Friday, April 16, 2021

Berkarya untuk Pencipta



Pergolakan batin bukanlah jadi alasan untuk tidak berkarya. Berkarya adalah sebuah dimensi yang berbeda. Memasuki dimensi berkarya adalah sebuah usaha untuk mengemas waktu dengan kemasan yang bisa mudah diingat, dan cukup gampang untuk dikenang.

Ketika manusia lahir, sesungguhnya telah dibekali oleh kemampuan untuk mencari perhatian. Dengan teriakan (pada umumnya) dan rasa yang dikenang oleh ibu, adalah  kemampuan yang memaksa orang untuk mengingat "perbuatan" kita sebagai jabang bayi. Unintended consequences, kalo istilah kampung tetangga. Walau kemampuan itu bukan kemampuan yang bisa diukur, tetap memberikan kesan dan rasa bahwa  teriak dan memberi rasa sakit adalah salah satu kemampuan dasar dari manusia, sejak lahirnya.

Lalu apa beda kemampuan dan karya? Kemampuan adalah sisi koin yang berbeda dengan karya, jika disatukan. Jika disatukan ia memiliki nilai tukar. Jika dipisah, ia akan jadi cerita yang membuat kita masuk ke dalam dimensi ukur.

Berkarya secara spesifik adalah proses meluaskan ruang. Apapun karya yang kita hasilkan akan memerlukan ruang untuk menempatkan karya kita, atau sekadar ruang berpikir yang dibutuhkan agar karya kita mencapai harkat dan martabatnya, yaitu sebagai sebuah pemberian. 

Karya tak lain dan tak bukan adalah sebuah proses memberi, agar semua mendapatkan kesan dan rasa. Syukur-syukur mendapatkan manfaat. 

Membuat karya yang bermanfaat tentunya menjadi sebuah kerangka bahasa yang sangat politis, jika karya adalah proses untuk memberi. Saat memberi, mengharapkan respon baik tentunya bukanlah sebuah respon yang alamiah. Seorang pemberi, atau bisa dikatakan seorang dermawan akan memberi tanpa perlu pamrih dari orang yang dia beri, yang seharusnya setara dengannya. Seseorang yang memberi, bukan selalu karena ada yang lebih dan yang kurang. Banyak yang memberi, karena ingin berbagi kesetaraan. Manfaat apa yang didapat dari memberi adalah urusan pemberi dengan Pemilik Dirinya. Urusan yang sering kali berlangsung dalam bentuk dialektika, dalam dialog tanpa bahasa.

Berkarya adalah sebuah usaha berdialog dengan Sang Pencipta. Dialog dengan yang diberi, atau siapapun di sekitar pemberian, itu lebih sekadar fase untuk bersilaturahmi, mengingat, mengikat, dan menjaga sebuah ikatan dalam sebuah kelompok. 

Saat berkarya, tentunya akan ada waktu yang diinvestasikan, yang digunakan. Bisa dikatakan waktu yang digunakan untuk berkarya adalah sebuah token dalam bahasa digital, atau jaminan untuk bisa membandingkan karya kita dengan value yang ada di area of influences kita. Dalam dimensi dunia yang isinya saling mengukur, semakin banyak ukuran yang dimiliki sebuah karya, semakin punya dampak ia di setiap posisinya, semakin warm dia sebagai data yang ternotifikasi. Tapi dunia tak hanya memiliki dimensi yang isinya entitas-entitas yang saling mengukur saja.  Dalam dimensi Penciptaan, sebuah karya adalah dialog antara waktu dan proses. Dialog ini bermuara pada penempatan diri, sebagai karya Pencipta, dalam rel pengakuan atas lumrahnya sebuah perubahan. Sebuah proses yang terus berlangsung. Mengubah suatu bentuk ke bentuk lain, agar terbentuk ingatan baru. Syukur-syukur menjadi ingatan baru yang lebih kuat. 

Jika proses Penciptaan diturunkan pada level yang jauh, jauh, lebih mikro, ia akan menjadi semacam proses reverse engineering. Dimana sang karya berkarya untuk Pencipta. Proses berkarya yang membuat kita semakin mengingat-Nya. Apapun bentuk karya kita. Tak perlu dibahas di dalam dimensi penciptaan, yang sejatinya ada di dimensi keikhlasan. 

Saat berada di dimensi keikhlasan, semua terjadi karena memang harus terjadi. We're born for the moment, atau di bahasa pasifnya, this is the moment we're born for. Beda cerita jika kita hidup di dalam dimensi entitas yang selalu ingin mengukur. Karena sejatinya, sebuah entitas yang telah mengalami proses reverse engineering, ia adalah entitas yang sudah siap.

No comments: