaungi warganegara yang ingin mendapatkan kenyamanan. yak, kenyamanan, bukan kemerdekaan. Bagi orang yang mencari merdeka, memiliki payung saja sudah menjadi anugerah. Memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi hujan adalah sebuah amanah. Kenyamanan adalah candu bagi orang yang ingin dimanjakan mimpi.

Mulai dari Undang-Undang, sistem  dan organisasi pun tumbuh, tumbuh seperti syaraf otak yang saling tersambung, dan menjadi mesin fikir dalam menyelesaikan masalah kebangsaan. Peraturan tumbuh seperti jalan-jalan raya kota yang saling menghubungkan. Besar, kecil, panjang, lebar, sempit, luas, seperti itulah analoginya.

Setiap orang selayaknya bisa menggunakan jalan itu. Tak haruslah kita menggunakan kendaraan jika tak terikat dengan timeline waktu. Cukup berjalan saja, kita bisa sampai di tujuan, kita bisa mendapatkan rasa kemerdekaan dan keadilan.

Apa yang terjadi di pusat ibukota ini sungguh seperti komedi. Tak usahlah dianggap tragedi, jika kita masih memiliki solusi dan bayangan indah untuk membuat dunia jadi lebih indah. Mesin-mesin politik mengisi jalan-jalan ibukota hingga ruas terkecil. Itu bukan masalah. Yang jadi masalah adalah pengemudinya tak tau cara menggunakan mobil. pejalan kaki tak ada lagi, karena pasti tergilas. Mobil besar, mobil kecil, saling berebutan ingin menikmati jalan tanpa gangguan, agar bisa sampai tujuan.

Sebenarnya apa sih arti tujuan, jika akhirnya kita harus mengorbankan jalan yang saling terhubung itu jadi tanpa arah, dan membuat frustasi. Sebenarnya apa sih arti tujuan, jika kita tak bisa berbagi. Nihil... dan memiliki kemampuan terbang, kini menjadi mimpi para politisi-politisi yang tak bisa berkendara...

2 comments:

Titik Kartitiani said...

jd ingat 2 hari lalu aku jalan di trotoar depan kantor sm Didi. Ada sepada motor nglakson kenceng banget, sengaja Didi ga mau minggir karena kita jalan di trotoar. Bukankan trotoar itu hak pejalan kaki ? Lalu ketika motor itu berhasil mendahului kami...dia memaki ' budeg', tolol dll sambil mengacungkan jari yang harusnya jari tengah (tanda memaki),tp dia salah jari..jari terlunjuk :D
Jadi, bahkan mereka yg seharusnya salah pun masih bisa memaki karena tidak tau bahwa trotoar itu hak pejalan kaki padahal pastinya dia punya SIM. So...itu baru kejadian kecil, oleh masyarakat yg juga kecil...bagaimana jk politisi ? Huh..kadang sudah lama rakyat menganggap negara (baca:politikus) tak hadir di kehidupan mereka..go away. Mereka diam, ga nganggu saja sudah berkah :)

Private! said...

mungkin trotoar pun harus dibikin berpagar, Tik. Pagarnya seperti bemper belakang bajaj, dari besi hollow yang dipotong jadi bergerigi, khas bajaj.