Friday, May 14, 2021

Melatih Kesabaran dengan Rasa Sakit




Sejatinya sabar itu tak ada batasnya. Kesabaran adalah sebuah perayaan. Perayaan menikmati batas-batas jiwa dan raga kita sendiri.

Seringkali kita salah mendefinisikan arti perayaan. Perayaan bukanlah tentang proses "menghabiskan" apa yang kita miliki untuk meraih state of contentment, atau mengekalkan dimensi rasa puas. Perayaan sejatinya sering mewadahi  proses membuka, mengangkat, dan membesarkan. Tujuan utamanya agar adanya aliran yang mengaitkan rasa satu orang, hingga banyak orang dalam satu waktu. 

Merayakan batas jiwa dan raga ini bisa berlaku secara sunyi, dalam sebuah proses yang mungkin hanya kita tahu, lalu pada akhirnya perlahan memasuki dimensi waktu yang di situ terdapat momen untuk saling terkait dengan orang lain yang melakukan "perayaan" yang sama. 

Coba saya urai konsepsi di atas dalam sebuah peristiwa kecil yang mungkin banyak diantara kita merasakan yang sama. Ini cerita bagaimana cara kita menyikapi jerawat. Jerawat yang muncul di waktu yang tak bisa direncanakan, dan seringkali mengambil tempat di pikiran kita saat peristiwa berjerawat berbarengan dengan momen lain yang membutuhkan penampilan kita, Misalnya saat ada wawancara di media yang membutuhkan visual wajah kita. Ya, ga semua orang punya momen untuk tampil di televisi. Tapi semua orang bisa menghadapi masalah jerawat.  Di titik inilah kita bisa mengambil garis start, untuk memulai perjalanan memahami arti perayaan pada rasa yang tak nyaman. Rasa yang tak nyaman itu bisa jadi sebuah momen perayaan. Bagaimana sebuah momen berjerawat bisa membuka peta, mengangkat tekad merawat wajah yang awalnya tak terpikirkan, dan bisa saja momen berjerawat ini menjadi sebuah momen kita untuk menghasilkan karya. Bisa jadi karya yang besar. Karya yang terhubung secara rasa. 

Namun rasanya banyak yang sudah lupa bagaimana rasanya berjerawat. Atau butuh energi agak besar untuk mengingatnya (karena tak terasa terlalu penting juga)

Sebuah proses perayaan sejatinya adalah proses berkegiatan saat kesadaran kita ada di titik tertinggi. Kesadaran untuk menampilkan diri dan karya sepenuh jiwa. Energi kesadaran  tertinggi akan saling terhubung. Bisa terhubung dalam rasa, bisa terhubung dalam wadah peristiwa yang sama, atau yang lebih holistik, bisa dalam sebuah rangkaian "mestakung" yang sama. 

Jika berjerawat adalah sebuah proses yang sering diabaikan dan sering dilupakan. Coba kita ingat lagi momen lain. Coba kita mengingat saat-saat kita merasakan luka atau momen tersakit pada tubuh (fisik kita) yang membuat kita tak bisa melupakan rasa sakit atau kita tak bisa mengontrol diri pada rasa yang terjadi di tubuh. Akan lebih mudah mengingatnya dibanding momen saat kita berjerawat. Akan lebih mudah melepaskan konteks kapan terjadinya saat kita mengingat bagaimana rasa sakit yang terasa. 

Begitulah mungkin gambaran yang paling mendekati bagaimana kita memahami kesabaran. Kesabaran itu adalah perayaan yang membutuhkan kemampuan kita untuk merasakan batas konteks (waktu dan momen), dan batas rasa. Batas konteks akan membutuhkan rangkaian momen. Batas rasa akan membutuhkan energi yang akan menguras kemampuan kita berkoneksi dan bertumbuh.   Bukankan sebuah proses yang berada dalam proses pembelajaran pasti akan membutuhkan energi yang  besar dan berulang? Itulah yang terjadi saat kita melatih meluaskan dimensi (perayaan) kesabaran kita.  Tentu ada batasnya. Namun seberapa besar batas itu bisa kita kelola. Dengan melatih mengonversi  rasa sakit yang merusak (hurt) menjadi rasa  sakit yang menyembuhkan (pain). Minimal menyembuhkan daya ingat kita. 

Perbanyak pain, kurangi hurt, dan perbesar wadah kesadaran dan merayakannya.  Tentunya akan lebih beruntung saat kita bisa merayakan dalam dimensi pembelajaran. 

Tuesday, May 11, 2021

Cara Malam dan Siang Berdansa




Salah satu cara untuk menjaga ikatan adalah dengan mengikat janji. Janji yang selalu ditepati adalah salah satu keindahan lain yang kadang kita anggap sepele, seperti saat kita melewatkan begitu saja pergantian siang menuju malam, dan kadang sedikit perenungan di saat malam menuju siang, karena kita sama-sama sering berjanji untuk mengisi hari baru.


Berjanji adalah sebuah cara untuk menciptakan momen, sekaligus mengingatnya. Mengikat cerita, mengikat rencana, mengikat gerak kita untuk menjalankan hal di luar momen yang tercipta. Janji bisa jadi adalah sebuah materi tanpa selubung, material tanpa terindera, namun bisa membuat individu terbungkus dan terpetakan dalam derajat kemakhlukan. 

Janji adalah esensi yang lepas dari wujud, fisik yang terindera, dan karakter makhluk. Malam dan siang adalah sebuah momen yang tak bisa dibantah, walau berada di dalam bunker sekalipun. Karena bagi beberapa orang, malam dan siang bisa terasa walau ada di tempat yang jauh di ideal untuk merasakan momen (yang sebenarnya) mahal di dunia ini, walau dalam batas waktu tertentu. 

Malam dan siang adalah sebuah proses yang berlangsung dengan jejaknya. Jejak perubahan yang membuat kita bisa melangkah dan kita bisa berhenti. Perubahannya membuat ruang-ruang yang terlalui oleh momen  perubahan ini menjadi lebih mengakar dalam menjejaki diri, lebih memaknai dari dua sisi, ketika di siang, dan ketika di malam. Begitulah ketika janji diamati dari dua hal yang berbeda, saat belum berjanji, dan telah berjanji, dan terus berjanji lagi. Perubahan-perubahan tentang janji yang sama akan menciptakan cerita-cerita kecil yang mengurung momen menjadi lebih cepat untuk dilupakan. 

Jika melihat perjalanan para musafir pesepeda yang pulang kampung, sudah petang, dan berada di ujung nafas karena keletihan,  padahal masih di tengah tanjakan yang mungkin baru dicapai setelah matahari tenggelam, pilihan akan muncul. Itu secara normal. Tapi bisa jadi pilihan tidak muncul, karena perubahan adalah momen yang harus dijalani, tetap berjalan tanpa harus berhenti. Berjalan saja, nikmati rasa gelap yang berpeluh, dan biarkan rasa letih itu tak lagi menguasai jasad, dan perubahan adalah bagian dari kemampuan yang bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan sesosok makhluk. Makhluk yang bisa dikatakan sebagai agen semesta. Agen mestakung. 


Waktu nya ada. Mungkin sebentar lagi saatnya tiba.  


Sunday, May 09, 2021

Menyapih Rasa Ragu




Jalan yang melebar, jalan yang lurus, jalan yang semakin nyaman, sama sekali bukan tanda bahwa kita akan sampai pada tujuan. 

Izinkan saya memulai dengan membawa narasi tentang awan. Awan yang terbentuk dari kondensasi dan berbagai macam reaksi yang berkumpul di ruang besar bernama atmosfer. Ruang yang dari sisi lain bisa kita lihat sebagai wadah. Wadah untuk berkumpul, bergerak, menyaring, melepas, dan menjalankan sistem yang terkait dengan wadah lain yang terpengaruh gravitasi, dan wadah-wadah tak kasat mata yang memiliki fungsi  kuat dalam memengaruhi kerja wadah-wadah kasat mata.

Semua kerja dalam wadah tersimbolisasi dalam awan. Awan yang memiliki bentuk, yang memiliki nama dan karakter sesuai bentuk susunan dan ketinggiannya. Dalam sisi lain bentuk awan kadang diartikan harafiah sebagai pesan yang terkait pada peristiwa tertentu. Peristiwa yang secara sistem sama sekali tak terkait dengan kerja yang membentuk awan itu sendiri. Awan adalah sebuah citra tanpa pencitraan. Menjadi pencitraan ketika kita menangkapnya sebagai pesain yang mewakili peran kita di "dunia bawah", yang terikat dengan gravitasi. 

Izinkan sekali lagi saya tetap berada di angkasa, dengan imaji saya. Karena mengajak teman untuk berimaji tentunya membutuhkan energi. 

Awan bergerak tanpa batas. Yang membatasi mungkin adalah gerak sistem termal dan sistem-sistem besar lain. Lalu ada sistem yang kadang ditemui "dunia bawah", dikatakan sebagai pawang, untuk mengatur awan sehingga memiliki batas dan geraknya. Saya tak akan membahas ini, ataupun jika saya bahas, maka akan sangat, sangat, sangat dalam kondisi yang tidak ideal. Yap. Tidak ideal. 

Bergerak bebas, meneduhi, atau memberi hujan di area yang memang waktunya hujan, adalah idealisme awan. Ideal karena bergerak dalam sebuah rangkai sistem yang besar. Sistem yang memang menjaga keberlangsungan. Menjaga agar hal-hal minor tak menjadi perusak hal-hal yang terlanjur (terpilih) untuk menjadi besar. Idealisme dalam kebesaran adalah kondisi ideal dari hal-hal yang berlangsung lama, seperti iklim. Iklim ada untuk menjaga, cuaca datang untuk mengubah.

Perubahan adalah tanda dari kehidupan. Seperti bunga yang pernah jadi putik, maka perubahan adalah sebuah idealisme yang akan terasa jika menjejak tanah. Mengikat diri pada gravitasi, mengikat diri pada sebuah arus besar tentang keterikatan kebiasaan. Kebiasaan untuk terkait, dan kebiasaan untuk beradaptasi. 

Pada akhirnya, sebagai manusia, kita hidup menjejak tanah. Jika pun kita sedang berada di dimensi tak terikat gravitasi, maka kita akan terikat oleh waktu, yang terbentuk oleh gravitasi. Kita juga akan terikat dengan ruang, yang terbentuk oleh gravitasi dan hal-hal yang menjadi elemen pembentuk jalan kita. 

Rasa ragu itu akan mengganggu  keputusan. Keputusan untuk terbang ke atas awan, dan keputusan untuk menjejak di bumi. Rasa ragu akan menjadi distorsi di ruang dan waktu. Pada ruang, keraguan akan menyisakan warna-warna malu. Pada waktu, keraguan akan menciptakan momen yang tak bisa diingat (bad sector).