Sunday, April 11, 2021

Merasakan Lebih Dalam




Kemarin saat berhenti di pinggir jalan untuk mengecek notifikasi WA yang masuk, saya dikagetkan oleh motor yang berhenti mendadak karena meghindar dari agitasi pengendara mobil yang tak mau menepi. 


Lalu tiba-tiba ada selintas pemandangan yang rasanya beda saat kejadian sederhana tadi. Seolah semua itu terhubung, seperti salah satu pelaku peristiwa adalah organ untuk pelaku/organ lain. Mungkin bisa diistilahkan dengan embodying, seolah perbedaan perbedaan yang muncul di depan mata itu hanya menunjukkan rangkaian lain, mata rantai lain. Lalu yang paling mengubah suasana, adalah ternyata terasa bahwa saya adalah bagian dari mata rantai "organ" dari peristiwa tersebut.


Apa peran saya? Secara hukum, jika terjadi kecelakaan, maka saya akan bisa menjadi saksi. Dalam sudut pandang jurnalistik, saya adalah narasumber kunci, yang bisa dianonimkan atas dasar menjaga independensi pers. Dalam sekala pengondisian, saya bisa saja mengambil momen untuk menguatkan cerita kejadian, dengan memberhentikan mobil tersebut, dan memetakan peran orang orang terlibat dengan pelaku, dan korban, dalam konteks untuk memberi pelajaran.


Embodying, adalah sebuah fase saat kita berada dalam proses pembelajaran dan berkesadaran. Merasakan sekitar menjadi diri kita, dan jika kita melambatkan lagi laju pikir kita, kita akan mulai melihat gambaran, atau peta, dan jika lebih dilambatkan lagi, maka akan terlihat pola yang menyebabkan sebuah peristiwa bisa terjadi. 


Pelambatan atau delay, bisa dijelaskan dalam sebuah cerita pembelajaran bersama systems thinking. Secara logika, pembelajaran ini bukanlah hal yang serumit pembelajaran fisika kuantum misalnya. Yang rumit adalah ketika kita harus bisa meng-embodying pembelajaran ini dalam kehidupan sehari hari (di masa datang). Kehidupan sehari-hari yang seringkali terjebak pada ruang momen sebab-akibat, padahal banyak hal berlaku sistemik, sudah berlaku lama, berulang. Kadang sesuatu yang berlaku berulang, memiliki perluasan sehingga banyak yang terlibat, dan menjadi kompleks. Di situlah skill embodying menjadi perlu untuk melambatkan respon pikir, rasa, dan berkesadaran kita, agar bisa memiliki gambaran lebih utuh atas kondisi yang sedang terjadi. 


Dalam suasana yang terlihat kompleks, apalagi di sana banyak terjadi polarisasi dan kondisi silo, khususnya saat organisasi masi di level terendah berupa titik titik fungsi, belum jadi organ, skill embodying harus terus, terus, dan terus dilatih, diulang, dirasakan. Awalnya mungkin terasa seperti kerumitan adalah energi yang liar, lalu kita arahkan menjadi energi yang memiliki awal dan akhirnya a.k.a memiliki arah. Dan seringkali memang tak linear, tapi tersusun dari kumpulan cycle proses.  Saat kita berada dalam proses yang memiliki awal dan akhir, sejatinya kita sudah berada dalam posisi yang baik. 


Saat kita memiliki arah, maka kita sudah memiliki peran dalam semesta. Dalam dunia digital, maka kita sudah bergerak jadi warm data. Minimal sudah ada arah ke sana. Minimal kita sudah mulai menjadi agen mestakung.


Lalu teringat dengan apa yang dilakukan oleh supir minibus yang mencoba memaksakan diri mengambil jalur dan hampir menyelakai pemotor lain, maka ada gambaran baru yang muncul. Ada pembelajaran yang didapatkan, bahwa keberadaan saya di posisi pengamat adalah momen untuk menenangkan pemotor, yang mungkin saja bisa responsif menyerang kembali pengendara mobil. 


Peran kita mungkin kecil. Tapi bisa menyelamatkan hati, yang kadang luasnya bisa seluas samudera.

No comments: