Saturday, March 20, 2021

Usainya Era Mencari Short Cut




Permainan logika untuk memenangkan perdebatan rasanya sudah menjadi bagian dari keseharian. Minimal saat menanggapi komen yang terlihat out of context dari apa yang kita utarakan di media sosial. Ke depan, permainan logika itu seperti music box saja. Hanya untuk dilihat di kamar tidur, sendirian. ;)


Adanya perdebatan adalah salah satu ciri sebuah kondisi dalam keadaan damai, walau ciri itu jarang kita sadari, bahkan dimasukkan bukan dalam ciri kondisi damai. Keadaan berbeda jika dalam sebuah area indeks hate speech mulai mengalahkan proses perdebatan. Atau dialektika yang terjadi (misalnya di komentar postingan social media) sudah diisi oleh pembuktian-pembuktian yang turbulence, yang sebenarnya hanya monolog. Apapun yang diposting seolah hanya berisi "saya benar, kamu salah". 

Kolom komentar di sosial media idealnya bukanlah sebuah dialog yang setara. Komentar pada postingan sosial media layaknya berlaku seperti n pada  algoritma x pangkat n. Komentar yang semakin banyak akan mengamplifikasi nilai x secara eksponensial. Saya sering mengatakan ini pada rekan-rekan yang seringkali terlalu reaktif komen di postingan yang berbau politik. Tentunya saya melakukan ini dengan offline, karena saya rasa percuma jika saya letakkan di kolom komentar yang hanya membantu mengamplifikasi posisi "lawan". 

Bagi saya, pertemuan offline akan selalu mahal dan tentunya memiliki kualitas yang lebih mumpuni daripada pertemuan di algoritma postingan sosial media. Saya sering mengistilahkannya dengan "ngopi-ngopi".  Panjang cerita kenapa kopi menjadi simbol tabayyun  (pertemuan untuk memverifikasi dan mencari kesetaraan), mungkin saya akan tulis khusus di sebuah tulisan, terkait perjalanan saya dulu mengikuti beberapa teman yang hobi menanam kopi, dan membudidayakannya. Mungkin setelah saya diizinkan Ilahi bikin touring ke Gunung Rinjani, nanti. 

Pertemuan offline akan mengikat ruang, waktu, dan tentunya biaya. Namun dalam banyak hal akan membuat dialektika berjalan lancar. Jika pun tak lancar, pengungkapan data akan membuat dialektika berjalan dan kadang membutuhkan "wasit" untuk proses verifikasi dan kesetaraan bisa terus berlangsung.  Pertemuan offline akan membuat panca indera saling berinteraksi, memberi respon. Apalagi di tengahnya disajikan teaser dan "cemilan" untuk menyambungkan dua intensi berbeda yang seolah tak berhubungan. Tapi selama ini adalah pertemuan antar manusia, rasanya ketidaksambungan ga se-absurd saat kita berinteraksi dengan entitas yang dinamakan virus corona, sang penyebab pandemi. 

Masa pandemi yang melelahkan mungkin bagi sebagian orang sudah berakhir. Sudah mulai banyak pertemuan yang dilakukan secara offline. Setidaknya pemandangan bagaimana orang mulai tak terlalu takut dengan pandemi adalah sebuah hiburan, di sisi lain sebuah ironi, karena toh protokol harus tetap dijalankan, dan virus masih belum terkalahkan. Efek vaksin mungkin akan relatif terasa di enam hingga dua tahun ke depan. Tentunya ditandai dengan melonggarnya protokol, dan peran official dalam menjaga protokol tersebut. Tapi bagi saya yang awam, progres interaksi manusia yang kembali "merapat"  tentunya membawa angin segar, karena banyak peluang yang bisa muncul. Tentunya perdebatan sehat pun mulai muncul.

Saya rasa ini akan memengaruhi iklim berpolitik kita. Perdebatan di ranah offline, tak tersiar media, namun tetap dalam rangka verifikasi data akan membuat bubble-bubble isu pecah dan tak menjadi gangguan signifikan. Orang sudah terlalu jenuh dengan amplifikasi wacana, saya rasa ini era yang tepat untuk bagaimana data yang dimiliki oleh civil society, diolah menjadi semacam pagar hidup yang mensejahterakan isi pagar, dan di luar pagarnya. Tentunya akan terlihat terlalu idealis. Tapi saya rasa data yang hidup (warm data) akan membuat civil society lebih mudah terkoneksi secara fisik. Terserah apa isi koneksi tersebut, apakah perdebatan, kolaborasi, atau bahkan mungkin adu value hingga beresiko timbulnya korban, seperti yang terjadi di Myanmar pada saat saya menulis ini.

Peristiwa di Myanmar sedikit banyak adalah cerminan bagaimana sebuah operasi yang terlalu banyak ditulis dalam perencanaan dan doktrin, menjadi bumerang dalam keutuhan sebuah civil society. Dan saya sedikit berprediksi dengan data yang saya miliki, Myanmar akan melaluinya dalam proses yang lebih panjang dari yang sebelumnya. Hal ini akibat bagaimana bubbling isu tak menjadi jaminan sebuah rencana bisa berjalan dengan matang. Matang disini berarti accomplished. Karena sejatinya sebuah rencana adalah sebuah proses untuk berakuntabel. Bisa diamati dari berbagai sisi, diimbang, diukur, dan dipetakan resikonya. 

Beda cerita dengan rencana-rencana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertemu dalam ranah offline. Akan banyak rancangan cadangan yang bisa ter-bubbling, muncul, dan menjadi solusi alternatif. Akan ada ikatan trust yang terbentuk terkait kesepakatan yang terjadi. Minimal trust untuk "memberi waktu" atau buying time. Trust ini akan mahal rasanya jika terjadi di dunia online. Buying time bukan lagi pilihan, karena seolah data sudah tergelar, terkait dengan big (and deep) data, bahkan resource dari komputer kuantum, dan kita tinggal memilih. Saya bukan sedang cerita tentang bagaimana panasnya kisah Partai Demokrat. Saya sedang cerita bagaimana kekuatan orang-orang pemegang data yang bisa bertemu di level trust itu bisa menghasilkan produk instan yang bisa saja dianggap akuntabel. Akuntabilitas adalah level pencapaian tertinggi dalam bersistem dan berorganisasi. Setidaknya itulah yang dipercaya oleh Sang Robot, dalam film Mr. Robot. 

Pelajaran penting sedang berlangsung. Bagaimana trust dan akuntabilitas bisa menyetir sebuah civil society, secara masif dan sistemik. Bagaimana memilih bukan lagi cara untuk berkuasa, dan trust menjadi sebuah entitas yang artificial dan modified. Bagaimana dunia ini bukan tentang menang kalah, tapi tentang bianglala yang berputar, kadang saat di bawah kita melihat jalan keluar, dan saat di atas bisa melihat dunia. 




No comments: