Monday, December 21, 2020

Dancing with Constanta (Kajian Dialektika Transformasi Budaya Digital)




Perubahan cepat tak hanya terjadi di ranah pengetahuan, tapi gerak mikro motorik, makro motorik, gesture, yang menggiring sebuah "himpunan - directed by algorithm" untuk mencipta peradaban baru


Hmm.. boleh lah sedikit terhanyut algoritma media untuk hal satu ini, kebetulan terkait sama urusan konstanta proporsi yang bernama "golden ratio". Sebenarnya ga cuma golden ratio aja si yang powernya memengaruhi arah pandang dan level kesadaran.

Bisa dibilang, golden ratio yang dikenalkan, seperti Vitruvian Man ala Leonardo da Vinci itu "disusun" berdasarkan riset (dan pengumpulan statistik) data gerak anatomi, gesture, dan respon. Atau kata lain disusun berdasarkan momen (area perform), sehingga memang jadi "golden"

Golden ratio juga bisa dikatakan "konstanta dari cerita". Cerita sendiri adalah susunan momen-momen. Cerita bisa saja tersusun linear, tapi bisa juga hirarkial, atau paralel, dan banyak pola lain.

Ini yang membuat golden ratio harus disesuaikan dengan pola cerita yang terjadi.

Pemakaian golden ratio sejatinya memang untuk jadi "pelet visual". Memancing pandang, dan mengikat simpul. Kalo di bahasa tukang dari Jawa atau Sunda, ketemu "adu manis"nya. Di beberapa literasi, disebutkan bahwa beberapa suku memiliki "konstanta"/golden ratio sendiri, sebut saja Asta Kosala Kosali di Bali. Prinsipnya hampir mirip, yaitu merefleksikan proporsi dan gerak anatomi dalam proporsi dimensi ruang, dengan perbedaan di ranah teologi dan adanya hirarki aktivitas.

Golden Ratio ala Leonardo da Vinci memang relatif "abadi", karena sejatinya respon manusia ga banyak berubah terkait pola-pola aktivitas analog. Mungkin akan ada perubahan (atau alternate golden ratio) jika mulai digabungkan dengan kultur-kultur digital dan digital social..

Kultur "phubbing" (ngetik lama di gadget, sambil melakukan aktivitas lain), misalnya, jelas membawa perubahan anatomi, khususnya mikro dan makro motorik, plus titik berat saat berjalan. Tak hanya itu, aktivitas phubbing bisa menciptakan industri baru terkait skema pengobatan sendi tangan dan tulang belakan dan dampak fisik dan psikologis penyediaan ruang, dan ini terkait dengan desain dan arsitektur.

Ya, tulisan ini mungkin pemancing untuk rekan-rekan yang ingin studi lebih lanjut. namanya juga saya mah cuma kompor. dari dulu nasibnya dan kerjaannya ya jadi kompor.

Dari fenomena transformasi budaya digital, kultur phubbing baru salah satunya. Terindikasi setiap apps akan punya potensi untuk mencipta bukan hanya momen dan cerita, tapi juga budaya dan turunannya. Turunan termasif adalah membuat simpul peradaban. Coba tengok saja Tiktok. Saya belum dapat source apakah Tiktok dibuat sengaja berdasarkan data yang sudah ada atau berdasarkan wangsit (the sound from collective consciousness). Tapi jika dilihat dari bentuk dampak yang dihasilkan tiktok, saya lebih prefer ke yang pertama. Tapi dengan data yang sudah 5 dimensional (mungkin didapatkan dari komputer kuantum)..

Inti dari tulisan ini adalah, ada potensi besar untuk memetakan konstanta dari setiap apps yang memiliki impact pada penciptaan peradaban baru. Konstanta ini bisa dikumpulkan dengan menggunakan "bahasa lama", dan/atau bisa saja dengan bahasa baru, seperti membuat piktogram, dan pola-pola cerita baru yang lebih adaptif dengan perubahan.

-end-


No comments: