Monday, February 08, 2021

Carbon Market as Good Agregator



Berita tentang bencana alam memenuhi ruang layar desktop akhir-akhir ini.  Waktu untuk membuka website berita jadi lebih banyak. Bukan saja ingin mengetahui 4W1H, atau bahkan six sigma,  dari berita tersebut. Ini tentang keterkaitan antara bencana yang terjadi dengan data terbaru tentang kebijakan carbon market yang sebentar lagi akan "digelar" di ruang-ruang pikir dan kebijakan. 

Khawatir? bisa jadi, tapi tetap tidak sekhawatir resiko dari polarisasi yang dijadikan alat untuk memformalkan rasisme dalam kebijakan.  Bukan berarti salah. Tapi perbandingan antara kebijakan dan respon yang bisa muncul bisa jadi tak lagi dalam track yang sudah dipetakan. Respon yang berbasis SARA biasanya akan menghasilkan putusan/kesepakatan yang juga responsif. Kebijakan yang responsif biasanya tidak agile dalam menyikapi peristiwa-peristiwa yang bisa mengurai kesepakan. Dibutuhkan sebuah pemahaman mendalam-yang bersifat deep mind therapy, untuk menjadikan sebuah kebijakan beresiko rasis dipahami secara objektif, minimal moderat. 

Apapun kebijakan yang bermotif kebencian pada elemen SARA pasti akan terpetakan. Keinginan untuk menghilangkan salah satu (kelompok) sebagai solusi masalah adalah justru akar masalah itu sendiri. Ini seperti utopia yang menjadi penyebab sebuah habitat berpotensi untuk di-reset. Ya betul. Tak ada obat dari sebuah kebijakan berbasis SARA, atau berbasis bully (ketidaksetaraan) yang bisa disikapi dengan gradual. Harus cepat. Harus taktis. Pembiaran akan membentuk cluster-cluster baru yang..yah.. bisa dibilang hanya akan menjadi "tetelan peradaban".

Lalu balik lagi ke isu carbon market. Kekhawatiran saya pada berlakunya carbon market yang masif mungkin bukan pada pondasi pembentuan marketnya. Kekhawatiran saya lebih kepada terintegrasinya kekuatan-kekuatan yang memiliki penguasaan sumberdaya dari hulu  ke hilir, atau gampangnya kita sebut saja oligarki, untuk menjadi stakeholder utama dalam kebijakan carbon market ini. Padahal setahu saya isu ini sebenarnya justru untuk menghidupkan peran masyarakat adat dan nilai-nilai peradaban yang jadikan alam sebagai "ibu", disertai pemahaman baru pada circular economy.

Kenapa saya bisa khawatir? Gejalanya sudah ada. Counter narrative untuk isu-isu lingkungan yang muncul di media kini bertambah dengan masifnya gerakan "pemetaan pasar" oleh pihak-pihak yang saya sebut tadi. Kata oligarki sebenarnya sudah tidak tepat, karena kekuatannya sebenarnya tidak mengikat secara hukum, tapi lebih kepada ketergantungan pada aset akibat terikat kesepakatan bisnis yang tidak berbasis kesetaraan. Hal ini bermuara pada masifnya "perbudakan finansial" atau "debt market", atau bahasa sopannya, peradaban rente. 

Selain munculnya para aktivator peradaban rente, terlihat juga masifnya praktek penjualan produk harga "produsen" di level pengecer. Ini adalah salah satu ciri sebuah gerakan penguasaan peta pasar sedang beroperasi. Beruntung jika gerakan tersebut didukung oleh sistem (barrier) pendukung yang "mengawal, menjaga, dan memetakan", yang berbentuk seperti MLM atau cycle of marketer. 

Barrier ini yang akan menjaga dinamika pasar. Jika tidak, gerakan seperti ini punya potensi bersifat terbuka, dan mengacaukan peta distribusi, atau peta analisa pasar dari komunitas pemerhati pasar yang netral, atau peta yang dimiliki oleh regulator, dalam hal ini pemerintah. Karena jika salah menganalisa, berakibat pada salahnya data. Salah data bukan hanya akan hasilkan kebijakan salah, tapi juga kebijakan tersebut tak memiliki value, dan tak meninggalkan value positif (daya tawar tinggi) pada sebuah rezim pemerintahan dan civil society yang attach/mengorbit padanya. 

Saya masih menganggap kekhawatiran yang terjadi di pemetaan carbon market ini bukan masalah segenting kebijakan yang mengagregasi motif-motif SARA. Jalan masih panjang, semua masih meraba-raba tentang carbon market, bahkan para pelaku penentu kebijakan yang duduk berdasi rapi pun masi stress jika harus menghitung dampak yang terjadi saat gunung es terbesar di Antartika terpecah. Jalan masih panjang, kalo dibanding prediksi teresetnya bangsa yang mudah digiring ke isu SARA ini. Hitungannya sudah bukan lagi per bulan, apalagi per tahun. Variabel yang diukur sudah per trend-hour. Tentunya jika kita memiliki situation room - bukan awan masalah -  masih ada peluang Indonesia untuk berbenah, bahkan menjadi leader untuk isu pemetaan carbon market. Masalah dalam kerangka membangun bisa dianggap sebagai situasi. Tapi untuk kebijakan yang mengagregasi SARA, itu justru akan membuat kita menjadi negara yang berada diambang fase reset. What is that? Just find it by yourself. 


No comments: