Friday, April 02, 2021

Estetika di Dunia Reduksionisme



Beberapa situasi tak lagi bisa dipandang dari satu sisi, malah butuh kedalaman hingga ke level sub atomic untuk memahami bagaimana sebuah dialektika dan momen yang tadinya seperti menyebalkan dan tak punya makna,  ternyata memiliki nilai estetis dan filosofi mendalam.



Saya terkejut sekaligus tertawa melihat dan mendengar anak yang sedang melangsungkan zoom session di sela School From Home-nya. Saya lupa mata pelajaran apa saat itu. Ibu Guru beberapa hari sebelumnya memberi tugas kepada anak didiknya untuk membaca  Kisah Bawang Merah dan Bawang Putih. Tentunya kita sebagian besar tahu cerita itu. Lalu di saat zoom session ini Ibu Guru menanyakan pendapat dan respon anak-anak tentang cerita tersebut. 


“Kalo Bawang Putih bagaimana sifatnya, Anak-anak?” Tanya Ibu Guru

“Baik Buuu,” ujar anak-anak, kompak.

“Lalu bagaimana dengan Bawang Merah?” Tanya Ibu Guru kembali.

“Gak ada akhlaknya, Buu,” jawab anak-anak serempak.


Saya terdiam. Lalu tergelak tertawa. Bagaimana anak memahami cerita dan memberi respon benar-benar di luar dugaan saya. Saya mengukurnya dari bagaimana anak-anak begitu kompak satu suara menjawab dengan bahasa yang sama: gak ada akhlak.


Saya melihat reduksionisme


Di satu sisi baik. Di sisi lain bisa menimbulkan generation gap. Jika dulu saya, yang masih merasakan bagaimana unsur analog menguasai perikehidupan, dari bacaan, dari pengajaran, bahkan dari dogma-dogma di tataran sosial, tentunya akan menjawab pertanyaan Ibu Guru tentang sifat Bawang Merah dengan pemilihan bahasa yang akan berbeda dari rekan-rekan saya yang dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Tapi saat melihat anak berdialektika dengan teman dan gurunya, satu bahasa yang sama menunjukkan ada persamaan yang sama dalam memahami karakter-karakter yang tak sejalan dengan norma yang dijalankan anak anak. Jika tak sejalan, maka tak segan akan dianggap tidak punya akhlak sama sekali. Di satu sisi reduksionisme, di sisi lain juga ini bisa dibilang salah satu karakter umum yang “sudah dibiasakan” berlangsung dalam dialektika anak-anak di usia 10-12 tahun (anak saya saat ini ada di kelas 4 SD). Karakter umum di anak yang sedang mulai belajar berhimpun dan menyamankan dirinya dalam kelompok sosial. 


Bisa dibilang, kelas 4 ini adalah kelas yang paling kompak dari seluruh kelas yang diikuti anak saya. Sayangnya memang tak pernah ada pembelajaran offline karena pandemi. Tapi kebersamaan yang terjadi jauh lebih berkualitas di banding di kelas 1,2, dan 3. Saya bisa bilang demikian karena anak saya selalu semangat saat ingin zoom, dan setelah sesi zoom di kelas. Belum pernah ada masalah dengan pelajaran, kecuali karena masalah teknis karena sinyal jelek atau terputus. Sisanya aktivitas zoom kelas justru membuat anak semangat.


Walau begitu, saya masi terus mengawasi gejala reduksionisme ini. Melihat  dialog kolektif bisa terasa sarkas oleh generasi analog, tapi bagi generasi anak saya ini adalah kelaziman. Saya juga mengurai, bagaimana  bahasa yang lebih ber-layer, masih bisa efektif menghadapi sebuah gejala sosial yang tidak sesuai dengan norma kelompok. 


Saya tak heran kenapa reduksionisme bisa terjadi. Selain karena algoritma (sosial media) yang meredusi analisa,  bisa jadi penggunaan panca indera yang tidak komplet (hanya visual dan pendengaran secara simultan)  membuat analisa menjadi lebih pragmatis tentang sesuatu yang harusnya bisa dinilai lebih holistik. Tapi bagi saya itu bukan faktor terpenting, karena kita banyak menemukan bagaimana individu yang memiliki disabilitas pada panca indera tertentu bisa lebih tajam dan lebih holistik analisanya. Saya menduga, faktor pemahaman kesadaran atas diri dan bagaimana memanfaatkan sekitar adalah kunci bagaimana nilai-nilai holistik bisa memiliki value dan akuntabilitas yang tinggi (bisa jadi warm data, bisa gampang terkoneksi, tervaluasi, dan terverifikasi). 


Pandangan-pandangan reduksionisme ini pernah saya praktekkan dalam proses mendesain saya, jauh di masa ketika kuliah dulu. Ada masa saat saya benar-benar fokus mendesain untuk tujuan mewadahi fungsi. Nilai estetis, atau dalam dunia kuliah arsitektur dulu sering disebut venustas, seyogyanya lahir dari fungsi dan artikulasi fungsi itu sendiri. Hal yang dari luar, apalagi metafora dari sebuah hal yang tak terkait fungsi, adalah haram hukumnya. Ya. Saya pernah di level itu.


Tentunya tidak salah, dari sisi mencari nilai yang aman untuk diraih dalam mata kuliah studio perancangan. Tapi ada konsekwensi yang akhirnya saya hadapi. Saya terlalu terpaku pada referensi, khususnya untuk meraih dan menggali nilai-nilai estetis dari sebuah karya yang berbasis reduksionisme. Saya akhirnya harus berkiblat pada si A, si B, dan itu kalo saya istilahkan dengan istilah anak saya, saya sendiri akhirnya tak memiliki akhlak, pondasi sikap, dalam menentukan nilai estetis dari karya saya.



Menyelami dunia  estetis 


Peristiwa yang terjadi pada sesi zoom anak saya itu berlangsung kurang lebih seminggu yang lalu. Saya baru tulis tadi malam  setelah  membaca sebuah artikel relatif panjang tentan Kadinsky.  Artikel ini bercerita bagaimana Kadinsky menemukan “dirinya” di dalam pemahaman seni, setelah melalui fase-fase spiritual yang sebenarnya terjadii umum pada kita, manusia yang bersosial.


Umum, karena Kadinsiky menemukan nilai estetisnya melalui proses yang tidak seajaib  Gogh misalnya (yang harus gila), walau karya Kadinsky tetap “ajaib” bagi saya yang sama-sam sering menggunakan elemen warna dan geometri. Kedalaman yang diraih Kadinsky dalam sebuah hirarki sosial yang “wajar” adalah sebuah jalan keluar menurut saya, untuk kondisi-kondisi sosial yang banyak mengalami reduksionisme. 


Bagi saya, Kadinsky menemukan estetikanya dalam berkesadaran. Dalam berkesadaran untuk berinteraksi, dalam berkesadaran untuk menemukan kedalaman, dalam berkesadaran untuk merangkai pola. Di sana ada nilai-nilai estetis yang diungkapkannya dalam karya yang di setiap era memiliki kematangan dan kedalaman yang relatif identik. Tidak seperti karya saya misalnya, jika dibandingkan dulu dan sekarang, dulu dangkal sekarang agak dalem dikit, nanti (mungkin) bisa agak bisa dalam bisa bikin kelelep. Kadinsky tetap berkarya di level yang bisa diselami oleh entitas yang berkesadaran awam hingga terdalam. 


Menurut saya demikian. Btw, beraninya saya menempatkan diri saya sebagai pembanding. Ga ada akhlak. :))


Setidaknya saya tersadar. Perasaan sadar yang menggembirakan ini harus dirayakan dengan berkarya, yaitu menulis artikel ini. Tentunya banyak jalan dan simpul yang bisa dijalani dan diurai untuk memulai  meraih nilai-nilai estetis dari karya yang kita buat. Pencarian sejati yang bisa dilakukan adalah mulai dengan mengembalikan kesadaran diri. Mengukur apa yang bisa kita hasilkan di setiap level kesadaran. Mulai dari level terbawah, berkarya saat takut, terdesak, dan dalam kungkungan. Hingga berkarya di level tertinggi, ketika kita menemukan keikhlasan dan bagaimana semesta menjadi sumber energi dan ide untuk setiap nafas dan gerak yang kita lakukan. 


Saya baru ingat, di hari kemarin juga, tepat kira-kira dua jam sebelum baca artikel tentang Kadinsky. Saya bergabung di sebuah forum yang bernarasumber seorang ahli pertanian Australia, keturunan Aborigin. Beliau dalam kesadaran tertingginya, berhasil mereduksi pemahaman lokal yang terlihat rumit terkait pengelolaan tanah dan api. Bagaimana api bisa menjadi motor dan agregator untuk menghidupkan lahan. Ternyata reduksionisme tak selalu berakhir pada kebuntuan estetis. Setidaknya saat di kesadaran tertinggi, dan berkolektif, nilai estetis lahir dari bagaimana kita menghargai diri kita, dan apa yang kita nafas dan pijak. Pengabaian dari unsur -unsur yang "dipandu" oleh panca indera memang akan membuat menurunnya level kesadaran kita. Minimal munculnya rasa jenuh. Reduksionisme diri bisa jadi alat untuk menangkap tanda-tanda vital kolektif yang bisa menggerakkan kebersamaan. Mungkin bisa saya simpulkan demikan. 


Semoga nanti anak saya membaca tulisan ini. Saya belum tahu bagaimana menjelaskan padanya tentang gajala reduksionisme sosial pada saat ini. Mungkin belum saatnya. Biarkan dalam fasenya, terbang bersama seperti burung di sawah yang berpadi menguning, menikmati reduksionisme dalam skala kelompok dan imajinya. 

Monday, March 29, 2021

Power of Existences



Menguasai jurus bukan berarti menguasai pertandingan. Tapi dengan memiliki jurus, setidaknya kita bisa mulai membuka jalan.


Masih banyak yang harus dilatih. Bahkan jurus hanya (maksimal) 10% skill yang diperlukan saat bertarung. Apalagi sebuah pertarungan yang resikonya kematian. Setidaknya, keberanian (untuk mengukur) dan keikhlasan (untuk memercayakan elemen di luar diri) adalah faktor utama yang bisa menentukan seseorang bisa menguasai dan mengendalikan momen. Momen apapun itu, termasuk momen pertarungan. 


Keberanian tak bisa datang dengan sendirinya, walau ada beberapa kasus faktor keluarga, sering disebut faktor genetik, berperan dalam membentuk respon individu untuk lebih agile dalam merespon rangsangan “situasi/masalah” yang bisa mengaktifkan panca indera. Saya masih ga terlalu percaya tentang gen bisa langsung menggerakkan mindset untuk selaras dengan karakter yang ada pada generasi sebelumnya. Saya lebih percaya bawa syaraf yang ter-activate karena kita melakukan/melatih skill tertentu itu akan tercetak di gen selanjutnya dengan relatif identik, sehingga tak terlalu banyak penyesuaian yang dibutuhkan. Untuk mencapai keberanian, tetaplah dibutuhkan upaya upaya sadar yang bisa menyentuh level batas-batas manusia dalam merencanakan, berlatih, dan berkeputusan. “To make transformation in system, the systems should be tested by itself,” ujar salah satu Profesor yang sering saya ikuti untuk mendisiplinkan kesadaran saya.


Keberanian tak akan muncul saat kita tak terbiasa dengan proses, “let it go”. Melepaskan jurus yang kita miliki, mengambil keputusan dan resiko, dan menentukan titik awal untuk bertindak. Menerima resiko adalah pasangan sejati dari proses memberanikan diri. Hal ini tentunya menyangkut dengan kemampuan kita untuk berikhlas. Berikhlas bisa juga berarti melepaskan kemampuan mengukur kita, dan menjadikan elemen-elemen yang tak terukur menguasai, dan jika beruntung, mengendalikan proses yang sedang kita selami dan jalani. Keikhlasan juga bukan tentang pencarian akhir, karena saat dalam keikhlasan, kita tak lagi peduli kapan rasa sakit akan berakhir. Kesadaran mulai dikendalikan oleh memori alam bawah sadar yang membawa kita pada proses menerima hal baru yang bisa menjadi jalan baru. Keikhlasan banyak berurusan dengan alam bawah sadar, alamiahnya begitu. Ketika kita terbiasa dalam kesadaran tertinggi (menurut bagan Dr Hawkins), setidaknya akan berpasangan dengan alam bawah sadar yang juga di level tertinggi, yaitu bisa meramu data-data alam bawah sadar secara simultan, muncul sebagai ide yang tak terpikirkan dan terpolakan sebelumnya. Muncul sebagai instrumen semesta yang “seolah” mendukung proses yang kita sedang jalankan.


Setidaknya itu yang saya alami. Setidaknya itu yang terjadi saat saya berada di titik nadir, ketika kekuatan besar mencoba “menghilangkan” peran manusia biasa seperti saya. Kekuatan besar yang bisa berkata “saya bisa habiskan kamu”. Kekuatan saya yang saya sadari masi tersisa pada saat itu adalah kekuatan untuk meminta doa, dan kekuatan dari Ilahi berupa kepercayaan untuk bisa bangun di esok hari. Di titik itulah saya tersadar, bahwa bangun tidur itu bukan urusan remeh. Bangun tidur adalah sebuah tanda, bahwa Tuhan masih mempercayai kita untuk menjalani hari baru yang Ia Ciptakan. Setidaknya itu yang menguatkan saya untuk berkata, “Bismillah”.



Saya ga butuh cerita hal selanjutnya, setidaknya hidup ini adalah tentang menjaga keseimbangan, mengingatkan (syiar) pada yang tak imbang, dan sisanya adalah pertunjukan semesta (pelajaran besar) dari Ilahi. Semoga kita dijauhkan dari sifat 'istidraj, merasa bisa lepas dari Kuasa Ilahi, merasa bisa menguasai, merendahkan, dan mengobok-obok ciptaan-Nya yang lain, tak menganggap ciptaan Tuhan yang lain, yang attach pada kita, sebagai amanah (untuk kita jaga), walau barang senafas (sepersekian detik).