Friday, April 16, 2021

Berkarya untuk Pencipta



Pergolakan batin bukanlah jadi alasan untuk tidak berkarya. Berkarya adalah sebuah dimensi yang berbeda. Memasuki dimensi berkarya adalah sebuah usaha untuk mengemas waktu dengan kemasan yang bisa mudah diingat, dan cukup gampang untuk dikenang.

Ketika manusia lahir, sesungguhnya telah dibekali oleh kemampuan untuk mencari perhatian. Dengan teriakan (pada umumnya) dan rasa yang dikenang oleh ibu, adalah  kemampuan yang memaksa orang untuk mengingat "perbuatan" kita sebagai jabang bayi. Unintended consequences, kalo istilah kampung tetangga. Walau kemampuan itu bukan kemampuan yang bisa diukur, tetap memberikan kesan dan rasa bahwa  teriak dan memberi rasa sakit adalah salah satu kemampuan dasar dari manusia, sejak lahirnya.

Lalu apa beda kemampuan dan karya? Kemampuan adalah sisi koin yang berbeda dengan karya, jika disatukan. Jika disatukan ia memiliki nilai tukar. Jika dipisah, ia akan jadi cerita yang membuat kita masuk ke dalam dimensi ukur.

Berkarya secara spesifik adalah proses meluaskan ruang. Apapun karya yang kita hasilkan akan memerlukan ruang untuk menempatkan karya kita, atau sekadar ruang berpikir yang dibutuhkan agar karya kita mencapai harkat dan martabatnya, yaitu sebagai sebuah pemberian. 

Karya tak lain dan tak bukan adalah sebuah proses memberi, agar semua mendapatkan kesan dan rasa. Syukur-syukur mendapatkan manfaat. 

Membuat karya yang bermanfaat tentunya menjadi sebuah kerangka bahasa yang sangat politis, jika karya adalah proses untuk memberi. Saat memberi, mengharapkan respon baik tentunya bukanlah sebuah respon yang alamiah. Seorang pemberi, atau bisa dikatakan seorang dermawan akan memberi tanpa perlu pamrih dari orang yang dia beri, yang seharusnya setara dengannya. Seseorang yang memberi, bukan selalu karena ada yang lebih dan yang kurang. Banyak yang memberi, karena ingin berbagi kesetaraan. Manfaat apa yang didapat dari memberi adalah urusan pemberi dengan Pemilik Dirinya. Urusan yang sering kali berlangsung dalam bentuk dialektika, dalam dialog tanpa bahasa.

Berkarya adalah sebuah usaha berdialog dengan Sang Pencipta. Dialog dengan yang diberi, atau siapapun di sekitar pemberian, itu lebih sekadar fase untuk bersilaturahmi, mengingat, mengikat, dan menjaga sebuah ikatan dalam sebuah kelompok. 

Saat berkarya, tentunya akan ada waktu yang diinvestasikan, yang digunakan. Bisa dikatakan waktu yang digunakan untuk berkarya adalah sebuah token dalam bahasa digital, atau jaminan untuk bisa membandingkan karya kita dengan value yang ada di area of influences kita. Dalam dimensi dunia yang isinya saling mengukur, semakin banyak ukuran yang dimiliki sebuah karya, semakin punya dampak ia di setiap posisinya, semakin warm dia sebagai data yang ternotifikasi. Tapi dunia tak hanya memiliki dimensi yang isinya entitas-entitas yang saling mengukur saja.  Dalam dimensi Penciptaan, sebuah karya adalah dialog antara waktu dan proses. Dialog ini bermuara pada penempatan diri, sebagai karya Pencipta, dalam rel pengakuan atas lumrahnya sebuah perubahan. Sebuah proses yang terus berlangsung. Mengubah suatu bentuk ke bentuk lain, agar terbentuk ingatan baru. Syukur-syukur menjadi ingatan baru yang lebih kuat. 

Jika proses Penciptaan diturunkan pada level yang jauh, jauh, lebih mikro, ia akan menjadi semacam proses reverse engineering. Dimana sang karya berkarya untuk Pencipta. Proses berkarya yang membuat kita semakin mengingat-Nya. Apapun bentuk karya kita. Tak perlu dibahas di dalam dimensi penciptaan, yang sejatinya ada di dimensi keikhlasan. 

Saat berada di dimensi keikhlasan, semua terjadi karena memang harus terjadi. We're born for the moment, atau di bahasa pasifnya, this is the moment we're born for. Beda cerita jika kita hidup di dalam dimensi entitas yang selalu ingin mengukur. Karena sejatinya, sebuah entitas yang telah mengalami proses reverse engineering, ia adalah entitas yang sudah siap.

Tuesday, April 13, 2021

Manifestasi Sentuhan




Menjauhi kebencian dan mendekati semangat untuk menjaga adalah perjuangan.


Ini bukan tulisan berbau politik. Sama sekali bukan. Saya sendiri tak punya minat untuk berpolitik, karena politik itu harus punya intensi tujuan (kadang jangka pendek). Saya merasa tujuan saya sudah tercapai. Saya hanya menikmati hidup, dan hanya ingin menjadikan dunia menjadi tempat ternikmat untuk bersyukur, karena saya ga tau tempat bersyukur lain selain nanti di alam setelah kehidupan. 

Perjalanan selanjutnya adalah tentang bagaimana terus menjaga agar tak mudah cepat tua. Tua berarti sel semakin sulit untuk beregenerasi. Saya ingin sel saya terus beregenerasi, setidaknya se-sel berpikir saya. Karena jika bicara tentang sel fisik, maka tak ada yang bisa mengalahkan gravitasi, yang menarik kita ke dimensi baru, di setiap gerak yang kita jalani. Jika saja kita sudah bisa berdamai dengan gravitasi, tentunya penuaan adalah cerita lama. Dan  gravitasi tak harus dilawan, karena melawan perubahan, percepatan, dan pergantian adalah kebodohan.

Sebagai makhluk yang memiliki dan diberi keterbatasan, tugas utama kita setelah mencapai tujuan pribadi adalah memulai menikmati untaian syukur yang terus terurai dalam elemen terkecil, mulai tiap nafas, hingga tiap sentuhan pada elemen semesta. Hidup ini tentang manifestasi sentuhan. Sentuhan adalah seperti bertemunya titik (entangled), yang bisa berkembang ke penyatuan, pergesekan, atau penempelan untuk dibawa berpindah.

Pemahaman  untuk mendalami kenikmatan dalam terurainya elemen semesta dalam beberapa kesempatan disebut juga sebagai jihad. Bagaimana menikmati pemahaman bahwa  mengurus orang tua, mencari nafkah untuk keluarga, adalah salah satu pencapaian tertinggi dalam ibadah (bersyukur atas kehadirat Sang Pencipta). 

Kenikmatan dalam memahami bisa disebut dengan sebuah proses penghayatan, proses melambatkan cycle berpikir, agar bisa entangled dengan cycle lain yang menggerakkan semesta. Cycle berpikir tak bekerja dalam lautan energi yang tak terindera. Pikiran hanya bisa bergerak karena dipancing oleh panca indera, sedangkan banyak hal di semesta yang memang tak butuh, dan tak bisa dicapai panca indera.  Panca indera bekerja dalam esensi. Tak ada esensi bagi panca indera di sesuatu yang tak bisa dikonversi dalam individu. Panca indera kita diciptakan untuk menjaga diri. Banyak hal yang tak butuh dipetakan panca indera.  Seperti di "lautan" dimensi waktu dan dimensi kebersamaan. Dimensi yang bisa mengecilkan diri kita dalam peta kerja semesta. Semesta tak hanya bekerja untuk menjaga esensi, tapi juga menjaga perekatnya, seperti gravitasi yang menyisakan waktu, dan doa yang menyisakan cahaya. 

Kekagetan kita dalam memahami hal-hal baru bisa saja menjadi sembuah momen untuk berproduksi dan bergerak cepat. Selain itu, ada momen lain yang bisa kita manfaatkan. Momen itu adalah untuk mengecilkan diri dalam memosisikan keberhasilan, atau kegagalan kita dalam sebuah momen besar berkemanusiaan. Kita sebagai individu, hanyalah 1/berapa milyar populasi manusia. Tentunya dari sisi ini kita adalah kecil, apalagi jika dibandingkan dengan umur manusia/umur bumi. Momen mengecilkan diri adalah salah satu cara untuk memasuki dan merasakan dimensi bersentuhan dengan cycle lain, kerja lain, dalam semesta. Ketika bersentuhan, maka tak sekonyong konyong kita bisa melihat peta sistem sebuah momen. Setidaknya butuh pendalaman dan penghayatan, perjuangan menyisihkan waktu, untuk entangled dengan sanad (ilmu), dengan data, dan dengan verifikasi. 

Memanifestasi sentuhan adalah perjuangan. Berjuang mengecilkan nama dalam peran, menguatkan diri dalam menjaga yang sudah terlahir "baik-baik", dan menguatkan kesetaraan dalam berkemanusiaan. Karena tanpa kesetaraan, kontribusi, dan sentuhan, kita mudah sekali untuk membenci.





Sunday, April 11, 2021

Merasakan Lebih Dalam




Kemarin saat berhenti di pinggir jalan untuk mengecek notifikasi WA yang masuk, saya dikagetkan oleh motor yang berhenti mendadak karena meghindar dari agitasi pengendara mobil yang tak mau menepi. 


Lalu tiba-tiba ada selintas pemandangan yang rasanya beda saat kejadian sederhana tadi. Seolah semua itu terhubung, seperti salah satu pelaku peristiwa adalah organ untuk pelaku/organ lain. Mungkin bisa diistilahkan dengan embodying, seolah perbedaan perbedaan yang muncul di depan mata itu hanya menunjukkan rangkaian lain, mata rantai lain. Lalu yang paling mengubah suasana, adalah ternyata terasa bahwa saya adalah bagian dari mata rantai "organ" dari peristiwa tersebut.


Apa peran saya? Secara hukum, jika terjadi kecelakaan, maka saya akan bisa menjadi saksi. Dalam sudut pandang jurnalistik, saya adalah narasumber kunci, yang bisa dianonimkan atas dasar menjaga independensi pers. Dalam sekala pengondisian, saya bisa saja mengambil momen untuk menguatkan cerita kejadian, dengan memberhentikan mobil tersebut, dan memetakan peran orang orang terlibat dengan pelaku, dan korban, dalam konteks untuk memberi pelajaran.


Embodying, adalah sebuah fase saat kita berada dalam proses pembelajaran dan berkesadaran. Merasakan sekitar menjadi diri kita, dan jika kita melambatkan lagi laju pikir kita, kita akan mulai melihat gambaran, atau peta, dan jika lebih dilambatkan lagi, maka akan terlihat pola yang menyebabkan sebuah peristiwa bisa terjadi. 


Pelambatan atau delay, bisa dijelaskan dalam sebuah cerita pembelajaran bersama systems thinking. Secara logika, pembelajaran ini bukanlah hal yang serumit pembelajaran fisika kuantum misalnya. Yang rumit adalah ketika kita harus bisa meng-embodying pembelajaran ini dalam kehidupan sehari hari (di masa datang). Kehidupan sehari-hari yang seringkali terjebak pada ruang momen sebab-akibat, padahal banyak hal berlaku sistemik, sudah berlaku lama, berulang. Kadang sesuatu yang berlaku berulang, memiliki perluasan sehingga banyak yang terlibat, dan menjadi kompleks. Di situlah skill embodying menjadi perlu untuk melambatkan respon pikir, rasa, dan berkesadaran kita, agar bisa memiliki gambaran lebih utuh atas kondisi yang sedang terjadi. 


Dalam suasana yang terlihat kompleks, apalagi di sana banyak terjadi polarisasi dan kondisi silo, khususnya saat organisasi masi di level terendah berupa titik titik fungsi, belum jadi organ, skill embodying harus terus, terus, dan terus dilatih, diulang, dirasakan. Awalnya mungkin terasa seperti kerumitan adalah energi yang liar, lalu kita arahkan menjadi energi yang memiliki awal dan akhirnya a.k.a memiliki arah. Dan seringkali memang tak linear, tapi tersusun dari kumpulan cycle proses.  Saat kita berada dalam proses yang memiliki awal dan akhir, sejatinya kita sudah berada dalam posisi yang baik. 


Saat kita memiliki arah, maka kita sudah memiliki peran dalam semesta. Dalam dunia digital, maka kita sudah bergerak jadi warm data. Minimal sudah ada arah ke sana. Minimal kita sudah mulai menjadi agen mestakung.


Lalu teringat dengan apa yang dilakukan oleh supir minibus yang mencoba memaksakan diri mengambil jalur dan hampir menyelakai pemotor lain, maka ada gambaran baru yang muncul. Ada pembelajaran yang didapatkan, bahwa keberadaan saya di posisi pengamat adalah momen untuk menenangkan pemotor, yang mungkin saja bisa responsif menyerang kembali pengendara mobil. 


Peran kita mungkin kecil. Tapi bisa menyelamatkan hati, yang kadang luasnya bisa seluas samudera.

Saturday, April 10, 2021

Hikmah Kebijaksanaan



Kepintaran individual semakin ditinggalkan. Collective intelligence kini semakin digalakkan karena bermanfaat untuk jadikan sebuah organisasi, bertransformansi menjadi organ artifisial, yang memiliki dampak langsung pada pengaturan kesadaran komunal.

Saat melakukan perjalanan yang jauh  atau melalui jalan yang belum kita lalui, biasanya, ga selalu, kita  akan melewati satu fase dimana kita menemukan "focal point" dari perjalanan yang menjadi ikon pengingat. Pengingat atas perjalanan yang telah kita lewati di masa depan. Focal point punya makna yang sedikit berbeda dengan point of interest. Karena focal point bisa terjadi setelah melalui proses perubahan komposisi dan struktur, bukan hal yang bisa dipaksakan seperti terbentuknya point of interest di sebuah komposisi visual. 

Untuk meraih proses yang ber-focal point, tentunya membutuhkan elemen pembentuk proses yang memang saling berkait, saling mengukur, dan saling memberi kontribusi. Masing-masing memiliki porsi berbeda di setiap fase proses yang terjadi. Hilangnya kontribusi sebuah elemen tentunya akan menjadi sebuah jeda proses yang memengaruhi rasa. Jika point of interest itu karakternya biasanya ditentukan oleh angle yang melihat, sebuah komposisi terlihat cantik dari sudut pandang tertentu, maka focal point itu terlahir dari perjalanan, muncul dari sebuah proses. Bisa dinikmati dari berbagai angle

Saya bisa menceritakan beberapa proses tentang terbentuknya focal point, tapi biarlah itu saya ceritakan di tulisan saya yang lain nanti, saat momennya tepat. Kali ini saya membuka tulisan dengan bahasa focal point, untuk menuju inti tulisan (biasa lah orang indonesia sukanya deduktif, inti belakangan), yaitu bagaimana mencapai sebuah proses yang memancing kita untuk berada di kesadaran tertinggi. 

Saya mengambil frase "hikmah kebijaksanaan" sebagai judul tulisan ini. Kata ini bukan main-main. Kata yang hanya kumpulan orang dalam kesetaraan yang bisa menemukan hubungan  antara hikmah dan kebijaksanaan. Kata ini  adalah kata baru pada jamannya (jaman melepaskan diri dari penjajahan fisik dan ketergantungan pada pelindung berskala global), walaupun saya yakin sekarang ini makna kata hikmah kebijaksanaan (kembali) seperti masih di alam ruh, belum ke alam janin untuk dilahirkan kembali. Yap.. belum. Bukan  tidak. Bukan sudah mati.

Frase yang berhasil menjadi "juara 5 besar" dalam pengisi  dasar negara tentunya punya dampak yang besar terkait dengan momen dan pembentuknya. Dalam sebuah momen yang tidak berhikmahkebijaksanaan, tentunya tidak akan menimbulkan focal point pada momen yang bisa saja mengatasnamakan dasar negara, tapi sejatinya menjadi penyebab sebuah kegagalan bertumbuh, bertindak, bahkan bergenerasi. Saya akan lebih fokus pada bagaimana hikmah kebijaksanaan terbentuk secara kolektif. Sama sekali tak akan muncul jika dilakukan dengan sendiri-sendiri. Kenapa? Coba kita urai.

Hikmah sendiri lahir dari sebuah proses, atau dalam kata lain, harus nyebur dulu untuk bisa tau benang merah dari sebuah proses yang (harus) berjalan. Kadang saat tercebur, kadang ada yang tenggelam, tak memiliki alur dalam prosesnya,  tapi ada yang kadang  menyelam, menemukan alur, dan secara senyap sampai di tujuan, dengan nafas yang terengah tentunya, lalu diulang lagi, terus menerus. Terus diulang sampai ia menemukan cara agar menyelam tidak terengah, dan tetap bisa silence. Karena mengeluh dan meramaikan suasana menyelam akan mengganggu konsentrasi saat melakukan penyelaman. Akhirnya, pada satu titik, entah karena fisiknya sudah mampu menyelam hingga itungan 2 digit menit seperti saudara kita di Bajo dan di tim-tim khusus, atau kah dia punya tim penyedia oksigen di dasar laut, itu adalah sebuah benang merah yang menguat di sela proses yang terus dilatih (dan diulang), merasuk hingga muscle memories.  

Jangan tanya tentang rasa sakit saat seseorang mencapai dan menemukan benang merah  dalam berproses. Jangan tanya kenapa kita mendapatkan hikmah dari proses yang kita jalani, karena jawabannya akan sangat langitan sekali. Karena hikmah adalah kerja semesta, yang di-trigger oleh komponen semesta yang bertasbih (yang memiliki kesadaran tertinggi), sehingga isi hidupnya adalah pengabdian pada Entitas Infinit Penciptaan.

Lalu di mana kebijaksanaan itu? Tentunya kata sakti kedua ini pun tak lahir dalam proses berkesendirian. Jika kebijaksanaan dianalogikan sebagai wadah, ia haruslah wadah yang mampu mewadahi tak hanya keragaman, tapi juga sekaligus kesetaraan, dan mewadahi  hasrat. Keragaman, kesetaraan, dan hasrat, adalah 3 elemen yang bisa menguatkan diri, sekaligus juga bisa menghancurkan. 

Tanpa kebijaksanaan, 3 elemen ini akan mengaktifkan diri sebagai bom waktu. Kapan meledaknya? Ya bisa langsung meledak, jika tak ada yang memiliki hikmah dalam wadah tersebut. Hikmah berlaku sebagai pengerem, kebijaksanaan berlaku sebagai gudang peledak, yang bisa mengubah peradaban, bisa sangat cepat. Dalam hitungan semesta: Kun fa yakun. 

Friday, April 02, 2021

Estetika di Dunia Reduksionisme



Beberapa situasi tak lagi bisa dipandang dari satu sisi, malah butuh kedalaman hingga ke level sub atomic untuk memahami bagaimana sebuah dialektika dan momen yang tadinya seperti menyebalkan dan tak punya makna,  ternyata memiliki nilai estetis dan filosofi mendalam.



Saya terkejut sekaligus tertawa melihat dan mendengar anak yang sedang melangsungkan zoom session di sela School From Home-nya. Saya lupa mata pelajaran apa saat itu. Ibu Guru beberapa hari sebelumnya memberi tugas kepada anak didiknya untuk membaca  Kisah Bawang Merah dan Bawang Putih. Tentunya kita sebagian besar tahu cerita itu. Lalu di saat zoom session ini Ibu Guru menanyakan pendapat dan respon anak-anak tentang cerita tersebut. 


“Kalo Bawang Putih bagaimana sifatnya, Anak-anak?” Tanya Ibu Guru

“Baik Buuu,” ujar anak-anak, kompak.

“Lalu bagaimana dengan Bawang Merah?” Tanya Ibu Guru kembali.

“Gak ada akhlaknya, Buu,” jawab anak-anak serempak.


Saya terdiam. Lalu tergelak tertawa. Bagaimana anak memahami cerita dan memberi respon benar-benar di luar dugaan saya. Saya mengukurnya dari bagaimana anak-anak begitu kompak satu suara menjawab dengan bahasa yang sama: gak ada akhlak.


Saya melihat reduksionisme


Di satu sisi baik. Di sisi lain bisa menimbulkan generation gap. Jika dulu saya, yang masih merasakan bagaimana unsur analog menguasai perikehidupan, dari bacaan, dari pengajaran, bahkan dari dogma-dogma di tataran sosial, tentunya akan menjawab pertanyaan Ibu Guru tentang sifat Bawang Merah dengan pemilihan bahasa yang akan berbeda dari rekan-rekan saya yang dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Tapi saat melihat anak berdialektika dengan teman dan gurunya, satu bahasa yang sama menunjukkan ada persamaan yang sama dalam memahami karakter-karakter yang tak sejalan dengan norma yang dijalankan anak anak. Jika tak sejalan, maka tak segan akan dianggap tidak punya akhlak sama sekali. Di satu sisi reduksionisme, di sisi lain juga ini bisa dibilang salah satu karakter umum yang “sudah dibiasakan” berlangsung dalam dialektika anak-anak di usia 10-12 tahun (anak saya saat ini ada di kelas 4 SD). Karakter umum di anak yang sedang mulai belajar berhimpun dan menyamankan dirinya dalam kelompok sosial. 


Bisa dibilang, kelas 4 ini adalah kelas yang paling kompak dari seluruh kelas yang diikuti anak saya. Sayangnya memang tak pernah ada pembelajaran offline karena pandemi. Tapi kebersamaan yang terjadi jauh lebih berkualitas di banding di kelas 1,2, dan 3. Saya bisa bilang demikian karena anak saya selalu semangat saat ingin zoom, dan setelah sesi zoom di kelas. Belum pernah ada masalah dengan pelajaran, kecuali karena masalah teknis karena sinyal jelek atau terputus. Sisanya aktivitas zoom kelas justru membuat anak semangat.


Walau begitu, saya masi terus mengawasi gejala reduksionisme ini. Melihat  dialog kolektif bisa terasa sarkas oleh generasi analog, tapi bagi generasi anak saya ini adalah kelaziman. Saya juga mengurai, bagaimana  bahasa yang lebih ber-layer, masih bisa efektif menghadapi sebuah gejala sosial yang tidak sesuai dengan norma kelompok. 


Saya tak heran kenapa reduksionisme bisa terjadi. Selain karena algoritma (sosial media) yang meredusi analisa,  bisa jadi penggunaan panca indera yang tidak komplet (hanya visual dan pendengaran secara simultan)  membuat analisa menjadi lebih pragmatis tentang sesuatu yang harusnya bisa dinilai lebih holistik. Tapi bagi saya itu bukan faktor terpenting, karena kita banyak menemukan bagaimana individu yang memiliki disabilitas pada panca indera tertentu bisa lebih tajam dan lebih holistik analisanya. Saya menduga, faktor pemahaman kesadaran atas diri dan bagaimana memanfaatkan sekitar adalah kunci bagaimana nilai-nilai holistik bisa memiliki value dan akuntabilitas yang tinggi (bisa jadi warm data, bisa gampang terkoneksi, tervaluasi, dan terverifikasi). 


Pandangan-pandangan reduksionisme ini pernah saya praktekkan dalam proses mendesain saya, jauh di masa ketika kuliah dulu. Ada masa saat saya benar-benar fokus mendesain untuk tujuan mewadahi fungsi. Nilai estetis, atau dalam dunia kuliah arsitektur dulu sering disebut venustas, seyogyanya lahir dari fungsi dan artikulasi fungsi itu sendiri. Hal yang dari luar, apalagi metafora dari sebuah hal yang tak terkait fungsi, adalah haram hukumnya. Ya. Saya pernah di level itu.


Tentunya tidak salah, dari sisi mencari nilai yang aman untuk diraih dalam mata kuliah studio perancangan. Tapi ada konsekwensi yang akhirnya saya hadapi. Saya terlalu terpaku pada referensi, khususnya untuk meraih dan menggali nilai-nilai estetis dari sebuah karya yang berbasis reduksionisme. Saya akhirnya harus berkiblat pada si A, si B, dan itu kalo saya istilahkan dengan istilah anak saya, saya sendiri akhirnya tak memiliki akhlak, pondasi sikap, dalam menentukan nilai estetis dari karya saya.



Menyelami dunia  estetis 


Peristiwa yang terjadi pada sesi zoom anak saya itu berlangsung kurang lebih seminggu yang lalu. Saya baru tulis tadi malam  setelah  membaca sebuah artikel relatif panjang tentan Kadinsky.  Artikel ini bercerita bagaimana Kadinsky menemukan “dirinya” di dalam pemahaman seni, setelah melalui fase-fase spiritual yang sebenarnya terjadii umum pada kita, manusia yang bersosial.


Umum, karena Kadinsiky menemukan nilai estetisnya melalui proses yang tidak seajaib  Gogh misalnya (yang harus gila), walau karya Kadinsky tetap “ajaib” bagi saya yang sama-sam sering menggunakan elemen warna dan geometri. Kedalaman yang diraih Kadinsky dalam sebuah hirarki sosial yang “wajar” adalah sebuah jalan keluar menurut saya, untuk kondisi-kondisi sosial yang banyak mengalami reduksionisme. 


Bagi saya, Kadinsky menemukan estetikanya dalam berkesadaran. Dalam berkesadaran untuk berinteraksi, dalam berkesadaran untuk menemukan kedalaman, dalam berkesadaran untuk merangkai pola. Di sana ada nilai-nilai estetis yang diungkapkannya dalam karya yang di setiap era memiliki kematangan dan kedalaman yang relatif identik. Tidak seperti karya saya misalnya, jika dibandingkan dulu dan sekarang, dulu dangkal sekarang agak dalem dikit, nanti (mungkin) bisa agak bisa dalam bisa bikin kelelep. Kadinsky tetap berkarya di level yang bisa diselami oleh entitas yang berkesadaran awam hingga terdalam. 


Menurut saya demikian. Btw, beraninya saya menempatkan diri saya sebagai pembanding. Ga ada akhlak. :))


Setidaknya saya tersadar. Perasaan sadar yang menggembirakan ini harus dirayakan dengan berkarya, yaitu menulis artikel ini. Tentunya banyak jalan dan simpul yang bisa dijalani dan diurai untuk memulai  meraih nilai-nilai estetis dari karya yang kita buat. Pencarian sejati yang bisa dilakukan adalah mulai dengan mengembalikan kesadaran diri. Mengukur apa yang bisa kita hasilkan di setiap level kesadaran. Mulai dari level terbawah, berkarya saat takut, terdesak, dan dalam kungkungan. Hingga berkarya di level tertinggi, ketika kita menemukan keikhlasan dan bagaimana semesta menjadi sumber energi dan ide untuk setiap nafas dan gerak yang kita lakukan. 


Saya baru ingat, di hari kemarin juga, tepat kira-kira dua jam sebelum baca artikel tentang Kadinsky. Saya bergabung di sebuah forum yang bernarasumber seorang ahli pertanian Australia, keturunan Aborigin. Beliau dalam kesadaran tertingginya, berhasil mereduksi pemahaman lokal yang terlihat rumit terkait pengelolaan tanah dan api. Bagaimana api bisa menjadi motor dan agregator untuk menghidupkan lahan. Ternyata reduksionisme tak selalu berakhir pada kebuntuan estetis. Setidaknya saat di kesadaran tertinggi, dan berkolektif, nilai estetis lahir dari bagaimana kita menghargai diri kita, dan apa yang kita nafas dan pijak. Pengabaian dari unsur -unsur yang "dipandu" oleh panca indera memang akan membuat menurunnya level kesadaran kita. Minimal munculnya rasa jenuh. Reduksionisme diri bisa jadi alat untuk menangkap tanda-tanda vital kolektif yang bisa menggerakkan kebersamaan. Mungkin bisa saya simpulkan demikan. 


Semoga nanti anak saya membaca tulisan ini. Saya belum tahu bagaimana menjelaskan padanya tentang gajala reduksionisme sosial pada saat ini. Mungkin belum saatnya. Biarkan dalam fasenya, terbang bersama seperti burung di sawah yang berpadi menguning, menikmati reduksionisme dalam skala kelompok dan imajinya. 

Monday, March 29, 2021

Power of Existences



Menguasai jurus bukan berarti menguasai pertandingan. Tapi dengan memiliki jurus, setidaknya kita bisa mulai membuka jalan.


Masih banyak yang harus dilatih. Bahkan jurus hanya (maksimal) 10% skill yang diperlukan saat bertarung. Apalagi sebuah pertarungan yang resikonya kematian. Setidaknya, keberanian (untuk mengukur) dan keikhlasan (untuk memercayakan elemen di luar diri) adalah faktor utama yang bisa menentukan seseorang bisa menguasai dan mengendalikan momen. Momen apapun itu, termasuk momen pertarungan. 


Keberanian tak bisa datang dengan sendirinya, walau ada beberapa kasus faktor keluarga, sering disebut faktor genetik, berperan dalam membentuk respon individu untuk lebih agile dalam merespon rangsangan “situasi/masalah” yang bisa mengaktifkan panca indera. Saya masih ga terlalu percaya tentang gen bisa langsung menggerakkan mindset untuk selaras dengan karakter yang ada pada generasi sebelumnya. Saya lebih percaya bawa syaraf yang ter-activate karena kita melakukan/melatih skill tertentu itu akan tercetak di gen selanjutnya dengan relatif identik, sehingga tak terlalu banyak penyesuaian yang dibutuhkan. Untuk mencapai keberanian, tetaplah dibutuhkan upaya upaya sadar yang bisa menyentuh level batas-batas manusia dalam merencanakan, berlatih, dan berkeputusan. “To make transformation in system, the systems should be tested by itself,” ujar salah satu Profesor yang sering saya ikuti untuk mendisiplinkan kesadaran saya.


Keberanian tak akan muncul saat kita tak terbiasa dengan proses, “let it go”. Melepaskan jurus yang kita miliki, mengambil keputusan dan resiko, dan menentukan titik awal untuk bertindak. Menerima resiko adalah pasangan sejati dari proses memberanikan diri. Hal ini tentunya menyangkut dengan kemampuan kita untuk berikhlas. Berikhlas bisa juga berarti melepaskan kemampuan mengukur kita, dan menjadikan elemen-elemen yang tak terukur menguasai, dan jika beruntung, mengendalikan proses yang sedang kita selami dan jalani. Keikhlasan juga bukan tentang pencarian akhir, karena saat dalam keikhlasan, kita tak lagi peduli kapan rasa sakit akan berakhir. Kesadaran mulai dikendalikan oleh memori alam bawah sadar yang membawa kita pada proses menerima hal baru yang bisa menjadi jalan baru. Keikhlasan banyak berurusan dengan alam bawah sadar, alamiahnya begitu. Ketika kita terbiasa dalam kesadaran tertinggi (menurut bagan Dr Hawkins), setidaknya akan berpasangan dengan alam bawah sadar yang juga di level tertinggi, yaitu bisa meramu data-data alam bawah sadar secara simultan, muncul sebagai ide yang tak terpikirkan dan terpolakan sebelumnya. Muncul sebagai instrumen semesta yang “seolah” mendukung proses yang kita sedang jalankan.


Setidaknya itu yang saya alami. Setidaknya itu yang terjadi saat saya berada di titik nadir, ketika kekuatan besar mencoba “menghilangkan” peran manusia biasa seperti saya. Kekuatan besar yang bisa berkata “saya bisa habiskan kamu”. Kekuatan saya yang saya sadari masi tersisa pada saat itu adalah kekuatan untuk meminta doa, dan kekuatan dari Ilahi berupa kepercayaan untuk bisa bangun di esok hari. Di titik itulah saya tersadar, bahwa bangun tidur itu bukan urusan remeh. Bangun tidur adalah sebuah tanda, bahwa Tuhan masih mempercayai kita untuk menjalani hari baru yang Ia Ciptakan. Setidaknya itu yang menguatkan saya untuk berkata, “Bismillah”.



Saya ga butuh cerita hal selanjutnya, setidaknya hidup ini adalah tentang menjaga keseimbangan, mengingatkan (syiar) pada yang tak imbang, dan sisanya adalah pertunjukan semesta (pelajaran besar) dari Ilahi. Semoga kita dijauhkan dari sifat 'istidraj, merasa bisa lepas dari Kuasa Ilahi, merasa bisa menguasai, merendahkan, dan mengobok-obok ciptaan-Nya yang lain, tak menganggap ciptaan Tuhan yang lain, yang attach pada kita, sebagai amanah (untuk kita jaga), walau barang senafas (sepersekian detik). 

Friday, March 26, 2021

Trust, Sang Penjaga Kubur (Trauma)




Lupa adalah berkah. Setidaknya demikian, kalo tak mau disebut sebuah "mesin waktu" ;)


Banyak hal yang memengaruhi memori manusia, atau bagaimana manusia mengingat momen.  Betul sekali, sebuah momen. Momen yang membuat manusia melakukan sebuah proses, atau rangkaian proses. Salah satunya proses mengingat. Mengingat adalah proses untuk mengunci rangkaian pola, data , dan respon (disingkat momen, atau bisa juga diistilahkan area perform) pada koordinat ruang dan waktu. Kuncian itulah yang diletakkan dalam peta besar, istilahnya  semesta kecil manusia yang bernama otak. Setidaknya ya begitu, hampir semua studi mengatakan bahwa memori tersimpan di otak. 

Studi lain mengungkapkan, ingatan juga bisa tersimpan dalam gerak, setidaknya dia sudah berupa reflek yang kadang muncul tak terkontrol. Bisa juga muncul karena alam bawah sadar kita ter-trigger untuk bangun, dan mengambil alih kontrol memori yang tadinya sama sekali tak kita ingat.


==

Saya ingat sekali bagaimana istri saya lupa dengan sakitnya di masa kecil, saat kehamilan anak kedua saya di tahun 2010. Istri mengalami gangguan dahsyat pada pencernaannya ketika kehamilan memasuki usia kandungan 20 minggu. Makanan sama sekali tak bisa masuk, dan mual begitu parah sehingga harus diinfus dan perut seperti kram. 

Dokter kandungan mendiagnosa melalui alat USG, terlihat memang pertumbuhan bayi mulai menekan organ pencernaan, terutama lambung dan usus halus. Dokter kandungan pun membuat surat rujukan kepada internis untuk dilakukan USG pada perut, untuk mengecek kondisi perut dan gangguan yang terjadi pada istri. Kami pun berdiskusi lama dengan Internis tersebut. Sepertinya internis belum menemukan apa yang menjadi masalah utama, penyebab mual hebat, pada istri. 

Beliau pun membuat surat rujukan, agar istri diperiksa oleh psikiater. Yes! Dokter ahli kejiwaan. Karena secara klinis, yang bisa dilakukan hanya memberi infus, dan pemberian obat anti mual dan nyeri malah membuat kondisi mual semakin parah. (Mohon maaf jika mengganggu) Muntah istri saya sudah hanya berisi cairan asam lambung yang berwarna hijau lumut. 

Saya dan istri pun keesokan hari, melakukan janji bertemu dengan psikiater. Oh iya, semenjak serangan mual hebat itu datang, istri memang langsung saya bawa ke rumah sakit, dan dirawat. Pertemuan dengan psikiater berlangsung kurang lebih setelah 4 hari di rumah sakit, atau di hari ke 5. Pertemuan berlangsung singkat. Dokter hanya memberikan 3 pertanyaan. Satu, apakah punya masalah dengan suami? Kedua, apakah punya masalah dengan mertua? Ketiga, apakah punya keluhan serupa di masa lalu? 

Bagi istri, itu adalah pertanyaan yang menggelikan. Dia menjawab ketiganya dengan nada sama, tak ada masalah dengan semua itu. Karena bagi dia suami adalah orang yang paling terdepan menjaga dia saat terjadi sesuatu di kehamilan, bahkan sebelum hamil. Suami yang membersihkan kasur bekas (maaf) muntah, menyediakan seluruh keperluan, dan yang memaksa istri untuk segera dirawat di rumah sakit karena khawatir dengan kondisi yang menurun cepat. Dan dengan mertua, hubungannya seperti teman curhat, seringkali justru curhat kelakuan suami (saya), karena  ibu saya lah yang paling mampu menasehati saya jika bandel. 

Setidaknya saya mengetik ini berdasarkan testimoni yang ia katakan ke dokter. Tentu saya geer, tapi ya Alhamdulillah kondisinya ternyata demikian. Untuk pertanyaan terakhir, keluhan sakit di masa lalu hanyalah sakit nyeri saat menstruasi tiba, tapi bukan di urusan pencernaan. Dan nyeri ini sudah didiagnosa oleh dokter kandungan dengan ditemukannya kista di rongga rahim, yang akan diambil ketika operasi kelahiran kelak. Begitu rencananya waktu itu. 

Psikiater pun akhirnya memberi surat hasil pemeriksaan yang ditujukan pada internis dan dokter kandungan.  Isinya singkat, tidak ditemukan gangguan jiwa (yes, istilahnya itu, bukan gangguan psikologis lagi), pada pasien yang ia observasi. Setidaknya rekomendasi dari psikiater membuat Internis melakukan tindakan ringan untuk menenangkan istri dengan memberikan oksigen dan frekwensi infus yang lebih rendah. Tak ada lagi pemberian obat, menurut internis, ini adalah bagian untuk meningkatkan respon daya tahan tubuhnya dalam menghadapi gangguan reflek dalam usus yang terkena pertumbuhan bayi.

Waktu berlalu. Berlalu lama. Setidaknya sebelum kelahiran, istri keluar masuk rumah sakit hingga 5 kali, dengan gejala yang sama. Akhirnya persalinan pun berlangsung dalam kondisi prematur di minggu ke-28, karena gerak bayi yang aktif, dan daya reflek usus istri yang cenderung membuat asam lambung meningkat tajam. 

Alhamdulillah anak saya yang lahir prematur tumbuh sehat, dan aktif (sekali).  

Setelah berapa 5 tahun berlalu, semua berjalan normal, lalu (kalo ga salah saat itu) kami makan malam bersama di rumah. Lalu istri bertanya, "Ada es campur ya di kulkas? Pengen ih makan sekarang, tapi takut  kram usus, kaya dulu waktu kecil." 

Saya kaget...

"Hmm.. apa? Tolong di ulang kata-kata tadi..." 

Istri mengatakan sesuatu yang sama sekali belum pernah saya dengar selama pernikahan. "Iya, pengen makan es campur". "Bukan," kata saya, "Bagian yang kram usus waktu kecil," ujar saya yag masih kaget. 

"Gue baru tahu sekarang lho, kalo yang masalah dulu nyeri haid gue pernah lihat jaman ngapel ke rumah. Tapi urusan kram perut waktu kecil, sumpah owe baru denger," ujar saya  yang kaget sekaligus mikir dalam. 

"Oh, iya. Masak sih ga tahu? Oh iya, kayaknya baru keingetan, sih. Iya...jadi dulu waktu umur 5 tahun sering kram usus kalo habis makan eskrim kebanyakan, perut murilit (bahasa Sunda, artinya : terasa muter). Tapi ya, belum pernah kejadian lagi sih, karena aku kan jaga banget kalo makan yang dingin, ga pernah tanpa disertai yang hangat. Selalu ada makanan lain yang lebih hangat," ujar dia, santai. 

Cerita ini seperti membuka peta besar di memori saya, dan tentunya di memori dia.  Ada memori yang sudah terkubur sangat dalam, bisa saya katakan demikian, karena dengan teknik observasi ala psikiater pun (yang pasti sangat ilmiah) memori itu tak bisa bangkit. Justru karena es campur, sebuah cerita yang bagi saya penting, malah terkuak. 

Saya katakan saja sama istri, "Lu harus laporan tu sama dokter yang kebingungan mengobservasi. Minimal mereka pasti tahu apa yang harus dilakukan ke pasien lain dengan gejala yang sama. Gejala kram tapi pelupa," ujar saya sedikit melemaskan diri dan suasana. 


====

Ya...Itulah sedikit cerita yang saya dan istri alami. Deep memory itu bisa menjadi sumber masalah, bisa jadi juga pengubah peta besar cara berpikir. Bagi saya lupa itu bisa menjadi kendara untuk kita memiliki peta alternatif saat memori  yang tersimpan dalam di alam bawah sadar terkuak. Melupakan kejadian bisa jadi tak harus dengan membuat antitesis pemikiran yang membuat lupa. Bisa saja lupa itu adalah hasil kumpulan momen-momen bahagia yang memagari momen sakit. Respon dari pola-pola muncul yang berasal dari deep memory bisa dipetakan dengan metode "coding memory". Istilah kekiniannya mungkin demikian, istilah lamanya adalah dengan kearifan lokal (local wisdom), yang diikat dengan konsensus kolektif (adat). Cara ini banyak dipakai oleh indigeneous tribe, dan menjadi bagian studi khusus dalam ranah socio engineering, untuk pendalaman data terkait dimensi  (ruang dan waktu) yang muncul dalam kesadaran dan ketidaksadaran.  

Tulisan ini saya tulis setelah membaca lagi beberapa catatan pertemuan saya terkait diskusi dengan beberapa kolega mengenai "collective trauma". Jika berbicara tentang trauma, tentunya timbul bukan hanya karena momen yang terkunci pada memori, tapi juga terkait dengan "tercapainya" batas batas daya tahan maksimal fisik dan psikis dalam merespon momen tersebut.

Jika sifatnya kolektif, ini sangat berdampak sistemik dalam usaha membangun kesetaraan, kolaborasi, dan kepercayaan. Dibutuhkan strategi untuk menetralkan trauma kolektif itu agar kepercayaan bisa tumbuh mengikat di sebuah himpunan. Menetralkan trauma kolektif bisa dicapai dengan banyak cara, salah satunya adalah meraih kecerdasan kolektif, dimana sebuah kumpulan sosial saling berbagi data dan respon, dan berada dalam sebuah wadah besar bernama momen berkolaborasi. Cara lain yang bisa dilakukan adalah, menjadi "best partner" untuk mendengarkan momen, yang seringkali adalah, dark moment, yang muncul tiba-tiba, saat berkolaborasi tersebut. Tentunya di momen ini akan banyak tisu dan keheningan karena saling menjaga ruang bertindak. Setidaknya itu yang saya alami, dan pelajari.

Trauma kolektif akan berbeda di setiap wilayah, atau negara. Amerika Serikat punya trauma kolektif terkait isu rasialisme. Afrika Selatan punya trauma kolektif terkait apharteid. Beberapa negara Afrika dan Amerika Selatan punya trauma kolektif terkait perbudakan. Di Asia pun setiap negara punya trauma kolektifnya. Indonesia pun demikian, dengan trauma "1965" yang masi sering menjadi trauma baru dalam hubungan sosial kemasyarakatan di saat penting transformasi digital ini. Setidaknya masing-masing dari kita ada dalam posisi (alam bawah sadarnya) masing-masing ketika berhadapan dengan trauma ini. Saya yang juga bagian/turunan dari keluarga yang tumbuh  di satu organisasi keagamaan terbesar pun punya cara untuk selalu berproduktif dalam menyehatkan civil society. 

Saya tak bisa memberikan saran apa-apa. Selain ya itu, perkuat rasa percaya, karena itu menyehatkan. Setidaknya membuat kita lupa pada hal yang membuat kita sakit, dan membuat kita ingat pada hal yang membuat kita sakit, di momen yang tepat. Kepercayaan (trust), bisa dikonversi menjadi thrust, saat intensi untuk berkolektif menghasilkan momen-momen kolaborasi.  

Setidaknya kita bisa terhindar dari permainan para bohir yang memainkan "trauma" sebagai alat untuk menguasai alam bawah sadar kita. Kita juga bisa secara sadar dan mungkin reflek menghindar untuk terjebak di momen yang bermuara pada aktivitas yang tak produktif dan tak berorientasi pada kepentingan berkemanusiaan, apalagi mempertajam naluri. Padahal itu yang kita butuhkan saat ini. Naluri (conscience), sebagai "pisau bedah" utama dalam  membuang "kanker" yang mematikan hati. 





Sunday, March 21, 2021

Balancing Journey




Proses  menyeimbangkan seringkali adalah proses yang panjang, apalagi jika setiap proses harus diukur dan dibuat peta resikonya. Jika orang menganggap sebuah proses sebagai loop, saya lebih senang menganggapnya sebagai journey


Balancing loop bagi saya adalah partner bagi reinforce loop, khususnya dalam skema architype-nya systems thinking. Banyak juga yang memosisikan balancing loop dan reinforce loop sebagai lawan. Setidaknya dua elemen ini bekerja ritmik dalam sebuah sistem. Perbedaan yang signifikan tentunya adalah yang satu mencegah terjadinya efek bola salju pada sebuah proses, satu lagi mempercepat.

Banyak hal yang terjadi pada kita tanpa disadari, khususnya terkait proses interaksi dan bertumbuh, bahkan proses "meranggas", ternyata adalah bagian dari sistem besar yang sedang mengendalikan kita pada tujuan tertentu. Tujuan ini bisa saja sifatnya mutualisme seperti lebah dan bunga, komensalisme seperti ikan remora dan hiu, dan seringkali sifatnya parasitisme, seperti germo dan para executed-humanbeing-nya. Kondisi ini bisa dibilang bisa dibilang wajar, jika dilihat dari sisi pandang bahwa simbiosis ini harus ada/eksis,  karena mayoritas tindakan kita didasarkan proses yang relatif pendek, yaitu proses bertransaksi, dan mendapatkan selisih dari transaksi tersebut.

Pendidikan dasar kita tak pernah mengenalkan filsafat dari sebuah proses. Dulu, di era analog, saat data bertukar dengan cara yang lebih alamiah, mungkin belum terlalu signifikan untuk mengenalkan filsafat. Pendidikan dasar kita seringkali memang hanya menjelaskan hal teknis terbungkus dalam teknik storytelling yang dimetaforakan. Sehingga alam bawah sadar kita memang tak terlatih untuk menangkap dan merespon sebuah peristiwa yang bisa jadi ujungnya membuat kerugian bahkan kecelakaan pada kita.

Filosofi kadang selalu menjadi "darling" dalam sebuah proses rumit. Setidaknya banyak kata-kata di dalamnya yang cocok dijadikan "quote" untuk dicetak di kaos, dan kaosnya digunakan di kafe sambil ngopi-ngopi. Sebenarnya kita sering mendapatkan esensi "filosofi" saat kita melakukan hal-hal kolektif, khususnya di sebuah kumpulan yang berkumpul dalam waktu lama. Seringkali kumpulan ini dikuatkan korsanya dengan meng-0-kan ego individu kumpulan tersebut. Ini adalah bagian "pencekokkan" makna filosofi yang instan, dengan opspek, plonco, dan kegiatan orientasi berbasis fisik. Proses ini seringkali masi dilakukan di kumpulan-kumpulan analog dan organik seperti di kampus dan organisasi pemuda kemasyarakatan. 

Tentunya teknik-teknik yang bersifat fisik saat ini punya resiko besar untuk ditolak oleh masyarakat (civil society). Kegiatan menguatkan korsa seharusnya tak lagi menekankan pada menekankan "persamaan rasa (panca indera)". Penguatan korsa sejatinya ada di alam bawah sadar, mindset, bahkan pemahaman akan "asal". Banyak hal yang bisa dilakukan di area alam bawah sadar ini. Salah satu yang paling dasar yang sering dilakukan di lembaga yang banyak berurusan dengan pengelolaan dan pengendalian mindset individu maupun kelompok adalah dengan konversi.  Mengonversi pemahaman dasar untuk menjadikan seorang individu lebih agile, adaptif, dan skeptis di ekosistemnya. Bahasa simpelnya, menjadikan individu yang lebih kritis. 

Saat bicara tentang ekosistem, tentunya akan terkait dengan "rantai makanan". Ada yang memakan, ada yang dimakan. Tentunya bukan secara harafiah, tapi secara kontrol kesadaran dan kepentingan. Akan ada pembentukan hirarki dan dialektika baru, atau kekhasan baru, yang terbentuk. Seringkali pembentukan dialektika ini bisa berdampak lahirnya sebuah civil society baru yang lebih kuat. Tapi ada juga dialektika yang terbangun menguatkan reinforce loop dari sistem baru yang lebih corrupted, membuat individu lebih terkunci dan kesadarannya turun sampai level terendah. Seringkali kita menyebutnya terkunci dalam sistem bully.

Di sinilah peran balancing loop bisa dimanfaatkan untuk mengurai simpul-simpul yang corrupt tersebut. Perjalanan peran balancing loop ini bisa sangat panjang, bisa juga sangat singkat. Panjang  saat yang diurai simpulnya ternyata terkait dengan systems besar yang relatif balanced. Bisa cepat dan pendek jika simpul yang harus diurai memang memiliki "celah" sehingga penguraian bisa berlangsung cepat. Celah dalam artian, sistem yang dijalankan ternyata memang tidak ter-blend dalam sebuah peta karakter, atau memang karakter melakukan hal-hal artificial, dalam istilah lain, belum lulus melewati "lie detector"

Melatih diri untuk memetakan situasi bisa jadi adalah sebuah pelajaran dasar dalam berinteraksi. Dengan memahami situasi, maka sebuah cerita bisa disusun, respon bisa dirangkai, dan pola bisa dimainkan. Ini penting di saat data, energi, dan koneksi dijadikan onderdil utama sebuah mesin bernama algoritma sosial. 

Saturday, March 20, 2021

Usainya Era Mencari Short Cut




Permainan logika untuk memenangkan perdebatan rasanya sudah menjadi bagian dari keseharian. Minimal saat menanggapi komen yang terlihat out of context dari apa yang kita utarakan di media sosial. Ke depan, permainan logika itu seperti music box saja. Hanya untuk dilihat di kamar tidur, sendirian. ;)


Adanya perdebatan adalah salah satu ciri sebuah kondisi dalam keadaan damai, walau ciri itu jarang kita sadari, bahkan dimasukkan bukan dalam ciri kondisi damai. Keadaan berbeda jika dalam sebuah area indeks hate speech mulai mengalahkan proses perdebatan. Atau dialektika yang terjadi (misalnya di komentar postingan social media) sudah diisi oleh pembuktian-pembuktian yang turbulence, yang sebenarnya hanya monolog. Apapun yang diposting seolah hanya berisi "saya benar, kamu salah". 

Kolom komentar di sosial media idealnya bukanlah sebuah dialog yang setara. Komentar pada postingan sosial media layaknya berlaku seperti n pada  algoritma x pangkat n. Komentar yang semakin banyak akan mengamplifikasi nilai x secara eksponensial. Saya sering mengatakan ini pada rekan-rekan yang seringkali terlalu reaktif komen di postingan yang berbau politik. Tentunya saya melakukan ini dengan offline, karena saya rasa percuma jika saya letakkan di kolom komentar yang hanya membantu mengamplifikasi posisi "lawan". 

Bagi saya, pertemuan offline akan selalu mahal dan tentunya memiliki kualitas yang lebih mumpuni daripada pertemuan di algoritma postingan sosial media. Saya sering mengistilahkannya dengan "ngopi-ngopi".  Panjang cerita kenapa kopi menjadi simbol tabayyun  (pertemuan untuk memverifikasi dan mencari kesetaraan), mungkin saya akan tulis khusus di sebuah tulisan, terkait perjalanan saya dulu mengikuti beberapa teman yang hobi menanam kopi, dan membudidayakannya. Mungkin setelah saya diizinkan Ilahi bikin touring ke Gunung Rinjani, nanti. 

Pertemuan offline akan mengikat ruang, waktu, dan tentunya biaya. Namun dalam banyak hal akan membuat dialektika berjalan lancar. Jika pun tak lancar, pengungkapan data akan membuat dialektika berjalan dan kadang membutuhkan "wasit" untuk proses verifikasi dan kesetaraan bisa terus berlangsung.  Pertemuan offline akan membuat panca indera saling berinteraksi, memberi respon. Apalagi di tengahnya disajikan teaser dan "cemilan" untuk menyambungkan dua intensi berbeda yang seolah tak berhubungan. Tapi selama ini adalah pertemuan antar manusia, rasanya ketidaksambungan ga se-absurd saat kita berinteraksi dengan entitas yang dinamakan virus corona, sang penyebab pandemi. 

Masa pandemi yang melelahkan mungkin bagi sebagian orang sudah berakhir. Sudah mulai banyak pertemuan yang dilakukan secara offline. Setidaknya pemandangan bagaimana orang mulai tak terlalu takut dengan pandemi adalah sebuah hiburan, di sisi lain sebuah ironi, karena toh protokol harus tetap dijalankan, dan virus masih belum terkalahkan. Efek vaksin mungkin akan relatif terasa di enam hingga dua tahun ke depan. Tentunya ditandai dengan melonggarnya protokol, dan peran official dalam menjaga protokol tersebut. Tapi bagi saya yang awam, progres interaksi manusia yang kembali "merapat"  tentunya membawa angin segar, karena banyak peluang yang bisa muncul. Tentunya perdebatan sehat pun mulai muncul.

Saya rasa ini akan memengaruhi iklim berpolitik kita. Perdebatan di ranah offline, tak tersiar media, namun tetap dalam rangka verifikasi data akan membuat bubble-bubble isu pecah dan tak menjadi gangguan signifikan. Orang sudah terlalu jenuh dengan amplifikasi wacana, saya rasa ini era yang tepat untuk bagaimana data yang dimiliki oleh civil society, diolah menjadi semacam pagar hidup yang mensejahterakan isi pagar, dan di luar pagarnya. Tentunya akan terlihat terlalu idealis. Tapi saya rasa data yang hidup (warm data) akan membuat civil society lebih mudah terkoneksi secara fisik. Terserah apa isi koneksi tersebut, apakah perdebatan, kolaborasi, atau bahkan mungkin adu value hingga beresiko timbulnya korban, seperti yang terjadi di Myanmar pada saat saya menulis ini.

Peristiwa di Myanmar sedikit banyak adalah cerminan bagaimana sebuah operasi yang terlalu banyak ditulis dalam perencanaan dan doktrin, menjadi bumerang dalam keutuhan sebuah civil society. Dan saya sedikit berprediksi dengan data yang saya miliki, Myanmar akan melaluinya dalam proses yang lebih panjang dari yang sebelumnya. Hal ini akibat bagaimana bubbling isu tak menjadi jaminan sebuah rencana bisa berjalan dengan matang. Matang disini berarti accomplished. Karena sejatinya sebuah rencana adalah sebuah proses untuk berakuntabel. Bisa diamati dari berbagai sisi, diimbang, diukur, dan dipetakan resikonya. 

Beda cerita dengan rencana-rencana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertemu dalam ranah offline. Akan banyak rancangan cadangan yang bisa ter-bubbling, muncul, dan menjadi solusi alternatif. Akan ada ikatan trust yang terbentuk terkait kesepakatan yang terjadi. Minimal trust untuk "memberi waktu" atau buying time. Trust ini akan mahal rasanya jika terjadi di dunia online. Buying time bukan lagi pilihan, karena seolah data sudah tergelar, terkait dengan big (and deep) data, bahkan resource dari komputer kuantum, dan kita tinggal memilih. Saya bukan sedang cerita tentang bagaimana panasnya kisah Partai Demokrat. Saya sedang cerita bagaimana kekuatan orang-orang pemegang data yang bisa bertemu di level trust itu bisa menghasilkan produk instan yang bisa saja dianggap akuntabel. Akuntabilitas adalah level pencapaian tertinggi dalam bersistem dan berorganisasi. Setidaknya itulah yang dipercaya oleh Sang Robot, dalam film Mr. Robot. 

Pelajaran penting sedang berlangsung. Bagaimana trust dan akuntabilitas bisa menyetir sebuah civil society, secara masif dan sistemik. Bagaimana memilih bukan lagi cara untuk berkuasa, dan trust menjadi sebuah entitas yang artificial dan modified. Bagaimana dunia ini bukan tentang menang kalah, tapi tentang bianglala yang berputar, kadang saat di bawah kita melihat jalan keluar, dan saat di atas bisa melihat dunia. 




Monday, March 15, 2021

Saat Karya jadi Mantra



Penekanan keinginan bukanlah kunci ketersampaian. Kadang perulangan penyampaian niat yang datar, namun konsisten, membuat wadah pendamping kesadaran menjadi wadah pendukung terkuat dalam bertindak. Seperti halnya saat melantunkan zikir yang belum dipahami artinya.

Keteraturan adalah sebuah hal yang seolah menjadi hal yang dituju oleh manusia yang ingin berada di zona "kebenaran", atau dianggap benar. Keteraturan yang dikejar biasanya ditandai dengan pola yang jelas, perulangan yang konstan, keterkaitan yang hirarkikal, atau kadang fraktal. Keteraturan ini mengurat, menadi, menjadi bagian ritme keseharian, bahkan ritme yang masuk ke dalam alam bawah sadar.

Dalam kajian lain, keteraturan justru menjadi awal kejenuhan. Keteraturan membuat kesadaran yang berada pada level "ketaatan", menjadi sebuah beban yang sering mengakibatkan depresi, keterpurukan mental  karena terkunci dalam batas-batas pikiran. Saya ingat sekali salah satu rekan, dua orang malah, pernah mengomentari status  saya.. Saat itu saya membuat status "ngasal" tentang damainya surga  jika bisa dibawa ke bumi, semua dalam kebaikan dan keteraturan. Rekan saya tersebut komentar, "so boring", dan satunya lagi "meh banget dong kalo gitu". Kebetulan mereka berdua rekan wanita. Saya kaget karena komentar ini biasanya dikeluarkan teman laki-laki yang kadang memang cenderung "edgy" saat berinteraksi. Saya berasumsi rekan wanita saya ini benar-benar mengungkapkan isi hatinya dengan apa adanya. Di situ saya merenung lama. 5 menit lah. 5 menit lama lah untuk sebuah single thought, atau mungkin "empty thought"... 

Komentar rekan saya tersebut bisa dikatakan sebagai pemicu dekonstruksi pemikiran saya pada pemahaman tentang "akhir yang baik" seperti definisi surga, atau yang setara lainnya. Tentunya sampai saat ini percaya "akhir yang baik" itu ada dan sebuah keniscayaan. Tapi tentunya tak bisa diseragamkan antara satu individu dan individu yang lain. Karena inti makhluk hidup itu ya satu, akan dan harus mengenal akhir.  Setelah itu, ya terserah masing-masing, setidaknya itu yang saya tekankan pada diri saya. Mencapai akhir yang baik bukanlah sebuah intensi menguatkan citra, atau pencitraan. Mencapai akhir yang baik tentunya dalam skala turunan terkecil, harus disusun dari proses-proses yang baik. Jika pun harus berjudi, maka harus mengenal ritme kapan kira-kira sesuatu berakhir bagi diri kita, dan di situlah kita mencoba sisi terbaik kita.

Perjalanan waktu membuat saya mulai meninggalkan pergumulan pemikiran tentang akhir yang baik. Setidaknya sampai salah satu sahabat, mentor saya, seorang yang ahli dalam bela diri, membuktikan kata-kata nya sendiri. Dia pernah berkata, "ilmu tertinggi dalam silat adalah saat seseorang tahu bagaimana cara ia mati". Dan dia telah meninggalkan dunia ini, dengan membawa pemahaman itu secara paripurna. Cara dia. Bisa saya katakan begitu.  Kejadiannya tahun lalu, dan pergumulan pemikiran saya mulai memasuki fase baru. Bagaimana menyusun rangkaian yang baik, dan menajamkan diri untuk menangkap ritme yang terjadi pada diri kita, khususnya ritme-ritme yang membawa diri kita pada "fase akhir". 

Di fase ini lah saya menemukan, bertemu, dan ditemukan oleh sebuah wadah besar, bisa saya sebut keluarga, yang mempersiapkan dan melatih kesadarannya, dengan berbagai metode. Ada yang melatih kesadaran dengan meningkatkan kedisiplinan dalam menyelesaikan komitmen-komitmen kecil. Ada yang melatih kesadaran dengan mempertajam kemampuan menyimak dan mendengar, dibanding mengungkapkan. Dan baru beberapa hari lalu, saya bertemu dengan kolega yang sedang memperdalam kekuatan kesadarannya, dengan cara membuat karya-karya nya selalu diniatkan tampil dalam level persembahan.

Yap. Apapun karyanya, walau hanya ingin mengganti air galon. Karya bukan selalu tentang ide yang menjadi materi yang tertangkap panca indera. Karya bisa jadi adalah sebuah gerak sinergis yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, dan membuat lompatan energi pada momen yang dihasilkan. Baik lompatan energi positif, atau bisa negatif. Rekan ini sangat concern di bagaimana memulai niat dengan mengaitkan diri ke pijakan dan ujung kepala ke langit. Rekan ini juga sangat concern bagaimana merasakan batasan adalah sebuah medium untuk menguatkan energi, dan yang membuat saya penasaran adalah, bagaimana membuat setiap karya sinergi/sama dengan doa, dan setiap kata menjadi mantra.

Mantra bukanlah tentang kata-kata yang memiliki makna tertentu untuk tujuan tertentu. Mantra adalah tentang keharmonisan kata dan semesta. Bagaimana kadang mewakilkan kondisi yang terjadi saat ini hanya dalam satu kata, melalui proses mindfulness. Proses merasakan batas-batas diri, batas sakit, batas ego, batas rasa. Jika kita mengetahui batas, maka kita akan memiliki rangkaian medium, yang menjadi wadah besar untuk bangkitnya energi. Jika kita berkarya dengan niat untuk berterima kasih pada kontainer semesta yang memberi kesempatan, walau sedang marah, energi kita akan menjadi penguat, dan mengubah setiap karya menjadi pengundang restu semesta. 

Atau prosesnya kadang bisa dibalik, saat kita mengulang sebuah intensi atau niatan secara teratur, terangkai hingga hitungan ribuan, seperti zikir, sejatinya ini adalah proses menyulam wadah, semakin banyak sulaman/perulangan, semakin besar wadah tersebut. Prosesnya seperti memecah - dan merangkai. Tinggal tunggu saatnya, saat batas datang, saat rasa  sakit menjadi batas yang membangkitkan energi untuk berbuat, maka wadah yang kita sulam tadi menjadi wadah yang sangat membantu kita dalam menjadikan karya kita sebagai penyambung pada semesta. 

Selain sahabat saya yang telah wafat tersebut, saya juga memiliki rekan lain yang bisa dikatakan berada di dunia yang tak bisa terlalu diungkap. Bagaimana perjalanan hidupnya menuntunnya menjadi orang yang sangat ikhlas, namun sangat cepat untuk bergerak dan memiliki teman yang banyak saat kondisi tertentu datang dan harus disikapi dengan mengerahkan energinya untuk "menjaga". "Hidup ini tentang saling menjaga," - ungkapnya di sela - sela ngelindur saat dalam perjalanan antar kota. 

Ini bukan tentang keajaiban. Ini adalah tentang "akhir" dari setiap manusia, yang memiliki keterbatasan. Akhir dari setiap makhluk yang menjadikan keteraturan menjadi candu. Kadang perilaku kita saat ber-digital adalah candu yang merusak. Butuh mantra yang berkaitan dengan socio engineering untuk memecahnya.

Setidaknya saya ga usah khawatir jika di surga nanti suasananya akan boring atau meh seperti bayangan rekan saya. Akhir "penuh mantra" yang berbeda dari setiap individu akan hasilkan rangkaian hiburan yang tiada henti. 





Friday, March 12, 2021

Quantum Business



Melepaskan semua kehendak dalam sebuah wadah kebijakan, adalah cara tercepat untuk memasuki celah dan dimensi terumit, sekalipun. 

Peruntungan kita dalam mengais rezeki kini tak hanya tergantung semata karena terjadinya transaksi. Banyak faktor yang menentukan apakah sebuah peruntungan benar-benar definit merupakan rezeki kita, atau sekadar proxy yang mengetes batas-batas kemampuan maksimal kita.

Memulai sebuah "jalan pedang" mencari peruntungan, nafkah, atau pendapatan adalah sebuah usaha yang setara dengan memulai hubungan baru dengan orang baru di hari baru. Walau kita akan berhadapan dengan orang yang sama, gaya komunikasi yang sama, tetaplah hari selalu berubah. Perubahan hari dari sisi pengamatan ruang adalah perubahan variabel-variabel eksternal dari sebuah ruang "bersuhu kamar", kalo istilah orang lab, yang akan mengubah respon pelaku/stakeholder yang berada dalam ruang tersebut, langsung maupun tidak langsung. Langsung memengaruhi respon para pelaku jika terkait dengan arah-gerak-tumbuh (fisik) dari pelaku, dan berpengaruh secara tidak langsung saat perubahan terjadi pada suasana, atmosfer, atau ambience dari sistem yang berlaku di ruangan. 

Rasanya menjadi sebuah keniscayaan dalam alam yang tidak dihubungkan oleh "status" apapun itu (status di media sosial atau status sosial), sebuah proses mencari peruntungan akan dimulai dengan kondisi saling menandai, dan berakhir pada proses saling mengikat, jika tak mau dikatakan saling melindungi.  Proses menandai bisa terjadi saat ada proses penangkapan intensi yang sama. Saat ada intensi yang sama, maka akan tergelar "jalan raja" menuju proses lain seperti saling mengukur, saling membaca batas, saling membaca lingkup, lalu dimulailah proses transaksi tersebut. Di era digital dan serba berlandaskan uang digital, proses ini akan berlangsung seolah di bawah kesadaran, merasuki sistem reflek individu, dan sistem yang agak sakral, yaitu sistem mindset

Proses "jalan raja" ini umumnya dikenal sebagai algoritma. Kumpulan formula yang mengikat data, pola, dan tentunya energi (penggerak) yang menentukan sebuah bentuk pertukaran (transaksi) dalam konteks perdagangan. Tentunya ada hal lain selain algoritma yang sering dianggap bagian dari algoritma, seperti user interface dan/atau pengalaman menggunakan algoritma tersebut. Jika dalam dunia analog pengalaman adalah guru, maka di dunia digital pengalaman adalah kumpulan pola yang bisa jadi penentu batas. Makna yang hampir sama, namun sedikit terasa menjadi lebih "berdimensi".

Dalam perkembangan selanjutnya, atau bisa dibilang dalam timeline waktu yang mungkin sebentar lagi tiba, sebuah peruntungan bisa jadi bukan lagi bagian utuh dari sebuah proses transaksi. Batas-batas pengukuran dalam menentukan kesamaan intensi sudah merupakan keuntungan saat (sebelum) kita melakukan transaksi. Kita bisa untung sebelum transaksi. Analogi simpelnya, bagaimana kita bisa membayar seluruh "buah" di "kebun" dengan harga jumlah batang pohon yang terlihat. Ini seperti tengkulak, tapi ya sejatinya,  itulah pedagang-pedagang yang bisa ambil keuntungan di dunia digital untuk sementara ini.

Betul. Hanya sementara, karena di -the day after tomorrow, saat minimal akses 5G sudah merata, maka sebuah pencarian peruntungan tak lagi hanya berdasarkan transaksi, atau peta potensi dan intensi. Peruntungan adalah sebuah gerak memecah-merasuk yang membentuk dimensi. Semua diukur tak lagi berdasarkan single-holistic variable transaction, tapi yang paling beruntung adalah yang bisa selalu menjaga "gap" menjadi energi. Jaman kini kita selalu dilatih dngan polarisasi di dunia politik. Polarisasi ini sering diistilahkan dengan tension, atau dalam konteks yang lebih produktif, dikategorikan dalam creative tension. Seiring waktu, "karet" yang mengikat tension akan memudar, dan bentuk sejatinya keluar, yaitu gap.  Sejatinya, gap adalah sebuah hal positif, yang selalu bisa membuat energi tak lepas ke "dimensi" lain. Semakin dewasa kita dalam mengelola "gap" tersebut, maka semakin terukur energi dan peruntungan yang dihasilkan. 

Ada satu yang bisa menjembatani gap atau polarisasi. Ia bernama conscience, atau bahasa Indonesia adalah nurani. Nurani ini tak selalu kita pakai dalam hal berlogika, tapi dalam hal keputusan yang terkait rasa -ter, nurani ini biasanya hadir, walau kadang tetap juga tidak dipakai. Di era super diverse, atau bisa disebut era kuantum, nurani menjadi konstanta yang bisa mengolah dimensi sebuah sistem bisnis atau transaksi menjadi lebih entangled, mudah ter-attach, dan mudah dieksplorasi untuk menjadi petilasan peradaban.


*huft, tulisan hari ini agak berat. "Tapi apa boleh buat tahi kambing bulat bulat ";), sebuah istilah yang sering diungkapkan seorang guru kimia favorit saya di Ganesha Operation, dulu.