Monday, March 15, 2021

Saat Karya jadi Mantra



Penekanan keinginan bukanlah kunci ketersampaian. Kadang perulangan penyampaian niat yang datar, namun konsisten, membuat wadah pendamping kesadaran menjadi wadah pendukung terkuat dalam bertindak. Seperti halnya saat melantunkan zikir yang belum dipahami artinya.

Keteraturan adalah sebuah hal yang seolah menjadi hal yang dituju oleh manusia yang ingin berada di zona "kebenaran", atau dianggap benar. Keteraturan yang dikejar biasanya ditandai dengan pola yang jelas, perulangan yang konstan, keterkaitan yang hirarkikal, atau kadang fraktal. Keteraturan ini mengurat, menadi, menjadi bagian ritme keseharian, bahkan ritme yang masuk ke dalam alam bawah sadar.

Dalam kajian lain, keteraturan justru menjadi awal kejenuhan. Keteraturan membuat kesadaran yang berada pada level "ketaatan", menjadi sebuah beban yang sering mengakibatkan depresi, keterpurukan mental  karena terkunci dalam batas-batas pikiran. Saya ingat sekali salah satu rekan, dua orang malah, pernah mengomentari status  saya.. Saat itu saya membuat status "ngasal" tentang damainya surga  jika bisa dibawa ke bumi, semua dalam kebaikan dan keteraturan. Rekan saya tersebut komentar, "so boring", dan satunya lagi "meh banget dong kalo gitu". Kebetulan mereka berdua rekan wanita. Saya kaget karena komentar ini biasanya dikeluarkan teman laki-laki yang kadang memang cenderung "edgy" saat berinteraksi. Saya berasumsi rekan wanita saya ini benar-benar mengungkapkan isi hatinya dengan apa adanya. Di situ saya merenung lama. 5 menit lah. 5 menit lama lah untuk sebuah single thought, atau mungkin "empty thought"... 

Komentar rekan saya tersebut bisa dikatakan sebagai pemicu dekonstruksi pemikiran saya pada pemahaman tentang "akhir yang baik" seperti definisi surga, atau yang setara lainnya. Tentunya sampai saat ini percaya "akhir yang baik" itu ada dan sebuah keniscayaan. Tapi tentunya tak bisa diseragamkan antara satu individu dan individu yang lain. Karena inti makhluk hidup itu ya satu, akan dan harus mengenal akhir.  Setelah itu, ya terserah masing-masing, setidaknya itu yang saya tekankan pada diri saya. Mencapai akhir yang baik bukanlah sebuah intensi menguatkan citra, atau pencitraan. Mencapai akhir yang baik tentunya dalam skala turunan terkecil, harus disusun dari proses-proses yang baik. Jika pun harus berjudi, maka harus mengenal ritme kapan kira-kira sesuatu berakhir bagi diri kita, dan di situlah kita mencoba sisi terbaik kita.

Perjalanan waktu membuat saya mulai meninggalkan pergumulan pemikiran tentang akhir yang baik. Setidaknya sampai salah satu sahabat, mentor saya, seorang yang ahli dalam bela diri, membuktikan kata-kata nya sendiri. Dia pernah berkata, "ilmu tertinggi dalam silat adalah saat seseorang tahu bagaimana cara ia mati". Dan dia telah meninggalkan dunia ini, dengan membawa pemahaman itu secara paripurna. Cara dia. Bisa saya katakan begitu.  Kejadiannya tahun lalu, dan pergumulan pemikiran saya mulai memasuki fase baru. Bagaimana menyusun rangkaian yang baik, dan menajamkan diri untuk menangkap ritme yang terjadi pada diri kita, khususnya ritme-ritme yang membawa diri kita pada "fase akhir". 

Di fase ini lah saya menemukan, bertemu, dan ditemukan oleh sebuah wadah besar, bisa saya sebut keluarga, yang mempersiapkan dan melatih kesadarannya, dengan berbagai metode. Ada yang melatih kesadaran dengan meningkatkan kedisiplinan dalam menyelesaikan komitmen-komitmen kecil. Ada yang melatih kesadaran dengan mempertajam kemampuan menyimak dan mendengar, dibanding mengungkapkan. Dan baru beberapa hari lalu, saya bertemu dengan kolega yang sedang memperdalam kekuatan kesadarannya, dengan cara membuat karya-karya nya selalu diniatkan tampil dalam level persembahan.

Yap. Apapun karyanya, walau hanya ingin mengganti air galon. Karya bukan selalu tentang ide yang menjadi materi yang tertangkap panca indera. Karya bisa jadi adalah sebuah gerak sinergis yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, dan membuat lompatan energi pada momen yang dihasilkan. Baik lompatan energi positif, atau bisa negatif. Rekan ini sangat concern di bagaimana memulai niat dengan mengaitkan diri ke pijakan dan ujung kepala ke langit. Rekan ini juga sangat concern bagaimana merasakan batasan adalah sebuah medium untuk menguatkan energi, dan yang membuat saya penasaran adalah, bagaimana membuat setiap karya sinergi/sama dengan doa, dan setiap kata menjadi mantra.

Mantra bukanlah tentang kata-kata yang memiliki makna tertentu untuk tujuan tertentu. Mantra adalah tentang keharmonisan kata dan semesta. Bagaimana kadang mewakilkan kondisi yang terjadi saat ini hanya dalam satu kata, melalui proses mindfulness. Proses merasakan batas-batas diri, batas sakit, batas ego, batas rasa. Jika kita mengetahui batas, maka kita akan memiliki rangkaian medium, yang menjadi wadah besar untuk bangkitnya energi. Jika kita berkarya dengan niat untuk berterima kasih pada kontainer semesta yang memberi kesempatan, walau sedang marah, energi kita akan menjadi penguat, dan mengubah setiap karya menjadi pengundang restu semesta. 

Atau prosesnya kadang bisa dibalik, saat kita mengulang sebuah intensi atau niatan secara teratur, terangkai hingga hitungan ribuan, seperti zikir, sejatinya ini adalah proses menyulam wadah, semakin banyak sulaman/perulangan, semakin besar wadah tersebut. Prosesnya seperti memecah - dan merangkai. Tinggal tunggu saatnya, saat batas datang, saat rasa  sakit menjadi batas yang membangkitkan energi untuk berbuat, maka wadah yang kita sulam tadi menjadi wadah yang sangat membantu kita dalam menjadikan karya kita sebagai penyambung pada semesta. 

Selain sahabat saya yang telah wafat tersebut, saya juga memiliki rekan lain yang bisa dikatakan berada di dunia yang tak bisa terlalu diungkap. Bagaimana perjalanan hidupnya menuntunnya menjadi orang yang sangat ikhlas, namun sangat cepat untuk bergerak dan memiliki teman yang banyak saat kondisi tertentu datang dan harus disikapi dengan mengerahkan energinya untuk "menjaga". "Hidup ini tentang saling menjaga," - ungkapnya di sela - sela ngelindur saat dalam perjalanan antar kota. 

Ini bukan tentang keajaiban. Ini adalah tentang "akhir" dari setiap manusia, yang memiliki keterbatasan. Akhir dari setiap makhluk yang menjadikan keteraturan menjadi candu. Kadang perilaku kita saat ber-digital adalah candu yang merusak. Butuh mantra yang berkaitan dengan socio engineering untuk memecahnya.

Setidaknya saya ga usah khawatir jika di surga nanti suasananya akan boring atau meh seperti bayangan rekan saya. Akhir "penuh mantra" yang berbeda dari setiap individu akan hasilkan rangkaian hiburan yang tiada henti. 





No comments: