Saturday, May 21, 2022

"Moksa" Meninggalkan Dimensi Fungsi (f)



Saat terjebak untuk ribut karena perbedaan, maka sejatinya kita sedang membantah sebuah barang yang jelas-jelas ada dan hadir. Sedang menolak semesta untuk hadir mendukung intensi kita.

Beberapa dari bapak bapack dan emack emack adalah produk social engineering di jamannya yang di-instal pake mantra "duaan duaan ulah sisirikan anu eleh dikaluarkeun sakali jadi" dan "hom pimpa alaihum gambreng"... Sebuah mantra untuk menyatukan perbedaan yang dikemas dalam artikulasi permainan.

“Sakali jadi" dan "gambreng“ itu kata lain dari "Kun fa ya kun" ;)

Dan mantra-mantra lainnya yang kategorinya bukan doa. Doa itu kalo dilihat dari bentuk seperti "simpul" individual... Sedangkan mantra lebih berupa “simpul" kolektif. Mungkin suatu saat ada yang eksperimen menjadikan mantra tersebut ("duaan duaan..."atau “hom pimpa..") sebagai doa saat mau berhubungan dengan niat bikin anak. Kita akan bisa lihat bedanya dan impact nya pada struktur myelin anak 😬

===

Obrolan di atas menjadi pembuka obrolan bebas dan lepas semalam tentang "kejadian"... " Ikhlas"... dan "moksa" dalam kerangka yang lebih terpetakan secara fungsi (f). Sebuah cara untuk menggenerik kan trust.. atau dalam bentuk tiga dimensional dipetakan dalam force (F).

Trust sendiri adalah ranah yang seringkali disamakan dengan belief. Padahal beda. Belief disusun oleh artefak-artefak sistem dan fungsi. Sedangkan trust bisa lepas dari dua hal itu. Kemiripan terjadi karena keduanya mengandalkan "simpul"... Bahasa lain dari hizb dan/atau mantra, atau bahasa kerennya sekarang social algorithm.. #suitsuiw

Di sisi lain ada kesenjangan/gap mindset yang seringkali menyamakan peran hizb dan doa. Doa membutuhkan intensi individual, sedangkan Hizb membutuhkan intensi bersifat kolektif dan kadang hirarkikal. Doa tak membutuhkan ijazah/sanad. Bisa langsung berfungsi di proses internalisasi diri. Hizb membutuhkan gerbang sanad (restu guru) yang talaqqi (diturunkan dengan metode kontekstual, berbasis 5 sense experience)..

Ketika sesuatu bersifat komunal dan hirarkikal, maka sesuatu tersebut akan punya ujung, punya akhir, yang sifatnya berupa proses pengacakan/pengacauan. Beberapa artefak sistem menunjukan proses pengacakan ini bisa dihindari dengan mengurai diri dengan sadar. Melepas fungsi dan hirarki.

Melepas fungsi dan hirarki ini bisa dalam bentuk fisik (mengubah/menyamar/menyatukan diri dengan elemen alam lain) atau melepas peran. Banyak artefak sistem yang menunjukkan pola ini, seperti "moksa"nya Prabu Siliwangi, terurai nya hirarki tokoh kerajaan Selaparang, dll

Penguraian ini tak bisa terjadi jika belum menguasai ilmu tertinggi: ikhlas. melepas semua. Melepas pijak, melepas simpul yang mengikat ubun, dan percaya 100% sistem makro dan mikro adalah kerja siklus yang simultan.

Dengan ilmu tertinggi, yaitu ke-ikhlas-an, sebuah kerja tak lagi dalam dimensi (f), tak lagi bisa hancur, karena seperti prinsip energi, semua bergerak. Jika ada yang berhenti dalam sebuah simpul waktu, itu hanya untuk menunggu, menuju terkuatkan atau terpecah. Lalu berlaku simultan.

Sehingga sebuah keniscayaan jika momen yang terjadi dalam dimensi berbasis fungsi akan bisa terpetakan dan terbaca. Jika kita mundur dan naik sedikit, dalam helicopter view, maka kita bisa melihat sebuah keterkaitan. Sebuah peta tentang sistem.

Ketakutan -jika kita hilangkan variabel waktunya- terjadi karena masa depan, masa kini, dan masa lalu itu ga sinkron. Ketidaksinkronan adalah sebuah ciri sesuatu itu tidak menjadi ada, berarti meninggalkan jejak kehampaan. Padahal kejadian adalah sebuah ke-ada-an, sebuah hal yang harusnya berjejak, bisa diukur, dan berdampak. Ada dan tiada, adalah cara mengukur, penanda/patok, bagaimana sebuah dimensi berbasis fungsi bekerja. Di sinilah kita bisa melihat bagaimana sebuah proses yang sering diidentifikasi dengan "moksa" bisa terjadi.

Ketakutan dan ketidaksiapan itu barang yang mirip baunya beda. Ketakutan adalah sebuah fungsi yang bekerja pada dimensi tanpa fungsi, sedangkan ketidaksiapan adalah sebuah keadaan dimana fungsi diharapkan bisa bekerja dalam kesadaran reflektif (autopilot). Jika sebuah momen berisi ketidaksiapan, bisa dijamin 100% sebuah momen tidak akan memiliki mestakung. Resiko besarnya adalah, ada resiko menggerus value yang sudah terbentuk.

Ketidaktahuan beda lagi. Ketidaktahuan itu seperti ampop yang dilem diberikan saat sunatan, atau imlek. Ia hadir di tengah kepastian, di tengah sesuatu yang jelas ada. Justru bisa jadi obat, dan senjata yang bermanfaat. Ketidaktahuan jika tak digunakan secara imbang akan menghasilkan ketidaksukaan. Kalo sebuah ketidaksukaan ujungnya tentang menyingkirkan (peng- tidak ada- an), dampaknya bisa memperjelas jejak masa lalu dan masa depan.

Jika ketidaksukaan digunakan sebagai tools penanda dan pengukur, maka ketidaksukaan bisa berfungsi sebagai hollow point, atau penjeda, dan tanda untuk mengubah pace. Penanda masi ada kebodohan, (knowledge yang belum terinstal) di dalam diri kita.

Dan ketidaksukaan bisa jadi rejeki (penambah value) atau malah dosa (pengurang value). Rejeki jika dimanfaatkan untuk menenteramkan sistem, dosa jika malah berakibat merusak tatanan sistem.

Bagi para praktisi sistem, menikmati paparan bukanlah hal utama, melihat gestur bahkan mikro gestur aja sudah sebuah bahasa. Seringkali paparan dibutuhkan untuk momen verifikasi, atau bersifat administratif semata.

Jika sebuah sistem memasukkan unsur "art" di dalamnya maka spontanitas dan kejujuran akan masuk ke variabel sistem. Menjadi bisa diukur/dipetakan, namun baru terlihat polanya saat disimulasikan dalam 4 dimensional, mengaitkan diri (dengan knowledge dan intensi) sebagai wadah untuk objek yang diukur. Jika hanya dalam kacamata 3 dimensional, hanya melihat dari luar, maka sebuah peta sistem tak lagi berfungsi secara komunal, kasarnya, tak lagi menghasilkan mestakung ;), tak lagi jadi "mantra", atau simpul komunal, yang bisa menjadi titik pembangkit, katalis dan booster kesadaran dan photographic memory di situasi tertentu, dan hanya jadi tontonan yang susah diurai maknanya. Selain itu, intensi mengubah karakter spontanitas dan kejujuran akan terdeteksi jejaknya. Intensi ini bisa terpetakan dari masa lalu (motif, genetik, bahasa jawanya 3B--> bebet, bibit, bobot), dan masa depan (konstelasi besar, bentuk baru).

Maka berhati-hatilah dalam memainkan dimensi fungsi berbasis spontanitas tanpa kesadaran di level tertinggi (to enlight), keikhlasan, dan kepercayaan.


Saturday, May 07, 2022

Mengurai Simpul



Manusia itu hebat, sekaligus juga rapuh, jika membiarkan dirinya dalam rasa tahu yang menutup ketidaktahuan.


Menyaksikan serial kisah para illustrator Disney di Disney+hotstar sungguh membuat saya merenung. Dari semua illustrator, motifnya karena ada "calling"... Ada panggilan yang menggerakkan. Beyond self. Kalo cuma skill doang, memang ga akan sampai puncak. Apalagi modal sikut. 10 tahun bertahan itu si itungannya masa tenggang.

Banyak yang mempelajari sesuatu dengan mengabaikan support system di luar dirinya. Ya, keluarga itu salah satu (dan biasanya restu ibu/istri jika sudah menikah cukup dominan). Tapi ada banyak support system lain, yang baru terlihat saat kita melakukan analisa diri dengan helicopter view.

Support system ini berada dalam blind spot kita. Perspektif "self" seringkali tidak akan mendeteksi support system ini, hingga pada satu titik biasanya terasa. Di titik 0, atau di titik di mana kita menyerahkan diri kita pada kehendak semesta, di saat kita melawan arus besar.

Jika memang suara hati kita harus melawan sesuatu yang memang bagi kita terasa "tidak manusiawi", lawan semampunya. Jika memang sudah tidak kuat, serahkan pada semesta. Ga harus menyerah. Karena semesta punya sistem yang ajib. Kekuatan diri itu fungsinya memang untuk tahu batas.

Tepatnya: jangan menyerah. Kembalikan semua urusan ke sistem semesta. Maka perlahan/ada yang cepat juga si, kita mulai rasakan support system yang bekerja dengan indah (biasanya membuat speechless).

Support system yang ada di blindspot kita bisa dipetakan dengan beberapa cara, banyak si. Biasanya memanfaatkan "entitas pemantul", berupa partner, yang bisa menjadi penjaga ritme. Karena tanpa ritme yang baik, susah untuk memetakan sesuatu, apalagi memetakan diri.

Nama metodenya bisa beragam, ada case clinic, ada yang namanya retret, ada yang namanya tadabbur, ada yang namanya tafakur... Semua itu arahnya satu: Singkronisasi. Banyak terkait dengan pace (ritme pikir, ritme nafas, ritme aktivitas) diri dan sekitar. Lebih tentang ritme. Meditasi, kontemplasi, itu tools yang beda. #imho kontemplasi, meditasi, itu akan lebih mangkus dan sangkil saat singkronisasi sudah baik. Pace sudah terpetakan. Malah meditasi, kontemplasi, itu bagi saya sudah kategorinya "senjata", tools yang bisa dipakai untuk menyimpul, mengubah dan memecah. Cenderung resiko jika pace belum bener.

Lalu apa itu mindfulness? Bagi saya itu semacam nge-route, mengurai kembali jalur, merasakan value yang ada dari setiap titik titik momen. Ya sehari cukup sehari lah. 1/3 malam/pagi #imho. Karena melelahkan dan takes time untuk recovery nafas. Karena bisa nangis-nangis juga.

Kenapa menulis tentang beginian? Karena akan datang momen dimana butuh ruang nafas kita lebih besar.... Apalagi kalo yang ruang nafasnya sudah keserang ketakutan akan pandemi dll. Akan butuh banyak momen untuk jaga pace dan singkronisasi, tepatnya demikian ;)