Sunday, February 14, 2021

Menanam Bibit di Puncak Gunung



Apa arti kesombongan, jika kebanggaan itu harus diungkap untuk menjadi pagar generasi. Apakah para pendaki sombong karena mereka ada di langit? Apakah gunung sombong karena ia terlanjur jadi pasak bumi?


Saya teringat dengan mimpi yang saya alami sesaat sebelum salah satu anak saya lahir. Saya pergi ke Gunung Semeru, dan saat melalui Ranu Kumbolo, saya dititipi bibit oleh seorang nenek dengan kudung yag dibelit di kepala (khas wanita muslim jaman pergerakan NU dan Muhammadiyah di jaman kemerdekaan), untuk ditanam di puncak. Saya iyakan saja, toh tinggal tanam, saya tak disuruh menjamin bibit itu tumbuh dan merawatnya.


Mimpi itu berakhir saat saya baru saja berbalik dari mengemas tenda, sesaat setelah menatap puncak Semeru. Saya dibangunkan oleh panggilan interkom dari penjaga piket kamar operasi. Operasi sudah selesai, pihak keluarga dipersilahkan melihat kondisi. Yak. Saya selama operasi duduk di mushola kecil dekat ruang tunggu. Karena saya tak boleh menemani istri yang saat itu memang kondisinya harus melewati tindakan khusus karena persalinan premature-nya.  Saya berdoa di mushola kecil itu, tertidur sebentar, dan sekilas mimpi Gunung Semeru itu hadir. 


Saya rasa setiap orang tua memiliki momen spesial ketika sang anak lahir. Segenting-gentingnya tugas ketika anak lahir, momen akan selalu ada dan dikenang. Bagi saya, momen kelahiran anak bukan hanya tanda memasuki gerbang kehidupan baru, tapi juga menjadi soal baru yang harus dijawab. 


Anak adalah pesan Ilahi melalui semesta perempuan. Ibu. Anak adalah pesan yang kadang belum terbuka. Menanti pesan terbuka bisa jadi sebuah pelajaran lain lagi. Anak tak cuma “bidadari atau malaikat” yang dititipkan untuk akhirnya menjadi manusia. Anak adalah pondasi pikir kehidupan kita. Bagaimana hidupnya menjadi variabel berpikir yang terus melengkapi jalannya algoritma-algoritma aktivitas kita. Variabel yang kadang tak harus dijawab x sama dengan berapa, dan y sama dengan berapa. 


Kadang sebuah perhitungan berlangsung untuk menjadi penguat akuntabilitas kita. Perhitungan yang bisa mengisi waktu agar memudahkan kita di hari pertanggungjawaban. Momen ter- stock opname-nya semua isi hati dan kehendak.


Akuntabilitas di jaman dulu, di hari ini, dan di hari depan konteksnya akan selalu berubah. Hal yang tidak berubah adalah tentang keterhubungan, kesinambungan, dan kejernihan dari sebuah cara dan proses berpikir dan berkarya. Pertanyaan bersama untuk kita yang masih hidup, bagaimana kita akan mengukir alat ukur yang bernama "akuntabilitas" untuk menjadi alat barter di era super digital, era tanpa uang? Akuntabilitas bukanlah tentang nama baik. Tapi lebih kepada simpul-simpul. Nama baik masih bisa dirusak oleh proxy, sedangkan merusak akuntabilitas akan berakibat pada jejak kerusakan civil society. 


Pondasi dari akuntabilitas adalah penerimaan atas keadaan dan kesaksian yang kuat hingga tercatat. Tercatat dan bisa menjadi momen yang penuh nilai. Nilai tambah bagi yang terlibat menjadi subjek sebuah konteks di sebuah keadaan. Lalu bagaimana cara menanamkan semangat berakuntabilitas pada anak? Salah satu jawabannya adalah selalu mengondisikan keadaan seperti perjalanan menuju puncak gunung. 


Jika membayangkan fase saat mendaki, akan terbagi tiga, menjelang mendaki, saat di tengah pendakian, dan akhir pendakian. Di lereng menjelang pendakian, banyak sekali kumpulan harap. Kumpulan harap para pendaki yang selalu melihat puncak. Bergerak ke atas menanjak menuju punggung gunung, akan banyak pertunjukan aksi yang bisa menjadi pelajaran, baik dan buruk. Banyak juga makanan yang bisa dibagikan bagi yang berbaik hati atau yang memasrahkan perjalanannya pada semesta. Saat di puncak, yang ada adalah tatapan ke bawah, tatapan pada horison yang mengelilingi, tatapan yang mengubah. Mengubah pikiran menjadi salah satu kekuatan terhebat kita. 


Mimpi dititipi benih untuk ditanam di puncak adalah sebuah pelajaran yang masih menjadi PR. Bisa jadi sebelum sampai puncak dikelilingi horison, ada baiknya menanam. Ada baiknya menunduk. Menunduk untuk menanam. Biarkan lah suara suara harap atau arahan melarang ini-itu menjadi bahan senyum. Rasanya setelah menanam, saya akan terus ke puncak untuk melihat tumbuhnya benih, atau melihat horison dengan harap yang lain. 



*) Tambahan:


Keluar dari mushola, tempat saya menanti sesi operasi, lirik lagu Semeru (dinyanyikan bersama Vivid Revolt) ini pun muncul di kepala


Semilir lembut dingin berhembus

di puncak gunung Semeru

mengingatkanku pada lembayung biru


yang turun di antara mimpi

di dalam sanubari

menanti hariku yang sepi


Terdengar alunan 

buaian sendu

titisan jiwa, aku menanti


Lihatlah mentari pagi

kini kan bersinar lagi

menentramkan asa

dalam kehangatan


Kubiarkan pagi ini membawaku

ke dalam hangatnya

nikmat mencinta...


No comments: