Friday, May 28, 2021

Menyeberang atau Berenang



Tak terlalu susah untuk menyeberang dengan berenang di sungai yang berarus lemah. Jadi susah ketika ada jembatan lebar dan bagus untuk selfie.

Susah di sini bukan berarti rumit seperti pelajaran matematika. Kesusahan seringkali terjadi karena kita membiarkan pilihan masuk ke alam bawah sadar kita, menguasai ritme nafas dan akhirnya detak jantung, karena komposisi dan ritme makan jadi berubah. 

Bersyukurlah bangsa ini memiliki kata "atau", atau bangsa yang menggunakan bahasa inggris memiliki kata or. Kata ini ditakdirkan terdengar netral. Tidak mengarah ke pilihan pertama atau ke dua. Saya selalu yakin dalam lahirnya sebuah kata, sebuah simbol pertukaran yang disepakati bersama, kelahiran "atau" ini punya latar cerita panjang tentang kesetaraan. Cerita yang juga mengandung cerita pahit kehancuran dari yang senang dengan penghancuran dan niat pembinasaan pada orang-orang yang memperjuangkan kesetaraan. 

Kesetaraan menjadi penting saat kita dalam posisi memilih. Kesetaraan juga penting dalam bertransaksi. Saya banyak mendapat tausiah oleh rekan seorang pembelajar dan juga pengacara, bahwa bisnis yang terbaik adalah yang setara. Setidaknya saya percaya, hingga saat ini, jika tidak setara maka tidak syar'i. 

Semua kesepakatan dan keputusan harus diikat di awal, terhadap situasi ke depan yang akan dihadapi. Kesetaraan bisa disimbolkan dalam timbangan. Kesetaraan bisa juga disimbolkan dalam akuntabilitas, adanya sebuah proses pencatatan yang setara dan balance, terlihat dari semua sisi. Setidaknya dari 4 sisi (mata) jika dalam standar legal, atau 6 sisi (kamera) jika mengikuti standar bagaimana mengambil video yang baik ala Hollywood. 

Tulisan ini tak akan sepanjang biasanya. Ini hanya sebuah tulisan pengantar bagi sahabat-sahabat yang akan memilih (dalam kesetaraan). Tak ada yang salah dalam keinginan memilih yang "salah". Kesalahan dalam memilih sering sekali terjadi karena ketidaksiapan dengan pilihan kita. Apapun pilihan kita, sebaiknya kita tahu terlebih dulu dimensi dampak dari pilihan-pilihan yang ada. Seringkali pilihan yang "benar" adalah yang tak sesuai dengan kondisi kita saat ini, tapi memang pilihan kita untuk hari "nanti".


*Tulisan ini dibuat sebelum manusia-manusia yang ingin kesetaraan memilih turun ke jalan untuk kebaikan hari "nanti"

Saturday, May 22, 2021

Spoiled Brain



Setidaknya ada tiga hal yang terjadi saat kita mengambil resiko: menciptakan celah, mengeringkan suasana, dan meregangkan variabel. 


Hidup ini tak pernah lepas dari usaha untuk menghilangkan ketidaksukaan, meredakan kesedihan, dan mengobati kesakitan. Usaha ini membutuhkan ruang dan waktu. Di sisi lain keberadaan ruang dan waktu mengisyaratkan kerja gravitasi. Mungkin kita hanya mengenal gravitasi dari cerita kecil di buku pelajaran, yang kadang dibelokkan ke permainan tempel menempel dan pengetahuan lain tentang medan magnet. Padahal saat kita bicara gravitasi kita akan banyak bercerita tentang permainan dimensi, manipulasi ruang, dan denyut yang ditimbulkan oleh sang waktu. 


Memahami resiko sebagai pemicu, atau sumbu, dari sebuah proses percepatan adalah sebuah fase baru dalam memahami perjalanan berkolektif. Pengambilan resiko saat sendirian seringkali tak akan menjadi ingatan yang bisa diceritakan di lain waktu. Lain halnya jika resiko tersebut diambil dalam sebuah kondisi kita tak sendiri. Kita bersama satu, dua, atau banyak orang yang memiliki tujuan sama, tapi dengan latar belakang yang berbeda. 


Itulah yang menjadi concern banyak orang saat mengumpulkan orang untuk tujuan tertentu. Mengikat visi sebuah kelompok tentunya tak bisa langsung. Butuh pengondisian (ruang dan waktu), agar tujuan bisa dipahami dalam persentase yang hampir sama. Tentunya butuh pemancing suasana, agar menimbulkan respon terkait rasa yang sama. Dan yang paling penting adalah tentunya kita membutuhkan sebuah daya serap otak yang hampir sama saat berada di kondisi yang relatif sempit, membutuhkan ketepatan dan kecepatan yang sama.


Saat mengambil resiko tentunya akan menciptakan celah, atau gap, atau masalah baru. Dalam pendekatan lain, masalah bisa diartikan dengan situasi. Situasi ini seringkali terkait dengan penciptaan momen. Sejatinya masalah /situasi tak ada yang berlangsung tanpa sengaja. Semua adalah sebuah kesengajaan. Semua bekerja dalam sistem. Hanya saja stakeholder, penentu, penyebab situasi terjadi seringkali bukanlah organ yang bisa diakses langsung dengan komunikasi yang biasa kita lakukan. Tapi setidaknya otak kita bisa disiapkan untuk merekam pola dan cerita yang berlangsung dari sebuah situasi. Otak kita bisa dikondisikan dalam posisi siap untuk menghadapi situasi yang tak dipahami sebelumnya. Istilah teknisnya, ready to unfolding the unknown.


Suasana dalam metafora bermakna dansanya para stakeholder pengatur konteks. Suasana yang kaku, yang kering, tanpa inisiatif di dalamnya tentunya bisa disebabkan oleh ketidaksiapan. Ini yang sering terjadi saat kita mengambil resiko secara mandiri, atau menggunakan wewenang otoritatif. Ketidaksiapan memang seringkali tergambar dalam sebuah bentuk gerak yang tak terpola, mimik yang tak singkron dengan konten yang sedang ditampilkan, dan penggunaan energi yang berlebih. Keringnya suasana bukan berarti "kurangnya pelembab" pada konteks tersebut. Suasana yang kering berarti juga sebuah sinyal inefisiensi yang sedang berlangsung dalam sebuah sistem. Dalam kondisi ini, otak yang siap hanya mampu merekam, tanpa mampu memindai situasi apa yang sedang terjadi. 


Mengambil resiko tentunya bisa mendekatkan kita pada entropi. Mendekatkan kita pada "kodrat" energi yang akan berubah, banyak yang mengistilahkannya dengan kekacauan. Ketidakpahaman terhadap pola yang ada seringkali tergambar sebagai kekacauan, atau tak dapat didefinisikan. Sejatinya yang terjadi adalah hilang dan membaurnya variabel sebuah sistem, seolah tak lagi terlihat awal dan ujungnya. Dalam kondisi ini, gravitasi berperan menjadi alat pengurut, awal-akhir, dan pengurut dimensi dan waktu dari sebuah peristiwa. Dalam kondisi ini, seringkali otak yang siap pun tak bisa merekam dan memindai, seringkali baru bisa memindai saat kaki mulai menjejak. 


Dari cerita di atas, bisa tergambarkan peran otak kita yang penting dalam penjabaran, pemindaian, dan perekaman. Keterbiasaan kita untuk merasakan yang sudah ada, mengulang hal yang terasa nyaman, hanya akan membuat otak menjadi tak siap dengan apapun. Termasuk dengan kenyamanan dalam kebaruan. 

Tuesday, May 18, 2021

Detak Di Sela Detik



Ritme yang semakin cepat bisa menguak banyak hal. 

Saya ingat bagaimana rasanya mengulik lagu-lagu bertempo cepat dan relatif progresif. Saya ingat saat mengulik lagu Surrounded dari Dream Theater. Tentunya Surrounded bukanlah lagu cepat di antara lagu-lagu Dream Theater yang bahkan memiliki banyak lagu bertempo dua kali lebih cepat. 

Butuh waktu hampir 3 bulan kurang lebih waktu itu, di tahun 2000, untuk saya mengulik lagu ini untuk dibawakan di sebuah acara bersama band kampus saya di masa itu.  Bulan pertama saya gunakan untuk berlatih mengikuti partitur yang ada. Sebenarnya saya tak bisa baca  partitur, tapi lebih mengikuti pola yang ada di midi. Jauh lebih simpel untuk saya. Bulan kedua saya gunakan untuk berlatih bersama dengan band dan sedikit banyak melatih dinamika permainan, karena mengikuti partitur saja tak cukup untuk mendapatkan rasa puas dalam memainkan lagu Surrounded. 

Keseruan ada di bulan ketiga. Saya harus menjadi vokalis di lagu ini dalam sebuah festival musik, karena vokalis band kami berhalangan. Lagu Surrounded memainkan beat 4/4 di hampir keseluruhan lagunya, tapi ada beberapa bagian memainkan beat 4/5 (atau 5/7 ya?)... saya lupa teknisnya, namun memori motorik saya masi mampu mengingat  lagunya hingga saat ini.  Terus terang, nyanyi sambil bermain piano lagu Surrounded itu seperti harakiri. Mana waktu itu selain festival, lagu ini saya bawakan juga dalam acara Fancy Night-nya teman-teman FSRD di  tahun 2001. Saat itu bassis dan gitaris beralmamater  FSRD, namun tetap saja itu salah satu momen paling menegangkan dari kejadian manggung saya. 

Hmmm...Saya akan melewatkan cerita di atas, saya akan menceritakan salah satu manggung tersebut di cerita lain. Saya akan mencoba menceritakan bagaimana sih ketegangan yang kita timbulkan dan kelola sendiri bisa mengubah mindset. Saya rasa tak banyak peristiwa yang bisa mengubah mindset, sebuah hal yang basic dari seorang manusia. Karena jika dianalogikan jiwa seorang itu seperti gunung es, maka perilaku akan berada di puncak gunung es dan mindset ada di dasar yang paling bawah. 

Lalu di bawahnya ada karakter dan pola respon, lalu semakin ke bawah ada ilmu terapan yang tersinkronisasi dalam tubuh. Sampai ke bagian bawah gunung es, kita akan menemukan mindset, kepercayaan, dan area trust yang terkait dengan dimensi lain di luar dimensi yang mengikat diri.

Ketegangan saat berkarya bisa jadi karena  ketidaksiapan, atau bisa jadi terlalu siap (overskill). Ketegangan sejatinya adalah sinyal, yang mengabarkan ketidaksinkronan antara satu kondisi dan kondisi lainnya. Akan selalu ada tanda, seperti detak sebelum peledak berfungsi, dan suara lain yang muncul di kepala untuk memastikan sebuah hal itu sudah sinkron atau belum. Akan ada detak di sela detik di setiap rentang perjuangan.

Setiap perjuangan  akan memiliki dan membutuhkan volume nafas yang berbeda, dan juga akan "meminjam" pikiran kita dalam porsi yang berbeda pula. Pikiran yang terpinjam inilah yang akan lama-lama terlatih untuk menerima respon baru yang lebih matang.

Lebih matang karena bisa memetakan masalah tak hanya untuk direspon, tapi juga diletakkan pada tempatnya. Masalah , atau dalam sistem diistilahkan dengan gap atau situasi, jika diletakkan dalam wadah yang tepat akan membuat detik-detik yang mewakili dimensi waktu akan mengeluarkan detaknya. 

Masalah akan jadi tanda yang membuat kita bangkit, dan terus bangkit. 


Friday, May 14, 2021

Melatih Kesabaran dengan Rasa Sakit




Sejatinya sabar itu tak ada batasnya. Kesabaran adalah sebuah perayaan. Perayaan menikmati batas-batas jiwa dan raga kita sendiri.

Seringkali kita salah mendefinisikan arti perayaan. Perayaan bukanlah tentang proses "menghabiskan" apa yang kita miliki untuk meraih state of contentment, atau mengekalkan dimensi rasa puas. Perayaan sejatinya sering mewadahi  proses membuka, mengangkat, dan membesarkan. Tujuan utamanya agar adanya aliran yang mengaitkan rasa satu orang, hingga banyak orang dalam satu waktu. 

Merayakan batas jiwa dan raga ini bisa berlaku secara sunyi, dalam sebuah proses yang mungkin hanya kita tahu, lalu pada akhirnya perlahan memasuki dimensi waktu yang di situ terdapat momen untuk saling terkait dengan orang lain yang melakukan "perayaan" yang sama. 

Coba saya urai konsepsi di atas dalam sebuah peristiwa kecil yang mungkin banyak diantara kita merasakan yang sama. Ini cerita bagaimana cara kita menyikapi jerawat. Jerawat yang muncul di waktu yang tak bisa direncanakan, dan seringkali mengambil tempat di pikiran kita saat peristiwa berjerawat berbarengan dengan momen lain yang membutuhkan penampilan kita, Misalnya saat ada wawancara di media yang membutuhkan visual wajah kita. Ya, ga semua orang punya momen untuk tampil di televisi. Tapi semua orang bisa menghadapi masalah jerawat.  Di titik inilah kita bisa mengambil garis start, untuk memulai perjalanan memahami arti perayaan pada rasa yang tak nyaman. Rasa yang tak nyaman itu bisa jadi sebuah momen perayaan. Bagaimana sebuah momen berjerawat bisa membuka peta, mengangkat tekad merawat wajah yang awalnya tak terpikirkan, dan bisa saja momen berjerawat ini menjadi sebuah momen kita untuk menghasilkan karya. Bisa jadi karya yang besar. Karya yang terhubung secara rasa. 

Namun rasanya banyak yang sudah lupa bagaimana rasanya berjerawat. Atau butuh energi agak besar untuk mengingatnya (karena tak terasa terlalu penting juga)

Sebuah proses perayaan sejatinya adalah proses berkegiatan saat kesadaran kita ada di titik tertinggi. Kesadaran untuk menampilkan diri dan karya sepenuh jiwa. Energi kesadaran  tertinggi akan saling terhubung. Bisa terhubung dalam rasa, bisa terhubung dalam wadah peristiwa yang sama, atau yang lebih holistik, bisa dalam sebuah rangkaian "mestakung" yang sama. 

Jika berjerawat adalah sebuah proses yang sering diabaikan dan sering dilupakan. Coba kita ingat lagi momen lain. Coba kita mengingat saat-saat kita merasakan luka atau momen tersakit pada tubuh (fisik kita) yang membuat kita tak bisa melupakan rasa sakit atau kita tak bisa mengontrol diri pada rasa yang terjadi di tubuh. Akan lebih mudah mengingatnya dibanding momen saat kita berjerawat. Akan lebih mudah melepaskan konteks kapan terjadinya saat kita mengingat bagaimana rasa sakit yang terasa. 

Begitulah mungkin gambaran yang paling mendekati bagaimana kita memahami kesabaran. Kesabaran itu adalah perayaan yang membutuhkan kemampuan kita untuk merasakan batas konteks (waktu dan momen), dan batas rasa. Batas konteks akan membutuhkan rangkaian momen. Batas rasa akan membutuhkan energi yang akan menguras kemampuan kita berkoneksi dan bertumbuh.   Bukankan sebuah proses yang berada dalam proses pembelajaran pasti akan membutuhkan energi yang  besar dan berulang? Itulah yang terjadi saat kita melatih meluaskan dimensi (perayaan) kesabaran kita.  Tentu ada batasnya. Namun seberapa besar batas itu bisa kita kelola. Dengan melatih mengonversi  rasa sakit yang merusak (hurt) menjadi rasa  sakit yang menyembuhkan (pain). Minimal menyembuhkan daya ingat kita. 

Perbanyak pain, kurangi hurt, dan perbesar wadah kesadaran dan merayakannya.  Tentunya akan lebih beruntung saat kita bisa merayakan dalam dimensi pembelajaran. 

Tuesday, May 11, 2021

Cara Malam dan Siang Berdansa




Salah satu cara untuk menjaga ikatan adalah dengan mengikat janji. Janji yang selalu ditepati adalah salah satu keindahan lain yang kadang kita anggap sepele, seperti saat kita melewatkan begitu saja pergantian siang menuju malam, dan kadang sedikit perenungan di saat malam menuju siang, karena kita sama-sama sering berjanji untuk mengisi hari baru.


Berjanji adalah sebuah cara untuk menciptakan momen, sekaligus mengingatnya. Mengikat cerita, mengikat rencana, mengikat gerak kita untuk menjalankan hal di luar momen yang tercipta. Janji bisa jadi adalah sebuah materi tanpa selubung, material tanpa terindera, namun bisa membuat individu terbungkus dan terpetakan dalam derajat kemakhlukan. 

Janji adalah esensi yang lepas dari wujud, fisik yang terindera, dan karakter makhluk. Malam dan siang adalah sebuah momen yang tak bisa dibantah, walau berada di dalam bunker sekalipun. Karena bagi beberapa orang, malam dan siang bisa terasa walau ada di tempat yang jauh di ideal untuk merasakan momen (yang sebenarnya) mahal di dunia ini, walau dalam batas waktu tertentu. 

Malam dan siang adalah sebuah proses yang berlangsung dengan jejaknya. Jejak perubahan yang membuat kita bisa melangkah dan kita bisa berhenti. Perubahannya membuat ruang-ruang yang terlalui oleh momen  perubahan ini menjadi lebih mengakar dalam menjejaki diri, lebih memaknai dari dua sisi, ketika di siang, dan ketika di malam. Begitulah ketika janji diamati dari dua hal yang berbeda, saat belum berjanji, dan telah berjanji, dan terus berjanji lagi. Perubahan-perubahan tentang janji yang sama akan menciptakan cerita-cerita kecil yang mengurung momen menjadi lebih cepat untuk dilupakan. 

Jika melihat perjalanan para musafir pesepeda yang pulang kampung, sudah petang, dan berada di ujung nafas karena keletihan,  padahal masih di tengah tanjakan yang mungkin baru dicapai setelah matahari tenggelam, pilihan akan muncul. Itu secara normal. Tapi bisa jadi pilihan tidak muncul, karena perubahan adalah momen yang harus dijalani, tetap berjalan tanpa harus berhenti. Berjalan saja, nikmati rasa gelap yang berpeluh, dan biarkan rasa letih itu tak lagi menguasai jasad, dan perubahan adalah bagian dari kemampuan yang bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan sesosok makhluk. Makhluk yang bisa dikatakan sebagai agen semesta. Agen mestakung. 


Waktu nya ada. Mungkin sebentar lagi saatnya tiba.  


Sunday, May 09, 2021

Menyapih Rasa Ragu




Jalan yang melebar, jalan yang lurus, jalan yang semakin nyaman, sama sekali bukan tanda bahwa kita akan sampai pada tujuan. 

Izinkan saya memulai dengan membawa narasi tentang awan. Awan yang terbentuk dari kondensasi dan berbagai macam reaksi yang berkumpul di ruang besar bernama atmosfer. Ruang yang dari sisi lain bisa kita lihat sebagai wadah. Wadah untuk berkumpul, bergerak, menyaring, melepas, dan menjalankan sistem yang terkait dengan wadah lain yang terpengaruh gravitasi, dan wadah-wadah tak kasat mata yang memiliki fungsi  kuat dalam memengaruhi kerja wadah-wadah kasat mata.

Semua kerja dalam wadah tersimbolisasi dalam awan. Awan yang memiliki bentuk, yang memiliki nama dan karakter sesuai bentuk susunan dan ketinggiannya. Dalam sisi lain bentuk awan kadang diartikan harafiah sebagai pesan yang terkait pada peristiwa tertentu. Peristiwa yang secara sistem sama sekali tak terkait dengan kerja yang membentuk awan itu sendiri. Awan adalah sebuah citra tanpa pencitraan. Menjadi pencitraan ketika kita menangkapnya sebagai pesain yang mewakili peran kita di "dunia bawah", yang terikat dengan gravitasi. 

Izinkan sekali lagi saya tetap berada di angkasa, dengan imaji saya. Karena mengajak teman untuk berimaji tentunya membutuhkan energi. 

Awan bergerak tanpa batas. Yang membatasi mungkin adalah gerak sistem termal dan sistem-sistem besar lain. Lalu ada sistem yang kadang ditemui "dunia bawah", dikatakan sebagai pawang, untuk mengatur awan sehingga memiliki batas dan geraknya. Saya tak akan membahas ini, ataupun jika saya bahas, maka akan sangat, sangat, sangat dalam kondisi yang tidak ideal. Yap. Tidak ideal. 

Bergerak bebas, meneduhi, atau memberi hujan di area yang memang waktunya hujan, adalah idealisme awan. Ideal karena bergerak dalam sebuah rangkai sistem yang besar. Sistem yang memang menjaga keberlangsungan. Menjaga agar hal-hal minor tak menjadi perusak hal-hal yang terlanjur (terpilih) untuk menjadi besar. Idealisme dalam kebesaran adalah kondisi ideal dari hal-hal yang berlangsung lama, seperti iklim. Iklim ada untuk menjaga, cuaca datang untuk mengubah.

Perubahan adalah tanda dari kehidupan. Seperti bunga yang pernah jadi putik, maka perubahan adalah sebuah idealisme yang akan terasa jika menjejak tanah. Mengikat diri pada gravitasi, mengikat diri pada sebuah arus besar tentang keterikatan kebiasaan. Kebiasaan untuk terkait, dan kebiasaan untuk beradaptasi. 

Pada akhirnya, sebagai manusia, kita hidup menjejak tanah. Jika pun kita sedang berada di dimensi tak terikat gravitasi, maka kita akan terikat oleh waktu, yang terbentuk oleh gravitasi. Kita juga akan terikat dengan ruang, yang terbentuk oleh gravitasi dan hal-hal yang menjadi elemen pembentuk jalan kita. 

Rasa ragu itu akan mengganggu  keputusan. Keputusan untuk terbang ke atas awan, dan keputusan untuk menjejak di bumi. Rasa ragu akan menjadi distorsi di ruang dan waktu. Pada ruang, keraguan akan menyisakan warna-warna malu. Pada waktu, keraguan akan menciptakan momen yang tak bisa diingat (bad sector).