Friday, February 26, 2021

Menaikkan IQ




Judul yang agresif, ambisius, dan tentunya “edgy”. 


Agresif karena tiba-tiba aja si ekyu ini capang (cari panggung) jadi judul. Emang ga penting banget dibahas di era pencitraan orang sombong ga laku laku amat.  Terlihat ambisius karena bahasan IQ ini semacam bahasan yang sangat scientific dan “otak kiri” sekali. Padahal sudah sangat outdated. “Edgy” karena ya…sambungan dari karakter cari panggung, IQ adalah konten yang bisa jadi bahan disparitas. Memisahkan satu dengan lain, padahal dalam sistem yang sama.


Yap. Sistem yang sama. Yap.. penumeran IQ bisa dibilang outdated di era semua serba terhubung. Yap. karena semua sistem pendidikan di pusatnya sekarang sedang shifting. Dari yang berbasis “suhu kamar” untuk mengaplikasi teori, menjadi suhu kompor, siap untuk bertarung di dunia yang serba diverse. Siap bertarung dengan entropi sistem. Pemikiran dipersiapkan untuk menghadapi hal-hal yang polanya tak bisa ditangkap oleh kesadaran setengah. 


PR semua pencinta ilmu saat ini adalah bagaimana menjadikan ilmu sebagai alat peningkat value di area of influence-nya. Kadang ilmu yang tinggi jika berada sama-sama di lingkungan ilmuwan berilmu tinggi ya valuenya kadang “meh” juga. Khususnya jika memang tak ada mission dan dimensi waktu yang membatasi sebuah irisan himpunan manusia berpikir tersebut. 


Sedangkan PR semua pemikir (bebas dan sistem) yang terkait dengan hubungan antar manusia adalah saat bagaimana nanti “tidak ada lagi uang”. Yap. Masih berupa frase. Bukan sebuah kondisi yang terafirmasi. Tapi sebagai sebuah skenario, akan selalu bisa dan masuk akal. Di saat semua saling terhubung, sebenarnya tak perlu lagi adanya proxy bernama “alat tukar”. Uang adalah sebuah “batu nisan”, bukan lagi tikum (titik kumpul) orang untuk melakukan pertukaran nilai. Dahulu yang dinilai adalah nilai kebergunaannya di zona waktu yang tidak luas. Dalam dunia yang (sebenarnya) tak lagi membutuhkan teritori, uang kini semakin menjadi penanda posisi yang membantu server searching engine untuk mendapatkan uang dari adsense yang kembali dikirim ke posisi pemilik uang, untuk ditarik uangnya.


Kondisi era tanpa uang tentu saja menantang. Menantang setiap orang, mulai dari level personal, kolektif, kolaboratif, hingga ke himpunan civil society terbesar  (dan terkuat) harus memikirkan value mereka masing masing. Berpikir tentu bukan lagi dengan IQ yang dibanggakan pada masa lalu. IQ saat kondisi ini terjadi malah menjadi divider yang membuat sebuah civil society tersegregasi. Berpikir dalam ranah sistemik akan membutuhkan kerja kolektif. Kerja kesadaran, kecerdasan hati, kecerdasan badan, kecerdasan spiritual, yang mampu menyelesaikan koneksi-koneksi vertikal untuk urusan pengikatan data. IQ hanya efektif untuk mengikat / membuat jaringan konektivitas di level horisontal yang cenderung hierarchical. Sebuah himpunan yang berintensi untuk memanjakan ambisi dan pencarian ter-ter- lain yang bisa meluaskan jaringan horisontal.


Kekhawatiran terbesar saat barter value ini terjadi lagi adalah peningkatan entropi sosial karena seperti era perburuan, unsur fisik (material) kembali menjadi andalan untuk mengafirmasi makna kebenaran. Intensi manusia seringkali-bahkan selalu beresultan pada afirmasi pada keberadaan faktor-faktor material yang menempel. Intensi ini diperkuat oleh respon alami yang dimiliki oleh setiap individu secara berbeda sehingga banyak waktu yang digunakan untuk adaptasi. Saya masih optimis era saling perang-menghabisi untuk menguasai tidak akan terulang lagi, karena perangkat pengukur kualitas civil society sudah begitu maju. Akan ada sanksi alamiah bagi para pelanggarnya. Yang saya khawatirkan adalah justru perusakan  dan penguasaan banyak terjadi pada kelompok-kelompok elit kecil yang menjaga marwahnya. Marwah yang dibangun dengan intelejensi berbasis material, yakni IQ. 


Jadi penutup tulisan ini adalah jawaban judul tulisan ini. Bagaimana cara menaikkan IQ?  Bisa banyak, salah satunya rekayasa genetik, atau bisa dengan support systems, jika ingin lebih instant. IQ disini tentulah bukan kemampuan otak, tapi kemampuan area of influence kita mengonsumsi data, pola, dan respon. Apakah ketiga hal tersebut bisa memancing pemilik area of influence untuk mengolahnya menjadi momen yang menaikkan value dan bargaining position? Atau hanya untuk dijadikan koleksi memori di otak yang membuat darah semakin kental?



No comments: