Sunday, February 28, 2021

Indonesia itu Negara Superpower ;)



Kembali lagi saya memberi judul tulisan yang edgy, agar bisa langsung di-notice oleh rekan yang membaca. Setidaknya saya memulai tulisan dengan niat berdoa, agar bisa diaminkan bersama. Tentunya jika sudah berupa doa, itu bukan lagi sebuah harapan untuk berpindah dari utopia satu ke utopia lainnya, bukan? ;)


Sudah terlalu banyak pembahasan (atau mungkin pembelaan) bahwa Indonesia ini diberkahi dengan kekayaan alam dan materialnya yang bisa mengalahkan ratusan negara di dunia, tapi (katanya) warganya ga bisa mengelolanya. Ada juga bahasan bagaimana kekayaan plasma nutfah dikonservasi, dan rencana besar pemetaannya. Dipetakan untuk dijadikan base untuk bargain value di era transaksi berdasarkan kekuatan modal dasar sistem database digital sebuah bangsa.


Coba kita lihat dari sudut lain. Sudut yang jarang kita bahas, tapi mungkin hampir tiap hari kita lalui, bahkan rasakan. Apa sih kekuatan Indonesia, atau kekayaan Indonesia, yang tiap hari kita nikmati, tapi tak pernah diukur sebagai modal untuk menjadi kaya, atau bahasa naifnya, terlihat lebih di negara lain? Tak lain dan tak bukan adalah rangkaian aktivitas mengukur kita.  Bangsa ini senang untuk mengukur. Macam-macam satuan ukurnya. Bahkan yang terkenal, “Asta Kosala Kosali”, adalah sebuah sistem ukur yang bisa mengalahkan konstanta seperti “golden ratio-nya Fibonacci”. Mengalahkan dalam konteks penggunaannya untuk aktivitas berporduksi di masyarakat nusantara, khususnya yang memiliki akses dengan ajaran Hindu di masanya.


Itu baru Asta Kosala Kosali. Sebuah sistem ukur berbasis rasio badan dan aktivitas manusia. Masih sangat banyak sistem ukur yang bisa digunakan untuk mengukur dimensi, berat, bahkan unsur-unsur intangible seperti “hari baik-hari buruk”.. bahkan mengukur chemistry antar manusia pun bangsa ini memiliki sistem ukurnya, seringkali dikemas dalam atmosfer gosip dan ghibah :D.


Tentunya tak perlu dulu membahas afirmitas dari sistem ukur tersebut, apalagi sistem-sistem ukur yang berlaku di lingkup kecil. Ada dulu saja, notifikasi dulu saja. Itu harusnya sudah bisa kita syukuri. Sistem ukur ini secara tak langsung adalah benteng, atau bahasa digitalnya, adalah algoritma penetral, yang bisa membantu Indonesia ini ga terpuruk amat dalam jebakan algoritma pemecah ikatan-ikatan sosial dalam sebuah operasi shaping the pattern-ya para bohir-bohir anti teritori fisik,  yang ingin ambil keuntungan sepihak di era revolusi digital.Beberapa konstalasi sistem ukur ini berdiri sendiri, seperti sistem ukur yang tersanding di primbon Jawa, atau sistem ukur asta kosala-kosali yang sudah kita sebutkan. Saya ingat juga di cerita Kho Ping Hoo dengan ukuran -seper… -seper.. nya. 


Cara mengukur dalam sisi lain adalah cara menyambungkan cerita. Dari sisi ini, bisa terbayang bahwa bisa bercerita juga adalah sebuah cara memperkaya diri, menguatkan data di sebuah kumpulan data yang berpola. Saat ini, setelah banyak yang berbagi ilmu tentang cara berkenalan dan mengolah data, lalu menyusun dan "menghidupkan" kumpulan data (yang sudah dikenal) tersebut dalam sebuah literasi. Proses ini terus berlanjut dengan bagaimana kemampuan literasi ini menjadi 4 dimensional, yaitu tak hanya memengaruhi peer to peer (yang memiliki medium-antara berupa ukuran tertentu), tapi juga membuat data menjadi bersifat holistik dengan kemampuan men-storytelling-kan data tersebut dalam sebuah produk yang sesuai dengan konteks.  


Itu baru yang tertulis. Sistem ukur yang tidak tertulis tentunya lebih banyak, bahkan bisa menjadi nilai mengikat di sebuah sistem keluarga. Bagaimana sebuah keluarga mengukur kapan anaknya harus disunat, kapan sang ayah harus memulai proses menanam dan memanen, berapa lama sang ibu harus menyimpan cadangan makanannya, semua ada ukurannya. Ukuran-ukuran ini lebih banyak terkonversi dalam nilai-nilai budaya, dan terbungkus dalam sistem kepercayaan (belief), sehingga menjadi sebuah materi yang intangible, dan relatif menjadi agak rumit untuk diurai, karena lapisan verifikasinya menjadi berlapis.


Jika saja sistem ukur ini diletakkan dalam konteks pengisian database terkait aktivitas di jaman digital ini, pola-pola yang digunakan tersebut akan memperkaya sebuah konstalasi sistem dan daya tawar di sebuah civil society. Saya teringat dengan sebuah sesi dengan tim yang sedang mengonservasi aktivitas sebuah suku yang tinggal di tengah laut. Mereka memiliki sistem ukur yang relatif advance, karena menggunakan perbandingan rasi bintang hingga ke level rasio untuk ritme aktivitas melaut mereka. Aktivitas melaut pun dibagi menjadi beberapa bagian yang terintegrasi dalam sebuah budaya mematangkan sumber daya manusia angguta suku mereka untuk lebih agile, sustain, dan integrate dengan ekosistem mereka. Yap. Ekosistem di sini berarti juga terkait dengan penguatan rantai makanan (memakan-dimakan), terkait dengan rantai konsumsi. 


Sebuah konstelasi yang mengikat aktivitas, bahkan mewarnai budaya bisa menjadi penanda bahwa sebuah civil society bisa melakukan bargaining value untuk kepentingan konservasi ataupun komersil. Nilai tukarnya bisa saja berupa duplikasi dan multiplikasi sistem budaya untuk disebar di level ikatan civil society yang lebih luas (lebar), atau lebih dalam. 


Sebut saja dalam ranah kuliner, bukankah sebuah makanan adalah hasil dari proses aktivitas menakar, mengukur, menghimpun, materi-materi, menjadi bisa nikmat (berkualitas) untuk dikonsumsi? Betapa banyak sajian kuliner nusantara memainkan spektrum rasa yang lebar, sekaligus memainkan kedalaman proses dalam pembuatannya. Hampir jarang makanan Indonesia disajikan dengan mayoritas proses masak yang sederhana. Selalu ada pendalaman. Coba lihat bagaimana masakan seperti rendang dibuat, atau seperti pepeda, seperti ayam betutu, semua (dari Timur ke Barat) setidaknya memiliki satu atau lebih sajian yang dikemas ala masakan untuk Raja, penguasa yang in-charge di sebuah teritori dan keadaan. Kedalaman ini membuktikan kemampuan mengukur bangsa kita bukan di level survival. Tapi sudah sampai level “persembahan”. Level kesadaran tertinggi, berupa elaborasi rasa syukur pada keberadaannya di area of influence yang lebih besar. 


Ngomong-ngomong kedalaman sebuah civil society, maka saya tidak bisa tidak, harus mengaitkannya dengan budaya gotong royong yang ada Nusantara. Saat ini betapa kesalnya saya dengan operasi pencatutan nama gotong royong pada usaha-usaha untuk menguntungkan diri sendiri untuk memodifikasi dasar negara yang sejatinya hanya akan melemahkan kedaulatan. Rasa kesal ini hampir sama dengan rasa kesal saat nama “agama” dibajak oleh para entitas yang memonopoli afirmasi sistem kebenaran a.k.a teroris. Tak cuma gotong royong, bahkan isu kebhinnekaan pun dan semua yang berbau “tanah nusantara” berusaha dipisahkan, ala operasi pemisahan minyak-air, oleh para bohir-bohir yang tak berbasis teritori. Intinya si, pembajakan itu selalu bisa membuat kesal orang yang hidupnya berbasis pada membuat karya (orisinal). 


Gotong royong sejatinya adalah sebuah kumpulan sistem ukur untuk mengikat/membuat patok-patok sistem secara vertikal. Mulai tingkat konsep (mindset) di level dasar, hingga level event (engagement), yang terlihat di permukaan. Sistem ini bukanlah sama sekali sistem “sama rasa sama rata ala komunis” yang digaungkan oleh seseorang, yang saya yakini, memang punya misi tertentu terkait kelompok tertentu yang ingin Indonesia ini semata-mata adalah Melayu. Melayu memang salah satu “bibit pewarna” terkuat di Nusantara. Tetapi usaha untuk membuatnya menjadi “uni color” hanya akan memperlemah bargaining position, disetel untuk menuju bangsa yang mudah di-remote, padahal sejatinya dari sisi warna, daya tawar kita sudah sangat tinggi. 


Nama bisa apa saja, tapi sistem ukur vertikal seperti gotong royong ini kini (terlanjur) sedang diobservasi serius, dikonversi dalam pendekatan socio engineering, dan dibuat versi “compact” atau konstantanya, sehingga bisa diterapkan di banyak ekosistem (dan habitat). Rasa terima kasih saya pada “tetua” yang membela bangsa ini di hadapan para “tetua” bohir, di masa krisis Y2K - awal pembuka abad ke-21. Bisa dikatakan gotong royong adalah sistem yang lagi “gold” banget untuk diolah menjadi menu santapan ala raja. Tentunya masih banyak kumpulan sistem ukur lain yang sudah dikenal, tapi belum dijadikan menu untuk santapan raja. Coba perkuat kesadaran dengan tools/teknologi (sosial) yang sedang banyak dikampanyekan, lalu lihat, observasi, dan ukur dari jangkauan pandang kita, mulai dari aktivitas kita sehari-hari. Banyak sekali yang bisa diukur, daripada mengikuti (algoritma) ajakan untuk habiskan waktu mengukur dosa. Karena masing-masing entitas sudah punya tugas di muka bumi :D


Selamat menjadi warga calon negara superpower! ;)


No comments: