Thursday, February 04, 2021

The Art of Immersed in Function



Persiapan adalah satu fase yang biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki keberanian. Keberanian lahir dari kesadaran, kemampuan untuk memetakan resiko, memetakan respon darurat (mitigasi), dan merayakan hikmah pembelajaran dari keselamatan. 

Persiapan pula yang seringkali membedakan apakah seseorang benar-benar mampu mengelola perbedaan yang datang tiba-tiba, tak mengikuti ritme sebuah proses  produksi atau sebuah proses yang telah disepakati.  Coba kita lihat saja manusia-manusia Jakarta di perempatan padat ibukota, ketika dihadapkan dengan mobil yang mogok saat lampu hijau menyala. Coba jika ada waktu, simak respon yang terucap-terdengar oleh kita. Mengutukkah? Teriak tantrum (ga jelas) kah? Atau hanya tersenyum, sambil melihat kiri-kanan menjaga jarak aman. Itulah respon manusiawi manusia yang bisa terambil di teritori yang kecil, dan bisa jadi bahan analisa dari sisi perilaku dan profil.

Orang-orang yang siap adalah orang-orang yang memiliki racing line jika di dunia balap otomotif, jalur kerja jika di dunia infrastruktur, peta coverage untuk orang yang aktif di dunia logistik, dan mitigasi untuk yang bekerja di dunia SAR dan kebencanaan. Semua terkait. antara koneksi individu yang bergerak aktif (hingga batas) dengan potensi yang bisa dihasilkan lingkungannya. 

Coba jangan bicara dulu tentang perang, atau beradu habis-habisan untuk menentukan sebuah catatan baru yang bisa diingat oleh banyak stakeholder untuk menjadi batas pikir baru. Perang adalah sebuah fase di atas bersiap. Perang bukan hanya tentang benturan yang bisa terjadi, tapi juga menyatunya entropi yang biasa bekerja senyap di alam, menyatu dengan intensi pikir manusia. Jika tak memiliki kesiapan, entropi ini bisa merasuk cepat ke pikiran. Bukan hanya membuat kacaunya peta yang sudah diverifikasi, tapi juga bisa mengakibatkan lahirnya state of ego, sebuah hal yang mengerikan, bila muncul di ranah kolektif kolegial. 

Memang ada yang mengatakan bahwa untuk damai kita harus siap berperang. Tapi harus dipahami itu dikatakan di mana, pada saat apa, dan siapa yang berbicara. Harus dipahami apakah yang mengatakan hal tersebut pernah mendapatkan esensi damai, yaitu percaya satu sama lain sebelum berkumpul bersama? Ataukah hanya baru bisa berkumpul satu sama lain karena persamaan kepentingan, rasa suka, rasa setara, dan kenyamanan hidup yang terpenuhi. Jika belum sampai pada saling percaya, maka peperangan banyak terjadi pada diri kita sendiri. Peperangan melawan munculnya "state of ego", yang memutus intensi untuk berkolaborasi. Jika peperangan itu bisa dilalui, maka rasanya sebuah organisme individu bisa memulai fungsinya dalam sebuah algoritma sosial.

Jika belum menyadari (f) kita dalam sebuah algoritma, maka inefisiensi yang muncul akan lebih banyak dari hasil (=). Mengukur, memetakan, menjaga, adalah sebuah aktivitas dasar awal yang bisa dilakukan sebelum menyadari peran, bahkan value kita dalam sebuah sistem yang berlangsung. Jadi ga perlu lagi terjebak dalam algoritma yang bermuara pada polarisasi,yang memang banyak sekali (lagi tren) digunakan oleh para kapitalis digital dalam meraup profit. Profit di era digital bukan tentang pundi-pundi yang ada di kantong. Profit adalah daya jangkau untuk memengaruhi dan membuat sebuah organisme individu "selalu merasa tidak siap" dan tidak memiliki mitigasi saat "bencana" atau "peperangan besar" tiba. 

Tuesday, February 02, 2021

Algoritma yang “Memiskinkan"



Sebuah susunan intensi yang disusun dalam kesadaran penuh akan menjadi cerminan sebuah kondisi yang terjadi di sebuah masa. Sebut saja susunan intensi tersebut dengan nama: algoritma.


Semakin hari semakin sederhana cara untuk menentukan pilihan yang berat, rumit, dan beresiko. Tombol yang harus dipencet semakin nyaman untuk ditekan, bahkan bisa dengan hanya tatapan yang tersingkronisasi dengan gudang data retina. Kadang gudang tersebut bermarkas di dalam gunung (yang dilubangi), yang sedang banyak dibangun di negeri-negeri tertutup awan. 


Pilihan yang berat tidak lagi terasa berat, padahal mengandung resiko besar pada masa depan. Resiko putusnya kepemilikan, resiko putusnya generasi, bahkan resiko te-reset-nya sebuah peradaban menjadi hal yang gampang untuk dipilih, secara sengaja atau tidak. 


Generasi yang biasa terlatih untuk mengukur akan lebih lambat ritmenya dalam menghadapi hari-hari ke depan. Dan selalu begitu. Cerita kebanggaan masa lalu akan bernilai hanya jika di-framing dengan emas. Sisanya ya cerita yang melapuk dan membutuhkan ruang kekhusyukan di antara waktu-waktu yang menyibukkan. Ukuran di hari yang makin baru makin tersembunyi. Terbungkus dalam rangkaian template yang semakin tak memiliki sudut batas. 


Generasi yang baru lebih cepat untuk memetakan kompleksitas. Karena ketakutan akan kesalahan bukan terbeban pada pundaknya. Salah adalah sebuah proses yang tak lagi terletak di (masa) depan, tapi di awal saat proses  penyusunan momen berlangsung. Kesalahan ada pada saat algoritma sedang disusun. Tak ada kesalahan bagi para pengguna algoritma. 


Generasi baru yang terbiasa merangkai jati diri dengan kumpulan algoritma. Kumpulan cara berpikir yang memiliki keterikatan secara fungsi dan aktivitas sebuah generasi, hinggal level -perdetik. Tak heran waktu bukan lagi sebuah titian, bukan lagi sebuah deret hitung, bukan lagi angka yang harus disebutkan secara bersusun. Arti ketepatan waktu bukan lagi terletak pada jalannya sebuah fungsi di waktu tertentu. Tapi bagaimana sebuah fungsi bisa menciptakan irisan cerita dengan fungsi lain. Waktu adalah titik ukur bagaimana sesuatu punya nilai. Nilai tak lagi berupa kesepakatan tukar, atau mata uang. Nilai adalah irisan momen cerita bisa menyusun dirinya. 


Uang mungkin tak ada di masa nanti, walau masi sangat panjang untuk sampai ke sana. Gantinya mungkin bukan barter. Gantinya bisa jadi adalah angka-angka yang belum berlangsung. Ganti uang adalah janji. Ganti uang bukan lagi kesepakatan pertukaran.


Beberapa variabel di atas mungkin bagi berapa pihak sudah terasa sekali sering didengungkan. Baik di pelatihan, seminar, atau pertemuan privat di sebuah kelompok yang concern dengan bagaimana meningkatkan value di ranah yang tak terlihat-tersimpan. Beberapa variabel digodok dengan serius untuk dijadikan skenario bagaimana dalam sebuah teritori tertentu peradaban tanpa uang bisa berjalan tanpa mendisrupsi peradaban uang.


Untuk mencapai sebuah keseimbangan besar (equilibrium) baru, maka akan banyak kegiatan yang benar-benar menghilangkan makna uang itu sendiri. Masing-masing menunjukkan value-nya. Produknya, kekhasannya, keunikannya yang luar biasa dan tak dimiliki yang lain, walau tetap, tak terjadi pertukaran, karena uang sejatinya akan bergulir saat ada aliran besar yang bergerak, yang saling mengiris, yang saling menyusun cerita. Aliran itu bisa dibangun dari dinamika pergerakan kesadaran bersama, bahkan dinamika mengembang-menyusutnya entitas yang merangkai kedaulatan. 


Yap! ada saatnya kita (harus) miskin. Tak (butuh) ada uang. Atau istilah yang akan ramai, "mau bayar pakai apa?".Tulisan ini anggap saja fiksi belaka. Hingga waktunya tiba.