Saturday, April 10, 2021

Hikmah Kebijaksanaan



Kepintaran individual semakin ditinggalkan. Collective intelligence kini semakin digalakkan karena bermanfaat untuk jadikan sebuah organisasi, bertransformansi menjadi organ artifisial, yang memiliki dampak langsung pada pengaturan kesadaran komunal.

Saat melakukan perjalanan yang jauh  atau melalui jalan yang belum kita lalui, biasanya, ga selalu, kita  akan melewati satu fase dimana kita menemukan "focal point" dari perjalanan yang menjadi ikon pengingat. Pengingat atas perjalanan yang telah kita lewati di masa depan. Focal point punya makna yang sedikit berbeda dengan point of interest. Karena focal point bisa terjadi setelah melalui proses perubahan komposisi dan struktur, bukan hal yang bisa dipaksakan seperti terbentuknya point of interest di sebuah komposisi visual. 

Untuk meraih proses yang ber-focal point, tentunya membutuhkan elemen pembentuk proses yang memang saling berkait, saling mengukur, dan saling memberi kontribusi. Masing-masing memiliki porsi berbeda di setiap fase proses yang terjadi. Hilangnya kontribusi sebuah elemen tentunya akan menjadi sebuah jeda proses yang memengaruhi rasa. Jika point of interest itu karakternya biasanya ditentukan oleh angle yang melihat, sebuah komposisi terlihat cantik dari sudut pandang tertentu, maka focal point itu terlahir dari perjalanan, muncul dari sebuah proses. Bisa dinikmati dari berbagai angle

Saya bisa menceritakan beberapa proses tentang terbentuknya focal point, tapi biarlah itu saya ceritakan di tulisan saya yang lain nanti, saat momennya tepat. Kali ini saya membuka tulisan dengan bahasa focal point, untuk menuju inti tulisan (biasa lah orang indonesia sukanya deduktif, inti belakangan), yaitu bagaimana mencapai sebuah proses yang memancing kita untuk berada di kesadaran tertinggi. 

Saya mengambil frase "hikmah kebijaksanaan" sebagai judul tulisan ini. Kata ini bukan main-main. Kata yang hanya kumpulan orang dalam kesetaraan yang bisa menemukan hubungan  antara hikmah dan kebijaksanaan. Kata ini  adalah kata baru pada jamannya (jaman melepaskan diri dari penjajahan fisik dan ketergantungan pada pelindung berskala global), walaupun saya yakin sekarang ini makna kata hikmah kebijaksanaan (kembali) seperti masih di alam ruh, belum ke alam janin untuk dilahirkan kembali. Yap.. belum. Bukan  tidak. Bukan sudah mati.

Frase yang berhasil menjadi "juara 5 besar" dalam pengisi  dasar negara tentunya punya dampak yang besar terkait dengan momen dan pembentuknya. Dalam sebuah momen yang tidak berhikmahkebijaksanaan, tentunya tidak akan menimbulkan focal point pada momen yang bisa saja mengatasnamakan dasar negara, tapi sejatinya menjadi penyebab sebuah kegagalan bertumbuh, bertindak, bahkan bergenerasi. Saya akan lebih fokus pada bagaimana hikmah kebijaksanaan terbentuk secara kolektif. Sama sekali tak akan muncul jika dilakukan dengan sendiri-sendiri. Kenapa? Coba kita urai.

Hikmah sendiri lahir dari sebuah proses, atau dalam kata lain, harus nyebur dulu untuk bisa tau benang merah dari sebuah proses yang (harus) berjalan. Kadang saat tercebur, kadang ada yang tenggelam, tak memiliki alur dalam prosesnya,  tapi ada yang kadang  menyelam, menemukan alur, dan secara senyap sampai di tujuan, dengan nafas yang terengah tentunya, lalu diulang lagi, terus menerus. Terus diulang sampai ia menemukan cara agar menyelam tidak terengah, dan tetap bisa silence. Karena mengeluh dan meramaikan suasana menyelam akan mengganggu konsentrasi saat melakukan penyelaman. Akhirnya, pada satu titik, entah karena fisiknya sudah mampu menyelam hingga itungan 2 digit menit seperti saudara kita di Bajo dan di tim-tim khusus, atau kah dia punya tim penyedia oksigen di dasar laut, itu adalah sebuah benang merah yang menguat di sela proses yang terus dilatih (dan diulang), merasuk hingga muscle memories.  

Jangan tanya tentang rasa sakit saat seseorang mencapai dan menemukan benang merah  dalam berproses. Jangan tanya kenapa kita mendapatkan hikmah dari proses yang kita jalani, karena jawabannya akan sangat langitan sekali. Karena hikmah adalah kerja semesta, yang di-trigger oleh komponen semesta yang bertasbih (yang memiliki kesadaran tertinggi), sehingga isi hidupnya adalah pengabdian pada Entitas Infinit Penciptaan.

Lalu di mana kebijaksanaan itu? Tentunya kata sakti kedua ini pun tak lahir dalam proses berkesendirian. Jika kebijaksanaan dianalogikan sebagai wadah, ia haruslah wadah yang mampu mewadahi tak hanya keragaman, tapi juga sekaligus kesetaraan, dan mewadahi  hasrat. Keragaman, kesetaraan, dan hasrat, adalah 3 elemen yang bisa menguatkan diri, sekaligus juga bisa menghancurkan. 

Tanpa kebijaksanaan, 3 elemen ini akan mengaktifkan diri sebagai bom waktu. Kapan meledaknya? Ya bisa langsung meledak, jika tak ada yang memiliki hikmah dalam wadah tersebut. Hikmah berlaku sebagai pengerem, kebijaksanaan berlaku sebagai gudang peledak, yang bisa mengubah peradaban, bisa sangat cepat. Dalam hitungan semesta: Kun fa yakun. 

No comments: