Monday, March 08, 2021

Membedah Esensi Perubahan




Hampir semua hal datang berangsur, walau secara visual terlihat datang dengan menyeluruh. Setidaknya selalu berangsur, saat dirasakan. Kecuali hal yang sudah masuk derajat "Kun Faya Kun", tentunya. 


Hari ke-7 setelah luka jatuh dari motor, rasa sakit pada luka yang mengering, dan urat yang ketarik masih cukup jelas dan berhasil mengambil jatah kesadaran saya di tiap detail aktivitas, termasuk hingga sesaat sebelum tidur dan sesaat baru bangun tidur. Ada perbaikan, ada proses penyembuhan yang dirasakan, seperti luka yang sebagian mulai mengering, dan ada yang sudah terlepas dan meninggalkan kulit baru. Kemarin,  sudah bisa "nekad" bermotor lagi untuk mengajak anak menghilangkan kebosanan school from home-nya. 

Saya yakin ketika kejadian motor terjatuh, kerusakan itu pun datang berangsur, walau dalam waktu sekejap. Jika diambil dengan kamera ber-speed 1000fps, maka pasti akan ada titik pertama hingga terakhir yang terdampak, tak serempak. Mungkin tak semua yang terdampak benturan mengalami kerusakan. Pasti ada yang malah menemukan titik resonansinya, mencapai batas kekuatan yang masih bisa dikelola.  Saya merasakan itu terjadi pada daya tahan tubuh saya. 

Beberapa saat setelah kejadian, saya berniat mengobati diri sendiri. Masi ada stok betadine, obat radang, dan parasetamol di kotak obat. Saya minum saja. Ternyata hanya cukup untuk 3 hari. 3 hari setelah itu saya merasakan perbedaan antara menggunakan obat dan tidak. Luar biasa bedanya. Selama 3 hari setelah  terluka, selama memakan obat radang, saya masih bisa berjalan santai tapi pelan di sekitar rumah. Setelah obat habis, kaki yang terkilir ternyata mengeluarkan rasa aslinya. Rasanya seperti keram, menarik hingga ke pinggang kiri. 

Saya coba mengaplikasikan resep ibu saya, yaitu "tidurkan saja". Saya berusaha mencari posisi yang lebih nyaman untuk berbaring. Walaupun rasa sakit itu awalnya seperti tarikan yang mengganggu seluruh kesadaran, lama-lama rasa sakit itu menurun intensitasnya seperti denyut. Saya berusaha bersugesti bahwa tidur ini adalah obat, obat, dan obat. Obat untuk menambah oksigen ke otak, obat untuk perbaikan jaringan, dan obat untuk mengonversi rasa sakit menjadi rasa "saling menarik" antara satu  benda dan lain dalam badan. Saya rasa sugesti saya cukup berhasil untuk menurunkan "gangguan" kesakitan.  Saya mulai bisa berjalan di sekitar rumah lagi, walaupun kadang rasa keram itu suka datang tiba-tiba. Solusi saya cuma satu, langsung mencari tempat duduk, posisi mengambil nafas dalam sepuluh hitungan, lalu menenangkan diri. Berusaha mengubah tensi yang konstan, menurunkannya menjadi denyut,lalu disela dengan aktivitas relaksasi lain.

Ada satu obat yang tetap harus saya beli yaitu betadine. Ini lebih karena ingin menjaga dari resiko masuknya kuman dari luar saja. Agak kompleks jadinya jika ada variabel lain yang mengganggu proses kesembuhan. Sekitar tiga tahun lalu, saya sendiri pernah mendapat gigitan serangga tomcat di bagian paha saat duduk di kursi teras untuk menerima tamu. Ternyata ada tomcat di kursi. Tomcat itu tertindih dan menggigit bagian paha bawah dekat lipatan lutut. Racun tomcat ini sangat menyebar cepat. Bagian tubuh yang terkena racun dalam hitungan menit akan melepuh dan bergelembung, terisi cairan darah putih, mirip luka lebih terkena knalpot, tapi cepat sekali menggelembungnya. Luka bekas tomcat ini cukup besar, saya waktu itu tak langsung membersihkan bekas gigitan, karena masih ada tamu. Saya cuma merasa panas di paha, dan ternyata cukup fatal. Salah satu usaha awal yang saya lakukan adalah membalur luka tersebut dengan betadine, sebagai antiseptik. Melumpuhkan "variabel" penyerang tubuh.  Kejadian tergigit tomcat membuat saya selalu siap sedia dengan antiseptik. 

Tak ada kejadian yang tak terkait dengan apa yang sudah kita persiapkan. Akan selalu ada manfaat dari persiapan yang kita lakukan, baik dari logistik, skill, dan pengetahuan. Tak ada juga kejadian yang terjadi secara sekaligus. Jika ditelaah dengan teliti, pasti berangsur, walau mungkin dalam waktu yang sangat cepat dan berdampak cukup luas. Persiapan dan daya respon kita sangat berpengaruh pada semakin kompleksnya masalah yang datang. Mengundang variabel luar yang belum kita kenal bisa jadi malah memperumit keadaan. 

Variabel luar yang bisa kita andalkan adalah variabel yang sudah menjadi bagian dari solusi pembelajaran kita di kejadian sebelumnya. Ya, semua yang kita alami harus dipetakan dalam konsep pembelajaran. Semata agar kita bisa terus beradaptasi, bergerak fungsional, dan "tajam" (berdaya saing). Ini dalam konteks mengukur dampak. 

Jika dalam konteks menjadikan diri yang lebih holistik, tentunya hal luar pun sebenarnya bagian dari kita. Sejatinya semesta yang tertangkap "seolah  berada di luar diri" oleh panca indera, sebenarnya masih jadi "bagian" diri dalam bentuk dinding-dinding dimensi yang bisa memengaruhi keadaan kita. Baik saat siap atau tidak siap. Kesiapan sering direpresentasikan dalam niat. Niat adalah sebuah patok, semacam intensi untuk "share loc" di tengah semesta kehendak dan penciptaan. Niat yang terhubung dengan batas rasa akan menguatkan respon-respon kita pada hal yang akan datang. Kesakitan akan melahirkan peluang untuk bisa memetakan titik-titik penyebab menjadi lebih luas. 

As need, pain is inevitable. As necessary, pain is avoidable. Changes is container to set the pain as window of opportunities. 

Akhirnya saya berhasil menuntaskan tulisan tentang perubahan (apapun) dalam angle kejadian yang saya alami. Setidaknya niat awal sudah diperkuat di judul. Setidaknya jika kita melihat perubahan, lihatlah dalam kacamata pembelajaran sehingga kita bisa tak mudah dikuasai "algoritma sakit" yang konstan. Buatlah rasa sakit itu jadi denyutan saja. Ga bae menyimpan rasa sakit. ;).

No comments: