Monday, January 25, 2021

The Tree of Wisdom in Digital Era



Membangun civil society bermula dari meluaskan ibadah personal -bahasa lainnya silaturahmi- menjadi sebuah wadah. Wadah untuk berkumpul, sharing, dan berkolaborasi.

Namanya bisa saja komunitas, organisasi, atau yang lebih santai dan bernuansa agak tradisional: paguyuban. Intinya, nama bisa apa saja. Apalagi di jaman sekarang, saat semua bisa berkumpul terlebih dahulu secara virtual di sosial media sebagai wadah awal untuk saling mengenal. Setelah saling mengenal, tentunya jika beruntung, maka akan ada semangat untuk bergerak bersama, sharing dan kolaborasi. Memadukan kemampuan dan kemauan menjadi sebuah energi lebih besar yang bisa memengaruhi suasana sebuah civil society.

Kenapa saya bilang beruntung? Perkumpulan dalam matematika bisa berupa himpunan, atau bisa berupa irisan. Untuk komunitas, yang sering terjadi adalah irisan kepentingan. Beruntunglah yang memiliki irisan kepentingan yang bisa melahirkan aktivitas sharing dan kolaborasi. Untuk organisasi yang memiliki hirarki, hak dan kewajiban, mungkin sifatnya himpunan. Karena kumpulan entitas berkumpul dan berkomitmen untuk melaksanakan sebuah visi dan misi bersama dalam timeline yang biasanya ditentukan.

Balik lagi ke komunitas, karena berbentuk irisan, maka aturan akan lebih fleksibel. Karena pada dasarnya setiap entitas yang berkumpul memiliki major intention dan minor intention yang mungkin tidak ada dalam irisan kepentingan individu dalam berkumpul. Ada yang berkumpul karena senang dengan berbagi informasi (baru). Ada yang berkumpul karena senang punya intensi (bisnis, atau hati) pada individu lain. Tak bisa dikatakan sebagai himpunan. Hingga membuat aturan pada komunitas akan berdampak semakin sensitifnya respon pada setiap input yang terkait dengan intensi untuk berkumpul. Atau kata sederhananya, semakin banyak aturan, semakin hati-hati orang untuk sharing dan menginisiasikan sebuah kegiatan berkolaborasi. 

Oke, kita mulai pembahasan bagaimana cara untuk membuat sebuah wadah yang tetap seru dan agile (ulet) menghadapi transformasi digital yang menguji tatanan analog yang pernah disepakati bersama dalam pembentukan sebuah "wadah" berkumpul. 

Intensi untuk berkumpul biasanya dimulai oleh minat. Setelah ada minat, maka muncul hasrat untuk berkoneksi, menyambung kontak diri, kontak pikir, mungkin hingga kontak visi dan misi (yang ada di hati). Biasa dinamakan trust. Trust ini memiliki energi yang besar. Besar karena bisa menghilangkan prosedur-prosedur administratif dalam memverifikasi data yang masuk dari entitas lain (yang sudah dipercaya).  Trust ini seperti sebuah landasan bagaimana sebuah pohon kebijaksanaan bisa tumbuh subur di sebuah wadah berkumpul (dan bertumbuh). Bertumbuh menjadi individu yang bertambah skill-nya, bertambah percaya dirinya, dan bertambah ke-agile-annya. Yap, wadah berkumpul yang agile adalah wadah yang bisa membesarkan anggotanya. 

Jika tak ada trust yang dibangun, terlalu berbasis hierarkikal, senioritas, maka dalam bahasa lamanya, yang berkembang hanya otak kiri saja. Semakin banyak ide yang sifatnya administratif, bermuara pada semakin banyak ide untuk perbanyak aturan organisasi. Itu menjemukan. Apalagi intensi berkumpul diarahkan pada kultus individu. Pengultusan akan selalu akan menjadi "black hole" organisasi. Banyak cerita tentang ini, ketika si individu yang dikultuskan terkena "guncangan", maka yang berdampak adalah wadah besarnya. Berdampak buruk tentunya, organisasi besar kehilangan kendali. Akibatnya, pohon kebijaksanaan yang tumbuh dalam setiap benak anggota wadah mulai meranggas. 

Pengultusan berbanding terbalik dengan budaya penghormatan. Penghormatan tak hanya selalu pada individu yang berhasil besar. Penghormatan bisa diraih oleh setiap individu yang bisa menjaga. Menjaga akan selalu lebih sulit dari membesarkan. Karena membesarkan lebih banyak terkait dengan momen (yang bisa dibuat), dan menjaga lebih banyak terkait dengan komitmen menyusun dan menyeimbangkan. 

Ada baiknya dalam menghadapi era yang sangat proximal dan inconstant constant(a) ini sebuah wadah organisasi bermula dari semaian semangat kolaborasi menggabungkan perbedaan. Karena perbedaan adalah energi. Jika energi untuk sharing dan kolaborasi ini tidak dipakai, maka lama-lama akan merusak. Jika dipakai dengan bijak, maka akan menghidupkan bibit-bibit lain yang malu-malu untuk bertumbuh menjadi entitas yang akuntabel.

Akuntabilitas dalam ber-wadah bukanlah tentang mencapai keseimbangan value output dan input. Akuntabilitas juga bisa berarti proses penjagaan kontinyu pada kuantitas dan kualitas rangkaian data. Bentuknya bisa berupa catatan saat memiliki momen ber-sharing dan berkolaborasi. Jika berbentuk produk, akuntablilitas ini seperti tools untuk pencatatan agar sebuah entitas bisa memverifikasi posisinya real time di berbagai kondisi.  Keberadaannya terasa real di sebuah peta besar, seperti teknologi penggambaran posisi pada Landrover Defender terbaru. Yap, beyond GPS.

Ada baiknya dalam menghadapi civil society yang masih materialistis, khususnya dunia bisnis yang ter-attach dengan organisasi, akuntabilitas wadah bisa menjadi mata air, penghilang dahaga, sumber ilmu,  yang bisa membuat daya tawar lebih pada pihak luar, atau wadah lain.

Daya tawar ini tak selalu terkait dengan kerjasama. Dalam konteks dunia maya atau digital, kerjasama bisa terjadi hanya dengan mengaitkan intensi. Wujud aktivitasnya seringkali behind the scene. Tak selalu harus memperlihatkan visual saling bersalaman dan menandatangani kesepakatan. 

Kesepakatan dengan wadah bisnis khususnya. Wadah yang berkecenderungan berusaha mendekati dengan pendekatan material yang memiliki kerawanan dan sensitivitas dalam teknis komunikasinya. Mengaitkan intensi sebagai daya tawar bisa menaikkan peran dan menjaga pohon kebijaksanaan sebuah wadah terus tumbuh dan tak meranggas. Yap, kita tidak lagi membahas tentang pencitraan, sebuah teknologi usang memetic di dunia rekayasa sosial. Teknologi usang yang membuat distorsi dan polarisasi pada society. Kini jamannya berakuntabel. 

Jika dahulu kita mengenal aturan dalam sebuah wadah, maka di jaman digital ini kita mengenal "entitas pengatur" berupa algoritma-algoritma. Algoritma bisa berubah setiap saat ketika sebuah wadah menyikapi konteks dan konten yang berbeda. Fokusnya tetap pada menjaga daya tawar. Fokusnya tetap pada menjaga kesetaraan. Fokusnya tetap pada menciptakan engagement, momen sharing dan kolaborasi, yang terus-menerus. Bahasa kekiniannya, bisa sustain. 

Jika dahulu kita mengenal komitmen, loyalitas, visi dan misi sebuah wadah berkumpul, maka di jaman digital kita harus mengenal bentuk yang lain tapi serupa, yaitu konstanta-konstanta. Yang terlihat mengikat, namun untuk menyamankan. Yang terlihat mengatur, tapi memperindah. Konstanta ini bisa memiliki fleksibilitas saat merespon ketidaksetaraan, tapi memiliki kemampuan untuk memompa intensi sharing dan kolaborasi saat berada dalam atmosfer kesetaraan. 

Silaturahmi mah ibadah personal. Tapi secara sistem, wadah untuk beribadah silaturahmi ya bisa komunitas, organisasi, institusi, akademi, paguyuban, atau apapun. Dalam kontek lebih besar lagi, civil society, yang menurut salah satu lembaga yang ngulik kenyamanan negeri ini, adalah bagian dari kedaulatan bangsa.


"Niat bersilaturahmi yang diwadahi dalam komunitas bisa menguatkan daya saing civil society untuk perkuat kedaulatan bangsa," Kurang lebih gitu lah kalo dibuat judul skripsi :D 

Intinya, jika ingin bersilaturahmi dengan dampak yang lebih besar, lupakan keinginan untuk mengatur. Jadikan diri sebagai surfer, siapkan papan surfing. Lalu siapkan papannya, beri lilin. Jangan lupa, carilah ombak terbaik. Bukan ombak yang malu-malu kucing.  

No comments: