Saturday, January 15, 2022

Firaun-ism




Ada satu variabel yang memiliki pattern sama saat harus berbicara tentang paradigma penciptaan yaitu konsekwensi. Penciptaan akan memberikan konsekwensi. Pada tahap lanjut, konsekwensi akan melahirkan turunannya: pengertian dan komitmen. 

Sebuah dialog di film "Eternal" yang diucapkan oleh salah satu tokoh bernama Sprite di ujung film, terkait ilusi, setelah musuh utama  dianggap berhasil ditaklukkan/dibekukan, membuat saya teringat kembali pada cerita di kala Firaun "memilih" untuk menjadi "tuhan", setidaknya bagi rakyatnya, dan orang-orang yang ingin berhadapan dengannya.

Tak banyak cerita bagaimana seorang "manusia" dengan naluri dan nuraninya memilih untuk tak hanya berperan sebagai pencipta yang harus dihormati, tapi juga bersaing dengan pencipta matahari, bulan, dan semesta, yang sejatinya tak diketahui juga selain dari mata yang berjarak jutaan kilometer. Tak banyak cerita bagaimana Firaun secara sadar memilih peran itu, di luar nafsu berkuasanya. 

Saya sendiri sebagai pengamat perilaku manusia yang sadar, dari dulu, masih dan sangat penasaran kenapa Firaun secara sadar ingin diakui sebagai pencipta proses-proses yang seringkali hanya dijangkau mata, dan tak bisa dijangkau panca indera yang lain. 

Kesadaran tetaplah kesadaran. Kesadaran adalah momen ketika kita bisa memilih dan menggunakan seluruh sumber daya diri untuk berinteraksi dengan kesadaran luar dan kesadaran dalam . 

Manusia seringkali kecanduan akan barang-barang hasil ciptaan. Proses penciptaan dan penciptanya sendiri sering kali diabaikan karena rantai penciptaan dikamuflase menjadi rantai imaji untuk menarik pembeli. Proses mengenal penciptaan tak menjadi penting dibanding proses untuk ingin memiliki. 

Apalagi di jaman kapitalisme yang memutar roda produksi dan distribusi jauh lebih cepat dibanding roda kebutuhan, rasa ingin tahu atas proses penciptaan tak lagi dibutuhkan. Di sini saya sadar, bahwa fase Firaun memilih untuk menjadi tuhan, hampir selaras dengan fase manusia tak lagi membutuhkan mengenal tuhannya. 

Dari momen ini saya sadar bahwa rantai produksi yang harus cepat dan harus merata melahirkan saudara kembar bernama kapitalisme dan komunisme. Kembar/sama dari keinginan untuk memutar roda produksi dan distribusi agar bisa lebih cepat. Kembar identik. Pembedanya hanya pada yang satu tak peduli siapa yang bisa mengakses hasil produksinya, satu lagi  ingin seluruh proses penciptaan atau dalam konteksi ini adalah proses produksi, dilakukan bersama dan bisa dikuasai secara totalitas.

Saya pun tak heran, bagaimana sekarang komunisme dan kapitalisme seolah ada dalam satu rumah yang dikuasai oleh manusia-manusia yang ingin mengunci orang lain dalam mengetahui proses penciptaan. Manusia ini seolah anak-anak ideologis Firaun.

Pada titik ini saya cuma tersenyum, karena konsekwensinya jelas, setiap penciptaan akan mendekatkan dan mempercepat kita mengenal alam. Mempercepat kita untuk bersepakat dalam sebuah memo of understandi, dan/atau panca indera kita, dan kehidupan kita akan dipaksa untuk merasakan konsekwensinya. Alam adalah entitas pasif dinamik, yang pergerakannya tak bisa dihentikan. Memaksakan diri di satu titik dengan mengabaikan konsekwensi akan menghasilkan daging-daging yang mengandung garam tinggi. 

Daging-daging yang ditonton oleh manusia-manusia tetap ingin mengerti proses penciptaan. 

Friday, January 14, 2022

Konstelasi Tensi




Creative tension dibuat untuk mengenal batas maksimal satu sama lain. Lalu dengan mengenal satu sama lain bisa didapatkan momen shifting untuk melahirkan trust satu sama lain.

Tension bahasa gampangnya adalah "tarikan". Kalo di layangan bisa membuat batang bambu di layangan lebih mencapai top strength-nya dalam menahan angin, lalu layangannya mengonstelasikan maksimal gesture-nya dalam mencapai performa menunggangi angin.

Kalo dalam sebuah cerita, tension diperlukan untuk membalikkan dan memperjelas alur dari sebuah benang merah cerita. Karakter setiap penyusun cerita akan terlihat top performa (kesadaran)-nya pada saat terjadi tension.


Lalu karakter kebalikan dari tension adalah loose, atau ulur kalo pada permainan layangan. Di sini performa berbasis alam bawah sadar yang cenderung ditampakkan.

Performa berbasis alam bawah sadar didapat dari cycle /jam terbang yang panjang. Kalo di tasauf dikenal dengan proses riyadhoh, atau terus mengulang hingga pahami batas, atau mindfulness kalo dalam term kekinian. Proses ini juga salah satu cara dapatkan kesadaran tertinggi.


Cara lain untuk dapatkan kesadaran tertinggi (anggaplah berbasis teori kesadaran Dr. Hawkins) juga bisa dengan melatih konstelasi gesture, respon, panca indera, mimik, secara kolektif dan terus menerus dalam circle kecil. Circle kecil ini dalam fase tertentu bermetamorfosa menjadi circle of trust.


Trust itu kalo dianalogikan bisa sama dengan akumulasi energi, bisa digambarkan pembentukannya dalam sebuah momen. Trust ini cenderung sifatnya tidak berangsur, proses menujunya iya, trust-nya sendiri lebih dalam bentuk shifting moment.. moment of trust.



Energi trust ini bisa 4 sampai 5 dimensional. Memengaruhi ruang, waktu, diri dalam, diri eksterior, dan orang lain, untuk bergerak mengisi dimensi bersama. Mirip dengan "cinta", tapi cinta bukan lahir dari proses yang sifatnya bisa berdarah-darah seperti trust.


Kalo di ilmu qolbu jelasinnya lebih mudah, kalo trust lahir dari zona nafs dan aqliyah (akal), kalo cinta lahir dari zona qolbu dan ruh... sifatnya interdimensional. Tidak meruang, tapi seperti cahaya yang memancar, dan air yang ada di mata air. 


Ketika kita bicara cinta, idealnya bukan lagi cerita tentang wadah.