Thursday, December 31, 2020

Saat Pungguk dan Godot merindukan Terang Bulan




Rasanya ingin menulis artikel penutup tahun. Tapi tahun ini sudah kebanyakan tulisan. 49 tulisan di blog ini, di tahun 2020. Produktif sekali. Padahal kan sekarang bukan penulis.. Dulu pas jadi jurnalis onlen, tepatnya jadi baut di pabrik media si targetnya 45 tulisan sehari...targetnya. Apa karena profesi di SIM-nya masih wartawan?


Ya sudah. Kita jadikan saja 2020 ini urbanistis memproduksi 50 tulisan. Mungkin dimulai di sini saja. Kadang kita ingin mengungkapkan segala rasa dengan status. Hmmm.. Kata mengungkapkan agak terlalu abstrak. Coba kita ganti dengan kata mengonversi. Kata yang lebih terukur bagi rekan rekan di dunia digital dan socio engineering. #halah

Istilah terukur juga ga lagi terkait dengan "penggaris", yang punya skala ukuran berdasarkan metrik atau inchi. Istilah terukur di saat ini lebih ke urusan terpetakan, terbaca "pohon ceritanya", atau yang lebih serius, terekam pola algoritmanya.

Lalu apa isi tulisan untuk akhir tahun, karena tulisan-tulisan di atas lebih ke hal yang sudah sering dibahas di tulisan sebelumnya? Mungkin tulisan akhir tahun ini adalah tulisan "penghela nafas" saja. Karena saya ga ingin sok suci bersyukur atas 2020 yang luar biasa, dsb... Nyatanya emang lebih banyak menghela napasnya, kok. Santai saja.

2020 memang luar biasa. Iya. Saya punya beberapa momen spesial.

Tapi 2020 ini adalah semacam "upper cut" bagi saya. Dimana ada pukulan yang tak terlihat mengenai saya telak di dagu, saat seolah tak ada ancaman untuk itu.

Yak. 2020 ini adalah tahun berbunyinya hal-hal yang sepantasnya tidak berbunyi. Hal yang sunyi ikut berbunyi. Hal-hal yang kalo kita tahu bisa berakibat panjang, yang ikut berbunyi. Yak. tahun ini tahun yang sangat bising. Bukan tentang lebarnya spektrum berita yang kontennya seolah harus kita telan mentah mentah di saat "keilmuan" kita belum siap. Bukan tentang itu. Ketidaksiapan ala siswa plonco sudah sering saya rasakan.

Mungkin, ini analisa kasar saja. Memang semua yang ada di sistem lagi di "test the system itself", sebuah syarat asesmen buat naek kelas. Mungkin lho ya.

Ini tentang bisingnya orang-orang yang harusnya diam. Harusnya senyap.


Thanks God (bahasa Jawa, "untungnya") , ada darah jurnalis yang ada di saya. Sehingga dengan tertatih saya bisa bertahan untuk menunggu penyebab si senyap teriak begitu kencang. Proses menunggu yang paling memuakkan. Menunggu di sela batu air terjun.

Ya setidaknya di 2020 ini, adalah proses yang paling membuat badan "berlumut". Seolah pungguk dan godot saling menanti kue terang bulan. Mungkin belum saatnya membersihkan diri. Kue terang bulan masi belum datang.

Kabarnya kue terang bulan akan muncul dari balik air terjun, tempat godot dan pungguk bersembunyi menanti, hingga penuh lumut.

Saya pun iseng bertanya. Ini dia kalimat yang diucapkan saat saya berbicara dengan godot, "beri saya 7 2020 lagi, saya akan ubah dunia".. Lalu saya berkata, "Kang, sarekeun... moal baleg"


-end-



No comments: