Saturday, March 20, 2021

Usainya Era Mencari Short Cut




Permainan logika untuk memenangkan perdebatan rasanya sudah menjadi bagian dari keseharian. Minimal saat menanggapi komen yang terlihat out of context dari apa yang kita utarakan di media sosial. Ke depan, permainan logika itu seperti music box saja. Hanya untuk dilihat di kamar tidur, sendirian. ;)


Adanya perdebatan adalah salah satu ciri sebuah kondisi dalam keadaan damai, walau ciri itu jarang kita sadari, bahkan dimasukkan bukan dalam ciri kondisi damai. Keadaan berbeda jika dalam sebuah area indeks hate speech mulai mengalahkan proses perdebatan. Atau dialektika yang terjadi (misalnya di komentar postingan social media) sudah diisi oleh pembuktian-pembuktian yang turbulence, yang sebenarnya hanya monolog. Apapun yang diposting seolah hanya berisi "saya benar, kamu salah". 

Kolom komentar di sosial media idealnya bukanlah sebuah dialog yang setara. Komentar pada postingan sosial media layaknya berlaku seperti n pada  algoritma x pangkat n. Komentar yang semakin banyak akan mengamplifikasi nilai x secara eksponensial. Saya sering mengatakan ini pada rekan-rekan yang seringkali terlalu reaktif komen di postingan yang berbau politik. Tentunya saya melakukan ini dengan offline, karena saya rasa percuma jika saya letakkan di kolom komentar yang hanya membantu mengamplifikasi posisi "lawan". 

Bagi saya, pertemuan offline akan selalu mahal dan tentunya memiliki kualitas yang lebih mumpuni daripada pertemuan di algoritma postingan sosial media. Saya sering mengistilahkannya dengan "ngopi-ngopi".  Panjang cerita kenapa kopi menjadi simbol tabayyun  (pertemuan untuk memverifikasi dan mencari kesetaraan), mungkin saya akan tulis khusus di sebuah tulisan, terkait perjalanan saya dulu mengikuti beberapa teman yang hobi menanam kopi, dan membudidayakannya. Mungkin setelah saya diizinkan Ilahi bikin touring ke Gunung Rinjani, nanti. 

Pertemuan offline akan mengikat ruang, waktu, dan tentunya biaya. Namun dalam banyak hal akan membuat dialektika berjalan lancar. Jika pun tak lancar, pengungkapan data akan membuat dialektika berjalan dan kadang membutuhkan "wasit" untuk proses verifikasi dan kesetaraan bisa terus berlangsung.  Pertemuan offline akan membuat panca indera saling berinteraksi, memberi respon. Apalagi di tengahnya disajikan teaser dan "cemilan" untuk menyambungkan dua intensi berbeda yang seolah tak berhubungan. Tapi selama ini adalah pertemuan antar manusia, rasanya ketidaksambungan ga se-absurd saat kita berinteraksi dengan entitas yang dinamakan virus corona, sang penyebab pandemi. 

Masa pandemi yang melelahkan mungkin bagi sebagian orang sudah berakhir. Sudah mulai banyak pertemuan yang dilakukan secara offline. Setidaknya pemandangan bagaimana orang mulai tak terlalu takut dengan pandemi adalah sebuah hiburan, di sisi lain sebuah ironi, karena toh protokol harus tetap dijalankan, dan virus masih belum terkalahkan. Efek vaksin mungkin akan relatif terasa di enam hingga dua tahun ke depan. Tentunya ditandai dengan melonggarnya protokol, dan peran official dalam menjaga protokol tersebut. Tapi bagi saya yang awam, progres interaksi manusia yang kembali "merapat"  tentunya membawa angin segar, karena banyak peluang yang bisa muncul. Tentunya perdebatan sehat pun mulai muncul.

Saya rasa ini akan memengaruhi iklim berpolitik kita. Perdebatan di ranah offline, tak tersiar media, namun tetap dalam rangka verifikasi data akan membuat bubble-bubble isu pecah dan tak menjadi gangguan signifikan. Orang sudah terlalu jenuh dengan amplifikasi wacana, saya rasa ini era yang tepat untuk bagaimana data yang dimiliki oleh civil society, diolah menjadi semacam pagar hidup yang mensejahterakan isi pagar, dan di luar pagarnya. Tentunya akan terlihat terlalu idealis. Tapi saya rasa data yang hidup (warm data) akan membuat civil society lebih mudah terkoneksi secara fisik. Terserah apa isi koneksi tersebut, apakah perdebatan, kolaborasi, atau bahkan mungkin adu value hingga beresiko timbulnya korban, seperti yang terjadi di Myanmar pada saat saya menulis ini.

Peristiwa di Myanmar sedikit banyak adalah cerminan bagaimana sebuah operasi yang terlalu banyak ditulis dalam perencanaan dan doktrin, menjadi bumerang dalam keutuhan sebuah civil society. Dan saya sedikit berprediksi dengan data yang saya miliki, Myanmar akan melaluinya dalam proses yang lebih panjang dari yang sebelumnya. Hal ini akibat bagaimana bubbling isu tak menjadi jaminan sebuah rencana bisa berjalan dengan matang. Matang disini berarti accomplished. Karena sejatinya sebuah rencana adalah sebuah proses untuk berakuntabel. Bisa diamati dari berbagai sisi, diimbang, diukur, dan dipetakan resikonya. 

Beda cerita dengan rencana-rencana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertemu dalam ranah offline. Akan banyak rancangan cadangan yang bisa ter-bubbling, muncul, dan menjadi solusi alternatif. Akan ada ikatan trust yang terbentuk terkait kesepakatan yang terjadi. Minimal trust untuk "memberi waktu" atau buying time. Trust ini akan mahal rasanya jika terjadi di dunia online. Buying time bukan lagi pilihan, karena seolah data sudah tergelar, terkait dengan big (and deep) data, bahkan resource dari komputer kuantum, dan kita tinggal memilih. Saya bukan sedang cerita tentang bagaimana panasnya kisah Partai Demokrat. Saya sedang cerita bagaimana kekuatan orang-orang pemegang data yang bisa bertemu di level trust itu bisa menghasilkan produk instan yang bisa saja dianggap akuntabel. Akuntabilitas adalah level pencapaian tertinggi dalam bersistem dan berorganisasi. Setidaknya itulah yang dipercaya oleh Sang Robot, dalam film Mr. Robot. 

Pelajaran penting sedang berlangsung. Bagaimana trust dan akuntabilitas bisa menyetir sebuah civil society, secara masif dan sistemik. Bagaimana memilih bukan lagi cara untuk berkuasa, dan trust menjadi sebuah entitas yang artificial dan modified. Bagaimana dunia ini bukan tentang menang kalah, tapi tentang bianglala yang berputar, kadang saat di bawah kita melihat jalan keluar, dan saat di atas bisa melihat dunia. 




Monday, March 15, 2021

Saat Karya jadi Mantra



Penekanan keinginan bukanlah kunci ketersampaian. Kadang perulangan penyampaian niat yang datar, namun konsisten, membuat wadah pendamping kesadaran menjadi wadah pendukung terkuat dalam bertindak. Seperti halnya saat melantunkan zikir yang belum dipahami artinya.

Keteraturan adalah sebuah hal yang seolah menjadi hal yang dituju oleh manusia yang ingin berada di zona "kebenaran", atau dianggap benar. Keteraturan yang dikejar biasanya ditandai dengan pola yang jelas, perulangan yang konstan, keterkaitan yang hirarkikal, atau kadang fraktal. Keteraturan ini mengurat, menadi, menjadi bagian ritme keseharian, bahkan ritme yang masuk ke dalam alam bawah sadar.

Dalam kajian lain, keteraturan justru menjadi awal kejenuhan. Keteraturan membuat kesadaran yang berada pada level "ketaatan", menjadi sebuah beban yang sering mengakibatkan depresi, keterpurukan mental  karena terkunci dalam batas-batas pikiran. Saya ingat sekali salah satu rekan, dua orang malah, pernah mengomentari status  saya.. Saat itu saya membuat status "ngasal" tentang damainya surga  jika bisa dibawa ke bumi, semua dalam kebaikan dan keteraturan. Rekan saya tersebut komentar, "so boring", dan satunya lagi "meh banget dong kalo gitu". Kebetulan mereka berdua rekan wanita. Saya kaget karena komentar ini biasanya dikeluarkan teman laki-laki yang kadang memang cenderung "edgy" saat berinteraksi. Saya berasumsi rekan wanita saya ini benar-benar mengungkapkan isi hatinya dengan apa adanya. Di situ saya merenung lama. 5 menit lah. 5 menit lama lah untuk sebuah single thought, atau mungkin "empty thought"... 

Komentar rekan saya tersebut bisa dikatakan sebagai pemicu dekonstruksi pemikiran saya pada pemahaman tentang "akhir yang baik" seperti definisi surga, atau yang setara lainnya. Tentunya sampai saat ini percaya "akhir yang baik" itu ada dan sebuah keniscayaan. Tapi tentunya tak bisa diseragamkan antara satu individu dan individu yang lain. Karena inti makhluk hidup itu ya satu, akan dan harus mengenal akhir.  Setelah itu, ya terserah masing-masing, setidaknya itu yang saya tekankan pada diri saya. Mencapai akhir yang baik bukanlah sebuah intensi menguatkan citra, atau pencitraan. Mencapai akhir yang baik tentunya dalam skala turunan terkecil, harus disusun dari proses-proses yang baik. Jika pun harus berjudi, maka harus mengenal ritme kapan kira-kira sesuatu berakhir bagi diri kita, dan di situlah kita mencoba sisi terbaik kita.

Perjalanan waktu membuat saya mulai meninggalkan pergumulan pemikiran tentang akhir yang baik. Setidaknya sampai salah satu sahabat, mentor saya, seorang yang ahli dalam bela diri, membuktikan kata-kata nya sendiri. Dia pernah berkata, "ilmu tertinggi dalam silat adalah saat seseorang tahu bagaimana cara ia mati". Dan dia telah meninggalkan dunia ini, dengan membawa pemahaman itu secara paripurna. Cara dia. Bisa saya katakan begitu.  Kejadiannya tahun lalu, dan pergumulan pemikiran saya mulai memasuki fase baru. Bagaimana menyusun rangkaian yang baik, dan menajamkan diri untuk menangkap ritme yang terjadi pada diri kita, khususnya ritme-ritme yang membawa diri kita pada "fase akhir". 

Di fase ini lah saya menemukan, bertemu, dan ditemukan oleh sebuah wadah besar, bisa saya sebut keluarga, yang mempersiapkan dan melatih kesadarannya, dengan berbagai metode. Ada yang melatih kesadaran dengan meningkatkan kedisiplinan dalam menyelesaikan komitmen-komitmen kecil. Ada yang melatih kesadaran dengan mempertajam kemampuan menyimak dan mendengar, dibanding mengungkapkan. Dan baru beberapa hari lalu, saya bertemu dengan kolega yang sedang memperdalam kekuatan kesadarannya, dengan cara membuat karya-karya nya selalu diniatkan tampil dalam level persembahan.

Yap. Apapun karyanya, walau hanya ingin mengganti air galon. Karya bukan selalu tentang ide yang menjadi materi yang tertangkap panca indera. Karya bisa jadi adalah sebuah gerak sinergis yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, dan membuat lompatan energi pada momen yang dihasilkan. Baik lompatan energi positif, atau bisa negatif. Rekan ini sangat concern di bagaimana memulai niat dengan mengaitkan diri ke pijakan dan ujung kepala ke langit. Rekan ini juga sangat concern bagaimana merasakan batasan adalah sebuah medium untuk menguatkan energi, dan yang membuat saya penasaran adalah, bagaimana membuat setiap karya sinergi/sama dengan doa, dan setiap kata menjadi mantra.

Mantra bukanlah tentang kata-kata yang memiliki makna tertentu untuk tujuan tertentu. Mantra adalah tentang keharmonisan kata dan semesta. Bagaimana kadang mewakilkan kondisi yang terjadi saat ini hanya dalam satu kata, melalui proses mindfulness. Proses merasakan batas-batas diri, batas sakit, batas ego, batas rasa. Jika kita mengetahui batas, maka kita akan memiliki rangkaian medium, yang menjadi wadah besar untuk bangkitnya energi. Jika kita berkarya dengan niat untuk berterima kasih pada kontainer semesta yang memberi kesempatan, walau sedang marah, energi kita akan menjadi penguat, dan mengubah setiap karya menjadi pengundang restu semesta. 

Atau prosesnya kadang bisa dibalik, saat kita mengulang sebuah intensi atau niatan secara teratur, terangkai hingga hitungan ribuan, seperti zikir, sejatinya ini adalah proses menyulam wadah, semakin banyak sulaman/perulangan, semakin besar wadah tersebut. Prosesnya seperti memecah - dan merangkai. Tinggal tunggu saatnya, saat batas datang, saat rasa  sakit menjadi batas yang membangkitkan energi untuk berbuat, maka wadah yang kita sulam tadi menjadi wadah yang sangat membantu kita dalam menjadikan karya kita sebagai penyambung pada semesta. 

Selain sahabat saya yang telah wafat tersebut, saya juga memiliki rekan lain yang bisa dikatakan berada di dunia yang tak bisa terlalu diungkap. Bagaimana perjalanan hidupnya menuntunnya menjadi orang yang sangat ikhlas, namun sangat cepat untuk bergerak dan memiliki teman yang banyak saat kondisi tertentu datang dan harus disikapi dengan mengerahkan energinya untuk "menjaga". "Hidup ini tentang saling menjaga," - ungkapnya di sela - sela ngelindur saat dalam perjalanan antar kota. 

Ini bukan tentang keajaiban. Ini adalah tentang "akhir" dari setiap manusia, yang memiliki keterbatasan. Akhir dari setiap makhluk yang menjadikan keteraturan menjadi candu. Kadang perilaku kita saat ber-digital adalah candu yang merusak. Butuh mantra yang berkaitan dengan socio engineering untuk memecahnya.

Setidaknya saya ga usah khawatir jika di surga nanti suasananya akan boring atau meh seperti bayangan rekan saya. Akhir "penuh mantra" yang berbeda dari setiap individu akan hasilkan rangkaian hiburan yang tiada henti. 





Friday, March 12, 2021

Quantum Business



Melepaskan semua kehendak dalam sebuah wadah kebijakan, adalah cara tercepat untuk memasuki celah dan dimensi terumit, sekalipun. 

Peruntungan kita dalam mengais rezeki kini tak hanya tergantung semata karena terjadinya transaksi. Banyak faktor yang menentukan apakah sebuah peruntungan benar-benar definit merupakan rezeki kita, atau sekadar proxy yang mengetes batas-batas kemampuan maksimal kita.

Memulai sebuah "jalan pedang" mencari peruntungan, nafkah, atau pendapatan adalah sebuah usaha yang setara dengan memulai hubungan baru dengan orang baru di hari baru. Walau kita akan berhadapan dengan orang yang sama, gaya komunikasi yang sama, tetaplah hari selalu berubah. Perubahan hari dari sisi pengamatan ruang adalah perubahan variabel-variabel eksternal dari sebuah ruang "bersuhu kamar", kalo istilah orang lab, yang akan mengubah respon pelaku/stakeholder yang berada dalam ruang tersebut, langsung maupun tidak langsung. Langsung memengaruhi respon para pelaku jika terkait dengan arah-gerak-tumbuh (fisik) dari pelaku, dan berpengaruh secara tidak langsung saat perubahan terjadi pada suasana, atmosfer, atau ambience dari sistem yang berlaku di ruangan. 

Rasanya menjadi sebuah keniscayaan dalam alam yang tidak dihubungkan oleh "status" apapun itu (status di media sosial atau status sosial), sebuah proses mencari peruntungan akan dimulai dengan kondisi saling menandai, dan berakhir pada proses saling mengikat, jika tak mau dikatakan saling melindungi.  Proses menandai bisa terjadi saat ada proses penangkapan intensi yang sama. Saat ada intensi yang sama, maka akan tergelar "jalan raja" menuju proses lain seperti saling mengukur, saling membaca batas, saling membaca lingkup, lalu dimulailah proses transaksi tersebut. Di era digital dan serba berlandaskan uang digital, proses ini akan berlangsung seolah di bawah kesadaran, merasuki sistem reflek individu, dan sistem yang agak sakral, yaitu sistem mindset

Proses "jalan raja" ini umumnya dikenal sebagai algoritma. Kumpulan formula yang mengikat data, pola, dan tentunya energi (penggerak) yang menentukan sebuah bentuk pertukaran (transaksi) dalam konteks perdagangan. Tentunya ada hal lain selain algoritma yang sering dianggap bagian dari algoritma, seperti user interface dan/atau pengalaman menggunakan algoritma tersebut. Jika dalam dunia analog pengalaman adalah guru, maka di dunia digital pengalaman adalah kumpulan pola yang bisa jadi penentu batas. Makna yang hampir sama, namun sedikit terasa menjadi lebih "berdimensi".

Dalam perkembangan selanjutnya, atau bisa dibilang dalam timeline waktu yang mungkin sebentar lagi tiba, sebuah peruntungan bisa jadi bukan lagi bagian utuh dari sebuah proses transaksi. Batas-batas pengukuran dalam menentukan kesamaan intensi sudah merupakan keuntungan saat (sebelum) kita melakukan transaksi. Kita bisa untung sebelum transaksi. Analogi simpelnya, bagaimana kita bisa membayar seluruh "buah" di "kebun" dengan harga jumlah batang pohon yang terlihat. Ini seperti tengkulak, tapi ya sejatinya,  itulah pedagang-pedagang yang bisa ambil keuntungan di dunia digital untuk sementara ini.

Betul. Hanya sementara, karena di -the day after tomorrow, saat minimal akses 5G sudah merata, maka sebuah pencarian peruntungan tak lagi hanya berdasarkan transaksi, atau peta potensi dan intensi. Peruntungan adalah sebuah gerak memecah-merasuk yang membentuk dimensi. Semua diukur tak lagi berdasarkan single-holistic variable transaction, tapi yang paling beruntung adalah yang bisa selalu menjaga "gap" menjadi energi. Jaman kini kita selalu dilatih dngan polarisasi di dunia politik. Polarisasi ini sering diistilahkan dengan tension, atau dalam konteks yang lebih produktif, dikategorikan dalam creative tension. Seiring waktu, "karet" yang mengikat tension akan memudar, dan bentuk sejatinya keluar, yaitu gap.  Sejatinya, gap adalah sebuah hal positif, yang selalu bisa membuat energi tak lepas ke "dimensi" lain. Semakin dewasa kita dalam mengelola "gap" tersebut, maka semakin terukur energi dan peruntungan yang dihasilkan. 

Ada satu yang bisa menjembatani gap atau polarisasi. Ia bernama conscience, atau bahasa Indonesia adalah nurani. Nurani ini tak selalu kita pakai dalam hal berlogika, tapi dalam hal keputusan yang terkait rasa -ter, nurani ini biasanya hadir, walau kadang tetap juga tidak dipakai. Di era super diverse, atau bisa disebut era kuantum, nurani menjadi konstanta yang bisa mengolah dimensi sebuah sistem bisnis atau transaksi menjadi lebih entangled, mudah ter-attach, dan mudah dieksplorasi untuk menjadi petilasan peradaban.


*huft, tulisan hari ini agak berat. "Tapi apa boleh buat tahi kambing bulat bulat ";), sebuah istilah yang sering diungkapkan seorang guru kimia favorit saya di Ganesha Operation, dulu. 


Monday, March 08, 2021

Membedah Esensi Perubahan




Hampir semua hal datang berangsur, walau secara visual terlihat datang dengan menyeluruh. Setidaknya selalu berangsur, saat dirasakan. Kecuali hal yang sudah masuk derajat "Kun Faya Kun", tentunya. 


Hari ke-7 setelah luka jatuh dari motor, rasa sakit pada luka yang mengering, dan urat yang ketarik masih cukup jelas dan berhasil mengambil jatah kesadaran saya di tiap detail aktivitas, termasuk hingga sesaat sebelum tidur dan sesaat baru bangun tidur. Ada perbaikan, ada proses penyembuhan yang dirasakan, seperti luka yang sebagian mulai mengering, dan ada yang sudah terlepas dan meninggalkan kulit baru. Kemarin,  sudah bisa "nekad" bermotor lagi untuk mengajak anak menghilangkan kebosanan school from home-nya. 

Saya yakin ketika kejadian motor terjatuh, kerusakan itu pun datang berangsur, walau dalam waktu sekejap. Jika diambil dengan kamera ber-speed 1000fps, maka pasti akan ada titik pertama hingga terakhir yang terdampak, tak serempak. Mungkin tak semua yang terdampak benturan mengalami kerusakan. Pasti ada yang malah menemukan titik resonansinya, mencapai batas kekuatan yang masih bisa dikelola.  Saya merasakan itu terjadi pada daya tahan tubuh saya. 

Beberapa saat setelah kejadian, saya berniat mengobati diri sendiri. Masi ada stok betadine, obat radang, dan parasetamol di kotak obat. Saya minum saja. Ternyata hanya cukup untuk 3 hari. 3 hari setelah itu saya merasakan perbedaan antara menggunakan obat dan tidak. Luar biasa bedanya. Selama 3 hari setelah  terluka, selama memakan obat radang, saya masih bisa berjalan santai tapi pelan di sekitar rumah. Setelah obat habis, kaki yang terkilir ternyata mengeluarkan rasa aslinya. Rasanya seperti keram, menarik hingga ke pinggang kiri. 

Saya coba mengaplikasikan resep ibu saya, yaitu "tidurkan saja". Saya berusaha mencari posisi yang lebih nyaman untuk berbaring. Walaupun rasa sakit itu awalnya seperti tarikan yang mengganggu seluruh kesadaran, lama-lama rasa sakit itu menurun intensitasnya seperti denyut. Saya berusaha bersugesti bahwa tidur ini adalah obat, obat, dan obat. Obat untuk menambah oksigen ke otak, obat untuk perbaikan jaringan, dan obat untuk mengonversi rasa sakit menjadi rasa "saling menarik" antara satu  benda dan lain dalam badan. Saya rasa sugesti saya cukup berhasil untuk menurunkan "gangguan" kesakitan.  Saya mulai bisa berjalan di sekitar rumah lagi, walaupun kadang rasa keram itu suka datang tiba-tiba. Solusi saya cuma satu, langsung mencari tempat duduk, posisi mengambil nafas dalam sepuluh hitungan, lalu menenangkan diri. Berusaha mengubah tensi yang konstan, menurunkannya menjadi denyut,lalu disela dengan aktivitas relaksasi lain.

Ada satu obat yang tetap harus saya beli yaitu betadine. Ini lebih karena ingin menjaga dari resiko masuknya kuman dari luar saja. Agak kompleks jadinya jika ada variabel lain yang mengganggu proses kesembuhan. Sekitar tiga tahun lalu, saya sendiri pernah mendapat gigitan serangga tomcat di bagian paha saat duduk di kursi teras untuk menerima tamu. Ternyata ada tomcat di kursi. Tomcat itu tertindih dan menggigit bagian paha bawah dekat lipatan lutut. Racun tomcat ini sangat menyebar cepat. Bagian tubuh yang terkena racun dalam hitungan menit akan melepuh dan bergelembung, terisi cairan darah putih, mirip luka lebih terkena knalpot, tapi cepat sekali menggelembungnya. Luka bekas tomcat ini cukup besar, saya waktu itu tak langsung membersihkan bekas gigitan, karena masih ada tamu. Saya cuma merasa panas di paha, dan ternyata cukup fatal. Salah satu usaha awal yang saya lakukan adalah membalur luka tersebut dengan betadine, sebagai antiseptik. Melumpuhkan "variabel" penyerang tubuh.  Kejadian tergigit tomcat membuat saya selalu siap sedia dengan antiseptik. 

Tak ada kejadian yang tak terkait dengan apa yang sudah kita persiapkan. Akan selalu ada manfaat dari persiapan yang kita lakukan, baik dari logistik, skill, dan pengetahuan. Tak ada juga kejadian yang terjadi secara sekaligus. Jika ditelaah dengan teliti, pasti berangsur, walau mungkin dalam waktu yang sangat cepat dan berdampak cukup luas. Persiapan dan daya respon kita sangat berpengaruh pada semakin kompleksnya masalah yang datang. Mengundang variabel luar yang belum kita kenal bisa jadi malah memperumit keadaan. 

Variabel luar yang bisa kita andalkan adalah variabel yang sudah menjadi bagian dari solusi pembelajaran kita di kejadian sebelumnya. Ya, semua yang kita alami harus dipetakan dalam konsep pembelajaran. Semata agar kita bisa terus beradaptasi, bergerak fungsional, dan "tajam" (berdaya saing). Ini dalam konteks mengukur dampak. 

Jika dalam konteks menjadikan diri yang lebih holistik, tentunya hal luar pun sebenarnya bagian dari kita. Sejatinya semesta yang tertangkap "seolah  berada di luar diri" oleh panca indera, sebenarnya masih jadi "bagian" diri dalam bentuk dinding-dinding dimensi yang bisa memengaruhi keadaan kita. Baik saat siap atau tidak siap. Kesiapan sering direpresentasikan dalam niat. Niat adalah sebuah patok, semacam intensi untuk "share loc" di tengah semesta kehendak dan penciptaan. Niat yang terhubung dengan batas rasa akan menguatkan respon-respon kita pada hal yang akan datang. Kesakitan akan melahirkan peluang untuk bisa memetakan titik-titik penyebab menjadi lebih luas. 

As need, pain is inevitable. As necessary, pain is avoidable. Changes is container to set the pain as window of opportunities. 

Akhirnya saya berhasil menuntaskan tulisan tentang perubahan (apapun) dalam angle kejadian yang saya alami. Setidaknya niat awal sudah diperkuat di judul. Setidaknya jika kita melihat perubahan, lihatlah dalam kacamata pembelajaran sehingga kita bisa tak mudah dikuasai "algoritma sakit" yang konstan. Buatlah rasa sakit itu jadi denyutan saja. Ga bae menyimpan rasa sakit. ;).

Thursday, March 04, 2021

Objective Bias




Ternyata tak cukup hanya mengukur. Banyak hal yang harus dilepaskan, dinikmati, dan dirasakan secara alami saat menuju sesuatu. 

Kurang lebih sudah empat hari saya tidak bisa banyak menggunakan kaki setelah sempat terjatuh di saat melewati polisi tidur berpasir dan oli,  plus ban depan yang gundul. Untungnya kaki cuma luka lecet seluas steak 200 gr, dan engkel kaki sekadar shock, karena ketarik, sehingga saya sekarang berjalan perlahan dengan memegangi dinding. Iya lah, untung, dengan model kecelakaan waktu itu yang saya alami, yaitu ban depan selip di kecepatan 30km/jam, harusnya ada resiko patah tulang atau luka dalam karena membentur bahu jalan. 

Ini masih jauh lebih "baik" dari pengalaman  harus melihat pantat truk mendekat dalam kecepatan 70km/jam, yang Alhamdulillahnya, masih diberi reflek menghindar juga oleh Sang Penjaga Hati. Untung masih hidup, walau mobil harus terperosok selokan samping tol, dan cuma pecah kaca samping, tanpa goresan pada cat. 

Perjalanan bermotor sebenarnya normal saja. Jalanan antar kampung di daerah Pondok Aren sedikit lengang, bukan di jam kerja saat pengendara motor rata-rata sedang masyuk dengan adrenalin tingginya agar bisa sampai ke tujuan.  Jika saya terjatuh di jam-jam tersebut, rasanya ada resiko lain dari kecelakaan yang saya alami, yaitu bisa benturan dari dua arah. Bukan kecelakaan mandiri. Titik kejadian bisa saja lebih memorable.


===

Demikianlah sekelumit cerita pembuka tulisan ini. Awalnya saya ingin menulis tentang kehati-hatian bukanlah sebuah prinsip utama untuk mencapai tujuan. Kehati-hatian, sebuah prinsip yang lahir dari proses mengukur jarak (antara dua atau lebih titik-entitas) saat belajar dan berkarya, ternyata belumlah lengkap. Ternyata seiring perjalanan waktu menulis, banyak input baru yang saya dapatkan terkait dengan "celah". Celah ini kadang tak kita sadari hadir, diantara sesuatu yang saya ukur, yang saya hadapi, saya benturkan sendiri, dan celah yang muncul di badan setelah benturan.  

Saya buka dengan input terbaru yang saya dapatkan sebelum menulis ini. Hari Kamis malam, 12 jam sebelum saya mem-posting tulisan ini, saya mengikuti sebuah sesi online yang sedang membahas bagaimana membahasakan rasa dalam gerak, dan peluncuran buku Social Presencing Theater (SPT).  Saya di sana sebagai community scriber, menjadi bagian komunitas, mengikuti sesi dengan terlibat secara rasa dan gestur hingga menghasilkan produk visual.  Silakan cari tahu sendiri apa itu SPT.  Saya ingin menceritakan hal lain yang terjadi saat sesi. Dalam sesi online ber-zoom itu, ada sesi breaking out room, untuk kita berinteraksi satu sama lain secara personal, hanya berdua dengan partner yang (biasanya belum kita kenal), menggunakan teknik SPT dan merasakan sebuah entitas pengikat-penyambung, yang diistilahkan dengan "Ma", dalam sebuah dialog berbasis rasa percaya. 

Rasanya, sekitar 8 bulan sebelum launching buku SPT ini, rekan, atau bisa dibilang mentor saya dari Taiwan pernah mengundang saya di sesi online-nya untuk melakukan scribing di acaranya yang full berbahasa Taiwan. Saya mencoba membuat scribing dengan pendekatan generatif scribing, merasakan intensi, membaca gesture, dan merasakan gerak dari tubuh semampu apa yang bisa saya rasakan. Di akhir acara, saya presentasikan scribing saya, dengan tema "Future are Magnificent", dan ternyata memang mereka sedang membicarkan tentang masa depan.  Saya rasa mentor saya tersebut sudah mendapatkan terlebih dahulu pemahaman tentang "Ma" ini. Lalu mencobanya bersama saya. Beliau sempat menuliskan pengalamannya di artikel ini.  

"Ma" ini adalah sebuah prinsip dari Jepang, dibahas dan dikupas di buku yang baru rilis tersebut.  Secara simpel, bisa saya jelaskan prakteknya seperti kita meng-gesture-kan rasa dalam dua sesi. Di sesi pertama, kita diminta untuk merespon dengan gesture, bagaimana rasa saat kondisi stuck, tak punya ide melangkah. Lalu di sesi kedua, kita diminta untuk mengubah gesture seiring dengan bagaimana perasaan kita saat kondisi terbebas. Kedua rasa tersebut harus di-gesture-kan dengan merasakan gerak alamiah saat sesi dimulai, dan berhenti di saat badan tak bergerak lagi.. Hal ini dilakukan bersama-sama, seperti bercermin. 

Pada saat sesi "stuck", masing masing saya dan partner dari San Fransisco melakukan gesture yang berbeda, tapi seiring waktu masuk ke sesi dua, sesi terbebas (dari kondisi stuck), gesture yang kita gerakkan mulai mirip dan ada sebuah ada entitas lain yang memang menjadi "pengatur" ritme gerak kita. Entitas lain ini lah yang memang bisa jadi sebuah outer system yang mengatur ritme gerak alamiah individu. Istilah rekan saya, "ini seperti sebuah perjalanan interdimensional", dan dari saya sendiri sempat beropini, ini seperti mempelajari universe language.

Kami pun kembali ke sesi utama, dimana hadir lebih dari 100 peserta di zoom. Di saat itu saya ingat salah satu pembicara me-review kembali sesi yang dia alami.  Saat itu saya mendengar kata "We're always connected", dan "You can't arrange connection", akan ada hal lain yang selalu menghubungkan sehingga kita akan selalu terhubung. Saya ingat sekali kata-kata itu. Terus terang saya merinding. Ini sedikit mengingatkan saya pada gravitational strings, yang memang mengikat dan menghubungkan kita dalam sebuah dimensi ruang dan waktu, atau yang lebih radikal lagi, seperti bagaimana kita mengemas mikro dimensi kita sendiri dengan kesadaran, dan koneksi (lain di) semesta yang kita miliki dalam ketidaksadaran. Dimensi -yang kita sebut ruang- tapi dalam bahasa sistem bisa disebut celah. Memiliki jarak untuk diukur, memiliki potensi untuk jadi kontainer entitas yang terhubung. 

Sesi berakhir. Saya kembali ingat pada luka-luka saya akibat terjatuh dari motor. Kurang lebih ada 3 zona luka yang saya alami, dengan kedalam luka yang variatif. Mulai yang lukanya sante bae, sampe yang berwarna putih, dalam, karena terkena gesekan dengan kerikil. Maaf jika merinding, ini cuma cerita bagaimana celah itu meng-engage rasa, baik dari saya maupun orang. 

Membahasakan celah selalu akan menimbulkan rasa. Rasa itu bisa dibuat parameter, sistem ukurnya. Salah satunya adalah dengan mengukur titik titik respon saat berinteraksi. Cara mudah mengukur lain adalah dengan gesture. Dari gestur bisa terlihat, jika alamiah, saat ada tensi yang dirasa, gesture akan merefleksikannya dalam sudut maksimalnya, cenderung sudut yang menguatkan rasa. Misalnya saat takut, maka gestur yang bisa terefleksi biasanya akan berupa ketertutupan. Titik-titik bidang yang harusnya terbuka dilindungi oleh titik-titik gesture yang menyudut. Dan seterusnya.

Dari luka dan kejadian terjatuh yang saya alami saya belajar, bahwa skill mengukur bukanlah sebuah alat yang canggih-canggih amat untuk memfigurkan dan membentuk sebuah pemahaman, bahkan sebuah karya dan pengetahuan. Saya lalu teringat, saya dibentuk oleh puluhan pengetahuan dan pengalaman, bagaimana berbuat, berpikir, berniat, yang dimulai dengan mengukur. Kurikulum di sekolah saya dan lingkungan mengutamakan nilai-nilai yang memulai segala dari aktivitas mengukur. Jarang sekali pelajaran tentang cara melepas, selain dengan perintah zakat dan infak sebagai bagian dari ritual ibadah. Itu pun kadang masih pakai ukuran. Masih dengan intensi mengukur.

Pertanyaan besar muncul saat berada di keadaan, apa yang harus diukur jika kita tak tahu dimana koordinat dan dimensi kita berada? Apa yang harus dipegang? Inilah yang saya rasakan sesaat setelah jatuh. Tangan tak lagi ada di setang motor. Mata hanya melihat aspal dan belanjaan tomat yang tergencet badan sendiri. Di situlah skill mengukur saya tak bisa digunakan untuk mengontrol keadaan. 

Seiring dengan semakin bergabungnya ilmu-ilmu sains (rekayasa nilai dan materi alamiah) dengan ilmu - ilmu sosial (rekayasa keterhubungan, pola, dan perilaku) dalam sebuah ekosistem eco engineering, maka pengetahuan untuk berkenalan dengan celah, merasakan entitas yang tak harus diukur,  dan memaksimalkan energi celah tersebut,  bisa dilakukan dengan jalan memahami "Ma". Mulai mengenal dan berkerabat dengan "Ma" bisa membuka celah ke dimensi lain. Dimensi yang penuh energi dan keterhubungan. Dimensi yang bisa menguatkan value individu dan kolektif dalam berkarya.

Sepertinya kalo tidak terjatuh dan tak terluka seperti saat ini, rasanya tulisan tentang rasa dalam bercelah ini ga akan terpikirkan. Terima kasih kembali kepada Maha Penjaga Ranting Sidrat. 



*dan saya teringat dengan Almarhum Pak Habibie dengan julukan Mr. Crack-nya. Alfatihah untuk Pak Habibie. 

Sunday, February 28, 2021

Indonesia itu Negara Superpower ;)



Kembali lagi saya memberi judul tulisan yang edgy, agar bisa langsung di-notice oleh rekan yang membaca. Setidaknya saya memulai tulisan dengan niat berdoa, agar bisa diaminkan bersama. Tentunya jika sudah berupa doa, itu bukan lagi sebuah harapan untuk berpindah dari utopia satu ke utopia lainnya, bukan? ;)


Sudah terlalu banyak pembahasan (atau mungkin pembelaan) bahwa Indonesia ini diberkahi dengan kekayaan alam dan materialnya yang bisa mengalahkan ratusan negara di dunia, tapi (katanya) warganya ga bisa mengelolanya. Ada juga bahasan bagaimana kekayaan plasma nutfah dikonservasi, dan rencana besar pemetaannya. Dipetakan untuk dijadikan base untuk bargain value di era transaksi berdasarkan kekuatan modal dasar sistem database digital sebuah bangsa.


Coba kita lihat dari sudut lain. Sudut yang jarang kita bahas, tapi mungkin hampir tiap hari kita lalui, bahkan rasakan. Apa sih kekuatan Indonesia, atau kekayaan Indonesia, yang tiap hari kita nikmati, tapi tak pernah diukur sebagai modal untuk menjadi kaya, atau bahasa naifnya, terlihat lebih di negara lain? Tak lain dan tak bukan adalah rangkaian aktivitas mengukur kita.  Bangsa ini senang untuk mengukur. Macam-macam satuan ukurnya. Bahkan yang terkenal, “Asta Kosala Kosali”, adalah sebuah sistem ukur yang bisa mengalahkan konstanta seperti “golden ratio-nya Fibonacci”. Mengalahkan dalam konteks penggunaannya untuk aktivitas berporduksi di masyarakat nusantara, khususnya yang memiliki akses dengan ajaran Hindu di masanya.


Itu baru Asta Kosala Kosali. Sebuah sistem ukur berbasis rasio badan dan aktivitas manusia. Masih sangat banyak sistem ukur yang bisa digunakan untuk mengukur dimensi, berat, bahkan unsur-unsur intangible seperti “hari baik-hari buruk”.. bahkan mengukur chemistry antar manusia pun bangsa ini memiliki sistem ukurnya, seringkali dikemas dalam atmosfer gosip dan ghibah :D.


Tentunya tak perlu dulu membahas afirmitas dari sistem ukur tersebut, apalagi sistem-sistem ukur yang berlaku di lingkup kecil. Ada dulu saja, notifikasi dulu saja. Itu harusnya sudah bisa kita syukuri. Sistem ukur ini secara tak langsung adalah benteng, atau bahasa digitalnya, adalah algoritma penetral, yang bisa membantu Indonesia ini ga terpuruk amat dalam jebakan algoritma pemecah ikatan-ikatan sosial dalam sebuah operasi shaping the pattern-ya para bohir-bohir anti teritori fisik,  yang ingin ambil keuntungan sepihak di era revolusi digital.Beberapa konstalasi sistem ukur ini berdiri sendiri, seperti sistem ukur yang tersanding di primbon Jawa, atau sistem ukur asta kosala-kosali yang sudah kita sebutkan. Saya ingat juga di cerita Kho Ping Hoo dengan ukuran -seper… -seper.. nya. 


Cara mengukur dalam sisi lain adalah cara menyambungkan cerita. Dari sisi ini, bisa terbayang bahwa bisa bercerita juga adalah sebuah cara memperkaya diri, menguatkan data di sebuah kumpulan data yang berpola. Saat ini, setelah banyak yang berbagi ilmu tentang cara berkenalan dan mengolah data, lalu menyusun dan "menghidupkan" kumpulan data (yang sudah dikenal) tersebut dalam sebuah literasi. Proses ini terus berlanjut dengan bagaimana kemampuan literasi ini menjadi 4 dimensional, yaitu tak hanya memengaruhi peer to peer (yang memiliki medium-antara berupa ukuran tertentu), tapi juga membuat data menjadi bersifat holistik dengan kemampuan men-storytelling-kan data tersebut dalam sebuah produk yang sesuai dengan konteks.  


Itu baru yang tertulis. Sistem ukur yang tidak tertulis tentunya lebih banyak, bahkan bisa menjadi nilai mengikat di sebuah sistem keluarga. Bagaimana sebuah keluarga mengukur kapan anaknya harus disunat, kapan sang ayah harus memulai proses menanam dan memanen, berapa lama sang ibu harus menyimpan cadangan makanannya, semua ada ukurannya. Ukuran-ukuran ini lebih banyak terkonversi dalam nilai-nilai budaya, dan terbungkus dalam sistem kepercayaan (belief), sehingga menjadi sebuah materi yang intangible, dan relatif menjadi agak rumit untuk diurai, karena lapisan verifikasinya menjadi berlapis.


Jika saja sistem ukur ini diletakkan dalam konteks pengisian database terkait aktivitas di jaman digital ini, pola-pola yang digunakan tersebut akan memperkaya sebuah konstalasi sistem dan daya tawar di sebuah civil society. Saya teringat dengan sebuah sesi dengan tim yang sedang mengonservasi aktivitas sebuah suku yang tinggal di tengah laut. Mereka memiliki sistem ukur yang relatif advance, karena menggunakan perbandingan rasi bintang hingga ke level rasio untuk ritme aktivitas melaut mereka. Aktivitas melaut pun dibagi menjadi beberapa bagian yang terintegrasi dalam sebuah budaya mematangkan sumber daya manusia angguta suku mereka untuk lebih agile, sustain, dan integrate dengan ekosistem mereka. Yap. Ekosistem di sini berarti juga terkait dengan penguatan rantai makanan (memakan-dimakan), terkait dengan rantai konsumsi. 


Sebuah konstelasi yang mengikat aktivitas, bahkan mewarnai budaya bisa menjadi penanda bahwa sebuah civil society bisa melakukan bargaining value untuk kepentingan konservasi ataupun komersil. Nilai tukarnya bisa saja berupa duplikasi dan multiplikasi sistem budaya untuk disebar di level ikatan civil society yang lebih luas (lebar), atau lebih dalam. 


Sebut saja dalam ranah kuliner, bukankah sebuah makanan adalah hasil dari proses aktivitas menakar, mengukur, menghimpun, materi-materi, menjadi bisa nikmat (berkualitas) untuk dikonsumsi? Betapa banyak sajian kuliner nusantara memainkan spektrum rasa yang lebar, sekaligus memainkan kedalaman proses dalam pembuatannya. Hampir jarang makanan Indonesia disajikan dengan mayoritas proses masak yang sederhana. Selalu ada pendalaman. Coba lihat bagaimana masakan seperti rendang dibuat, atau seperti pepeda, seperti ayam betutu, semua (dari Timur ke Barat) setidaknya memiliki satu atau lebih sajian yang dikemas ala masakan untuk Raja, penguasa yang in-charge di sebuah teritori dan keadaan. Kedalaman ini membuktikan kemampuan mengukur bangsa kita bukan di level survival. Tapi sudah sampai level “persembahan”. Level kesadaran tertinggi, berupa elaborasi rasa syukur pada keberadaannya di area of influence yang lebih besar. 


Ngomong-ngomong kedalaman sebuah civil society, maka saya tidak bisa tidak, harus mengaitkannya dengan budaya gotong royong yang ada Nusantara. Saat ini betapa kesalnya saya dengan operasi pencatutan nama gotong royong pada usaha-usaha untuk menguntungkan diri sendiri untuk memodifikasi dasar negara yang sejatinya hanya akan melemahkan kedaulatan. Rasa kesal ini hampir sama dengan rasa kesal saat nama “agama” dibajak oleh para entitas yang memonopoli afirmasi sistem kebenaran a.k.a teroris. Tak cuma gotong royong, bahkan isu kebhinnekaan pun dan semua yang berbau “tanah nusantara” berusaha dipisahkan, ala operasi pemisahan minyak-air, oleh para bohir-bohir yang tak berbasis teritori. Intinya si, pembajakan itu selalu bisa membuat kesal orang yang hidupnya berbasis pada membuat karya (orisinal). 


Gotong royong sejatinya adalah sebuah kumpulan sistem ukur untuk mengikat/membuat patok-patok sistem secara vertikal. Mulai tingkat konsep (mindset) di level dasar, hingga level event (engagement), yang terlihat di permukaan. Sistem ini bukanlah sama sekali sistem “sama rasa sama rata ala komunis” yang digaungkan oleh seseorang, yang saya yakini, memang punya misi tertentu terkait kelompok tertentu yang ingin Indonesia ini semata-mata adalah Melayu. Melayu memang salah satu “bibit pewarna” terkuat di Nusantara. Tetapi usaha untuk membuatnya menjadi “uni color” hanya akan memperlemah bargaining position, disetel untuk menuju bangsa yang mudah di-remote, padahal sejatinya dari sisi warna, daya tawar kita sudah sangat tinggi. 


Nama bisa apa saja, tapi sistem ukur vertikal seperti gotong royong ini kini (terlanjur) sedang diobservasi serius, dikonversi dalam pendekatan socio engineering, dan dibuat versi “compact” atau konstantanya, sehingga bisa diterapkan di banyak ekosistem (dan habitat). Rasa terima kasih saya pada “tetua” yang membela bangsa ini di hadapan para “tetua” bohir, di masa krisis Y2K - awal pembuka abad ke-21. Bisa dikatakan gotong royong adalah sistem yang lagi “gold” banget untuk diolah menjadi menu santapan ala raja. Tentunya masih banyak kumpulan sistem ukur lain yang sudah dikenal, tapi belum dijadikan menu untuk santapan raja. Coba perkuat kesadaran dengan tools/teknologi (sosial) yang sedang banyak dikampanyekan, lalu lihat, observasi, dan ukur dari jangkauan pandang kita, mulai dari aktivitas kita sehari-hari. Banyak sekali yang bisa diukur, daripada mengikuti (algoritma) ajakan untuk habiskan waktu mengukur dosa. Karena masing-masing entitas sudah punya tugas di muka bumi :D


Selamat menjadi warga calon negara superpower! ;)


Friday, February 26, 2021

Menaikkan IQ




Judul yang agresif, ambisius, dan tentunya “edgy”. 


Agresif karena tiba-tiba aja si ekyu ini capang (cari panggung) jadi judul. Emang ga penting banget dibahas di era pencitraan orang sombong ga laku laku amat.  Terlihat ambisius karena bahasan IQ ini semacam bahasan yang sangat scientific dan “otak kiri” sekali. Padahal sudah sangat outdated. “Edgy” karena ya…sambungan dari karakter cari panggung, IQ adalah konten yang bisa jadi bahan disparitas. Memisahkan satu dengan lain, padahal dalam sistem yang sama.


Yap. Sistem yang sama. Yap.. penumeran IQ bisa dibilang outdated di era semua serba terhubung. Yap. karena semua sistem pendidikan di pusatnya sekarang sedang shifting. Dari yang berbasis “suhu kamar” untuk mengaplikasi teori, menjadi suhu kompor, siap untuk bertarung di dunia yang serba diverse. Siap bertarung dengan entropi sistem. Pemikiran dipersiapkan untuk menghadapi hal-hal yang polanya tak bisa ditangkap oleh kesadaran setengah. 


PR semua pencinta ilmu saat ini adalah bagaimana menjadikan ilmu sebagai alat peningkat value di area of influence-nya. Kadang ilmu yang tinggi jika berada sama-sama di lingkungan ilmuwan berilmu tinggi ya valuenya kadang “meh” juga. Khususnya jika memang tak ada mission dan dimensi waktu yang membatasi sebuah irisan himpunan manusia berpikir tersebut. 


Sedangkan PR semua pemikir (bebas dan sistem) yang terkait dengan hubungan antar manusia adalah saat bagaimana nanti “tidak ada lagi uang”. Yap. Masih berupa frase. Bukan sebuah kondisi yang terafirmasi. Tapi sebagai sebuah skenario, akan selalu bisa dan masuk akal. Di saat semua saling terhubung, sebenarnya tak perlu lagi adanya proxy bernama “alat tukar”. Uang adalah sebuah “batu nisan”, bukan lagi tikum (titik kumpul) orang untuk melakukan pertukaran nilai. Dahulu yang dinilai adalah nilai kebergunaannya di zona waktu yang tidak luas. Dalam dunia yang (sebenarnya) tak lagi membutuhkan teritori, uang kini semakin menjadi penanda posisi yang membantu server searching engine untuk mendapatkan uang dari adsense yang kembali dikirim ke posisi pemilik uang, untuk ditarik uangnya.


Kondisi era tanpa uang tentu saja menantang. Menantang setiap orang, mulai dari level personal, kolektif, kolaboratif, hingga ke himpunan civil society terbesar  (dan terkuat) harus memikirkan value mereka masing masing. Berpikir tentu bukan lagi dengan IQ yang dibanggakan pada masa lalu. IQ saat kondisi ini terjadi malah menjadi divider yang membuat sebuah civil society tersegregasi. Berpikir dalam ranah sistemik akan membutuhkan kerja kolektif. Kerja kesadaran, kecerdasan hati, kecerdasan badan, kecerdasan spiritual, yang mampu menyelesaikan koneksi-koneksi vertikal untuk urusan pengikatan data. IQ hanya efektif untuk mengikat / membuat jaringan konektivitas di level horisontal yang cenderung hierarchical. Sebuah himpunan yang berintensi untuk memanjakan ambisi dan pencarian ter-ter- lain yang bisa meluaskan jaringan horisontal.


Kekhawatiran terbesar saat barter value ini terjadi lagi adalah peningkatan entropi sosial karena seperti era perburuan, unsur fisik (material) kembali menjadi andalan untuk mengafirmasi makna kebenaran. Intensi manusia seringkali-bahkan selalu beresultan pada afirmasi pada keberadaan faktor-faktor material yang menempel. Intensi ini diperkuat oleh respon alami yang dimiliki oleh setiap individu secara berbeda sehingga banyak waktu yang digunakan untuk adaptasi. Saya masih optimis era saling perang-menghabisi untuk menguasai tidak akan terulang lagi, karena perangkat pengukur kualitas civil society sudah begitu maju. Akan ada sanksi alamiah bagi para pelanggarnya. Yang saya khawatirkan adalah justru perusakan  dan penguasaan banyak terjadi pada kelompok-kelompok elit kecil yang menjaga marwahnya. Marwah yang dibangun dengan intelejensi berbasis material, yakni IQ. 


Jadi penutup tulisan ini adalah jawaban judul tulisan ini. Bagaimana cara menaikkan IQ?  Bisa banyak, salah satunya rekayasa genetik, atau bisa dengan support systems, jika ingin lebih instant. IQ disini tentulah bukan kemampuan otak, tapi kemampuan area of influence kita mengonsumsi data, pola, dan respon. Apakah ketiga hal tersebut bisa memancing pemilik area of influence untuk mengolahnya menjadi momen yang menaikkan value dan bargaining position? Atau hanya untuk dijadikan koleksi memori di otak yang membuat darah semakin kental?



Sunday, February 21, 2021

Meng-hack Ego



Hacking, atau peretasan - dalam bahasa Indonesia (based on Google Translate), sejatinya adalah proses menempelkan diri pada entitas asing melalui jalan, yang dibuka, berdasarkan pola yang sudah dikenal. 


Entitas asing yang diretas biasanya adalah objek sebuah operasi yang bertujuan untuk memindahkan value dari entitas tersebut ke entitas lain, atau bisa juga lebih ke sebuah simulasi untuk memetakan potensi yang tak disadari. Bisa potensi baik, atau juga potensi buruk. 


Pada konteks kekinian, dimana sebuah entitas yang terkait dengan dunia digital akan terkoneksi ke beberapa platform berbasis protokol keamanan yang berbeda, maka peretasan bisa memiliki fungsi yang baru. Fungsi tersebut memperkuat akuntabilitas sebuah entitas, menjadi memiliki lapisan-lapisan pola respon. Lapisan pola respon ini membuat sebuah entitas lebih adaptif dan akuntabel. 


Dalam sebuah dialog antar sahabat yang ditayangkan di youtube, ada bahasan menarik tentang hacking-gene. Bagaimana memetakan ulang pola pola gen unggulan untuk memperbaiki sebuah generasi. Metode ini sudah diterapkan tak lagi dalam ranah purwarupa, tapi sudah aktualisasi program untuk peningkatan kapasitas sumber daya, dalam hal ini atlet untuk pemenangan kompetisi olahraga. Bagaimana atlet dilatih mulai dini, dan diberi asupan makanan GMF (Genetically Modified Food) yang bisa gradual membuat gen dominan atau pilihan, bertumbuh dan menjadikan profil atlet yang ideal. Yap. Profilling tak lagi hanya urusan pemetaan karakter dan potensi interkoneksi sosial saja. Profilling sudah jauh melangkah ke arah pembentukan peta demografi ideal berbasis rekayasa fisik sumber daya manusia. 


Dalam konstelasi peretasan, hampir bisa dipastikan tak ada yang berlangsung seketika, atau bahasa sononya, instant. Kecuali memang pola-pola yang “ditempel” sudah sangat dikenal dan terknoneksi dengan database yang menyimpan kombinasi pola-pola respon. Peretasan adalah sebuah proses yang gradual, berlapis, dan yang pasti memiliki dampak gradual, dan termonitor pertumbuhan pola-pola responnya.


Kembali ke esensi peretasan, adalah untuk mengenal kembali pola dan membuka jalan baru untuk penguatan respon-respon. Seperti halnya re-mapping ECU pada mobil. Re-mapping tak selalu bertujuan menguatkan spektrum tenaga mobil, tapi bisa juga untuk memperkuat respon lainnya pada mobil. Tujuannya tak lain dan tak bukan untuk menjadi adaptif dalam situasi yang terlihat alami, padahal sudah terskenario. 


Dalam sebuah situasi yang genting diperlukan sinergitas antara mind, heart, dan intention (keinginan). Mind sangat terkait dengan susunan data. Heart sangat terkait dengan koneksi kesadaran dan interkoneksitas diri dan lingkungan (alam + sosial). Sedangkan intensi sangat terkait dengan respon keingan saat receiving, dan giving.  Sinergitas ini akan menjadi tumpul saat sistem pendukung yang melekatkan ketiga elemen , yaitu ego, terkunci dalam alam bawah sadar. Tumpul bisa jadi saling tak terkoneksi, atau bisa jadi memang berjalan lambat karena gangguan alter ego yang memberi aliran energi pada memori.  


Ketajaman sinergitas mind, heart, dan intention ini bisa diasah, dijaga, dan dikembangkan menjadi kombinasi komposisi sinergitas untuk menyikapi respon sesuai kombinasi yang dilatih. Salah satu cara yang efektif tak lain dan tak bukan adalah dengan meretas sistem pendukung, dalam hal ini ego. Peretasan ego bisa dengan memetakan ritme, dan mengombinasikannya dengan memori sadar dalam sebuah  medium bernama mindfulness


Ritme selalu terkait dengan momen. Momen selalu terkait dengan konten dan waktu. Di sisi lain, memori sadar bisa dipetakan dengan melatih kontrol fisik, gestur, hingga titik-titik terkecil yang membentuk sebuah batas rasa. Mindfulness merupakan sebuah proses yang melatih ego untuk merasakan batas, bentuk, dan pecahan secara terus menerus, hingga alter ego tak lagi menjadi sumber energi terpantiknya simulasi-simulari rasa (lain, yang tak dibutuhkan) dari alam bawah sadar.  


Melatih ego untuk merasakan batas, bentuk, dan pecahan yang efektif adalah dengan menjalankan latihan fisik berpola dan bertarget. Bisa berpola individual untuk menguatkan memori, bisa kolektif untuk menguatkan respon.  Salah satu target yang bisa dilatih adalah melatih batas-batas gestur tubuh pada titik maksimal, dalam hal ini, mengenal rasa sakit (pain) dan rasa sakit (hurt) secara lebih faktual. Pembiasaan diri pada batas-batas maksimal akan mengurangi celah-celah misleading-nya sebuah ego pada fungsinya sebagai tools perekat sinergitas mind, heart, dan intention



Sebagai kata penutup, karena itulah, saya senang bersepeda menaiki bukit, menikmati tanjakan, kayuh per kayuh. Artikel ini adalah sebuah jawaban yang paling (meta-) scientific  (menurut saya) untuk rekan yang bertanya, “Kok senang amat gowes nanjak? Single speed pulak? Tolong jelaskan dengan logis”.. 








Friday, February 19, 2021

Bermanja dengan Pencipta




Waktu, akal, dan kesadaran adalah modal utama individu dalam mencapai kekuatan. Esensi dari kekuatan bukanlah tentang menggunakan tenaga untuk melakukan hal berat. Kekuatan individu adalah kemampuan untuk menjadikan area of influence-nya termitigasi dengan baik. Sebuah cara untuk merdeka dalam berkehendak.

Judul di atas harusnya tak terlalu bernuansa spiritual. Toh jika ditelisik, banyak aktivitas kita memang sangat dekat dengan Pencipta, atau setidaknya, penciptaan. Bernafas, berpikir, dan memilih adalah tiga aktivitas rutin yang seringkali berlangsung tanpa butuh approval dari kesadaran kita. Seringnya kita melewati peran kesadaran dalam bernafas, berpikir, dan memilih membuat kita lebih mudah terpengaruh oleh keinginan. Di sisi lain, keinginan adalah kumpulan pikiran yang terpola untuk membuat individu bertindak atas dasar ingin membuat pasti, real, mengarah pada hal fisik - terpindai panca indera.

Keterikatan kita dengan hal di luar individu akan selalu bersifat sistemik. Sistemik berarti memiliki pola, memiliki tensi dan intensi, serta yang pasti memiliki posisi dalam dimensi ruang dan waktu. Hal ini terjadi dalam hubungan yang paling sederhana sekalipun. Spontanitas pun pada dasarnya bersifat sistemik, namun memang berlangsung dalam timeline yang singkat (di luar zona wajar). 

Keterikatan kita dalam intensi yang kuat dengan sekitar akan membesarkan peta berpikir kita, begitu juga, akan menguatkan daya pijak kita. Daya pijak kita pada pengetahuan individu, dan pengetahuan bersama.

Saat menjadi bagian dari sebuah sistem yang mengikat aktivitas kita, maka kesadaran kita lah yang bisa menjadi panduan. Panduan untuk mengukur apakah aktivitas kita memengaruhi kekuatan kita dalam memilih, berpikir, bahkan bernafas

Menjadi bagian dari sistem merupakan kerja kesadaran yang paling aktual. Aktual untuk memetakan ikatan yang tak bisa diubah, ikatan mana yang bisa dimodifikasi tekanannya, dan ikatan mana yang sangat fleksibel mengikuti intensi kita. 

Ikatan keinginan dalam sadar seharusnya sangat fleksibel, tapi jika keinginan tak melewati peran approval kesadaran, keinginan/intention ini bisa saja menjadi ikatan yang kuat, dan bisa memengaruhi kerja sistem keseluruhan, yang harusnya disepakati secara sadar, sebelumnya. 

Keterikatan kita dalam sistem bisa membentuk kita dalam aktivitas sistemik yang semakin kompleks. Kompleks berarti memiliki variabel yang bertambah, memiliki turunan aktivitas, dan stakeholder-nya. Keterikatan bisa menjadi batas (bonding the systems). Batas antara aktivitas sistem satu bukan bagian dari aktivitas sistem yang lain. 

Keterikatan juga bisa menjadi sebuah bentuk (shaping the systems). Seperti daun yang memiliki rangka, memiliki jaring klorofil hijau yang mengisi rangka dan mengakibatkan daun tersebut memiliki bentuk. Bentuknya bukanlah didasarkan intensi atas keinginan, atau batas gerak. Bentuk bisa lahir dari dimulainya rangkaian aktivitas sistem hingga  berakhirnya. 

Satu sisi lain, ada juga aktivitas yang bersifat menandai, memetakan, mengikat, dalam rangka untuk mengunci dan meniadakan (shaming the systems). Aktivitas ini dalam skala utuh biasanya berlangsung lama, dan memang berlangsung dengan membuat sebuah kondisi kerja sistem dalam kesadaran dan intensi rendah, dengan tujuan akhir yang sifatnya sangat materialistik. Sifat- sifat aktivitas yang bermuara pada hal fisik cenderung meninggalkan jejak, karena memang butuh ruang untuk memindai, dan waktu untuk menyambungkan intensi-intensi menjadi sebuah bentuk buatan yang bisa diatur dalam konteks kesadaran berbasis material

Balik lagi dengan aktivitas bermanja, berdekatan dengan entitas mencipta. Salah satu pegangan terkuat untuk merasakan dekat atau tidaknya kita dengan entitas Pencipta dan penciptaan adalah kesadaran kita. Tanpa kesadaran semua bisa berlangsung tanpa makna, atau bermakna namun sekadar menjadi cerita yang tak memengaruhi kekuatan individu kita dalam merasakan ikatan dengan sistem di luar diri. Baik itu sistem yang sederhana, atau sistem yang rumit yang melibatkan kita dalam kondisi harus berkeputusan sadar setiap saat, misalnya komandan pasukan anti teror yang sedang menghadapi penyanderaan. 

Salah satu cara menikmati kedekatan dengan entitas Penciptaan adalah merasakan proses dalam rasa dan gesture maksimal. Merasakan daya tahan maksimal dari tubuh yang beraktivitas adalah salah satu cara. Sakit (pain) dan cidera (hurt) adalah dua hal berbeda. Sakit bisa jadi gerbang untuk mengetahui ruang dan waktu dalam dimensi kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran yang lebih tinggi akan membuat dimensi waktu berjalan lebih lambat. Hal yang tadinya bersifat responsif kini menjadi bisa terkontrol, seperti atlet atlet bela diri hard impact yang terlatih dalam kecepatan tinggi menghindari pukulan dalam jarak hitungan milimeter. Pain bisa membentuk sistem. Hurt bisa memberikan batasan pada sistem. Jangan lupa, absences bisa membuat shaming the systems - membuat sebuah sistem daya tahan menjadi tak berguna. 

Bermanja dengan Pencipta bukanlah tentang ritual mengingat dan merasa dekat. Memetakan daya tahan dan kemampuan bersadar adalah salah satu ciri khas. Ciri dari orang-orang yang bermanja dengan Pencipta dan proses penciptaan adalah selalu berlatih, berlatih, dan berlatih.  Bermanja dengan Pencipta adalah sebuah proses meningkatkan rasa sadar, hingga dalam skala tertinggi yang  akan mengundang keterikatan sistem lain a.k.a mestakung (semesta mendukung). Tak heran, dalam cerita sufi, orang-orang yang "terlalu" cinta dengan Penciptanya, mereka mengejar rasa sakit (pain). Bisa jadi dengan itu mereka punya "dimensi" yang lebih luas dari yang kita lihat. 








Tuesday, February 16, 2021

The Future of Sovereignty


 

Our politic’s path had became more materialistics. That’s lead to less awareness decision related to efficiency in maintaining budget, and increasing –instant respond- productivity. It have connection with our carbon footprint.

 

Global warming is not just an issue, but significantly connected with our collective awareness and respond.  It’s also connected with the vulnerable policy while the nature ‘speak loudly’, and the phenomenon leads to social divides issues.

 

Indonesia is a country that born by agreement of equal stakeholder of civil society. Yes, it as not from a representation of local kingdom, or religion, that tends to dominated each others, but all of them represents themselves as civil society, who have non materialistic vision, but purely base on the vision to making future reality.

 

Mufakat, is an Indonesian language, that represent the way of process that will overcoming the harvest of solution from prototyping in civil society. This process leads to the decreasing budget in running a mission in political path. Before we achieve ‘mufakat’, usually we did gotong-royong, or I could called it work with heart. That were the main tool in engaging civil society in Indonesia.

 

The materialistic path (territorial & powerbase) of Indonesian politician vision in mid 50’s made all stakeholder of civil society balancing themselves into materialistic variables that made artificial equilibrium in the nation systems through power-base-driven-strategy. The hidden-slavery revealed in dark-demonic-cycles of economical system. These dark circumstance were born by collective unconsciousness of society in maintaining the power and territories. The vision for embracing the sovereignty were not becoming priority.

 

So the future of our sovereignty  are depends to our awareness in surfacing collective consciousness, and build lot bridges of opportunities between artificial tension. The collective consciousness can be achieved while three basic element in civil society naturally revealed. First, equality in law, there're no segregation or disruption from unintended stakeholder to push regulation for individual purposes or margin. The second element are freedom in transaction and have right to access maximum accountability in accessing data, and have intention to build -free economic slavery- society. The last basic element that could shaped civil society were responsible culture, and responsive legal action to heal segregation of culture and religion. The three element should be tied in accountable governmentship. 


The succeed of implementation from this three element could lead to create new accountable society. Society who had high demand in transparancy, connectivity, and agility. The future of sovereignty are accountable citizenship, who have legit bargaining skill and value to overcome the new era , the "no money" civilization, or being "the chain" of digital economy era.