Monday, April 26, 2021

Menandai Istidraj (Pengabaian atas Ketidakmampuan)




Kesepakatan tidak ada artinya jika perbedaan tak diikat dalam sebuah benang merah bernama kesadaran.

Tak semua orang mengejar kesempurnaan diri. Banyak yang memilih untuk menemukan kesempurnaan dari apa yang dia lalui di setiap nafas, di setiap langkah dan karyanya. Tentunya memilih setelah perjalanan dan pergolakan panjang. Perjalanan yang akhirnya mengurai nafsu menjadi proses bertanya pada peran pribadi. Peran untuk semesta terkecil bernama hati.

Hati bukanlah hal yang terlalu abstrak untuk dipetakan. Seperti layaknya semesta, banyak hal teridentifikasi oleh teleskop yang diarahkan ke atas dan keluar, ternyata memiliki pola yang sama dengan ikatan dan pola-pola jaringan yang membentuk dan memfungsikan tubuh. Betapa stabilnya semesta yang besar bagi kita yang tak sedebunya alam raya ini. Pergolakan yang besar di tepian lubang hitam misalnya,  tetaplah tak menggoyah kestabilan, mungkin justru menjadi pilar yang perkuat kestabilan.  Melihat alam raya yang besar, selain membuat diri kita merasa kecil, sekaligus juga membuat kita merasa memiliki keterhubungan, seperti terhubungnya debu dengan ruang-ruang yang memiliki fungsi yang selalu dipelihara.

Hati dan rasa percaya seperti saudara kembar, yang satu berwujud fisik, yang satu lagi berwujud laku dan impact. Betapa hati itu seperti wadah yang membuat banyak perbedaan beradu dan berpadu seperti adonan, menyusut, mengembang, saling terikat untuk satu tujuan, atau minimal untuk menjadi ingatan dan rasa baru. Saat timbul rasa tidak percaya, tentunya ini adalah situasi yang akan membuat sebagian dari (wadah) hati ini tak berfungsi, dan adonan menjadi tak kalis, seperti adonan roti yang memiliki gumpalan tepung yang akhirnya jadi batu saat dipanggang dalam oven.

Saat tak percaya, maka akan ada jeda, akan ada celah, akan ada rongga seperti jurang yang akan jika harus dihubungkan, harus dengan pengorbanan, dan harus dengan mengukur. Menyambung antar jurang dengan tali, atau dengan sling besi yang bisa menahan beban, atau berjuang untuk menyambung dengan jembatan, yang bisa sangat mahal, bernama kesepakatan.  Tenaga yang besar ini tentunya adalah sebuah cara, sebuah wujud untuk memfungsikan hati dan menjadikan rasa baru menjadi sesuatu yang bisa dibagikan kepada generasi penerus, sesuatu yang bernama rasa menghargai.

Penghargaan itu seperti sebuah ritual, sebuah proses yang disadari untuk dijalankan dalam rangka mengingat kesepakatan. Menghargai bukanlah sebuah proses yang nyaman saat tak ingat dengan kesepakatan yang telah terjadi, atau tak merasakan manfaatnya, seperti saat kita sudah merasa sudah terlalu banyak yang telah dibagi. Penghargaan berkonversi menjadi "material" yang seolah harus dicapai dengan kesadaran transaksional, "jika ini maka itu, jika tak itu maka tak ini". Kesepakatan transaksional akan mengamplifikasi kemampuan mengukur, dan mendesak kemampuan percaya hanya saat berada di level rasa nyaman, bukan rasa menginspirasi. Percaya saat orang membuat senang, membuat kenyang, dan membuat tertawa. 

Hati banyak berperan dalam kesadaran, tapi jika di dalamnya banyak rasa tidak percaya, maka hati hanya akan menjadi kontainer untuk mewadahi rasa tak nyaman, yang akhirnya menekan kesadaran pada kecanduan pada nilai-nilai materialistik. Kecanduan pada nilai ukur dan nilai materialistik dalam banyak cerita seringkali melemahkan ingatan kita pada kesadaran. Kesadaran untuk menerima proses mempercayai tanpa syarat. 

Pada kondisi tak berpercaya, pertukaran nilai baru akan terjadi setelah ada  jaminan. Jaminan yang berujung pada lamanya berproses untuk mengukur dampak pribadi di semesta yang lebih luas. Dalam ranah mikro, hati  tak lagi bisa memaknai syukur (pada lahirnya rasa baru). Hati seolah jadi batu. 



No comments: