Friday, February 19, 2021

Bermanja dengan Pencipta




Waktu, akal, dan kesadaran adalah modal utama individu dalam mencapai kekuatan. Esensi dari kekuatan bukanlah tentang menggunakan tenaga untuk melakukan hal berat. Kekuatan individu adalah kemampuan untuk menjadikan area of influence-nya termitigasi dengan baik. Sebuah cara untuk merdeka dalam berkehendak.

Judul di atas harusnya tak terlalu bernuansa spiritual. Toh jika ditelisik, banyak aktivitas kita memang sangat dekat dengan Pencipta, atau setidaknya, penciptaan. Bernafas, berpikir, dan memilih adalah tiga aktivitas rutin yang seringkali berlangsung tanpa butuh approval dari kesadaran kita. Seringnya kita melewati peran kesadaran dalam bernafas, berpikir, dan memilih membuat kita lebih mudah terpengaruh oleh keinginan. Di sisi lain, keinginan adalah kumpulan pikiran yang terpola untuk membuat individu bertindak atas dasar ingin membuat pasti, real, mengarah pada hal fisik - terpindai panca indera.

Keterikatan kita dengan hal di luar individu akan selalu bersifat sistemik. Sistemik berarti memiliki pola, memiliki tensi dan intensi, serta yang pasti memiliki posisi dalam dimensi ruang dan waktu. Hal ini terjadi dalam hubungan yang paling sederhana sekalipun. Spontanitas pun pada dasarnya bersifat sistemik, namun memang berlangsung dalam timeline yang singkat (di luar zona wajar). 

Keterikatan kita dalam intensi yang kuat dengan sekitar akan membesarkan peta berpikir kita, begitu juga, akan menguatkan daya pijak kita. Daya pijak kita pada pengetahuan individu, dan pengetahuan bersama.

Saat menjadi bagian dari sebuah sistem yang mengikat aktivitas kita, maka kesadaran kita lah yang bisa menjadi panduan. Panduan untuk mengukur apakah aktivitas kita memengaruhi kekuatan kita dalam memilih, berpikir, bahkan bernafas

Menjadi bagian dari sistem merupakan kerja kesadaran yang paling aktual. Aktual untuk memetakan ikatan yang tak bisa diubah, ikatan mana yang bisa dimodifikasi tekanannya, dan ikatan mana yang sangat fleksibel mengikuti intensi kita. 

Ikatan keinginan dalam sadar seharusnya sangat fleksibel, tapi jika keinginan tak melewati peran approval kesadaran, keinginan/intention ini bisa saja menjadi ikatan yang kuat, dan bisa memengaruhi kerja sistem keseluruhan, yang harusnya disepakati secara sadar, sebelumnya. 

Keterikatan kita dalam sistem bisa membentuk kita dalam aktivitas sistemik yang semakin kompleks. Kompleks berarti memiliki variabel yang bertambah, memiliki turunan aktivitas, dan stakeholder-nya. Keterikatan bisa menjadi batas (bonding the systems). Batas antara aktivitas sistem satu bukan bagian dari aktivitas sistem yang lain. 

Keterikatan juga bisa menjadi sebuah bentuk (shaping the systems). Seperti daun yang memiliki rangka, memiliki jaring klorofil hijau yang mengisi rangka dan mengakibatkan daun tersebut memiliki bentuk. Bentuknya bukanlah didasarkan intensi atas keinginan, atau batas gerak. Bentuk bisa lahir dari dimulainya rangkaian aktivitas sistem hingga  berakhirnya. 

Satu sisi lain, ada juga aktivitas yang bersifat menandai, memetakan, mengikat, dalam rangka untuk mengunci dan meniadakan (shaming the systems). Aktivitas ini dalam skala utuh biasanya berlangsung lama, dan memang berlangsung dengan membuat sebuah kondisi kerja sistem dalam kesadaran dan intensi rendah, dengan tujuan akhir yang sifatnya sangat materialistik. Sifat- sifat aktivitas yang bermuara pada hal fisik cenderung meninggalkan jejak, karena memang butuh ruang untuk memindai, dan waktu untuk menyambungkan intensi-intensi menjadi sebuah bentuk buatan yang bisa diatur dalam konteks kesadaran berbasis material

Balik lagi dengan aktivitas bermanja, berdekatan dengan entitas mencipta. Salah satu pegangan terkuat untuk merasakan dekat atau tidaknya kita dengan entitas Pencipta dan penciptaan adalah kesadaran kita. Tanpa kesadaran semua bisa berlangsung tanpa makna, atau bermakna namun sekadar menjadi cerita yang tak memengaruhi kekuatan individu kita dalam merasakan ikatan dengan sistem di luar diri. Baik itu sistem yang sederhana, atau sistem yang rumit yang melibatkan kita dalam kondisi harus berkeputusan sadar setiap saat, misalnya komandan pasukan anti teror yang sedang menghadapi penyanderaan. 

Salah satu cara menikmati kedekatan dengan entitas Penciptaan adalah merasakan proses dalam rasa dan gesture maksimal. Merasakan daya tahan maksimal dari tubuh yang beraktivitas adalah salah satu cara. Sakit (pain) dan cidera (hurt) adalah dua hal berbeda. Sakit bisa jadi gerbang untuk mengetahui ruang dan waktu dalam dimensi kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran yang lebih tinggi akan membuat dimensi waktu berjalan lebih lambat. Hal yang tadinya bersifat responsif kini menjadi bisa terkontrol, seperti atlet atlet bela diri hard impact yang terlatih dalam kecepatan tinggi menghindari pukulan dalam jarak hitungan milimeter. Pain bisa membentuk sistem. Hurt bisa memberikan batasan pada sistem. Jangan lupa, absences bisa membuat shaming the systems - membuat sebuah sistem daya tahan menjadi tak berguna. 

Bermanja dengan Pencipta bukanlah tentang ritual mengingat dan merasa dekat. Memetakan daya tahan dan kemampuan bersadar adalah salah satu ciri khas. Ciri dari orang-orang yang bermanja dengan Pencipta dan proses penciptaan adalah selalu berlatih, berlatih, dan berlatih.  Bermanja dengan Pencipta adalah sebuah proses meningkatkan rasa sadar, hingga dalam skala tertinggi yang  akan mengundang keterikatan sistem lain a.k.a mestakung (semesta mendukung). Tak heran, dalam cerita sufi, orang-orang yang "terlalu" cinta dengan Penciptanya, mereka mengejar rasa sakit (pain). Bisa jadi dengan itu mereka punya "dimensi" yang lebih luas dari yang kita lihat. 








Tuesday, February 16, 2021

The Future of Sovereignty


 

Our politic’s path had became more materialistics. That’s lead to less awareness decision related to efficiency in maintaining budget, and increasing –instant respond- productivity. It have connection with our carbon footprint.

 

Global warming is not just an issue, but significantly connected with our collective awareness and respond.  It’s also connected with the vulnerable policy while the nature ‘speak loudly’, and the phenomenon leads to social divides issues.

 

Indonesia is a country that born by agreement of equal stakeholder of civil society. Yes, it as not from a representation of local kingdom, or religion, that tends to dominated each others, but all of them represents themselves as civil society, who have non materialistic vision, but purely base on the vision to making future reality.

 

Mufakat, is an Indonesian language, that represent the way of process that will overcoming the harvest of solution from prototyping in civil society. This process leads to the decreasing budget in running a mission in political path. Before we achieve ‘mufakat’, usually we did gotong-royong, or I could called it work with heart. That were the main tool in engaging civil society in Indonesia.

 

The materialistic path (territorial & powerbase) of Indonesian politician vision in mid 50’s made all stakeholder of civil society balancing themselves into materialistic variables that made artificial equilibrium in the nation systems through power-base-driven-strategy. The hidden-slavery revealed in dark-demonic-cycles of economical system. These dark circumstance were born by collective unconsciousness of society in maintaining the power and territories. The vision for embracing the sovereignty were not becoming priority.

 

So the future of our sovereignty  are depends to our awareness in surfacing collective consciousness, and build lot bridges of opportunities between artificial tension. The collective consciousness can be achieved while three basic element in civil society naturally revealed. First, equality in law, there're no segregation or disruption from unintended stakeholder to push regulation for individual purposes or margin. The second element are freedom in transaction and have right to access maximum accountability in accessing data, and have intention to build -free economic slavery- society. The last basic element that could shaped civil society were responsible culture, and responsive legal action to heal segregation of culture and religion. The three element should be tied in accountable governmentship. 


The succeed of implementation from this three element could lead to create new accountable society. Society who had high demand in transparancy, connectivity, and agility. The future of sovereignty are accountable citizenship, who have legit bargaining skill and value to overcome the new era , the "no money" civilization, or being "the chain" of digital economy era.  



Sunday, February 14, 2021

Menanam Bibit di Puncak Gunung



Apa arti kesombongan, jika kebanggaan itu harus diungkap untuk menjadi pagar generasi. Apakah para pendaki sombong karena mereka ada di langit? Apakah gunung sombong karena ia terlanjur jadi pasak bumi?


Saya teringat dengan mimpi yang saya alami sesaat sebelum salah satu anak saya lahir. Saya pergi ke Gunung Semeru, dan saat melalui Ranu Kumbolo, saya dititipi bibit oleh seorang nenek dengan kudung yag dibelit di kepala (khas wanita muslim jaman pergerakan NU dan Muhammadiyah di jaman kemerdekaan), untuk ditanam di puncak. Saya iyakan saja, toh tinggal tanam, saya tak disuruh menjamin bibit itu tumbuh dan merawatnya.


Mimpi itu berakhir saat saya baru saja berbalik dari mengemas tenda, sesaat setelah menatap puncak Semeru. Saya dibangunkan oleh panggilan interkom dari penjaga piket kamar operasi. Operasi sudah selesai, pihak keluarga dipersilahkan melihat kondisi. Yak. Saya selama operasi duduk di mushola kecil dekat ruang tunggu. Karena saya tak boleh menemani istri yang saat itu memang kondisinya harus melewati tindakan khusus karena persalinan premature-nya.  Saya berdoa di mushola kecil itu, tertidur sebentar, dan sekilas mimpi Gunung Semeru itu hadir. 


Saya rasa setiap orang tua memiliki momen spesial ketika sang anak lahir. Segenting-gentingnya tugas ketika anak lahir, momen akan selalu ada dan dikenang. Bagi saya, momen kelahiran anak bukan hanya tanda memasuki gerbang kehidupan baru, tapi juga menjadi soal baru yang harus dijawab. 


Anak adalah pesan Ilahi melalui semesta perempuan. Ibu. Anak adalah pesan yang kadang belum terbuka. Menanti pesan terbuka bisa jadi sebuah pelajaran lain lagi. Anak tak cuma “bidadari atau malaikat” yang dititipkan untuk akhirnya menjadi manusia. Anak adalah pondasi pikir kehidupan kita. Bagaimana hidupnya menjadi variabel berpikir yang terus melengkapi jalannya algoritma-algoritma aktivitas kita. Variabel yang kadang tak harus dijawab x sama dengan berapa, dan y sama dengan berapa. 


Kadang sebuah perhitungan berlangsung untuk menjadi penguat akuntabilitas kita. Perhitungan yang bisa mengisi waktu agar memudahkan kita di hari pertanggungjawaban. Momen ter- stock opname-nya semua isi hati dan kehendak.


Akuntabilitas di jaman dulu, di hari ini, dan di hari depan konteksnya akan selalu berubah. Hal yang tidak berubah adalah tentang keterhubungan, kesinambungan, dan kejernihan dari sebuah cara dan proses berpikir dan berkarya. Pertanyaan bersama untuk kita yang masih hidup, bagaimana kita akan mengukir alat ukur yang bernama "akuntabilitas" untuk menjadi alat barter di era super digital, era tanpa uang? Akuntabilitas bukanlah tentang nama baik. Tapi lebih kepada simpul-simpul. Nama baik masih bisa dirusak oleh proxy, sedangkan merusak akuntabilitas akan berakibat pada jejak kerusakan civil society. 


Pondasi dari akuntabilitas adalah penerimaan atas keadaan dan kesaksian yang kuat hingga tercatat. Tercatat dan bisa menjadi momen yang penuh nilai. Nilai tambah bagi yang terlibat menjadi subjek sebuah konteks di sebuah keadaan. Lalu bagaimana cara menanamkan semangat berakuntabilitas pada anak? Salah satu jawabannya adalah selalu mengondisikan keadaan seperti perjalanan menuju puncak gunung. 


Jika membayangkan fase saat mendaki, akan terbagi tiga, menjelang mendaki, saat di tengah pendakian, dan akhir pendakian. Di lereng menjelang pendakian, banyak sekali kumpulan harap. Kumpulan harap para pendaki yang selalu melihat puncak. Bergerak ke atas menanjak menuju punggung gunung, akan banyak pertunjukan aksi yang bisa menjadi pelajaran, baik dan buruk. Banyak juga makanan yang bisa dibagikan bagi yang berbaik hati atau yang memasrahkan perjalanannya pada semesta. Saat di puncak, yang ada adalah tatapan ke bawah, tatapan pada horison yang mengelilingi, tatapan yang mengubah. Mengubah pikiran menjadi salah satu kekuatan terhebat kita. 


Mimpi dititipi benih untuk ditanam di puncak adalah sebuah pelajaran yang masih menjadi PR. Bisa jadi sebelum sampai puncak dikelilingi horison, ada baiknya menanam. Ada baiknya menunduk. Menunduk untuk menanam. Biarkan lah suara suara harap atau arahan melarang ini-itu menjadi bahan senyum. Rasanya setelah menanam, saya akan terus ke puncak untuk melihat tumbuhnya benih, atau melihat horison dengan harap yang lain. 



*) Tambahan:


Keluar dari mushola, tempat saya menanti sesi operasi, lirik lagu Semeru (dinyanyikan bersama Vivid Revolt) ini pun muncul di kepala


Semilir lembut dingin berhembus

di puncak gunung Semeru

mengingatkanku pada lembayung biru


yang turun di antara mimpi

di dalam sanubari

menanti hariku yang sepi


Terdengar alunan 

buaian sendu

titisan jiwa, aku menanti


Lihatlah mentari pagi

kini kan bersinar lagi

menentramkan asa

dalam kehangatan


Kubiarkan pagi ini membawaku

ke dalam hangatnya

nikmat mencinta...


Friday, February 12, 2021

The Art of Spinning Machine




Saya selalu suka dengan cara kerja mesin pintal, menggabungkan bulu-bulu (bisa bulu domba, atau kapas) yang berukuran pendek menjadi rangkaian yang kemudian dirapikan jadi benang. Ada satu elemen yang selalu membuat saya tertarik di mesin pintal tersebut, elemen itu adalah bagian ujung kecil yang tajam, bisa dikatakan jarum. Jarum pintal. Jarum yang dalam dongeng eropa bisa membuat seorang putri tertidur.


Tugas jarum pada mesin pemintal dan mesin jahit berbeda. Di mesin jahit jarum berfungsi sebagai "pengantar" benang untuk mengunci ikatan antar kain. Pada mesin pintal, jarum berfungsi untuk "memecah serabut" seperti menyisir, memutar, untuk akhirnya membuat serabut itu menjadi lebih mudah untuk diurai jadi benang. Proses yang sempurna layaknya kalimat. Proses yang memiliki mekanisme seperti imbuhan yang berada di awal, tengah, dan akhir.

Mekanisme mesin selalu berawal dari prosesi berpikir, "apa-bagaimana-ke mana". Prosesi berpikir analitis sederhana, yang juga mencerminkan norma berpikir yang berlaku pada sebuah konteks peradaban. Prosesi memverifikasi sesuatu apakah sesuatu itu datanya bisa dipertanggungjawabkan (punya penjamin urutan hingga ke sumber data). Berlanjut kemudian ke prosesi untuk mengetahui bagaimana sesuatu mengaitkan dirinya dengan lingkungan, dan jika memiliki gerak, lanjut pada prosesi melihat kemana arah geraknya. Prosesi ini bisa juga ditemukan di pasar. Pasar, tempat untuk bertukar, melihat untuk mengetahui, dan merangkai  nilai-nilai yang dibutuhkan, untuk dibawa pulang.  

Susunan pikir ini sering disebut algoritma dalam peta data "tak tampak". Data yang bisa dikatakan harta, dan ada yang menyebutknya sebagai (sumber) energi. Data pada masa kini seperti bulu-bulu domba dan kapas. Terlihat saling terikat, menggumpal, namun nirkontek. Butuh mesin algoritma yang sesuai kontek yang mampu mengurai data tersebut menjadi benang-benang sehingga bisa menjadi entitas benang pengikat, bahkan bahan kain untuk penahan entitas lainnya. 

Dalam sebuah kondisi yang terlihat "menggumpal", bisa jadi memang belum ada mesin pintal yang cocok di sana. Bisa jadi kalaupun ada mesin pintal, belum ada jarum yang cukup tajam dan ditakuti yang bisa mengurai gumpalan. Bisa jadi mesin pintalnya masi baru hanya bisa menggulung, dengan daya urai yang rendah. Atau bisa jadi belum ada operatornya.  Kondisi ini hanya akan memperparah sebuah siklus produksi, bisa jadi siklus peradaban.

Melihat mesin pintal membuat saya optimis. Selalu ada jalan keluar dari persoalan yang menggumpal, mulai menumpuk seperti awan cumulonimbus, lalu menghadirkan "distraksi/kekacauan pada sistem" seperti teori termodinamika 2 yaitu  entropi dari sistem yang terisolasi selalu bertambah atau tetap konstan. Dalam arti lain, entropi mulai mengambil peran. Semua akan terurai. Mesin pemintal bisa jadi penahan, atau bahkan bisa jadi sebuah mesin entropi kecil yang mengurai gumpalan menjadi sesuatu yang lebih rapi dan bisa disusun lagi. 

Ada satu bacaan yang baru saya baca kemarin (11 Februari 2021) tentang bagaimana sebuah partikel bisa terlepas dari rangkaian panjang. Ini cerita yang beda lagi. Jika dianalogikan dalam sebuah proses pemintalan, cerita ini adalah cerita bagaimana sebuah serbuk kapas terlepas dari ikatan sesaat setelah dipintal, lalu menjadi partikel bebas, yang juga berujung pada entropi. Partikel bebas ini bisa berwujud banyak, ia bisa jadi freelance yang tak terima dimainkan oleh sistem pembayaran, bisa jadi berbentuk ronin, para pejuang yang kehilangan komando, bisa jadi anti counter narrative, sosok-sosok yang memetakan pola pembentukan opini lalu menetralkannya. Satu lagi yang saya sedang sangat concern, yaitu partikel bebas yang bisa berbentuk manusia yang dijadikan konstanta, dan tanpa henti menghasilkan algoritma. 

Akhirnya saya bisa dapat menganalogikannya. Mesin pintal adalah analogi yang agak nyaman saya gunakan untuk saat ini. 

Tuesday, February 09, 2021

Listed and Targetted



Kita ga harus mengerti semua hal yang terjadi dalam hidup. Tapi kalo bisa, semua yang kita lakukan, kita rasakan, kita pahami, bisa terkonversi jadi ibadah (penyerahan diri pada Pencipta Semesta), agar mendapat pahala (pembelajaran menuju keikhlasan)

Tulisan kali ini agak "santai". Awalnya saya mau kasi judul "Gak Asik Vs Sok Asik", tapi terkesan toxic, padahal kan ini netral dan santai. Karena percuma juga dibahas serius. Ini bukan untuk dibahas. Tapi dipraktekkan. Mungkin ga harus kita juga yang memraktekkan. Let's our hand (and-i hope-heart,too) always clean and sanitized ;). Sekadar tahu saja. Jika pernah dalam sebuah himpunan, lalu ada sosok yang mengritisi idemu, sampai titik nadir, lalu suatu saat dia pake ide itu semua & dia dapat nama,... itu namanya kamu kurang persiapan. Saya ga bisa bela. Cuma menyarankan, kamu jangan down, up aja. #opoiki #kalimatmotivasiyanggamemotivasi


Saran saya yang 7 tahun lagi masuk "manula", manusia lima puluh tahun, belajarlah matematika khususnya logika, himpunan, irisan, negasi, dan teknik beserta skill untuk menyayat lainnya. Dijamin kamu lupa sama masa lalu. Kalo bisa ilmu tersebut langsung dari gurunya, bukan dari buku. Agar dapat sanad keilmuannya. Agar akuntabilitas kamu meningkat. Karena buku itu ilmu KW 3 (saya dengar istilah ini dari arsitek senior pecinta arsitektur nusantara  di salah satu kuliah umumnya di UI). 


#kalimatuntukbikinlupamasalahlama

#demimasalahbaruyanglebihmembangun  

#melatihrasamentokyanglebihscientific


Apalagi kalo kamu dah masuk "daftar nama". Daftar nama apapun itu. Daftar nama lama, daftar nama balasan, daftar nama akibat perseteruan generasi, daftar nama dari perseteruan di era terbentuknya collective trauma, atau daftar nama apapun, termasuk daftar nama yang menyebabkan gerbang rumah dicoret atau ditandai, apapun itu. Saya cuma bisa mendoakan, semua bisa  tobat beneran (bukan sok bertobat karena lagi bertugas bikin peta), mampu meraih kemampuan berkesadaran paripurna dan bijaksana, sehingga mengurangi resiko saling menyakiti lagi.  


Kamu ga tahu saja (dan ga harus tahu si, ini pembelajaran berkelanjutan dan kolektif, bekal buat anak cucu), kamu bisa saja sudah dipepet, di-scan, dipetakan, dari jaman dewasa secara formal - saat merasa boleh pacaran. Anggap saja jaman hari pertama masuk SMA. Beruntung kalo kamu masih hidup, jika ternyata kamu sudah ter-captured. Ada juga yang sudah wafat, seperti sahabat saya, seorang pecinta seni rakyat dan juga translator. Setidaknya kamu ga sendirian. Banyak yang harusnya gitu, terpengaruh operasi pemepetan, akhirnya jadi gini. Harusnya jadi mastermind di belakang panggung, akhirnya jadi player di depan panggung, dsb. Jadikan hal yang ga bisa kita respon di awal menjadi sebuah variabel respon pada generasi penerus kita. Intinya carpe diem. Jalani saja, catat, selesaikan tugas, yang tak selesai jadi pelajaran ke anak cucu. Semua ada umurnya.   #kalimatkeikhlasan 


Dan kamu bisa saja terus dipepet oleh jaringan entitas terlatih yang terlihat ga penting. Sesuatu yang dimulai saat ada entitas "ga penting" yang bisa mengondisikan sistem, mengunci target (misalnya dengan menginisiasi secara formal -karena terekam- terdata membangun opini like-dislike), lalu meng-engage dan mengatur sistem, seperti pengontrak yang terkondisikan dipilih jadi calon ketua RT oleh para pemilik rumah. That's how the world of "listed man" works… Berlangsung alamiah. Intrusi yang sering juga terjadi di organisasi yang punya potensi independensi  dan akuntabilitas yang tinggi. Karena independensi dan akuntabilitas adalah "musuh" dari corrupted systems, atau sistem yang bertendensi menciptakan ketidaksetaraan a.k.a. untung sak (karep) dewe. 


Cuma bisa bilang. Setidaknya kamu ga pernah sendirian. Semua terpetakan, terpolakan, dan semua memiliki muara. Kritik saya cuma satu, semua para penikmat kesenjangan saat ini masih pake cara lama. Yap, lama. Cara  yang saat ini dari 1km pun sudah tersnif-snif, terpetakan dengan teknik yang baru (sebenernya udah banyak beredar, tapi karena ego, gengsi untuk dipelajari). Agak susah berhasil jika menghadapi era revolusi daya tukar, apalagi rahasia bukanlah masalah ketertutupan-keterbukaan akses, tapi kemampuan untuk me-reset, memahat, me(ng)-emerge kumpulan pola menjadi momen dan pola baru yang besar, yang tentunya bisa terkait kemana mana. 


Silahkan saja pake cara lama, jika ga sayang sama anak istri, dan generasi generasi penerus. Bangsa ini sudah terlalu banyak luka. Masih banyak yang belum mengering. 


Indonesia ini terlalu indah untuk dijadikan sekadar halaman rumah.


Makanya saya  ga terlalu suka terrarium.. Tapi ya terrarium bagus buat melatih rasa sayang pada detail. ...Tapi bukan untuk saya. #kokjadisaya


Kalo saya lebih senang dekat mata air dan sekitarnya, yang real-real saja. Lebih dekat dengan alam membuat kita lebih banyak bersyukur. Apalagi mendekatinya dengan pain (sakit karena ada elemen yang melewati daya tahan) dahulu. Karena pain bisa menyehatkan pikiran. Sedangkan hurt (sakit karena cedera -rusak) itu bisa diobati oleh pikiran yang sehat.. 


Yaaa.. Kalo ga ada mata air,  nongkrong di dekat Sanyo juga gapapa. #nyucidongsaya 


Hasbunalloh wanimal wakil. Wamakaru Wamakarullah. Mahasuci Pemilik Lauhul Mahfudz.



Monday, February 08, 2021

Carbon Market as Good Agregator



Berita tentang bencana alam memenuhi ruang layar desktop akhir-akhir ini.  Waktu untuk membuka website berita jadi lebih banyak. Bukan saja ingin mengetahui 4W1H, atau bahkan six sigma,  dari berita tersebut. Ini tentang keterkaitan antara bencana yang terjadi dengan data terbaru tentang kebijakan carbon market yang sebentar lagi akan "digelar" di ruang-ruang pikir dan kebijakan. 

Khawatir? bisa jadi, tapi tetap tidak sekhawatir resiko dari polarisasi yang dijadikan alat untuk memformalkan rasisme dalam kebijakan.  Bukan berarti salah. Tapi perbandingan antara kebijakan dan respon yang bisa muncul bisa jadi tak lagi dalam track yang sudah dipetakan. Respon yang berbasis SARA biasanya akan menghasilkan putusan/kesepakatan yang juga responsif. Kebijakan yang responsif biasanya tidak agile dalam menyikapi peristiwa-peristiwa yang bisa mengurai kesepakan. Dibutuhkan sebuah pemahaman mendalam-yang bersifat deep mind therapy, untuk menjadikan sebuah kebijakan beresiko rasis dipahami secara objektif, minimal moderat. 

Apapun kebijakan yang bermotif kebencian pada elemen SARA pasti akan terpetakan. Keinginan untuk menghilangkan salah satu (kelompok) sebagai solusi masalah adalah justru akar masalah itu sendiri. Ini seperti utopia yang menjadi penyebab sebuah habitat berpotensi untuk di-reset. Ya betul. Tak ada obat dari sebuah kebijakan berbasis SARA, atau berbasis bully (ketidaksetaraan) yang bisa disikapi dengan gradual. Harus cepat. Harus taktis. Pembiaran akan membentuk cluster-cluster baru yang..yah.. bisa dibilang hanya akan menjadi "tetelan peradaban".

Lalu balik lagi ke isu carbon market. Kekhawatiran saya pada berlakunya carbon market yang masif mungkin bukan pada pondasi pembentuan marketnya. Kekhawatiran saya lebih kepada terintegrasinya kekuatan-kekuatan yang memiliki penguasaan sumberdaya dari hulu  ke hilir, atau gampangnya kita sebut saja oligarki, untuk menjadi stakeholder utama dalam kebijakan carbon market ini. Padahal setahu saya isu ini sebenarnya justru untuk menghidupkan peran masyarakat adat dan nilai-nilai peradaban yang jadikan alam sebagai "ibu", disertai pemahaman baru pada circular economy.

Kenapa saya bisa khawatir? Gejalanya sudah ada. Counter narrative untuk isu-isu lingkungan yang muncul di media kini bertambah dengan masifnya gerakan "pemetaan pasar" oleh pihak-pihak yang saya sebut tadi. Kata oligarki sebenarnya sudah tidak tepat, karena kekuatannya sebenarnya tidak mengikat secara hukum, tapi lebih kepada ketergantungan pada aset akibat terikat kesepakatan bisnis yang tidak berbasis kesetaraan. Hal ini bermuara pada masifnya "perbudakan finansial" atau "debt market", atau bahasa sopannya, peradaban rente. 

Selain munculnya para aktivator peradaban rente, terlihat juga masifnya praktek penjualan produk harga "produsen" di level pengecer. Ini adalah salah satu ciri sebuah gerakan penguasaan peta pasar sedang beroperasi. Beruntung jika gerakan tersebut didukung oleh sistem (barrier) pendukung yang "mengawal, menjaga, dan memetakan", yang berbentuk seperti MLM atau cycle of marketer. 

Barrier ini yang akan menjaga dinamika pasar. Jika tidak, gerakan seperti ini punya potensi bersifat terbuka, dan mengacaukan peta distribusi, atau peta analisa pasar dari komunitas pemerhati pasar yang netral, atau peta yang dimiliki oleh regulator, dalam hal ini pemerintah. Karena jika salah menganalisa, berakibat pada salahnya data. Salah data bukan hanya akan hasilkan kebijakan salah, tapi juga kebijakan tersebut tak memiliki value, dan tak meninggalkan value positif (daya tawar tinggi) pada sebuah rezim pemerintahan dan civil society yang attach/mengorbit padanya. 

Saya masih menganggap kekhawatiran yang terjadi di pemetaan carbon market ini bukan masalah segenting kebijakan yang mengagregasi motif-motif SARA. Jalan masih panjang, semua masih meraba-raba tentang carbon market, bahkan para pelaku penentu kebijakan yang duduk berdasi rapi pun masi stress jika harus menghitung dampak yang terjadi saat gunung es terbesar di Antartika terpecah. Jalan masih panjang, kalo dibanding prediksi teresetnya bangsa yang mudah digiring ke isu SARA ini. Hitungannya sudah bukan lagi per bulan, apalagi per tahun. Variabel yang diukur sudah per trend-hour. Tentunya jika kita memiliki situation room - bukan awan masalah -  masih ada peluang Indonesia untuk berbenah, bahkan menjadi leader untuk isu pemetaan carbon market. Masalah dalam kerangka membangun bisa dianggap sebagai situasi. Tapi untuk kebijakan yang mengagregasi SARA, itu justru akan membuat kita menjadi negara yang berada diambang fase reset. What is that? Just find it by yourself. 


Thursday, February 04, 2021

The Art of Immersed in Function



Persiapan adalah satu fase yang biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki keberanian. Keberanian lahir dari kesadaran, kemampuan untuk memetakan resiko, memetakan respon darurat (mitigasi), dan merayakan hikmah pembelajaran dari keselamatan. 

Persiapan pula yang seringkali membedakan apakah seseorang benar-benar mampu mengelola perbedaan yang datang tiba-tiba, tak mengikuti ritme sebuah proses  produksi atau sebuah proses yang telah disepakati.  Coba kita lihat saja manusia-manusia Jakarta di perempatan padat ibukota, ketika dihadapkan dengan mobil yang mogok saat lampu hijau menyala. Coba jika ada waktu, simak respon yang terucap-terdengar oleh kita. Mengutukkah? Teriak tantrum (ga jelas) kah? Atau hanya tersenyum, sambil melihat kiri-kanan menjaga jarak aman. Itulah respon manusiawi manusia yang bisa terambil di teritori yang kecil, dan bisa jadi bahan analisa dari sisi perilaku dan profil.

Orang-orang yang siap adalah orang-orang yang memiliki racing line jika di dunia balap otomotif, jalur kerja jika di dunia infrastruktur, peta coverage untuk orang yang aktif di dunia logistik, dan mitigasi untuk yang bekerja di dunia SAR dan kebencanaan. Semua terkait. antara koneksi individu yang bergerak aktif (hingga batas) dengan potensi yang bisa dihasilkan lingkungannya. 

Coba jangan bicara dulu tentang perang, atau beradu habis-habisan untuk menentukan sebuah catatan baru yang bisa diingat oleh banyak stakeholder untuk menjadi batas pikir baru. Perang adalah sebuah fase di atas bersiap. Perang bukan hanya tentang benturan yang bisa terjadi, tapi juga menyatunya entropi yang biasa bekerja senyap di alam, menyatu dengan intensi pikir manusia. Jika tak memiliki kesiapan, entropi ini bisa merasuk cepat ke pikiran. Bukan hanya membuat kacaunya peta yang sudah diverifikasi, tapi juga bisa mengakibatkan lahirnya state of ego, sebuah hal yang mengerikan, bila muncul di ranah kolektif kolegial. 

Memang ada yang mengatakan bahwa untuk damai kita harus siap berperang. Tapi harus dipahami itu dikatakan di mana, pada saat apa, dan siapa yang berbicara. Harus dipahami apakah yang mengatakan hal tersebut pernah mendapatkan esensi damai, yaitu percaya satu sama lain sebelum berkumpul bersama? Ataukah hanya baru bisa berkumpul satu sama lain karena persamaan kepentingan, rasa suka, rasa setara, dan kenyamanan hidup yang terpenuhi. Jika belum sampai pada saling percaya, maka peperangan banyak terjadi pada diri kita sendiri. Peperangan melawan munculnya "state of ego", yang memutus intensi untuk berkolaborasi. Jika peperangan itu bisa dilalui, maka rasanya sebuah organisme individu bisa memulai fungsinya dalam sebuah algoritma sosial.

Jika belum menyadari (f) kita dalam sebuah algoritma, maka inefisiensi yang muncul akan lebih banyak dari hasil (=). Mengukur, memetakan, menjaga, adalah sebuah aktivitas dasar awal yang bisa dilakukan sebelum menyadari peran, bahkan value kita dalam sebuah sistem yang berlangsung. Jadi ga perlu lagi terjebak dalam algoritma yang bermuara pada polarisasi,yang memang banyak sekali (lagi tren) digunakan oleh para kapitalis digital dalam meraup profit. Profit di era digital bukan tentang pundi-pundi yang ada di kantong. Profit adalah daya jangkau untuk memengaruhi dan membuat sebuah organisme individu "selalu merasa tidak siap" dan tidak memiliki mitigasi saat "bencana" atau "peperangan besar" tiba. 

Tuesday, February 02, 2021

Algoritma yang “Memiskinkan"



Sebuah susunan intensi yang disusun dalam kesadaran penuh akan menjadi cerminan sebuah kondisi yang terjadi di sebuah masa. Sebut saja susunan intensi tersebut dengan nama: algoritma.


Semakin hari semakin sederhana cara untuk menentukan pilihan yang berat, rumit, dan beresiko. Tombol yang harus dipencet semakin nyaman untuk ditekan, bahkan bisa dengan hanya tatapan yang tersingkronisasi dengan gudang data retina. Kadang gudang tersebut bermarkas di dalam gunung (yang dilubangi), yang sedang banyak dibangun di negeri-negeri tertutup awan. 


Pilihan yang berat tidak lagi terasa berat, padahal mengandung resiko besar pada masa depan. Resiko putusnya kepemilikan, resiko putusnya generasi, bahkan resiko te-reset-nya sebuah peradaban menjadi hal yang gampang untuk dipilih, secara sengaja atau tidak. 


Generasi yang biasa terlatih untuk mengukur akan lebih lambat ritmenya dalam menghadapi hari-hari ke depan. Dan selalu begitu. Cerita kebanggaan masa lalu akan bernilai hanya jika di-framing dengan emas. Sisanya ya cerita yang melapuk dan membutuhkan ruang kekhusyukan di antara waktu-waktu yang menyibukkan. Ukuran di hari yang makin baru makin tersembunyi. Terbungkus dalam rangkaian template yang semakin tak memiliki sudut batas. 


Generasi yang baru lebih cepat untuk memetakan kompleksitas. Karena ketakutan akan kesalahan bukan terbeban pada pundaknya. Salah adalah sebuah proses yang tak lagi terletak di (masa) depan, tapi di awal saat proses  penyusunan momen berlangsung. Kesalahan ada pada saat algoritma sedang disusun. Tak ada kesalahan bagi para pengguna algoritma. 


Generasi baru yang terbiasa merangkai jati diri dengan kumpulan algoritma. Kumpulan cara berpikir yang memiliki keterikatan secara fungsi dan aktivitas sebuah generasi, hinggal level -perdetik. Tak heran waktu bukan lagi sebuah titian, bukan lagi sebuah deret hitung, bukan lagi angka yang harus disebutkan secara bersusun. Arti ketepatan waktu bukan lagi terletak pada jalannya sebuah fungsi di waktu tertentu. Tapi bagaimana sebuah fungsi bisa menciptakan irisan cerita dengan fungsi lain. Waktu adalah titik ukur bagaimana sesuatu punya nilai. Nilai tak lagi berupa kesepakatan tukar, atau mata uang. Nilai adalah irisan momen cerita bisa menyusun dirinya. 


Uang mungkin tak ada di masa nanti, walau masi sangat panjang untuk sampai ke sana. Gantinya mungkin bukan barter. Gantinya bisa jadi adalah angka-angka yang belum berlangsung. Ganti uang adalah janji. Ganti uang bukan lagi kesepakatan pertukaran.


Beberapa variabel di atas mungkin bagi berapa pihak sudah terasa sekali sering didengungkan. Baik di pelatihan, seminar, atau pertemuan privat di sebuah kelompok yang concern dengan bagaimana meningkatkan value di ranah yang tak terlihat-tersimpan. Beberapa variabel digodok dengan serius untuk dijadikan skenario bagaimana dalam sebuah teritori tertentu peradaban tanpa uang bisa berjalan tanpa mendisrupsi peradaban uang.


Untuk mencapai sebuah keseimbangan besar (equilibrium) baru, maka akan banyak kegiatan yang benar-benar menghilangkan makna uang itu sendiri. Masing-masing menunjukkan value-nya. Produknya, kekhasannya, keunikannya yang luar biasa dan tak dimiliki yang lain, walau tetap, tak terjadi pertukaran, karena uang sejatinya akan bergulir saat ada aliran besar yang bergerak, yang saling mengiris, yang saling menyusun cerita. Aliran itu bisa dibangun dari dinamika pergerakan kesadaran bersama, bahkan dinamika mengembang-menyusutnya entitas yang merangkai kedaulatan. 


Yap! ada saatnya kita (harus) miskin. Tak (butuh) ada uang. Atau istilah yang akan ramai, "mau bayar pakai apa?".Tulisan ini anggap saja fiksi belaka. Hingga waktunya tiba. 

Friday, January 29, 2021

The Falling Constant



Saat ada bahasan tentang konstanta, pikiran selalu melayang ke pelajaran golden section yang terbenam di dasar  kepala saya. Ternyata semua sudah berubah. Golden section bukan lagi tentang cara menghasilkan komposisi yang indah. Golden section adalah tentang tools untuk kalibrasi (saja). 


Berita terakhir yang saya terima ketika menulis ini adalah tentang "pengeroyokan" sebuah brand apparel perlengkapan gunung yang melakukan blunder dalam strategi marketing digital-nya. Tak tanggung-tanggung, dari info "orang dalam"  yang saya terima di WAG grup pesepeda, CEO langsung turun mengambil shortcut. Yap, midas move, khas CEO. Langkah yang selalu saya sukai. 

Karena itulah fungsi CEO. Tak hanya memimpin, tapi juga bisa me-reset sebuah kondisi di sebuah sistem yang berada di area of influence-nya. Sistem bukan saja tentang susunan fungsi-fungsi yang terkait dengan aktivitas untuk berproduksi. Di masa depan, systems is a product itself. 

Sebuah sistem akan terus bergerak, seperti sebuah organisme, yang butuh asupan dan mengeluarkan residu. Seperti organisme juga, sebuah sistem memiliki kecenderungan untuk mereposisi diri saat kondisi mulai tak imbang, mulai berpotensi untuk tidak menghasilkan gerak yang positif untuk "tubuh" nya. 

Saat berpikir bahwa sebuah sistem itu seperti organisme, ga perlu berkhayal tentang bagaimana organisme itu menghasilkan keturunan. Terlalu jauh. Proses mengenal diri, proses menempatkan diri, dan proses untuk menjadi bagian ekosistem lebih besar jauh lebih penting daripada memikirkan bagaimana diri bisa memiliki duplikat. 

Aturan dan sistem bukanlah konstanta yang harus diimani pada kondisi kritis. Bisa jadi konstanta tersebut berada pada pucuk pimpinan tertinggi yang memiliki intensi mengaitkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, yang mungkin... baru tergambar di benak pucuk pimpinan tinggi tersebut. Kepemimpinan tetap membutuhkan "wangsit". Wangsit mungkin istilah lama. Tapi di dunia digital ke depan, kita akan banyak berbicara tentang "emerging pattern". 

Emerging pattern ini seperti pelajaran baris berbaris saat mengikuti ekskul paskibra. Ada arah, ada jarak yang harus dijaga, ada ritme yang harus diikuti bersama, dan ritme pribadi yang dalam satu kelompok bisa berbeda. Jika terbiasa dalam permainan pola, apalagi penyusunan data, maka pemolaan tak lagi bergerak seperti teori membalikkan sistem breakdown, mengumpulkan hal-hal kecil menjadi satu judul utuh. Pemolaan bisa jadi ya bergerak bebas saja dulu menyeimbangkan diri, lalu mulai terlihat arah gerak, untuk saling terhubung, dan jika lebih tenang lagi, akan terasa sebuah ritme besar, bahwa keterhubungan ini menuju ke sesuatu yang besar. Bukan tentang judul, tapi tentang wujud sebuah sistem. Sebuah organ. 

Untungnya, peran kita sebagai pelaku baris-berbaris, atau pemindai sistem sudah bisa digantikan oleh "robot". Yes, robot dalam tanda kutip. "Robot" ini bisa membaca pola dan susunan perintah, atau bahasa lebih utuhnya : algoritma. "Robot" ini bisa kita kerjakan untuk memecahkan kumpulan data, ikatan data, kuncian data, lalu bisa mengurainya sesuai keinginan. "Robot" ini tak memiliki kehendak. Kehendak ada di pola kumpulan, ikatan, dan kuncian. Sehingga penempatan "robot" pada sebuah organisme sistem akan menjadi perapi, penegas, dan penentu sebuah pattern sedang bergerak menuju "wangsit" tertentu. Ya, "robot" ini adalah pengganti fungsi konstanta dalam pikiran lama saya. "Robot" ini bisa menjadi pengganti golden section yang kadang benci tak benci saya gunakan dalam merangkai sebuah komposisi agar menjadi lebih nyaman dipandang. 

Karena ke depan respon tak hanya berasal dari kenyamanan panca indera.  Pandangan, pendengaran, penciuman , rasa,  dan hawa, baru hanya menjadi "dinding" sebuah organisme. Organisme kebijakan. Sedangkan isinya bisa berupa skenario, analisa, dan data luar yang direct-live terhubung dengan gerak "organisme" ini.

"Organisme" ini bisa berupa gadget, smart tools, atau berita yang kita baca. Menyerap semua informasi dari kita, dari gestur, mimik, tempat, intensi, dan arah kita bergerak. Informasi ini dikaitkan dengan informasi dari individu selain kita. Terus berkait, hingga organisme ini bisa mencatat sebuah pola peradaban lebih utuh. Lebih bisa di re-simulasikan. Tidak hanya menjadi sebuah catatan, tapi bisa menjadi sebuah skenario yang lengkap dengan storyboard dan support system-nya. 

Balik lagi ke cerita di paragraf pertama. CEO sebuah brand bisa berlaku seperti "organisme' ini. Idealnya, memiliki peta pergerakan dan situasi yang komplet hingga bisa membuat gerakan shortcut yang efektif di situasi kritis. Tak hanya kerjanya yang memiliki added value, tapi juga geraknya, dan jaringannya bisa menjadi inersi dan momentum yang menguatkan habitat tempat berpijaknya. Hingga setiap yang dilakukannya memiliki added value


Setidaknya, seperti itulah sebuah organisme sejati yang bisa survive di peradaban digital, 15-20 tahun ke depan. Berhulu dari pengendalian diri (mindfulness), bermuara di perayaan semesta. 

Monday, January 25, 2021

The Tree of Wisdom in Digital Era



Membangun civil society bermula dari meluaskan ibadah personal -bahasa lainnya silaturahmi- menjadi sebuah wadah. Wadah untuk berkumpul, sharing, dan berkolaborasi.

Namanya bisa saja komunitas, organisasi, atau yang lebih santai dan bernuansa agak tradisional: paguyuban. Intinya, nama bisa apa saja. Apalagi di jaman sekarang, saat semua bisa berkumpul terlebih dahulu secara virtual di sosial media sebagai wadah awal untuk saling mengenal. Setelah saling mengenal, tentunya jika beruntung, maka akan ada semangat untuk bergerak bersama, sharing dan kolaborasi. Memadukan kemampuan dan kemauan menjadi sebuah energi lebih besar yang bisa memengaruhi suasana sebuah civil society.

Kenapa saya bilang beruntung? Perkumpulan dalam matematika bisa berupa himpunan, atau bisa berupa irisan. Untuk komunitas, yang sering terjadi adalah irisan kepentingan. Beruntunglah yang memiliki irisan kepentingan yang bisa melahirkan aktivitas sharing dan kolaborasi. Untuk organisasi yang memiliki hirarki, hak dan kewajiban, mungkin sifatnya himpunan. Karena kumpulan entitas berkumpul dan berkomitmen untuk melaksanakan sebuah visi dan misi bersama dalam timeline yang biasanya ditentukan.

Balik lagi ke komunitas, karena berbentuk irisan, maka aturan akan lebih fleksibel. Karena pada dasarnya setiap entitas yang berkumpul memiliki major intention dan minor intention yang mungkin tidak ada dalam irisan kepentingan individu dalam berkumpul. Ada yang berkumpul karena senang dengan berbagi informasi (baru). Ada yang berkumpul karena senang punya intensi (bisnis, atau hati) pada individu lain. Tak bisa dikatakan sebagai himpunan. Hingga membuat aturan pada komunitas akan berdampak semakin sensitifnya respon pada setiap input yang terkait dengan intensi untuk berkumpul. Atau kata sederhananya, semakin banyak aturan, semakin hati-hati orang untuk sharing dan menginisiasikan sebuah kegiatan berkolaborasi. 

Oke, kita mulai pembahasan bagaimana cara untuk membuat sebuah wadah yang tetap seru dan agile (ulet) menghadapi transformasi digital yang menguji tatanan analog yang pernah disepakati bersama dalam pembentukan sebuah "wadah" berkumpul. 

Intensi untuk berkumpul biasanya dimulai oleh minat. Setelah ada minat, maka muncul hasrat untuk berkoneksi, menyambung kontak diri, kontak pikir, mungkin hingga kontak visi dan misi (yang ada di hati). Biasa dinamakan trust. Trust ini memiliki energi yang besar. Besar karena bisa menghilangkan prosedur-prosedur administratif dalam memverifikasi data yang masuk dari entitas lain (yang sudah dipercaya).  Trust ini seperti sebuah landasan bagaimana sebuah pohon kebijaksanaan bisa tumbuh subur di sebuah wadah berkumpul (dan bertumbuh). Bertumbuh menjadi individu yang bertambah skill-nya, bertambah percaya dirinya, dan bertambah ke-agile-annya. Yap, wadah berkumpul yang agile adalah wadah yang bisa membesarkan anggotanya. 

Jika tak ada trust yang dibangun, terlalu berbasis hierarkikal, senioritas, maka dalam bahasa lamanya, yang berkembang hanya otak kiri saja. Semakin banyak ide yang sifatnya administratif, bermuara pada semakin banyak ide untuk perbanyak aturan organisasi. Itu menjemukan. Apalagi intensi berkumpul diarahkan pada kultus individu. Pengultusan akan selalu akan menjadi "black hole" organisasi. Banyak cerita tentang ini, ketika si individu yang dikultuskan terkena "guncangan", maka yang berdampak adalah wadah besarnya. Berdampak buruk tentunya, organisasi besar kehilangan kendali. Akibatnya, pohon kebijaksanaan yang tumbuh dalam setiap benak anggota wadah mulai meranggas. 

Pengultusan berbanding terbalik dengan budaya penghormatan. Penghormatan tak hanya selalu pada individu yang berhasil besar. Penghormatan bisa diraih oleh setiap individu yang bisa menjaga. Menjaga akan selalu lebih sulit dari membesarkan. Karena membesarkan lebih banyak terkait dengan momen (yang bisa dibuat), dan menjaga lebih banyak terkait dengan komitmen menyusun dan menyeimbangkan. 

Ada baiknya dalam menghadapi era yang sangat proximal dan inconstant constant(a) ini sebuah wadah organisasi bermula dari semaian semangat kolaborasi menggabungkan perbedaan. Karena perbedaan adalah energi. Jika energi untuk sharing dan kolaborasi ini tidak dipakai, maka lama-lama akan merusak. Jika dipakai dengan bijak, maka akan menghidupkan bibit-bibit lain yang malu-malu untuk bertumbuh menjadi entitas yang akuntabel.

Akuntabilitas dalam ber-wadah bukanlah tentang mencapai keseimbangan value output dan input. Akuntabilitas juga bisa berarti proses penjagaan kontinyu pada kuantitas dan kualitas rangkaian data. Bentuknya bisa berupa catatan saat memiliki momen ber-sharing dan berkolaborasi. Jika berbentuk produk, akuntablilitas ini seperti tools untuk pencatatan agar sebuah entitas bisa memverifikasi posisinya real time di berbagai kondisi.  Keberadaannya terasa real di sebuah peta besar, seperti teknologi penggambaran posisi pada Landrover Defender terbaru. Yap, beyond GPS.

Ada baiknya dalam menghadapi civil society yang masih materialistis, khususnya dunia bisnis yang ter-attach dengan organisasi, akuntabilitas wadah bisa menjadi mata air, penghilang dahaga, sumber ilmu,  yang bisa membuat daya tawar lebih pada pihak luar, atau wadah lain.

Daya tawar ini tak selalu terkait dengan kerjasama. Dalam konteks dunia maya atau digital, kerjasama bisa terjadi hanya dengan mengaitkan intensi. Wujud aktivitasnya seringkali behind the scene. Tak selalu harus memperlihatkan visual saling bersalaman dan menandatangani kesepakatan. 

Kesepakatan dengan wadah bisnis khususnya. Wadah yang berkecenderungan berusaha mendekati dengan pendekatan material yang memiliki kerawanan dan sensitivitas dalam teknis komunikasinya. Mengaitkan intensi sebagai daya tawar bisa menaikkan peran dan menjaga pohon kebijaksanaan sebuah wadah terus tumbuh dan tak meranggas. Yap, kita tidak lagi membahas tentang pencitraan, sebuah teknologi usang memetic di dunia rekayasa sosial. Teknologi usang yang membuat distorsi dan polarisasi pada society. Kini jamannya berakuntabel. 

Jika dahulu kita mengenal aturan dalam sebuah wadah, maka di jaman digital ini kita mengenal "entitas pengatur" berupa algoritma-algoritma. Algoritma bisa berubah setiap saat ketika sebuah wadah menyikapi konteks dan konten yang berbeda. Fokusnya tetap pada menjaga daya tawar. Fokusnya tetap pada menjaga kesetaraan. Fokusnya tetap pada menciptakan engagement, momen sharing dan kolaborasi, yang terus-menerus. Bahasa kekiniannya, bisa sustain. 

Jika dahulu kita mengenal komitmen, loyalitas, visi dan misi sebuah wadah berkumpul, maka di jaman digital kita harus mengenal bentuk yang lain tapi serupa, yaitu konstanta-konstanta. Yang terlihat mengikat, namun untuk menyamankan. Yang terlihat mengatur, tapi memperindah. Konstanta ini bisa memiliki fleksibilitas saat merespon ketidaksetaraan, tapi memiliki kemampuan untuk memompa intensi sharing dan kolaborasi saat berada dalam atmosfer kesetaraan. 

Silaturahmi mah ibadah personal. Tapi secara sistem, wadah untuk beribadah silaturahmi ya bisa komunitas, organisasi, institusi, akademi, paguyuban, atau apapun. Dalam kontek lebih besar lagi, civil society, yang menurut salah satu lembaga yang ngulik kenyamanan negeri ini, adalah bagian dari kedaulatan bangsa.


"Niat bersilaturahmi yang diwadahi dalam komunitas bisa menguatkan daya saing civil society untuk perkuat kedaulatan bangsa," Kurang lebih gitu lah kalo dibuat judul skripsi :D 

Intinya, jika ingin bersilaturahmi dengan dampak yang lebih besar, lupakan keinginan untuk mengatur. Jadikan diri sebagai surfer, siapkan papan surfing. Lalu siapkan papannya, beri lilin. Jangan lupa, carilah ombak terbaik. Bukan ombak yang malu-malu kucing.