Thursday, December 31, 2020

Berkas Cahaya di Gorong - Gorong



Ingin curahkan kemarahan dalam karya cat air...Tapi kutakut karya ini nanti jadi mantra dan jimat penghancur. Maka biarkan ketakutan ini jadi obat untuk membuat marahku menjadi cinta


Hmmm...tulisan ini sebenarnya sudah ditulis di 2021. Tapi timezonenya ngikut New York. Hmm gpp. Kita tulis saja. Waktunya pendek. 30 menit lagi Jumatan. Ok. Kita coba dalam waktu 6 menit. Menulis sesuatu yang mengganjal selama 2020. Di 2020, kita diguncang dengan beberapa hal terkait dengan kejiwaan. Yang utama adalah memaknai "bebas", "menang", dan "kuat".

COVID meliputi kita mulai urusan tingkat makro sampai tingkat mikro. Kadang dalam organisasi yang memiliki target, definisi terbebas, menang, dan kuat, menjadi blur dan tentunya ini mempengaruhi pattern gerak kru tim.

Izinkan saya sedikit berbagi konten yang dibagi rekan. Apa sih menang itu? Mungkin tepatnya, bagaimana si rasanya menang yang senyap itu? Sehingga pada titik tertentu, saat kita sebenarnya sudah mencapai kemenangan, kita tak bingung, dan tak mudah ..sekali lagi.. hufft bosen nyebutnya... terjerumus dan tergiring algoritma.

Salah satu ciri menang adalah "semua terbuka dan terhubung". Setidaknya bagi makhluk-makhluk di dunia gorong-gorong, di dunia surveillance, di dunia tak ada panca indera yang bisa dipakai, peta yang menjadi utuh adalah sebuah kemenangan.

Di titik (kemenangan) ini, pintu-pintu kesadaran terbuka. Dengan cepat kita bisa mencapai level kesadaran ke 7 (enlighted..inspired.. insightful, dsb).. ya.. mestakung dimiliki oleh para pemenang. Jadi mereka tidak mendapat mestakung dulu baru menang. Tapi secara psikologi ya menang dulu.

Di balik terbukanya pintu kesadaran, sebenarnya terbuka juga pintu ketakutan. Ketakutan kehilangan momen. Lalu mengunci momen yang ada menjadi sebuah "monumen kesadaran". Ini agak riskan. Kemenangan yang membuat sorak sorai, membuat berisik, .. bisa jadi... adalah jebakan. Instead we're holding the level of our consciousness, we fall deep into sacrecity from adversity.

Jadi saat momen kemenangan itu datang, bersorak sorai adalah sebuah pilihan tersier. Yang primer adalah, yak.. lu ada di level kesadaran tertinggi. Yang bisa mengoneksikan dirilu dengan apa saja... bahkan dalam senyap. Ya. Kemenangan dalam senyap tak butuh pengakuan. karena lu sudah terhubung dengan -yang harus terhubung- di level kesadaran tertinggi. Setidaknya dalam level of trust. Trust.. sebuah kendara pelipat waktu. Penghilang buih-buih administratif dan basa basi... dan lu bisa nyaman kembali bekerja dalam senyap.

Jika pun harus berisik dan bersorai, itu dalam urusan decoy saja. Seperti lensa, menjadi "transparant filter" yang mengubah fokus. Sekadar mengisi hari. Menambah buih-buih hiburan.

Dalam konteks senyap lain... Kemenangan adalah ketertundukan atas kehendak semesta. Kalo istilah salah satu kerabat pedagang loak, "qui victor sit specialis est impignorauit"... pemenang adalah "Si terkhusyu yang tergadaikan"...


Saat Pungguk dan Godot merindukan Terang Bulan




Rasanya ingin menulis artikel penutup tahun. Tapi tahun ini sudah kebanyakan tulisan. 49 tulisan di blog ini, di tahun 2020. Produktif sekali. Padahal kan sekarang bukan penulis.. Dulu pas jadi jurnalis onlen, tepatnya jadi baut di pabrik media si targetnya 45 tulisan sehari...targetnya. Apa karena profesi di SIM-nya masih wartawan?


Ya sudah. Kita jadikan saja 2020 ini urbanistis memproduksi 50 tulisan. Mungkin dimulai di sini saja. Kadang kita ingin mengungkapkan segala rasa dengan status. Hmmm.. Kata mengungkapkan agak terlalu abstrak. Coba kita ganti dengan kata mengonversi. Kata yang lebih terukur bagi rekan rekan di dunia digital dan socio engineering. #halah

Istilah terukur juga ga lagi terkait dengan "penggaris", yang punya skala ukuran berdasarkan metrik atau inchi. Istilah terukur di saat ini lebih ke urusan terpetakan, terbaca "pohon ceritanya", atau yang lebih serius, terekam pola algoritmanya.

Lalu apa isi tulisan untuk akhir tahun, karena tulisan-tulisan di atas lebih ke hal yang sudah sering dibahas di tulisan sebelumnya? Mungkin tulisan akhir tahun ini adalah tulisan "penghela nafas" saja. Karena saya ga ingin sok suci bersyukur atas 2020 yang luar biasa, dsb... Nyatanya emang lebih banyak menghela napasnya, kok. Santai saja.

2020 memang luar biasa. Iya. Saya punya beberapa momen spesial.

Tapi 2020 ini adalah semacam "upper cut" bagi saya. Dimana ada pukulan yang tak terlihat mengenai saya telak di dagu, saat seolah tak ada ancaman untuk itu.

Yak. 2020 ini adalah tahun berbunyinya hal-hal yang sepantasnya tidak berbunyi. Hal yang sunyi ikut berbunyi. Hal-hal yang kalo kita tahu bisa berakibat panjang, yang ikut berbunyi. Yak. tahun ini tahun yang sangat bising. Bukan tentang lebarnya spektrum berita yang kontennya seolah harus kita telan mentah mentah di saat "keilmuan" kita belum siap. Bukan tentang itu. Ketidaksiapan ala siswa plonco sudah sering saya rasakan.

Mungkin, ini analisa kasar saja. Memang semua yang ada di sistem lagi di "test the system itself", sebuah syarat asesmen buat naek kelas. Mungkin lho ya.

Ini tentang bisingnya orang-orang yang harusnya diam. Harusnya senyap.


Thanks God (bahasa Jawa, "untungnya") , ada darah jurnalis yang ada di saya. Sehingga dengan tertatih saya bisa bertahan untuk menunggu penyebab si senyap teriak begitu kencang. Proses menunggu yang paling memuakkan. Menunggu di sela batu air terjun.

Ya setidaknya di 2020 ini, adalah proses yang paling membuat badan "berlumut". Seolah pungguk dan godot saling menanti kue terang bulan. Mungkin belum saatnya membersihkan diri. Kue terang bulan masi belum datang.

Kabarnya kue terang bulan akan muncul dari balik air terjun, tempat godot dan pungguk bersembunyi menanti, hingga penuh lumut.

Saya pun iseng bertanya. Ini dia kalimat yang diucapkan saat saya berbicara dengan godot, "beri saya 7 2020 lagi, saya akan ubah dunia".. Lalu saya berkata, "Kang, sarekeun... moal baleg"


-end-



Tuesday, December 29, 2020

Anti Counter Narrative (?)




Bikin status "melihat sesuatu yang tidak terlihat" di sosmed bakal terlihat eye catching. Padahal cuma lagi ngecek perkembangan bisul di pantat.

Itulah sedikit analogi daripada yang namanya counter narrative (kesakitan). Di jaman Orde Baru narasi dibuat berdasarkan garis komando. Saya rasa demikan. Di manapun sih. Baik di pemerintahan ataupun di media. Tidak ada, atau jarang, narasi dibuat berdasarkan sesuatu yang terlebih dahulu viral. Tentunya karena sesuatunya berjalan dengan analog, lebih banyak unsur mobilitas dan kontak fisik, juga jenis hubungannya saling terhubung tapi tak simultan. Verifikasinya relatif ketat. Karena itu fungsi intelijen dalam pemerintahan, dan para editor di dunia media, berjalan dengan alamiah. Melihat potensi, atau angle dari sebuah konten, menunggu afirmasi, lalu sebuah perencanaan peliputan bisa dijalankan dengan "sempurna".

Jangan tanya itu konsep perencanaan peliputan di jaman digital ini. Dahulu perencanaan peliputan bisa diarahkan sampai gaya tulisan dan bahkan produk turunannya jauh hari, bahkan berbulan bulan sebelumnya. Tapi sekarang mungkin (karena sudah lama juga saya tak di ruang keramat a.k.a. ruang redaksi) banyak berkutat di ketersambungan dan intensi hubungan dengan narasumber. Karena peran narasumber tak lagi hanya sumber berita, tapi juga zonder, kurir, yang menjadi "sampel" untuk mengukur batas dan memetakan peta sebuah algoritma yang lagi berjalan. Pola perjalanan dan pergerakannya bisa jadi berita.

Pergerakan, penggiringan, penjebakan, penguncian, adalah pola pola umum yang terjadi saat algoritma media (dan tentunya sosial media) merajai pasar panca indera penglihatan.

Seperti yang sudah diceritakan jaman dulu banget, dimana salah satu definisi "fitnah akhir jaman" adalah : terlibat (bisa terkunci, terperangkap, tergiring) dalam sesuatu yang tidak kita pahami. Tidak kita pahami ini bisa berarti tidak bisa dikontrol, atau semacam terseret arus.

Terlibat/dituduh melakukan sesuatu yang tidak kita lakukan itu mah definisi fitnah dari jaman manusia baru berevolusi meureun (istilahnya) kalo dilihat dari interaksi monyet. Mungkin bahkan saat belum berevolusi. Terjadi di kumpulan monyet yang menerapkan sistem komunal. Ya di sistem ala monyet tentunya. yak. Tull. Definisi fitnah yang jadul banget. BIsa dibilang definisi pra-evolusi

Lalu bagaimana agar generasi muda (esp. anak) ga kena jebakan "fitnah akhir jaman"... ya ga harus memahami segala perangkap algoritma, yang punya kecenderungan untuk harus kita ikuti satu persatu, fase per fase. Di situlah peran ilmu "black box" (bahasa metoda desain/merangkai jaman uyut), atau bahasa kekiniannya shaping the data, bisa dipake.

Mau ga mau harus diakui kita dibekali asumsi. Kalo orang terpelajar dibekali dengan "hipotesa". Sayangnya asumsi sangat gampang dibentuk oleh algoritma. Sedangkan hipotesa butuh level verifikasi, dan prosesnya ga terlalu singkat.

Nah, jalan tengahnya bisa dengan banyak mengenalkan proses "shaped the data". Bisa dengan dari memadukan bahasa. Bahasa tak hanya tekstual dan lisan. Ada bahasa lain yangjarang digunakan sebagai penentu keputusan, yaitu bahasa gesture, bahasa mimik, bahasa intonasi.

Baru saja lihat artikel tentang bagaimana Messi memutuskan tendangan penalti dengan membaca gesture dan mimik kiper. Ya salah satunya itu. Tentunya ada ilmu lain yang bersifat "anti gesture". Kapan-kapan lah kita bahas entuh.

Kumpulan bahasa ini bisa saling terkait, dan ga perlu sampe level hipotesa, sebuah "bahasa baru" yang lebih kongkret dari asumsi bisa muncul.

Kenapa lebih kongkret? karena bahasa ini terkait dengan kesadaran komunal. Ketika bahasa teks, verbal, gesture, dan mimik, digunakan oleh individu, maka ia akan mudah memengaruhi kondisi kesadaran komunal.

So, we're not talk about delivering assumption about things... we're talking about how to hold the 'floor' with the same level of consciousness..

Ya tentunya ini bukan tentang konten benar salah. Ini tentang tools, teknologi, atau pisau. Pisau bisa digunakan oleh orang baik, atau orang terlihat baik, atau orang yang pengen terlihat baik, dengan memegang pisau.



-end-

Bagai Pungguk Tercocok Hidung




Saya ga tahu gimana caranya berkarya karena benci atau hasud...atau setidaknya saya tidak pernah punya niat seperti itu. Biasanya berkarya karena pengen berkarya saja. Kalo bisa bikin orang ketawa atau pengen boker. Ga tau ya kalo orang lain yang merasakan kebencian di karya saya. Mungkin pas saya bikin lagi ada syaiton pengen nebeng.

Mungkin disitu salah satu dari seribu letak bego saya. Btw, kalo update status bukan berkarya kan ya... Kalo bikin status julid, wa bil khususnya di twitter, si saya jago. Di FB mah rada jaim. Tapi untuk berkarya dengan semangat hasud, bahasa kasarnya. Atau mengarahkan, bahasa halusnya, saya masih belajar, belajar, belajar, banyak. Berlatih pun belum.


Tentang karya, saya selalu ingat Tesla dan karya-karya turunannya. Setelah itu lalu membayangkan bagaimana "ide" itu dijual masif oleh pendirinya. I just wondering.. @elonmusk is a kind of walking algorithm... a man who use his breath rythm as tool to mapping the market (and followers, also).. or in simple analogy, the market follows like smoke from exhaust pipe of car..... of course that #imho.


Back to "geng hydra". "No. We're not facing the oligarchy. It's Hydra. Oligarchy is just a skin. Who can stopped people making money from others? We're not facing the Geng Hydra. We boiled with it. Mixed as Fries."


Bicara tentang para "pengarah", para fans algoritma, maka kembali lagi kita membicarakan golden ratio. Golden ratio is about path to be followed. Golden ratio always become effective weapon for borjuis. Tho, golden ratio is a powefful weapon. But essentially not for creating disparity.


Borjuis is just like survival mode, relatively passive, but "the hydra" made disparity as conquering mode. it could seep and lunge to the deepest cell of your trust circle, creates disparity, an then, distrust.


Coba cek toko sayur, toko agen reseller, toko agen frozen terdekat anda, kalo ada waktu cek jaringannya, ada yang mengarah ke siapa... dan senyum manis bisa tersimpul. Senyum manis ironis. Probabilitas ketemu si cinta hydra mungkin 40%. Mayan gede lah itu untuk ukuran sel.


Mereka bisa jadi apa saja. di mana saja. kapan saja. Jumlahnya ga banyak. tapi movementnya mungkin bisa 7x lebih cepat dari gerakan ambushnya gerilyawan pol pot ke markas tentara amerika.


Jadi kesimpulannya, tolong menolonglah dalam kebaikan. minimal catat. Tolong siapapun, walau itu pemimpin yang lu keki-in. Civil society harus tetap tegak, independen, dan menjunjung kesetaraan.


Karena muara dari kedaulatan di era digital adalah di kekuatan bargaining value sebuah civil society. Nilai tukar a.k.a mata uang di era kedepan adalah itu. Dan inti kekuatan civil society adalah kekuatan cycle of trust, karena sistem kesepakatan yang mengikat saja tak cukup di era informasi yang terus bergerak dan berubah ini. Oiya, ada satu lagi, peta paten dan kekaryaan juga penting untuk era ini. Jadi ya mulai sekarang jangan lupa untuk kasi tanda tangan sketsa-sketsa gabutnya ya.. siapa tau. Gitu lo

"Mau ngebacot sebener apapun, kalo bukan di circle of trust, ya butuh dana buat jadi badut" - seorang rekan, fatalist.

-end-


Wednesday, December 23, 2020

Surat Wasiat untuk Anakku di Dunia





Assyifa Bilqa Anindra..

Anakku tersayang, terpilih, yang menyembuhkan..

Cuma maaf yang bisa terucapkan.

Atas semua perjalanan dan momen yang ada. Mau itu indah, pahit, senang, bikin marah, atau apapun. Cuma maaf yang bisa terminta.


Assyifa..

Hidup ini tentang cara berjalan. Cara melihat dan tidak melihat saat berjalan. Bukan tentang membicarakan dan membanggakan tujuan. Kadang beda.  Sang Pencipta Lebih Tahu dan selalu Memberi Yang Lebih Baik. Kadang bagi kita belum baik, karena kita belum tahu. Sejauh ini, selalu yang terbaik. Tak hanya terbaik, tapi juga bagaimana setiap perjalanan kita bisa menyelamatkan: ilmu, amal, sekitar, dan amanah…


Assyifa

Jika ada jarak yang tebal, memisahkan. Tentunya itu kehendak-Nya. Tak ada yang bisa mencegah, melawan, dan mengatur Yang Menciptakan pengisi langit dan debu debunya. Jika ada jarak yang memisahkan, tentunya itu adalah jalan baru yang diberi. Sebuah obat, sebuah penyembuhan atas ketidaktahuan, atas pertanyaan yang tak terucap. 

Jarak itu melepas kita dari ingin, yang tak akan dibawa di hembusan setelah hembusan yang terhembus saat ini.


Assyifa

Jadikan setiap nafas adalah pelajaran yang menyenangkan, meminterkan, mensolehkan, menjadi rezeki, menguatkan derajat, menyehatkan, membahagiakan, dan menyenangkan. Tiap nafas sudah lebih dari cukup. Karena Allah langsung yang menjaganya. 


Semoga bisa bertemu di pintu langit bersama, juga dengan kakakmu dan ambu… dalam nafas dan ketenangan...

Surat Wasiat untuk Anakku di Langit



Hai Maulia Tiffa Arridha.. Putri sulungku.. 

Semua sedang baik baik saja bukan.. tentunya tak akan khawatir tentang kabarmu di sana.

Di sebuah tempat yang hanya Tuhan yang memberi izin tinggal, dan waktu yang menjadi nafas-nafas harum 


Hai Tiffa

ini mungkin tulisan yang biasa saja jika dibaca di atas sana

Tapi di dunia ini, mungkin isi tulisan ini adalah impian bagi semua orang yang masi menggunakan nafasnya untuk menggerakkan indera, mengingat Sang Penyayang, Yang dekat di sisimu, Nak. 


Hai Tiffa

Semua ada saatnya, kecuali di tempatmu, di surga sana, semua adalah saat terindah. 

Di bumi ini semua adalah pelajaran, yang mengisi perjalanan kita menuju sehat yang terindah, saat semua terasa baik-baik saja, karena semua adalah kehendak-Nya. 


Semua disini beperjalanan, ada yang merasakan tiap langkahnya. Ada yang merasakan saat di tujuan. 


Ada juga yang menjadikan perjalanan itu sebagai obat, semakin jauh, semakin pahit, tapi semakin terasa semua adalah Kehendak-Nya. Semakin sehat.


Sebenarnya tak ada akhir di dunia ini, untuk ingin. Hanya saja ingin bukanlah hal yang ada di surga sana. Semua yang di bumi akan punya saat untuk suka atau tidak suka meninggalkan rasa ingin itu. 


Saya sudah melepaskan rasa ingin itu. Saya hanya menikmati perjalanan yang mengobati ini. Semakin pahit, semakin manis, sama saja, semua tentang rasa sehat. Rasa semua baik baik saja, karena semua adalah kehendak-Nya.


Doakan ya Tiffa. Jika memang diizinkan, kita bertemu di tempat yang dekat. Kalo diizinkan. Dekat pintu, untuk bersamaku, menyambut ibu dan adikmu. 

Monday, December 21, 2020

Dancing with Constanta (Kajian Dialektika Transformasi Budaya Digital)




Perubahan cepat tak hanya terjadi di ranah pengetahuan, tapi gerak mikro motorik, makro motorik, gesture, yang menggiring sebuah "himpunan - directed by algorithm" untuk mencipta peradaban baru


Hmm.. boleh lah sedikit terhanyut algoritma media untuk hal satu ini, kebetulan terkait sama urusan konstanta proporsi yang bernama "golden ratio". Sebenarnya ga cuma golden ratio aja si yang powernya memengaruhi arah pandang dan level kesadaran.

Bisa dibilang, golden ratio yang dikenalkan, seperti Vitruvian Man ala Leonardo da Vinci itu "disusun" berdasarkan riset (dan pengumpulan statistik) data gerak anatomi, gesture, dan respon. Atau kata lain disusun berdasarkan momen (area perform), sehingga memang jadi "golden"

Golden ratio juga bisa dikatakan "konstanta dari cerita". Cerita sendiri adalah susunan momen-momen. Cerita bisa saja tersusun linear, tapi bisa juga hirarkial, atau paralel, dan banyak pola lain.

Ini yang membuat golden ratio harus disesuaikan dengan pola cerita yang terjadi.

Pemakaian golden ratio sejatinya memang untuk jadi "pelet visual". Memancing pandang, dan mengikat simpul. Kalo di bahasa tukang dari Jawa atau Sunda, ketemu "adu manis"nya. Di beberapa literasi, disebutkan bahwa beberapa suku memiliki "konstanta"/golden ratio sendiri, sebut saja Asta Kosala Kosali di Bali. Prinsipnya hampir mirip, yaitu merefleksikan proporsi dan gerak anatomi dalam proporsi dimensi ruang, dengan perbedaan di ranah teologi dan adanya hirarki aktivitas.

Golden Ratio ala Leonardo da Vinci memang relatif "abadi", karena sejatinya respon manusia ga banyak berubah terkait pola-pola aktivitas analog. Mungkin akan ada perubahan (atau alternate golden ratio) jika mulai digabungkan dengan kultur-kultur digital dan digital social..

Kultur "phubbing" (ngetik lama di gadget, sambil melakukan aktivitas lain), misalnya, jelas membawa perubahan anatomi, khususnya mikro dan makro motorik, plus titik berat saat berjalan. Tak hanya itu, aktivitas phubbing bisa menciptakan industri baru terkait skema pengobatan sendi tangan dan tulang belakan dan dampak fisik dan psikologis penyediaan ruang, dan ini terkait dengan desain dan arsitektur.

Ya, tulisan ini mungkin pemancing untuk rekan-rekan yang ingin studi lebih lanjut. namanya juga saya mah cuma kompor. dari dulu nasibnya dan kerjaannya ya jadi kompor.

Dari fenomena transformasi budaya digital, kultur phubbing baru salah satunya. Terindikasi setiap apps akan punya potensi untuk mencipta bukan hanya momen dan cerita, tapi juga budaya dan turunannya. Turunan termasif adalah membuat simpul peradaban. Coba tengok saja Tiktok. Saya belum dapat source apakah Tiktok dibuat sengaja berdasarkan data yang sudah ada atau berdasarkan wangsit (the sound from collective consciousness). Tapi jika dilihat dari bentuk dampak yang dihasilkan tiktok, saya lebih prefer ke yang pertama. Tapi dengan data yang sudah 5 dimensional (mungkin didapatkan dari komputer kuantum)..

Inti dari tulisan ini adalah, ada potensi besar untuk memetakan konstanta dari setiap apps yang memiliki impact pada penciptaan peradaban baru. Konstanta ini bisa dikumpulkan dengan menggunakan "bahasa lama", dan/atau bisa saja dengan bahasa baru, seperti membuat piktogram, dan pola-pola cerita baru yang lebih adaptif dengan perubahan.

-end-


Love, A Mighty Governance's Skill from The Lord (Sebuah Kajian Governance dan Akuntabilitas)



Governance is about accountability..


Sebuah video dari Gubernur Lemhanas mengurai simpul pergumulan ide di otak saya terkait kondisi governance terkini, khususnya garis komando. Tentunya ini di luar politik dan isu-isu oligarki (dalam kata lain, siapapun pemerintahannya, di Indonesia, pemahaman atas governance menjadi harus mutlak dimiliki). Yak, Governance is about accountability. Akuntabilitas memiliki beberapa pendekatan. Umumnya adalah pencarian dan perjuangan mencapai balance.. (selisih 0 antara masuk dan keluar).. Ada beberapa hal lagi pendekatan lain, kelengkapan detail pencatatan dan keterbukaan alur misalnya, dan beberapa pendekatan lain, yang intinya terus berproses, terus menghasilkan, karena secara neraca akuntabilitas, apa yang TELAH kita hasilkan akan menjadi 0, lalu pencatatan dimulai lagi, terus, dan terus. Ada yang bilang akuntabilitas juga terkait dengan keikhlasan, keikhlasan untuk mengurai hingga detail terkecil. Dalam kajian lain, semakin 0 sebuah energi, semakin dekat ia dengan Asal, Sumber (The Source), semakin terkait ia dengan semesta. Mestakung. Ada yang bilang juga, keberuntungan (Jadi ingat kenapa di budaya Jawa seringkali jika tertimpa kemalangan, selalu diceritakan sisi baiknya, misal: "untung cuma benjol, ga sampai gegar otak". Untung di sini bisa juga disebut "kesolehan sosial").

Apalagi jika harus berproses-berkarya-bergeneratif di jaman kuantum, di jaman semua terhubung, dan sudah bermain di fuzzy logic, fractal.... maka yang tertinggi tetap.. Akuntabilitas cinta.. #tsah


Wait.. bicara tentang cinta dan akuntabilitas.. maka terkait juga dengan bagaimana kualitas kesadaran dan momen emas untuk berkarya bisa tercipta. Bagaimana sebuah proses bisa terus terjadi dengan penuh energi.

Mulai tergelitik untuk menulis tentang mekanisme berkarya, karena ujug-ujug istri pengen go-public skill masaknya. Sebagai support, saya dukung dengan membuatkan materi promo. Sudah lama sebenarnya ga mendesain materi promo untuk brand secara serius.. mungkin terakhir 5 tahun lalu. 5 tahun berlalu ada beberapa hal baru yang didapat dan disadari (sebenarnya hal lama). 5 tahun terakhir saya banyak berproses (berkarya dan berkolaborasi) di bidang yang berhubungan dengan edukasi dan mendengar paparan, bikin materi ajar buat siswa, dan sebagai graphic recording untuk beberapa kolega.

Untuk skill mendengar, dan memetakan angle penulisan, 10 tahun sebelumnya sempat di dunia jurnalistik, di one core of the core media negeri ini, di Kompas Gramedia. Kenapa saya bilang core of the core? Ini terkait dengan konten tulisan saya yang akan datang, yaitu konversi data, informasi, dan keterkaitan jurnalisme di dunia blockchain. Berat? Memang. Tapi ya semua lagi bergerak ke sana.... Oiya.. Dulu saya sempat mendapat pelatihan jurnalistik dasar dan creative writing. Sertifikatnya ada. Betewe..emang masi musim sertipikat? #ahsudahlah

Naah... ternyata skil mendengar ini banyak membantu dalam mendesain sesuatu yang baru. Bahwa sesuatu yang memiliki cerita itu akan mudah dipetakan dan digambarkan. Template menjadi ga begitu penting, karena "gambaran besar" sudah bisa memancing source of creativity kita, dalam hal ini cinta #ea, untuk ambil peran dalam berkarya

Needs saja belum bisa "mengangkat" motivasi kita untuk sampai ke level "OK. SAYA BISA".. di titik ini masi butuh bantuan template atau referensi tambahan yang senada untuk dijadikan patokan awal berkarya.

Nah, saat kita mendengar sebuah kisah, cerita, tentang sesuatu yang akan kita - involve with- maka kualitas cerita menjadi sangat penting untuk menjadi bahan bakar cinta kita #ea.. selamanya... #halah

Maka dari itu, saat berkolaborasi dengan tim satu suku (istilah suku-tribe kini menjadi objek berhirarki tertinggi secara organizational di dunia socio engineering, paling efektif menciptakan momen emas), skill untuk storytelling dan merangkai sebuah POHON CERITA jadi -golden, gospel, glory-nya sebuah karya di era hyperthinking seperti saat ini..

Jadi untuk teman-teman yang berkarya, khususnya terkait dunia kreatif, dunia yang menyambungkan orang lain, ... marilah raih level berkarya dengan cinta itu.. karena cinta menembus ruang dan waktu.. #hayah.. karena kelamaan berkarya di level needs bisa beresiko kejenuhan.

Mari bercinta.... (karena cinta bisa menembus ruang dan waktu, bisa meng-0 kan ego).. sebuah kondisi yang sangat akuntabel untuk bertemu Tuhan. *soundtrack soneta


Thursday, December 17, 2020

Surat Cinta Untuk Neng Hydra

Untuk meeting perencanaan, semua kembali ke merencanakan diri yang lebih nyaman di 2021. "we're always have time.. because we're attached with it.. so why feel running of time?.. it's only about re-position


Punya hak untuk menciptakan momen adalah salah satu ciri individu merdeka. Dalam ranah perjalanan saya, momen (zone to perform) bisa dicapai dari 3 hal, sinergi data, pola, dan respon (klik gambar untuk memperbesar). Hal itu tak terjadi jika kita dalam posisi tak setara, baik itu karena terikat kesepakatan yang oportunistik, atau sindikatif, atau bisa saja karena kekurangan 3 hal tadi yang menyebabkan kerugian terjadi pada kita. Dan satu hal yang sering sekali terjadi, saat ada dalam sebuah situasi perundungan (bully).

Hmm... untuk bully, akan jadi bab menarik dikaitkan dengan pola sosial di era digital. khususnya di edukasi. udah engage di beberapa kasus terindikasi bully, solusi terbaik= hijrah, atau "putus" saja rantainya.

Pengalaman saya belum ada solusi generik atau yang lebih sopan lainnya si. Oiya, "kebetulan" ini ada obat anti bully, sebuah soundtrack yang gue tulis saat ada di tim yang sedang attach dengan tetua Bajo. Di masyarakat Bajo, edukasi dan perjalanan/melangkah/berproses/journey adalah bagian dari "mengobati"... mengobati diri dan bumi.. sebuah proses yang menghasilkan budaya Iko-Iko, senandung petuah, seperti pupuh dalam budaya Jawa.

Dalam sebuah situasi atau lebih akutnya, kondisi perundungan, hukum jadi berfungsi manipulatif. Tak lagi bisa dijadikan "teknologi" (tools setara) yang bisa membuat sebuah dialektika ataupun transaksi menjadi win-win solution. Kondisi ini seringkali juga menyebabkan pengguna sistem hukum menjadi bagian yang termanipulasi dan terkondisikan untuk tidak punya pilihan.

Ada perbedaan antara sebuah kondisi perundungan dan garis komando. Pada garis komando tetap ada mekanisme akuntabilitas untuk memberi ruang setiap individu merdeka dan punya kesempatan untuk "menjadi" proxy negara. Walaupun momennya akan segmentatif dan hierarkial.

Penegak hukum biasanya sudah melewati proses apapun itu dalam pembentukannya, untuk merasakan batas, sakit, salah, benar, senang, susah, sehingga jika masih melewati batas akuntabilitas rasanya harus dipertanyakan lokasi penyimpanan nuraninya.

Ini saya agak kurang tahu di akhir minggu ini, penggunaan algoritma atau terdesak dedlen buat naekin viewers ya... backstage-admin "K-p**" pada pake algoritma "aroma porn" untuk dapetin viewers.. Ga heran ketika orang mulai terdesak, mereka akan menunjukkan wajah aslinya. Wajah yang ditutupi oleh "masking" yang terprogram.

Hal sama dengan "geng hydra", yang sebentar lagi akan tenar sejagat. Geng ini punya perjalanan panjang di negeri ini. Cenderung mengelola diri sebagai kelompok unggulan, bahkan di beberapa situasi merasa menjadi spesies tersendiri. Tak ada itu bahasa musyawarah. Adanya kontrak. Tak setara. Jangan bahas definisi investasi dan kerjasama bisnis dengan mereka. Adanya adalah utang-piutang. Terlihat cemerlang, terlihat merapat di pusat matahari. Tak lagi menjadi orbit. Seolah matahari adalah mereka. 

Padahal jauh panggang daripada api. "Algoritma" mereka lemah. Ilmu mestakung mereka bermodal social scamming, dan hal mengarah pada social entropy. Jauh dari ilmu adiluhung yang menyatukan setiap ciptaan dengan Pencipta-Nya. 

Di hari-hari terakhir, mereka mendapat salam dan saran dari para penjaga mata angin. Saran buat geng hydra:

1. Kalo nyerang jangan barengan. Norak. Ga kapok kapok taiye. 2. Tiga ilmu tapi bersanad (beradab) lebih baik dari 1000 ilmu tapi dipake membunuh. 1000 ilmu modal ngintip dan bajak konten. Kaga ada adabnye 3. Jadi badut yang fokus. Dandan jangan sampe bocor. Sekali lagi. Norak.


You're not gentle human. You're the catalyst of entropy