Sunday, February 21, 2021

Meng-hack Ego



Hacking, atau peretasan - dalam bahasa Indonesia (based on Google Translate), sejatinya adalah proses menempelkan diri pada entitas asing melalui jalan, yang dibuka, berdasarkan pola yang sudah dikenal. 


Entitas asing yang diretas biasanya adalah objek sebuah operasi yang bertujuan untuk memindahkan value dari entitas tersebut ke entitas lain, atau bisa juga lebih ke sebuah simulasi untuk memetakan potensi yang tak disadari. Bisa potensi baik, atau juga potensi buruk. 


Pada konteks kekinian, dimana sebuah entitas yang terkait dengan dunia digital akan terkoneksi ke beberapa platform berbasis protokol keamanan yang berbeda, maka peretasan bisa memiliki fungsi yang baru. Fungsi tersebut memperkuat akuntabilitas sebuah entitas, menjadi memiliki lapisan-lapisan pola respon. Lapisan pola respon ini membuat sebuah entitas lebih adaptif dan akuntabel. 


Dalam sebuah dialog antar sahabat yang ditayangkan di youtube, ada bahasan menarik tentang hacking-gene. Bagaimana memetakan ulang pola pola gen unggulan untuk memperbaiki sebuah generasi. Metode ini sudah diterapkan tak lagi dalam ranah purwarupa, tapi sudah aktualisasi program untuk peningkatan kapasitas sumber daya, dalam hal ini atlet untuk pemenangan kompetisi olahraga. Bagaimana atlet dilatih mulai dini, dan diberi asupan makanan GMF (Genetically Modified Food) yang bisa gradual membuat gen dominan atau pilihan, bertumbuh dan menjadikan profil atlet yang ideal. Yap. Profilling tak lagi hanya urusan pemetaan karakter dan potensi interkoneksi sosial saja. Profilling sudah jauh melangkah ke arah pembentukan peta demografi ideal berbasis rekayasa fisik sumber daya manusia. 


Dalam konstelasi peretasan, hampir bisa dipastikan tak ada yang berlangsung seketika, atau bahasa sononya, instant. Kecuali memang pola-pola yang “ditempel” sudah sangat dikenal dan terknoneksi dengan database yang menyimpan kombinasi pola-pola respon. Peretasan adalah sebuah proses yang gradual, berlapis, dan yang pasti memiliki dampak gradual, dan termonitor pertumbuhan pola-pola responnya.


Kembali ke esensi peretasan, adalah untuk mengenal kembali pola dan membuka jalan baru untuk penguatan respon-respon. Seperti halnya re-mapping ECU pada mobil. Re-mapping tak selalu bertujuan menguatkan spektrum tenaga mobil, tapi bisa juga untuk memperkuat respon lainnya pada mobil. Tujuannya tak lain dan tak bukan untuk menjadi adaptif dalam situasi yang terlihat alami, padahal sudah terskenario. 


Dalam sebuah situasi yang genting diperlukan sinergitas antara mind, heart, dan intention (keinginan). Mind sangat terkait dengan susunan data. Heart sangat terkait dengan koneksi kesadaran dan interkoneksitas diri dan lingkungan (alam + sosial). Sedangkan intensi sangat terkait dengan respon keingan saat receiving, dan giving.  Sinergitas ini akan menjadi tumpul saat sistem pendukung yang melekatkan ketiga elemen , yaitu ego, terkunci dalam alam bawah sadar. Tumpul bisa jadi saling tak terkoneksi, atau bisa jadi memang berjalan lambat karena gangguan alter ego yang memberi aliran energi pada memori.  


Ketajaman sinergitas mind, heart, dan intention ini bisa diasah, dijaga, dan dikembangkan menjadi kombinasi komposisi sinergitas untuk menyikapi respon sesuai kombinasi yang dilatih. Salah satu cara yang efektif tak lain dan tak bukan adalah dengan meretas sistem pendukung, dalam hal ini ego. Peretasan ego bisa dengan memetakan ritme, dan mengombinasikannya dengan memori sadar dalam sebuah  medium bernama mindfulness


Ritme selalu terkait dengan momen. Momen selalu terkait dengan konten dan waktu. Di sisi lain, memori sadar bisa dipetakan dengan melatih kontrol fisik, gestur, hingga titik-titik terkecil yang membentuk sebuah batas rasa. Mindfulness merupakan sebuah proses yang melatih ego untuk merasakan batas, bentuk, dan pecahan secara terus menerus, hingga alter ego tak lagi menjadi sumber energi terpantiknya simulasi-simulari rasa (lain, yang tak dibutuhkan) dari alam bawah sadar.  


Melatih ego untuk merasakan batas, bentuk, dan pecahan yang efektif adalah dengan menjalankan latihan fisik berpola dan bertarget. Bisa berpola individual untuk menguatkan memori, bisa kolektif untuk menguatkan respon.  Salah satu target yang bisa dilatih adalah melatih batas-batas gestur tubuh pada titik maksimal, dalam hal ini, mengenal rasa sakit (pain) dan rasa sakit (hurt) secara lebih faktual. Pembiasaan diri pada batas-batas maksimal akan mengurangi celah-celah misleading-nya sebuah ego pada fungsinya sebagai tools perekat sinergitas mind, heart, dan intention



Sebagai kata penutup, karena itulah, saya senang bersepeda menaiki bukit, menikmati tanjakan, kayuh per kayuh. Artikel ini adalah sebuah jawaban yang paling (meta-) scientific  (menurut saya) untuk rekan yang bertanya, “Kok senang amat gowes nanjak? Single speed pulak? Tolong jelaskan dengan logis”.. 








No comments: