Tuesday, December 29, 2020

Anti Counter Narrative (?)




Bikin status "melihat sesuatu yang tidak terlihat" di sosmed bakal terlihat eye catching. Padahal cuma lagi ngecek perkembangan bisul di pantat.

Itulah sedikit analogi daripada yang namanya counter narrative (kesakitan). Di jaman Orde Baru narasi dibuat berdasarkan garis komando. Saya rasa demikan. Di manapun sih. Baik di pemerintahan ataupun di media. Tidak ada, atau jarang, narasi dibuat berdasarkan sesuatu yang terlebih dahulu viral. Tentunya karena sesuatunya berjalan dengan analog, lebih banyak unsur mobilitas dan kontak fisik, juga jenis hubungannya saling terhubung tapi tak simultan. Verifikasinya relatif ketat. Karena itu fungsi intelijen dalam pemerintahan, dan para editor di dunia media, berjalan dengan alamiah. Melihat potensi, atau angle dari sebuah konten, menunggu afirmasi, lalu sebuah perencanaan peliputan bisa dijalankan dengan "sempurna".

Jangan tanya itu konsep perencanaan peliputan di jaman digital ini. Dahulu perencanaan peliputan bisa diarahkan sampai gaya tulisan dan bahkan produk turunannya jauh hari, bahkan berbulan bulan sebelumnya. Tapi sekarang mungkin (karena sudah lama juga saya tak di ruang keramat a.k.a. ruang redaksi) banyak berkutat di ketersambungan dan intensi hubungan dengan narasumber. Karena peran narasumber tak lagi hanya sumber berita, tapi juga zonder, kurir, yang menjadi "sampel" untuk mengukur batas dan memetakan peta sebuah algoritma yang lagi berjalan. Pola perjalanan dan pergerakannya bisa jadi berita.

Pergerakan, penggiringan, penjebakan, penguncian, adalah pola pola umum yang terjadi saat algoritma media (dan tentunya sosial media) merajai pasar panca indera penglihatan.

Seperti yang sudah diceritakan jaman dulu banget, dimana salah satu definisi "fitnah akhir jaman" adalah : terlibat (bisa terkunci, terperangkap, tergiring) dalam sesuatu yang tidak kita pahami. Tidak kita pahami ini bisa berarti tidak bisa dikontrol, atau semacam terseret arus.

Terlibat/dituduh melakukan sesuatu yang tidak kita lakukan itu mah definisi fitnah dari jaman manusia baru berevolusi meureun (istilahnya) kalo dilihat dari interaksi monyet. Mungkin bahkan saat belum berevolusi. Terjadi di kumpulan monyet yang menerapkan sistem komunal. Ya di sistem ala monyet tentunya. yak. Tull. Definisi fitnah yang jadul banget. BIsa dibilang definisi pra-evolusi

Lalu bagaimana agar generasi muda (esp. anak) ga kena jebakan "fitnah akhir jaman"... ya ga harus memahami segala perangkap algoritma, yang punya kecenderungan untuk harus kita ikuti satu persatu, fase per fase. Di situlah peran ilmu "black box" (bahasa metoda desain/merangkai jaman uyut), atau bahasa kekiniannya shaping the data, bisa dipake.

Mau ga mau harus diakui kita dibekali asumsi. Kalo orang terpelajar dibekali dengan "hipotesa". Sayangnya asumsi sangat gampang dibentuk oleh algoritma. Sedangkan hipotesa butuh level verifikasi, dan prosesnya ga terlalu singkat.

Nah, jalan tengahnya bisa dengan banyak mengenalkan proses "shaped the data". Bisa dengan dari memadukan bahasa. Bahasa tak hanya tekstual dan lisan. Ada bahasa lain yangjarang digunakan sebagai penentu keputusan, yaitu bahasa gesture, bahasa mimik, bahasa intonasi.

Baru saja lihat artikel tentang bagaimana Messi memutuskan tendangan penalti dengan membaca gesture dan mimik kiper. Ya salah satunya itu. Tentunya ada ilmu lain yang bersifat "anti gesture". Kapan-kapan lah kita bahas entuh.

Kumpulan bahasa ini bisa saling terkait, dan ga perlu sampe level hipotesa, sebuah "bahasa baru" yang lebih kongkret dari asumsi bisa muncul.

Kenapa lebih kongkret? karena bahasa ini terkait dengan kesadaran komunal. Ketika bahasa teks, verbal, gesture, dan mimik, digunakan oleh individu, maka ia akan mudah memengaruhi kondisi kesadaran komunal.

So, we're not talk about delivering assumption about things... we're talking about how to hold the 'floor' with the same level of consciousness..

Ya tentunya ini bukan tentang konten benar salah. Ini tentang tools, teknologi, atau pisau. Pisau bisa digunakan oleh orang baik, atau orang terlihat baik, atau orang yang pengen terlihat baik, dengan memegang pisau.



-end-

No comments: