Sunday, June 30, 2024

Ilmu sebagai Wadah, Cermin, dan Senjata

 


Teknologi gawai berhasil mengoneksikan kita dengan jejaring, data masa lalu, bahkan gambaran masa depan kita. Secara tidak sadar banyak keterhubungan tak lagi dilakukan di ranah logika, tapi sudah dilakukan di alam bawah sadar, atau yang paling simpel, memainkan pola reflek kita.

Perkembangan peradaban terakhir ternyata belum sepenuhnya dikuasai oleh teknologi, dan menurut seorang rekan dan mentor, memang tak akan bisa teknologi menguasai semua hal terkait kehendak manusia, "Selalu ada ruang dimana sebuah kehendak memerlukan kecerdasan hati," ujarnya.

Perjalanan jauh saya di bulan lalu membuktikan ucapan rekan saya ini. Bagaimana sebuah tempat yang sakral bagi saya, untuk terhubung kembali dengan guru dan orang-orang yang punya manifestasi dalam menajamkan diri, dan sekitar, menunjukkan mutiara pembelajaran itu. Pembelajaran agar bisa  menjadi pisau yang berguna di dapur, di kebun dan di tempat lain demi untuk menciptakan ramuan nikmat yang baru, bangunan aktivitas solutif yang baru, dan semua hal terkait memperbaiki dan membangun. Bukan merusak.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menggunakan diri sebagai instrumen yang tidak merusak.   ini bukan hanya pertanyaan, bukan hanya pintu menuju ruang pemahaman baru, tapi juga adalah sebuah tantangan. Karena ilmu juga bisa merusak. Pisau juga bisa merusak. Pisau juga adalah alat, manifestasi dari ilmu ilmu menempa logam. Pisau juga adalah output dari aktivitas produksi yang mengaitkan besi dan kayu, atau plastik. 

Ilmu Sebagai Senjata

Banyak kejadian saat ini menempatkan mata hati kita di posisi bisa melihat, bagaimana seseorang menempatkan diri sebagai senjata. Ilmunya dijadikan senjata. Untuk bertahan hidup, dan untuk sekadar bisa menggores dan menakuti musuh yang datang, walau itu nyamuk. Kadang pisau jadi andalan saat ular dan harimau datang di tengah hutan. Seseorang seringkali bisa percaya diri hanya memegang pisau, seolah memiliki modal keberanian. Padahal percaya diri dan berani adalah dua hal yang ladangnya bisa berbeda. Memang modal percaya diri bagi sebagian orang adalah sepertiga dari solusi.  Dan solusi tak ada jika tak memiliki keberanian.

Walau pisau bisa jadi senjata, modal latihan untuk menguasai selalu penting dan mutlak. Secara aktivitas gestur, otot yang terikat dengan alam bawah sadar, belum saling terhubung. Belum melewati sesi "muscle-ing" atau pengototan. Betapa penting dan mutlak untuk melalui sesi melelahkan seperti latihan kuda-kuda di kuil shaolin, atau latihan riyadhoh di surau-surau para mursyid. "Menjemukan," kata sebagian partner gambar yang saya latih ketika saya melakukan latihan mengulang gestur di pelajaran anatomi. Namun jika kita bisa mewawancarai pondasi jembatan jika mereka hidup, mungkin mereka akan menjawab hal sama dengan kalimat berbeda yang lebih terasa positif. Hehe...

Saya biasanya akan meminta ijin mereka saat memasuki sesi menjemukan ini. Lalu saya akan tega untuk meminta mereka melakukan mengulang terlebih dulu minimal 7, maksimal 11 kali, untuk setiap gestur yang akan mereka gambar. Semata-mata agar mereka melakukannya dengan nafas yang lebih dalam. Penguasaan nafas adalah inti dari kesadaran. Menjadikan ilmu menjadi bagian dari serat-serat otot mereka.  Tak hanya ada di alam pikir, yang seringkali dibutuhkan untuk urusan lain yang biasanya mendesak. Mucle-ing adalah salah satu cara agar mereka menggambar gestur secara sadar penuh. Walau tentunya salah satu cara yang lain akan sama saja, melelahkan...Huhuhu... 

Tak setiap saat ilmu harus digunakan sebagai senjata. Sebagai alat pengakuan diri, atau sebagai alat untuk membuat celah masuk pada objek-objek yang kita inginkan. Aktivitas seperti itu seringkali merusak, dan menyakiti hati para pemilik aset, pemilik ruang waktu yang hadir sebelum kita. Bagaimana ilmu bisa bekerja menjadi penyembuh jika ilmu melukai saja yang dikuasai?


Ilmu Sebagai Wadah

Dalam beberapa kesempatan, saya rasa setiap kita akan diberi rizki untuk melihat insan-insan yang menjadikan ilmunya sebagai wadah. Sebagai tempat yang nyaman untuk membuka diri. Ada yang melihat insan sebagai tempat yang nyaman untuk mencurahkan keresahan. Karena keresahan seringkali adalah pembuka. Keresahan seringkali ditandai dengan tanda tanya. Seperti halnya di dunia intelektual, questioning adalah kunci dari sebuah riset. Sebuah pertanyaan bisa menentukan riset tersebut akan berlangsung dengan mudah, atau terjal. Dan setelah punya ilmu, tantangan selanjutnya dari setiap insan adalah memilih. Menentukan tujuan. Di sinilah peran "panggilan semesta" sangat fungsional. 

Menjadikan diri sebagai wadah, adalah sebuah rejeki saat memiliki pengetahuan. Seringkali pengetahuan kita hanya dijadikan alat untuk tunjuk diri yang bermuara pada menyakiti. Ilmu sebagai senjata tak selalu memberi solusi pada orang banyak. Ilmu sebagai wadah seringkali adalah jawaban untuk masalah-masalah yang lebih rumit dan memerlukan kerjasama dan kolaborasi. 

Di tempat lain juga kita melihat ilmu yang menyatu dalam insan, dan membuat insan tersebut sebagai tempat untuk menghubungkan diri. Berfungsi sebagai wadah, bahkan pada beberapa sosok saya melihat beliau seperti samudera, yang bisa mengantar kita ke tempat terjauh, dengan patokan mutiara-mutiara hikmah laksana konstelasi bintang yang menunjukkan tempat-tempat tujuan. 

.

Ilmu Sebagai Cermin

Seorang rekan pernah datang kepada saya saat saya menanti pengumuman sebuah lomba. "Rejeki itu akan datang sendiri. Jika ia datang, sebaiknya kita memang dalam keadaan siap, bukan keadaan kering karena menunggu. Jadi tak usah ditunggu, siapkan diri terus. Perhatikan kebutuhan diri yang tiap hari menuntut perbaikan cara pikir. Karena setiap hari baru adalah ruang untuk menemukan mutiara-mutiara, inti dari sebuah hari yang tidak selalu tiga dimensional, bahkan bisa tujuh dimensional. Bahkan lebih," ujar rekan itu di sebuah tempat ngopi favorit. 

Mengasah diri juga adalah sebuah hikmah dari memiliki ilmu. Mengasah agar selalu siap. Selalu tajam. Atau bila ia cermin, selalu mengilap, dan memantulkan dengan kualitas prima. Ilmu sebagai cermin, akan termanifestasikan pada orang-orang yang selalu memperbaiki dirinya. Bukan karena rusak. Tapi sebagai sebuah siklus bersyukur. Ilmu sebagai tasbih berputar, alat insan untuk mendekatkan diri pada Tuhannya, sekuat tenaga. 

Wednesday, June 26, 2024

Seni Bangun Pagi




Ada tiga kata di dalam judul di atas. Seni, Bangun, dan Pagi. Ketiga kata tersebut memiliki arti yang berbeda, dan tentunya jika dikembangkan, masing-masing bisa memiliki "gravitasi" yang berbeda, yang bisa menciptakan ruang dan waktu untuk merenung. 

Banyak hal yang terjadi saat hidup diisi oleh jadwal yang tak beraturan di setiap minggunya, dan berlangsung lebih dari lima tahun. Tentunya hal itu bisa saja terjadi, saat kita memiliki kesempatan kerjasama dengan orang ber-skill dan memiliki background yang berbeda. Seperti layaknya konstelasi bintang, perbedaan yang terhubung menghasilkan bentuk-bentuk berbeda yang kadang bisa menunjukkan arah untuk orang lain.

Memiliki kegiatan yang berbeda di tiap minggu dan bertemu dengan orang yang berbeda seringkali benar-benar membutuhkan persiapan yang tak juga seminggu. Bisa saja kegiatan yang hanya berlangsung seminggu membutuhkan persiapan hingga enam bulan, khususnya terkait peningkatan kapasitas diri untuk pekerjaan kolaborasi yang akan dilakukan. Pernah terjadi, di sebuah momen kerja kolaborasi dengan Universitas di luar negeri, persiapannya secara tak sengaja justru dilakukan di wilayah masyarakat adat yang memiliki nilai-nilai kuat dalam hal komitmen berhubungan dan berbagi ide. Saat itu pelajaran yang banyak diambil adalah bagaimana mengubah mental model yang berbasis objective oriented, menjadi role oriented. Melakukan sesuatu sesuai peran, dan menjaga peran agar selalu ada di area kontrol kita. 

Hal yang susah, karena seringkali kita mudah sekali untuk ikut campur, melibatkan diri di urusan-urusan yang bukan area kontrol kita, walupun itu masih ada dalam jangkauan panca indera kita. Seperti halnya momen berdoa di masyarakat adat. Walaupun kita sudah memiliki kemampuan menghapal banyak kitab, tentunya di area tertentu, di momen tertentu, ada orang yang sudah punya role sebagai tokoh yang memimpin doa. Di situlah role seorang yang memiliki kapasitas spiritual bisa ikut  men-support  momen tersebut agar terasa lebih dalam hingga momen berdoa menjadi lebih khusyuk secara kolektif. 

Lebih khusyuk dan lebih mudah cair dalam berkonstelasi di jaring-jaring sosial adalah sebuah kekuatan yang harus terus dilatih sepanjang waktu. Cara berkhusyuk yang semakin berkembang, dan cara mengaitkan diri secara sosial juga terus berkembang seiring semakin berkembangnya kompleksitas situasi dan alat-alat pendukungnya. Jika dibuat perumpamaan, seorang pendekar samurai yang terus berlatih akan selalu mendapat tantangan jika ia terikat  dalam konstelasi sosial. Tentunya tantangan itu bisa membuatnya berhenti dalam berjuang, karena mati atau menyerah, atau membuatnya terus bertahan dan berkembang karena merasa ada misi yang belum selesai dituntaskannya.

Energi Membangun

Huhuhu... Empat paragraf di atas terasa kaku, karena memang ditulis dengan energi penuh tekanan (force).. Bisa jadi karena dalam alam bawah sadar saya sedang ada pesan-pesan berupa sesuatu yang harus segera disampaikan. Entahlah. Memang sedang terjadi percepatan pembelajaran di semua hal. Kalo kata seorang rekan spiritualis, makrokosmos sedang berbenah untuk menyiapkan ruang baru yang lebih terhubung. Nah, coba di sisa beberapa paragraf di depan saya akan menulis dengan energi membangun (power). Saya coba kembali ke core judul tulisan, yaitu seni, bangun, dan pagi.

Seni untuk Bertumbuh

Mulai bicara seni. Saya ga akan masuk ke definisi seni secara textbook. Saya lebih melihat seni sebagai ruang bergerak dengan dimensi yang lebih dalam dari sekadar untuk mempengaruhi panca indera. Seni bisa jadi area bermain seorang yang ingin merasakan dirinya yang lebih besar, atau lebih kecil. Yang lebih besar untuk bisa menjadi ruang berkembang bagi yang lain. Yang lebih kecil untuk menjadi  ruang aman berkembang untuk dirinya sendiri. Dengan seni, sesuatu menjadi memiliki "gravitasi". Memiliki kemampuan untuk mencipta ruang dan waktu, sehingga apapun yang dilakukan dengan kesadaran untuk mengaktivasi diri, menjadi momen yang memiliki value.  Syukur-syukur value tersebut bisa ditukar sehingga tercipta capital dan artifak yang tangible, yang bisa menjadi wadah bertumbuh. 

Kembali Bangun

Ada sebuah momen yang mengubah hampir 80% cara berpikir saya mengenai cara menjalani hari. Saya pernah berada dalam sebuah situasi tak menentu yang berlangsung hingga setahun lebih rasanya. Hingga di satu titik terendah saya berdoa lirih pada pemilik jiwa raga, "Ya Tuhan, saya ikhlas, apapun yang terjadi, saya terima." Lalu saya tertidur pulas, salah satu tidur terpulas  saya selama hidup. Paginya saya bangun karena kena semburat sinar pagi. Seraya dalam benak seolah ada yang berkata,"Tuhan tak memberi hari baru untukmu jika kamu sudah "selesai". Hari baru adalah misi baru. Tuntaskan,"  Suara di benak itu begitu membuat saya bersemangat di pagi itu, padahal sedang menghadapi situasi berhadapan dengan sesuatu yang ada di luar area kontrol saya. 

Di situlah saya berubah. Menjadi seorang penikmat pagi. Penikmat waktu sebelum terjadi. Saya menjadi orang yang hadir minimal satu jam sebelum sebuah acara berlangsung.  Pagi tak lagi hanya area angka yang ada di jam, tapi juga ruang  bergravitasi yang bisa membuat kita berpikir lebih dalam tentang apa misi-misi kita untuk hari ini. 

"Tak datang awal waktu, tak akan ada mestakung," ujar saya pada rekan untuk menyemangati. Karena memang mendapatkan mestakung bisa jadi sebuah kenikmatan yang menyandu. 

Pagi dan Masa Depan

Bagi saya, pagi adalah sebuah gesture semesta yang membentuk dirinya seperti "teras masa depan" yang memiliki pintu ke ruang lain yang belum bisa kita bayangkan. Namun tanda-tandanya sudah terlihat. Pagi adalah ruang transisi yang membuat  kita bisa  ingat untuk  bersiap. Persiapan adalah inti dari sebuah tindakan. Seremeh apapun tindakan, sepenting apapun tindakan, tanpa persiapan akan membuat sebuah tindakan tak "menjadi daging". Tak punya nilai. Gampang dilupakan. Bisa saja itu yang mempercepat kita menjadi pikun dan didera ketakutan berkepanjangan.

Ya kurang lebih itulah tiga hal yang ingin saya utarakan dengan menulis tulisan dengan energi membangun (power) yang saya miliki di pagi ini. Jika tiga kata tersebut digabung menjadi Seni Bangun Pagi, tentunya tiga kata ini adalah sumber tenaga unutk menjadikan diri lebih bergravitasi. Bukan untuk menjadikan yang lain menempel pada kita. Itu hanya nomer sekian dari yang sekian. Gravitasi saat ini sangat penting untuk menciptakan ruang dan waktu, momentum yang bisa mempercepat perbaikan diri, dan sekitar. Jangan pernah terjebak dengan "success story", karena itu membunuh akal. Terus dalami diri, sekitar, dengan memperkuat gravitasi kita. 

Sudah dulu ngetiknya ya. Kopi susunya sudah entek. 


Saturday, May 11, 2024

Cerita Pensiunan




Perjalanan selalu memberikan cerita. Tak hanya dari pengalaman yang kita lalui, tapi juga pesan-pesan dari sekitar kita. Di satu sisi kadang risih untuk menembus dinding privasi, karena ini seperti nguping urusan orang lain. Tapi karena 'orang lain' ini adalah  tentang bangsa, maka saya merasa saya dalam sebuah 'big body', satu badan dengan orang tersebut. Seorang pensiunan, yang terlibat obrolan dengan rekannya di satu perjalanan dengan Commuter Line ke arah Kota Bogor. 


"Ada tiga cara umum 'mereka'--saya bingung menggambarkan siapa mereka ini, -- menghalangi bangsa ini melakukan loncatan, bahkan untuk bangkit saja seperti lumpuh,"  Ujar seorang Bapak yang membuka "obrolan pensiunan" dengan rekannya di Commuter Line menuju Bogor. 


"Yang pertama, jika sebuah perusahaan memiliki potensi mengelola keuangan -yang bisa memajukan bangsa- "mereka" akan menjegalnya dari sisi aturan perbankan. Dilaranglah mereka beroperasi karena regulasi," ujarnya.


"Yang kedua, jika sebuah organisasi memiliki potensi menjadikan anak bangsa bangkit kesadarannya, 'mereka' akan menjegal dengan susupkan agennya untuk kuasai  keuangan organisasi itu, mencekik mental, dan berlaku seperti 'The Assasins', should do, must done," ujarnya seraya menatap tajam ke jendela Commuter Line yang sedang dalam kecepatan cukup tinggi. 

"Yang ketiga, jika individu memiliki potensi jadi pemimpin,  'mereka' akan mengepung-lalu menyandera individu tersebut dengan masalah seputar pola interaksi yang harusnya tumbuh geometrikal, diarahkan menjadi homogen ala landlord sistem," ujarnya sambil usap dahi.


"Ini saya pake bahasa halus, karena sudah sangat terlihat di sekitar kita, orang-orang baik yang tersandera, sehingga kita seperti di sistem landlord, yang berpola imperatif, dan dijalankan oleh para imperialis. Padahal eranya sekarang sudah harusnya bisa bergerak liquid dengan gestur-gestur kolaboratif," ujarnya senyum.

"Sebenarnya banyak langkah lain yang 'mereka' lakukan di luar tiga tadi, tapi Insya Alloh untuk orang orang yang punya anker, atau iman kuat, yang sudah melewati ujian kesabaran, mampu mendeteksi, minimal menghindar," ujarnya, sambil terlihat sahabatnya menoleh...


Monday, August 14, 2023

Seni Mengecoh Nafsu




Pernah di sebuah momen silaturahmi katanya, yang diisi oleh alumni perguruan tinggi favorit Indonesia, saya hadir sebagai praktisi seni terapan, dalam hal ini saya sebagai kolega untuk rekan yang bergerak di bidang produksi produk merchandise dari sebuah brand. Saat saya berbicara tentang seni, ada beberapa pihak di lingkar saya yang tersenyum kecut. Selain karena mereka merasa lebih “berhak” berbicara tentang seni, juga memiliki sertifikasi karena pernah melalui wadah pembentukan di tempat yang memiliki tulisan “seni” di pilar-pilar bangunannya. 

Dalam satu waktu lain, saya pernah berada dalam ruang diskusi yang berisi aktivis literasi. Para aktivis itu sedang membahas makna dan peran seni di masyarakat. Ada kutipan menarik dari seorang peserta yang saya sendiri tahu ia sedang mengetes riak di forum, mengungkapan seni sejatinya bermanfat untuk menyatukn elit. Karena menurutnya elit lah yang bisa mengakses seni dengan kesadaran penuh. Tentunya pendapat ini lalu dibantah oleh rekan lain dari aktivis literasi lapangan, seorang fasilitator workshop, yang  menjadikan metode berseni sebagai alat terapi peserta workshop-nya, yang bisa dibilang berasal dari masyarakat awam yang tak membutuhkan teori seni untuk aktivitasnya sehari-hari.

Lalu, apa makna dan peran seni di forum itu? Ringkas cerita, di akhir pertemuan tidak ada yang mencoba untuk menyimpulkan. Karena masing-masing menghargai pijakan pendapat setiap pribadi, dan individu yang mewakili kelompok dan social body tertentu. Setidaknya bagi saya, di forum tersebut makna dan manfaat seni adalah untuk menemukan, momen atau setidaknya mencipta ruang untuk saling setuju dengan perbedaan. Agree to to disagree

Saya sendiri cukup puas dengan adanya pertemuan tersebut. Karena kita bisa melihat masing masing memiliki intensi untuk memajukan makna dan manfaat seni dengan caranya. Ada yang melalui jejaring elit, seniman, kurator, dan kolektor. Ada yang melalui penciptaan momen perform , baik di ruang privat atau ruang publik. Atau menggunakan seni sebagai tema untuk menjadikan orang lebih peka dengan dirinya sendiri dan sekitarnya, masa kini dan masa depannya, hingga menjadi momen penyembuhan mental dan tekanan kompleksitas berpikir.

Saya cukup puas karena seni tak lagi terlihat sebagai senjata. Apalagi sebagai alat menyombongkan diri: saya bisa kamu tidak. Saya puas di momen tersebut seni berhasil mengecoh nafsu :)


Sunday, April 30, 2023

Perjalanan Terjauh



Bagi sebagian makhluk-makhluk yang menggadaikan hati nurani  pada ambisinya, perjalanan mudik bisa jadi perjalanan yang mengganggu benaknya, mengganjal akalnya. Bahkan ada beberapa anasir pembising menyebutkan dan mengaitkan perjalanan mudik sebagai pemborosan dan penyebab turunnya produktivitss.

Jika dilihat resiprok, tentunya bisa saja sebuah pemborosan dan penurunan produktivitas. Di sisi lain, kita juga harus jujur bahwa perjalanan mudik berarti juga perjalanan mendekatkan diri ke asal. Di setiap proses identifikasi, pengenalan, rerouting, reconnecting, sejatinya akan membuat sebuah keadaan atau kadang kapital, bisa jadi lebih kuat.

Tentunya juga hal ini tak selalu terlihat jernih, karena seringkali perjalanan mudik menjadi momentum untuk memasang patok-patok pengaruh di social body sebuah keluarga besar. Inilah yang seringkali menimbulkan gap antara generasi. Pertanyaan frekwentatif dan stimulatif seringkali melebarkan gap antargenerasi, di saat yang sama mudik adalah momen bertemunya inspirasi bersama untuk memiliki badan sosial yang besar, untuk dikapitalisasi, ataupun untuk menjadi pemicu bangkitnya nilai-nilai luhur masa lalu, atau bahasa socio engineering-nya “value entangled”. 

Setiap bentuk besar tersusun dari bentuk-bentuk (kecil) penyusunnya. Begitu pula dengan keluarga besar, atau dengan sebuah bangsa yang besar. Namun kadang cerita kecil ini bisa saja tertutup oleh sebuah value besar yang tak bisa dibendung, karena memang sudah saatnya sebuah keluarga, dan bangsa bangsa besar terbentuk. 


Seorang rekan berkata, “Indonesia ini ada karena ‘Atas Berkat Rahmat Alloh’, bukan karena lain. Bertahan pun bukan karena yang lain. Silahkan uji pendapat ini. Indonesia  ada seperti Ka’bah yang dijaga Abdul Muthallib. Karena memang harus ada. Untuk menjaga dunia di akhir masanya. Silahkan hancurkan, maka yang akan tersisa adalah Pertunjukan KekuasaanNya. Silahkan pasang patok-patok gaib untuk coba hilangkan Rahmat Tuhan. Semua akan berakhir pada datangnya tentara tentara langit yang membersihkan dosa dan membuat hati bersinar.”

Mudik bukan selalu tentang pulang ke kampung halaman. Mudik adalah representasi bagaimana kita mencari asal. Mencari source. Istilah yang digunakan ahli ahli pemetaan social value dalam meng-unlock sebuah nilai di masyarakat asal, bisa berbasis genetik, ataupun berbasis jejak rantai intelektual. 

Mudik adalah cara mensafarkan diri. Saat safar, diri kita secara tak langsung memasuki dimensi berjuang dengan segala resikonya. Hukum dan ushul fiqih (pembentuk konstruksi hukumnya) pun bisa berlaku beda. Seperti halnya orang-orang yang sedang arribath, menjaga perbatasan. Sebuah cara berjuang yang menjadi cita-cita orang orang yang selesai dengan dirinya. 

Mudik adalah cara lain ber-arribath, menjaga perbatasan, mencari dimensi asal yang menguatkan nilai-nilai dasar kemanusiaan.  Mudik  adalah cara lain mencapai alpha zone, atau ada yang menyebut quantum zone, dimana waktu (masa lalu, kini, dan depan) berada berhimpitan dan bukan variabel utama. Di zona ini, yang signifikan adalah variabel penciptaan gestur-gestur terbaik, jika bisa secara kolektif. 

Mudik adalah cara lama menguatkan kemanusiaan, yang akan selalu mendapatkan perlawanan orang orang “sok baru”. Beruntunglah orang orang yang harus berjalan lebih jauh, karena bisa mengenal ruang baru, rejeki baru. Beruntunglah orang yang bisa menikmati tensi, karena di setiap tensi ada ruang pemahaman baru yang jauh lebih besar. Tentunya jika kita berhasil membuka kunci-kunci hati.

Saturday, April 15, 2023

Tirakat Langit vs Tirakat Bumi

“Berkata langit padaku, bahwa dia akan kirimkan pandawa-pandawa terbaik untuk menjaga bumi. Di sisi lain, bumi pun ingin menjaga agar tetap berputar dan bisa menjadikan langit sebagai atap terbaik,” ujar Seorang Pande, sebutan seorang sahabat yang sudah lama meninggalkan ibukota, dan kini mengabdikan hidupnya untuk menjaga irigasi.


“Kebisingan di kota membuatku ingin menepi, dan mencari sudut-sudut yang lebih tinggi untuk memandang lebih luas,” ujar Pande. Dahulu beliau adalah seorang marketer handal. Berawal dari menjadi Advertising Executive (AE) istilah lain dari sales untuk perusahaan yang menjual jasa promosi dan/atau advertising, lalu di ujung “karirnya” Pande mendapat tugas untuk mempersiapkan sebuah unit baru di kantornya. Unit baru yang memanfaatkan big data untuk memetakan pasar. 

“Jika dikatakan aku lelah dengan pekerjaan menelan big data itu, mungkin benar. Tapi tepatnya aku ini sudah kenyang, lalu muntah, lalu kutelan lagi, lalu muntah lagi, lalu kutelan lagi, hingga waktunya apa yang kumuntahkan dan kutelan itu diambil oleh tim lain untuk diolah menjadi entah. Di ujung karir, aku tak tahu apa yang kumakan. Aku hanya merasakan bau yang seperti racun. Jangankan membaca kata big data secara utuh, baru lihat huruf -b nya saja pandanganku berubah menjadi abu-abu. Tempatku bukan di bangunan dengan kabel tercanggih itu lagi,” Pande bertutur sambil membelah batang bambu untuk dijadikan pengganti batang pagar yang rusak diterjang babi hutan tadi malam..

Kehadiran kami berdua di sebuah tempat di sisi utara timur Gunung Batur ini sudah direncanakan dari dua tahun yang lalu. Pande sering mengirimkan tulisan-tulisan tentang bagaimana sebuah tensi besar yang sedang terbangun. Tensi yang dimanfaatkan bukan oleh bangsa ini, untuk dijadikan ajang balas dendam yang berdarah darah, tak menyisakan pemenang. 

Kami duduk di sebuah bale yang berada di sebelah mata air yang membasahi petak sawah berpadi setinggi mata kaki. Masih terlihat riak air di lahan sawah yang sedang giat diairi. Lalu Pande mulai bercerita…

“Setelah sepuluh tahun menjadi agen yang memasarkan produk ke orang-orang yang menjadi wakil perusahaan, aku cukup bisa mengetahui apakah produk yang sedang saya tawarkan ditolak atau diterima hanya dari melihat gesture orang orang itu di lima detik pertama. Sama seperti halnya saya bisa menilai karakter orang hanya dari melihat mereka menyetir di dua menit pertama. Banyak rekan yang telah resign dari perusahaan mengajakku untuk ikut mengajar di konsultan pelatihannya. Tapi kutolak. Aku merasa kemampuan melihat gesture ini bukanlah keahlian yang harus diturunkan. Aku merasa seperti memiliki ilmu hawa beracun. Seperti ilmu hitam bagiku,”

“Sampai pesan-pesan itu kau baca. Aku baru sadar ini mungkin sebuah cerita lama tentang ‘Semua ada waktunya’. Tuhan memberi kemampuan ini agar aku bisa membaca perseteruan besar  yang akan  terjadi. Perseteruan yang tidak perlu. Karena jika perseteruan  terjadi menjadi perpecahan dan pembantaian, itu karena sama-sama menyembah ketidaktahuan. Dosen matematikaku pernah berkata, bahwa pertidaksamaan dibuat bukan untuk mencari jawaban. Tapi untuk merapikan posisi. Tapi yang terjadi saat ini, semua orang-orang yang merasa baik itu ingin mencari jawaban.”

“Di beberapa tahun terakhir, aku dititipi ilmu baru, yang ternyata ilmu purba, yang bisa membuka kunci-kunci ingatan yang keluar dari sulbiku. Bahwa aku adalah keturunan ke tujuh dari para penjaga naskah naskah Idrisiyah. Dahulu mereka memilih untuk berhimpun dalam sebuah wadah bernama kerajaan. Lalu mereka memilih melepas ikatan kuasa, dan menyebar di sekitar untuk menjadi sumur-sumur penyegar.  Kau akan bisa melihat citri mereka yang selalu tinggal di tempat tak berair, lalu lahirkan mata air baru untuk sekitar. Mereka kini jalankan pesan-pesan dalam naskah melalui ajaran penyempurna, dengan laku tertinggi, walau mereka tahu, ajaran penyempurna hanya akan hanya bisa dikuasai sempurna oleh yang memiliki darah ksatria sang pembawa.”

“Naskah idrisiyah akan  tetap terjaga di tempat yang tak kasat nafsu dan mata. Sedangkan ajaran pengunci dari ayahanda Syits akan terlihat di setiap titik perubahan besar. Walau yang memahaminya mungkin hanya sampai generasi ke empat dari para pendiri kerajaan penjaga. Ilmu ini bukan tentang memanjakan pikir. Ia adalah ilmu-ilmu penyimpul. Penyimpul gerak dan rasa. Penyimpul rasa dan masa. Ilmu simpul ini adalah cara pandawa kedua, Ayah Syits, membangun bulan, mengunci bumi dan langit di masa siang seperti malam, yang kini semakin terasa sama. Iya. Masa masa penyimpul akan kembali tiba. Mungkin saya, kamu, atau yang kamu sayangi, akan memiliki kesempatan yang sama.”

“Aku memanggilmu untuk menceritakan sebuah cerita, yang harus kuceritakan dengan langsung menatap matamu. Karena ini tentang penyimpul. Yang memang harus selalu terhubung. Ini tentang cerita orang-orang yang hidup di dimensi yang lebih tinggi, dimensi pembungkus dimensi keinginan.”

“Kita semua terhubung. Kita semua berayah sama. Yang dikirim langit untuk mengharumkan bumi yang sudah berbau bangkai dan darah.  Anak ayah kita yang pertama memiliki misi lain untuk mengikat luka. Cucunya memiliki misi lain untuk mengembalikan cahaya agar tak lagi membakar, tapi sebagai penunjuk jalan.”

“Kini keturunan dari anak dan cucu saling berseteru. Sang keturunan anak yang mengharumkan bumi merasa keturunan sang cucu adalah pembuat silau yang  membuat bumi selalu terjaga. Ada masa dimana memang keturunan sang cucu mengikat keturunan pengikathh bumi dengan kuncian pelumpuh sehingga mata harus terus melihat langit, melihat cahaya. Tak peduli harus buta. Puncaknya mungkin belum tiba. Keturunan sang anak kini mulai bisa membuka kuncian. Dan ingin menghancurkan seluruh keturunan sang cucu. Karena mereka tak saling kenal lagi, walaupun satu ayah di bawah langit yang sama.”

“Tugas ku, tugasmu, jika terpanggil, adalah membuat pemahaman, bahwa di setiap pertentangan selalu ada gambaran yang besar. Setiap ikatan pada rebana akan mengencangkan bunyi rebana. Tapi saling menghancurkan tidak akan menghasilkan apa-apa.”

“Aku adalah penjaga cahaya. Keturunan dari ayah pengunci, cucu sang ayah pengharum bumi. Cucu yang bertugas memegang tirakat idrisiyah. Tirakat pemberi jalan. Kau adalah keturunan dari ayah pengharum bumi. Ayah pengunci. Syits, sang pengunci. Penjaga tanah rembulan. Karena semua ada waktunya. Arus pertentangan akan datang kembali. Kembalilah dan kuatkanlah gambaran besar. Semoga tak lagi sekitar dan keturunan kita saling menghancurkan. Pertentangan adalah cara membuat wadah pemahaman kita menjadi besar. Agar waktu tak lagi memperbudak keinginan anak cucu kita.” 






Monday, February 13, 2023

Simpul-Simpul yang Terlepas

 


Semua ada waktunya. Semua bergerak. Semua akan berkumpul…”

Sebagai manusia bebas, kita bisa berkehendak dan memiliki arah gerak di setiap detiknya. Jika ada yang mencatat arah gerak kita di tiap detik, di tiap harinya, di tiap simpul-simpul waktu, maka akan terlihat gambaran yang semakin sering diamati, akan semakin mudah untuk dikenali. Bahkan bisa dikenali dalam waktu singkat sekalipun.

Itulah sedikit gambaran tentang simpul-simpul kesadaran dan dalam bentuk kolektif berupa simpul simpul momen. Dalam sebuah perbincangan intens di Bali, seorang rekan mengatakan bahwa setiap perbedaan adalah indikasi dari sebuah gambaran yang lebih  besar. Atau dalam bahasa lain, setiap simpul yang berbeda dalam wadah tertutup—terkait akan berinduk pada simpul pengontrol yang sama. Dalam konteks lain, simpul juga merupakan wadah, yang memudahkan kita untuk mengingat secara lebih fotografis (memiliki bentuk dan catatan waktu) tentang momen momen yang terjadi.

Area Kontrol

Apapun yang terjadi dalam sebuah momen biasanya memiliki dua macam karakterisitik, yaitu momen yang terkontrol dan di luar kontrol. “Semakin banyak orang yang melakukan sesuatu di luar area kontrolnya jadi pertanda kuat terjadinya entropi sosial di tempat itu,” ujar seorang rekan sambil menikmati lamb steak di sebuah resto di pinggir pantai Sanur.

Entropi dari perspektif fisikawan Rudolf Clausius adalah besaran termodinamika yang mengukur energi dalam sistem per satuan temperatur yang tak dapat digunakan untuk melakukan usaha. Dalam perkembangannya istilah entropi ini juga digunakan dalam terms keilmuan sosial dan rekayasa sosial (socio engineering). Secara sederhana, entropi memiliki pengertian sebuah kondisi sosial dimana kohesi sosial (pemecahan, pemutusan, polarisasi) terjadi lebih sering dalam sebuah kelompok berbasis trust dan intensi  yang sama.

Baik dan Buruk

Setiap perubahan dalam kelompok berbasis intensi sama akan memperkaya data. Belum tentu dengan cerita. Perubahan yang baik tentunya terindikasi dari terbentuknya data menjadi cerita. Perubahan fundamental adalah ketika data berubah menjadi cerita yang menggambarkan alur dan wadah yang bertumbuh. Cerita para penghuni sebuah pemahaman yang terhubung lebih erat, berkumpul lebih rapat. Seringkali perubahan adalah cara untuk memperkaya data, cerita, dan kesempatan. 

Perubahan tak selalu buruk. Entropi tak selalu menghancurkan. Baik dan buruk tidak terkait dengan kohesi dan adesi di sebuah wadah sosial. Baik  dan buruk lebih ke persoalan ritme dan kemampuan memelihara dan berdansa di area kontrol. Baik dan buruk lebih ke suasana di pesta dansa, apakah kita sedang menikmati gerak di lantai dansa, atau menikmati susunan rangkaian acara sekitar dari atas balkon. 

 




Friday, January 13, 2023

Kedaulatan dari Dalam Rimba




"Kedaulatan adalah rasa cukup..."

Ucapan yang terlontar dari seorang guru di hari-hari akhir sebuah perjalanan di dalam rimba membuat saya berpikir  hingga berbulan-bulan untuk satu kalimat itu. Makna kedaulatan yang saya pahami selama ini seolah terurai tanpa sisa. Kedaulatan yang berupa sebuah rasa merdeka untuk berkehendak justru tidak ada artinya saat kita tidak memiliki kemampuan untuk "menghabiskan diri", dan melebur dengan semesta. 

Ikhlas, kalo menurut salah satu mentor saya. Namun ikhlas bukanlah rejeki untuk orang orang yang masih memuja rasa. Ikhlas adalah menjadi titik, titik setitik titiknya di dalam semesta. Ikhlas adalah untuk insan yang sudah bisa "saciduh metu, saucap nyata".

Jika digambarkan, ikhlas adalah dimensi dimensi yang terhubung, yang terasa saat mata terpejam. Menghilangkan penat, dan menembus ruang, menembus waktu. “The quantum state,” ujar sahabat. Dimana ruang dan waktu bukan variabel yang utama lagi. Ada banyak variabel baru yang membentuk konstelasi, dan resultan untuk berarah.


Berjalan Mencari Manfaat

Ikhlas adalah kedaulatan untuk insan yang telah menjadi semesta. Menjadikan nikmat dan sakit adalah hal yang sama sama Pemberian Tuhan. Bahkan Berkah dari Tuhan, Sang Pencipta Rasa. Untuk yang masih menata rasa, rasa cukup adalah sebuah spektrum kedaulatan yang masih bisa memberikan manfaat. 

Dalam spektrum rasa cukup, kita akan bisa mengukur, dan bisa menghitung. Dalam rasa cukup, kita masih bisa melihat jauh dan dekat dengan cara yang mudah, tidak membuat pegal rasa dan pegal mata. Dalam spektrum rasa cukup, kita masih bisa mengatur nafas.

Perjalanan dengan rekan di dalam rimba membuka mata saya, bahwa rasa cukup adalah alat untuk berpijak, selain kaki untuk meninggikan badan, dan melangkah. Rasa cukup telah membuat masyarakat Adat bisa bertahan di dalam hutan terdalam. Bagi mereka ekonomi adalah cara untuk mengelola bekal di lumbung, dan pertemuan dengan masyarakat di luar adat mereka adalah kesempatan untuk mengembangkan nilai dan etika. Pertukaran nilai terjadi saat etika mengembang dan menjadi ruang ruang nyaman untuk bertumbuh. Tak harus dengan uang.

Matinya Uang 

Jauh sekali dengan apa yang terjadi di kota. Atau di bumi yang pengisinya menganggap uang adalah alat yang tak bisa tak ada. Di kota, uang seolah telah jadi bumi itu sendiri, bahkan menentukan detak jantung dan hela nafas. Bahkan uang menggerus etika dan nilai di setiap level pertemuan di perjalanan waktu. Seolah terhubung, namun syaratnya harus dengan menyamakan nilai, di saat setiap individu tak memiliki nilai yang sama atas setiap pembelajaran. 

Kembali ke rimba yang menakutkan untuk yang terlalu terlena dengan nafas yang memburu. Banyak ancaman yang datang di rimba. Tiap saat, tiap waktu, namun semua terasa memberikan pelajaran mahal. Pacet yang datang seharusnya bisa jadi teman, yang memberitahu apakah darah kita kental atau terlalu encer. Apakah makanan kita sehat atau terlalu berkimia. Babi hutan yang datang dengan nafas memburu di tengah malam seringkali mengagetkan untuk orang yang terbuai nafas. Namun menjadi mentor alami bagi orang orang yang ingin belajar berbagi getaran dan pesan dengan semesta,"kami adalah semesta, yang terhubung," hingga babi hutan kembali bergerak menghilang di balik semak. 

Tak ada itu ambisi. Tak ada itu iming iming, bahkan tak ada uang yang bisa menyatukan kami dengan semesta. Uang tak berdaulat di dalam rimba. 

Bergerak dan Berhimpun

Bagi kami yang di rimba, semua hal yang terjadi membuat kami lebih cergas dalam bergerak, lebih senang dalam berhimpun. Karena saat kami bergerak bersama, saat kami berhimpun dalam kerekatan panca indera, itulah cara yang terbaik untuk merasakan masa depan. Karena di saat yang paling mendesak, masa depan adalah di titik kami berpijak. Tidak lebih, tidak kurang. 

Kedaulatan adalah cara kami mencukupi diri dalam kegelapan. 

Apa adanya. 

Sekuat tenaga. 



Friday, August 12, 2022

Seni Dalam Ruang Operasi



Memainkan ritme, hirarki intensi, grafik ketegangan, dan menjadi bagian dari langkah yang dibuat adalah salah satu bentuk berseni. 

Sekitar 14 tahun lalu pernah secara takdir dipertemukan oleh seorang dokter kandungan yang memiliki "spek" konsulen dan memiliki keahlian sekaligus penemuan dalam teknik sayatan bedah. Dokter kandungan ini memiliki teknik bedah yang bisa membuat sebuah operasi tumor rahim besar yang memiliki resiko pengangkatan rahim berlangsung aman dan berakhir baik. Tanpa mengangkat rahim, dan rahim masih berfungsi. Sang pemilik rahim masih bisa memiliki anak lagi. 

Banyak pengetahuan yang bisa tersimak pada saat itu dari sisi non medis. Mulai dari cara mempersiapkan operasi, tools yang dipakai, gesture yang ditampilkan, dan treatment pada pasien yang tak seperti prosedur operasi biasa yang cenderung kaku dan membuat kalut. Ingat sekali saat itu sang dokter memakai jubah bedah berwarna hijau terang berlengan sangat pendek seolah hampir seperti baju kutung, dan gesture santai sang dokter yang sambil siul lalu menyambut pasien yang sudah harus duduk di kursi roda dan didorong perawat. Sang dokter berdiri di depan pintu operasi dan mempersilahkan sambil berkata, "Yuk, mangga lebet". Begitu ramah dan santai. 

Pengalaman tersebut masih lekat kuat di memori. Karena memang sebelumnya mendengar kata operasi itu sangatlah terasa serius. Walaupun memang itu adalah tindakan serius. Namun untuk masuk ruang operasi memang seharusnya tidak langsung dalam grafik ketegangan yang tinggi. Sebuah hal serius memang sebaiknya dimulai dengan kesadaran tertinggi, dan kesadaran tertinggi (act by enlightment) tidak bisa dimulai dengan ketegangan karena ketegangan adalah bagian dari kesadaran rendah (act by fear). 

Cerita operasi tersebut menjadi pegalaman berharga yang bisa jadi bekal saat menghadapi dan mengamati kejadian penting yang beresiko besar, terkait nyawa, negara, atau mungkin nama baik. Sebuah sesi workshop memperkuat alasan ini. Sang fasilitator sempat berkata bahwa alam sadar yang ditandai dengan munculnya rasa ingin (bergerak, mencapai, menjadi bagian tujuan tertentu) akan memiliki value yang tinggi jika disertai dengan olahan harmoni alam bawah sadar, atau bisa dikatakan, jika bisa menari dengan alam bawah sadar. 

Sebuah tindakan penting akan memiliki impact dan pembelajaran besar, jika tak mau disebut sejarah, diwariskan menjadi legenda, dan pelakunya menjadi pahlawan, jika dilakukan dengan harmoni dan dukungan semesta. 

Alam bawah sadar adalah alam yang seringkali dianggap alam lain yang tak bisa dikontrol dan banyak juga yang tak percaya, khususnya para analis dan ahli teori. Sedangkan bagi para praktisi mindfulness, ketidaksadaran ini bisa dijejaki dengan merasakan dan membuat semua gerak terskalakan dalam ritme nafas. 

Merasakan nafas adalah kuncinya. Jika dalam kondisi lebih statis dan tenang, kita bisa merasakan detak jantung. Jika lebih statis lagi, maka bisa merasakan gerak angin, kehadiran, dan gerak yang ada di sekitar, seperti ranting, pepohonan. Inilah salah satu pengaruh yang bisa dihasilkan saat menjejaki sebuah aktivitas yang tak bisa dikontrol (seperti gerak jantung dan nafas ketika harus melakukan aktivitas intens di ritual berbasis panca indera). 

Seringkali ketidaksadaran memang tak terlalu terasa dalam ritme tinggi, kecuali memang refleknya sudah dilatih untuk terkondisikan tenang dalam aktivitas beritme tinggi. Apakah harus dilatih untuk bisa mengontrol/memiliki reflek--gerak tak disadari dan hal-hal yang dilakukan dalam ritme tinggi? Jawabannya tentu relatif. Bagi yang merasa hidup ini harus dinikmati dan disyukuri, tentunya sebuah langkah yang bisa menguatkan rasa nikmat dan syukur akhirnya harus dieksporasi jua. 

Akhirnya bagi para penikmat seni, seni adalah momen berdansanya kesadaran dan ketidaksadaran dalam lantai dansa bernama nurani. 

 

Wednesday, August 10, 2022

Eksplorasi Deduktivisme a.k.a. Teknik Ngemong




Istilah "Bangsa Indonesia lebih senang dengan pendekatan induktif" rasanya kurang tepat. Mungkin  "Anak bangsa lebih senang dengan pendekatan deduktif, dan warga Indonesia lebih senang induktif" rasanya  akan lebih tepat.

Bagi bapackbapack yang hampir tiap hari anter anak sekolah dari jaman TK pake motor, perubahan anak dari posisi dibonceng di depan lalu karena sudah tumbuh tinggi lalu harus  duduk ke belakang adalah hal besar yang tak terduga. Sebelumnya, di perjalanan biasa ngobrol pake style tutur kata induktif lalu harus diubah jadi deduktif. Perubahan yang cukup signifikan. Jurnalis/penulis tentunya akan paham rasa bahasa ini.

Perubahan cara berliterasi ini sangat terasa dan mengejutkan karena di saat yang sama pekerjaan banyak terkait dengan fasilitasi dan kampanye literasi.  Perubahan posisi duduk ini sama sekali tak menjadi perhatian pada awalnya.  Khususnya untuk yang mengantsr anak pake roda dua.

Mungkin akan berbeda pengalamannya bagi yang memakai roda empat untuk mengantar anak.  Risetnya akan berbeda.

Bertumbuhnya anak sejak TK tak hanya fisik saja. Cara bertutur, berpendapat dan berinteraksi (khususnya saat perjalanan mengantar ke sekolah) tumbuh beriringan. Kini begitu terasa,  anak yang sudah berumu tanggung (umur 11 tahun) ini  cara berbicaranya mulai mix. Kalimatnya lebih panjang. Ide dalam setiap tuturnya semakin dalam. Sudah punya teritori untuk pendapatnya, walau  masi belum bisa melepaskan diri dari sosok (intensi) orang tuanya, dan ini sudah pernah terpetakan sebelumnya. Satu hal baru yang butuh penyesuaian/gesturing adalah seputar penyikapan posisi duduk.

Seiring berpindahnya posisi duduk, maka mulai ada bahasa baru yang dipelajari, yaitu bahasa peluk. Cara peluk anak saat dibonceng itu berbeda, saat ia lelah karena belajar keras, lelah karena bosan, atau memang mengantuk. Mulai hapal beberapa gestur khas ini. Cukup membantu dalam eksplorasi dunia deduktif ini.

Kalo dalam pertemanan, teknik literasi bisa kita disebut teknik berbasa-basi. Cara ini biasanya menempatkan rangkaian ide secara berurutan sebelum sampai kepada pesan utama. Tapi khusus untuk mengurus anak, istilahnya mungkin bukan basa-basi. Istilah "ngemong" terasa lebih pas.

Ngemong itu seperti menaikkan layangan. 

Pada layangan, ada benang yang menghubungkan kita dan layangan, dan ada angin yang membuat layangan itu berubah fungsi jadi alat pengarung angin. 

Sedangkan basa-basi itu seperti ngurusin orang orangan sawah. Butuh angin, hanya untuk perkeras "bunyi". Ya bisa saja layangannya bentuk orang-orangan sawah. Tapi tetap fungsinya akan beda. Apalagi feel-nya.

Angin dalam analogi ini adalah konteks. Saat ngemong, kunci utama dalam membuat emongan berhasil adalah konteks. Apakah bisa kita memanfaatkan konteks untuk membuat anak mengetahui perannya, ya kalo bisa manfaat dirinya saat ada di keluarga.

Jika dalam interaksi biasa, yang bukan ngemong, kita bisa memanfaatkan konteks untuk membuat individu lebih "berbunyi". Bisa dibilang kalo dari bahasa social engineering, ngemong itu adalah aktivitas yang membuat orang menjadi tak hanya dirinya, tapi juga bagian dari social body. Bagian dari dimensi yang lebih tinggi dari "menjadi", yaitu dimensi wadah. Mewadahi.

===
*Sementara baru bisa share itu dulu. Ide tulisan ini didapat saat perjalanan pulang antar anak. Saat ini waktunya cuci motor. Siapa tau dapat ide lagi. Doakan.


Wednesday, July 20, 2022

Orkestrasi, Gestur, dan Konstelasi



Istilah dinamika, bahasa halus dari tension, atau ketegangan yang terjadi antar kumpulan/kelompok, sejatinya bisa dijadikan momen dan area bertindak untuk menemukan solusi, sekaligus peta-peta arah baru. 

Sejak adanya teknologi yang menghubungkan hubungan antar individu menjadi lebih stream, (ter-)homogen(-kan), dan direct, maka timbul cerita seputar bagaimana orang menjadikan data sebagai magnet untuk mengarahkan arah pikir. Cerita ini juga berisi tentang  bagaimana menggunakan data sebagai arah bertindak secara kolektif. 

Saat hubungan antar kumpulan menjadi lebih stream, maka ditandai mendominasinya kumpulan yang bertindak berdasarkan task dan order.  Lalu diiringi kumpulan kecil terseok dan kumpulan kecil lain yang melompat-lompat di antara  task dan order

Di saat kumpulan mengalami homogenitas, maka ada aktivitas-aktivitas yang berbentuk siklus berulang. Siklus ini  membuat sekat dan ruang terpisah. Ruang ini berisi kelompok yang saling berkompetisi dan punya intensi untuk tidak saling peduli. 

Dalam homogenitas juga terdapat resiko terjadinya pengabaian terhadap empati, khususnya pada status kebersamaan (homogenitas). Akhirnya ikatan homogenitas hanya ditopang oleh simpul-simpul kesepakatan yang didasarkan intensi untuk mengotomatisasi, didasarkan penuh atas sistem yang bekerja tanpa jeda dan tanpa ruang adaptasi untuk mengatur napas/pace. Ikatan homogenitas beresiko tak lagi memanfaatkan kesadaran tertinggi (-untuk mempersembahkan) agar bisa jadi modal bertindak berdasarkan nurani. 

Cara menentukan benar dan salah akhirnya didasarkan atas "mesin" yang digunakan bersama. 

Kebersamaan ini salah satu dampak lain dari hadirnya teknologi dalam aktivitas berkoneksi dan berkomunikasi. Respon yang serba direct dari data, pola, dan informasi yang didapat  akan menimbulkan  respon yang bisa berakibat sistemik, kalo bahasa sekarang, viral dan menjadi trending. 

Saat menjadi viral, value-nya belum bisa mengarahkan para pencari cuan untuk mengarahkan minatnya, baru sekadar terpindai oleh panca indera dengan mudah. 

Tapi saat sebuah momen menjadi trending, maka akan menjadi rujukan, disertai value sosial yang meningkat, sehingga bisa menciptakan area transaksi value yang memengaruhi, bahkan bisa mengunci aset. 

Seperti halnya  yang terjadi pada setiap momen yang berbasis interaksi. maka akan selalu ada respon yang berasal dari pemindaian, pemikiran, perasaan, dan tindakan. Tak hanya mengandalkan sensor dari panca indera, respon saat berinteraksi bisa berasal dari orkestrasi organ, enzim, dan kelistrikan tubuh yang bernama kesadaran dan ketidaksadaran. Orkestrasi ini bisa terknoneksi menjadi orkestrasi kesadaran kolektif dan juga ketidaksadaran kolektif. 

Orkestrasi inilah yang saat ini bisa dikembangkan menjadi bahasa-bahasa yang sifatnya kolektif. Dimulai dari bahasa individual yang bernama gestur, atau sering kita kenal dengan bahasa tubuh, dan bahasa kolektif yang dikenal dengan istilah konstelasi, atau istilah lainnya adalah social grammar yang biasanya memiliki "dimensi wadah" untuk mengejawantahkannya dengan nama social body. 

Gestur individu adalah sebuah alat yang bisa dijadikan patokan untuk mengetahui respon yang ada di sebuah kondisi sosial yang terkondisikan oleh keadaan/issue tertentu. Gestur ini biasanya jika diletakkan dalam sumbu linier bisa dikenali dengan gestur stuck di sisi satu, dan gestur release di sisi lainnya. 

Gestur stuck biasanya terbentuk saat orkestrasi kesadaran maupun ketidak sadaran memosisikan diri untuk menolak kondisi yang sedang terjadi. Sedangkan gesture release ini biasanya terbentuk saat kesadaran dan /atau ketidaksadaran berhasil mengejawantahkan diri dalam aktivitas, gerak, dan tindakan. 

Tentunya ada cara lain untuk memetakan gestur tak hanya dengan sumbu linier, namun dari perjalanan pembelajaran sumbu linier ini sudah cukup banyak membantu untuk memetakan kondisi per individu yang sedang terjadi/berjalan (stream). 

Ketika kumpulan gestur memosisikan diri dalam sebuah titik momen tertentu, maka akan terbentuk konstelasi yang terlihat dan bersifat kolektif. Setiap gestur mungkin akan berbeda, namun biasanya mengarah pada situasi situasi baru yang dikehendaki. Jika kumpulan gestur ini memiliki ikatan yang sudah masuk dalam dimensi yang lebih tinggi, dimensi wadah, diwadahi dalam ruang yang mereka percayai (safe space), biasanya sebuah konstelasi akan mengarah pada arah baru yang lebih terbaca. Di sinilah kekuatan kesadaran kolektif bisa diamplifikasi malah sebagian dikapitalisasi dengan algoritma sosial berbasis interest, untuk menentukan peta baru (the future)

Tentunya konstelasi ini bukanlah cara meramal masa depan, atau cara berasumsi. Asumsi lahir dari bubble pikir yang bisa berkembang tak terkendali. Sedangkan tools ini  (konstelasi) merupakan salah satu cara untuk mensimulasikan situasi baru agar lebih terbaca seperti halnya keep line assist pada kendaraan terkini, atau tools pembaca arah dan jalan lainnya. Selain itu, kemampuan untuk membaca dan memanfaatkan  instrumen panca indera dengan orkestrasi kesadarannya bisa membuat  gestur yang lebih efektif sehingga menguatkan konstelasi. 

Berarti jika bicara tentang konstelasi, maka akan bicara tentang sesuatu yang memiliki intensi kolektif, atau intensi (ke-)bersama(-an). Kebersamaan ini lahir  dalam  gestur yang berada di dimensi yang lebih tinggi. Tak hanya di dimensi wujud, tapi mampu berada di dimensi (me-)wadah(-i), atau lebih tinggi lagi, (meng-)alir(-i), dan lebih tinggi lagi, (me-)restu(-i).  Karena restu bukan hanya tentang ijin untuk hubungan antar ikatan. Restu adalah tentang dukungan simultan atas sebuah keterhubungan. 

Karena saat ini, saat pertukaran social value berlangsung masif akibat amplifikasi algoritma sosial berbasis ritme gawai, keterhubungan saja tidak akan pernah hasilkan apa-apa, tak memiliki value yang bisa bertransformasi menjadi social capital.  

#datashaping #dataanalyst #socioengineering #systemsthinking #psychoanalysis #socialprofiling #visualprofiling

Wednesday, July 06, 2022

Orkestrasi Para Penakut



Apa enaknya ya pake Facebook sekarang? Saya aja yang bapackbapack buka Facebook cuma buat update slide foto profil fanpage kerjaan. Bukan tempat nunggu like juga. Algoritmanya cuma nampilin postingan sugesti. Mau tau kabar temen yang posting harus search profilnya. Kecuali untuk yang sering posting.  

Facebook (Fb) kini saya  gunakan menyimpan foto dan video lama. Karena lebih awet dibanding menyimpan di hardisk, flashdisk atau CD yang sebagian sudah bulukan. Walaupun file-nya harus terkompres. Untuk jaga-jaga, saya menyimpannya  juga di external hardisk, sekadar antisipasi kalo tiba-tiba Fb tutup toko kaya Friendster. Sempat juga membayangkan jika suatu saat kita punya teknologi berbasis bioteknologi yang memanfaatkan selulosa untuk menyimpan data di celengan bambu :D.

Ini bukanlah  keluhan.  Ini lagi menggesturkan diri saat ingin membuat  tulisan feature seputar "Facebook Nowadays with their Gabut-ism" .

Alih-alih menjadi datum, atau gembala yang arahkan domba, pada perkembangan terkini Fb seolah hanya jualan "toalet" buat dandan. Peran "beauty case" dan pengepul market real pun kini terambil oleh yang lain...terutama oleh Tiktok. Bagaimana dengan Meta? Orang awam sudah ga bisa menebak. Hanya untuk orang yang berani simpen duit untuk ambisi gila Zuckerberg.

Saya rasa rangkaian kalimat di atas sudah cukup pedas...

Tapi mungkin kurang kata penutup untuk calon artikel ini: Apakah Zuckerberg sudah terlalu percaya tren perusahaan IT cuma jaya sekali saja? Lalu cukup dengan mengambil jalan baru (dan baru) untuk memutar kapital? Atau kita akan melihat fb menjadi entitas lain semacam pengisi altar di kuil digitalnya yang baru?

Pada akhirnya Facebook harus belajar istilah lama: kita ga bisa hidup (mengatur orang lain) sendirian.


===

Dalam Fifth Dicipline yang ditulis oleh Prof Peter Senge, dari banyaknya perusahaan yang diriset, salah satu ciri perusahaan yang bisa bertahan lebih dari 100 tahun adalah: Share Vision. Bagaimana setiap orang dalam tim berhasil menganugerahkan tiap nafasnya demi kejayaan bersama. 

Saya ingat salah satu pesan sahabat saya, ciri sesuatu itu bisa panjang umur (dan panjang visi) adalah menjadikan diri dan sekitarnya lepas dari ketakutan (selalu menempatkan diri dalam kesadaran tertinggi) , dan tidak menjadikan sekitarnya sebagai bahan dasar pembuat takut walau hanya untuk menghibur dan menyehatkan,  demi sekadar untuk menggerakkan otot pipi (senyum).

Apakah yang diharapkan dari rasa takut? Karena tak ada yang bisa diharapkan dari penakut, sekeren apapun namanya, phobia kah, alergi kah, auto blablabla kah. Jika masa depan adalah sosok, ia hanya akan mendengar kabar kematian dari para penakut. 

Akhirnya yang mampu berjalan adalah yang berani. Bukan yang kuat. Karena sejatinya laksana senar gravitasi, apapun yang terkait dengan proses mewadahi, berproses untuk menjadi dimensi yang lebih tinggi, berujung tertambat di satu titik yang sama.

Apakah kita bisa menjadi pemberani, di sela sumbu sumbu dan koordinat yang ditegakkan oleh mesin jaman dan agen peradaban yang menginginkan kita terkontrol dalam dimensi total kontrol dan memiliki kecenderungan untuk cinta dunia dan takut mati (penakut)?





Koordinat berbasis sumbu pseudo, meta, auto, dan phobia akan merajai parameter para gembala mesin mesin organik dan proxy organisme. Jika kita terbiasa menjadi auto karena algoritma sosial, maka akan datang masa tren kita menjadi pseudo, dan sebagian terpisah di sisi meta.

Mungkin di artikel ini saya tak akan menjelaskan apa itu pseudometaauto, dan phobia. Istilah ini masih selaras dengan sense orang lain yang memahami dan membaca selintas term tersebut. Hal yang baru hanyalah korelasi dan positioning keempat term tersebut. 

Sumbu ini bukan piso bedah ala algoritma untuk membuat polarisasi. Tapi lebih ke sensor gestur berbasis empat sumbu tadi. Lalu bisa tergambar konstelasi nya. 

Dengan sumbu ini jadi bisa dipetakan dan bisa difigurkan cara mewadahinya. Bisa diukur bentuk dimensi wadahnya. Karena sudah bisa diukur, maka entitas yang memilih bergestur di zona phobia itu bukan sesuatu yang menakutkan lagi. Apalagi jika tidak bermain dalam ritme. Ritme kecil maupun besar.

Apa itu ritme? Bisa dibilang ritme adalah susunan unit partikel berbasis diam dan gerak. Dalam bahasa sistem, diam ini dibahas akan dengan stuck.... dan gestur stuck ini biasa keluar dari orang orang yang takut yang sudah melepaskan kemampuan mengontrolnya.

Dalam kesadaran tertinggi, stuck adalah representasi dari "mata gir kosong", atau kondisi paused, istilah lain untuk menanti momen masuk dalam kerja sistem. 

Jadi ga usah khawatir untuk merasa takut. Tapi khawatir lah saat merasa benci. Karena benci adalah representasi dari proses "merusak untuk memberi kesan selesai".

Pada akhirnya, teknologi dibuat untuk manusia. Cerita yang timbul akan selalu berkutat di kata "untuk". 

#datashaping #dataanalyst #socioengineering #systemsthinking

Thursday, June 23, 2022

Hak Tolak

 

Hak tolak dalam jurnalistik sejatinya adalah hak untuk mengatur ritme sebuah hubungan sosial berbasis rasa percaya. Alih-alih untuk menjaga akses ke narasumber, hak untuk  diam ini seringkali disalahgunakan untuk membuat berita yang "diarahkan". 

Seorang rekan memberikan pernyataan di ruang sosial medianya untuk tidak membagikan nomor HP pribadinya tanpa seijin beliau. Di era fitnah akhir jaman ini, sebuah simpul hubungan-berbasis kapasitas kapitalnya, bisa berbentuk G (Government) to G, B (Business) to B, B to G, G to P (Peer), B to P atau P to P. Dari resiko yang bisa terjadi, bisa disimpulkan pernyataan beliau benar dan selayaknya untuk mendapat dukungan.

Ini bisa dibenarkan dari sisi mental model para enthusiast jurnalistik. Bagaimana sih seharusnya akses ke narasumber itu disimpan rapat rapat (hak tolak). Karena tidak lagi hanya berupa nomor, tapi juga punya value. Ketika sesuatu memiliki value, maka akan muncul profit. Profit ini ga bisa dipegang sendirian.

Saat kita menjaga, maka bagi narasumber itu adalah profit untuk dia. Value untuk kita. Jika tidak dijaga (disebarluaskan), maka dia harus dapat profit dari apa yang kita share. Ini bukan tentang untung rugi. Ini bagaimana cara menjaga sebuah ikatan mutual, seringkali berbasis rasa percaya. Menjaga agar kita terus dapat bertindak dalam kesadaran tertinggi.

Fenomena ini belum disangkut pautkan dengan kelakuan dan respond-impact makhluk makhluk yang terhanyut dan tenggelam dalam algoritma digital. Belum. Ini masi pake teori klasik. Link ini adalah salah satu referensi yang cukup "membumi" terkait kesadaran. Bukan penjelasan kesadaran teoretis dan seolah mengawang awang ala teori social engineering yang harus dipraktekkan di"lab" dan "bersuhu kamar" .

Alhamdulillah, ada untungnya juga dulu "diceburin" Sang Pengatur Kadar untuk belajar "menjembatani" (menjaga simpul hubungan ) di ruangan "lab" (ruang simulasi-artifisial/berbasis kapital) yang (bersuhu kamar) oportunis, fatalis jadulis. Akhirnya pada waktunya, siapapun yang terlatih akan bisa menajamkan awareness-lebih cepat siap . Terlatih cepat memetakan kondisi yang "bersuhu kamar" (dikondisikan), jadi cepat nyari kartu truf dan serangan balik 😋😅🙏

Saturday, May 21, 2022

"Moksa" Meninggalkan Dimensi Fungsi (f)



Saat terjebak untuk ribut karena perbedaan, maka sejatinya kita sedang membantah sebuah barang yang jelas-jelas ada dan hadir. Sedang menolak semesta untuk hadir mendukung intensi kita.

Beberapa dari bapak bapack dan emack emack adalah produk social engineering di jamannya yang di-instal pake mantra "duaan duaan ulah sisirikan anu eleh dikaluarkeun sakali jadi" dan "hom pimpa alaihum gambreng"... Sebuah mantra untuk menyatukan perbedaan yang dikemas dalam artikulasi permainan.

“Sakali jadi" dan "gambreng“ itu kata lain dari "Kun fa ya kun" ;)

Dan mantra-mantra lainnya yang kategorinya bukan doa. Doa itu kalo dilihat dari bentuk seperti "simpul" individual... Sedangkan mantra lebih berupa “simpul" kolektif. Mungkin suatu saat ada yang eksperimen menjadikan mantra tersebut ("duaan duaan..."atau “hom pimpa..") sebagai doa saat mau berhubungan dengan niat bikin anak. Kita akan bisa lihat bedanya dan impact nya pada struktur myelin anak 😬

===

Obrolan di atas menjadi pembuka obrolan bebas dan lepas semalam tentang "kejadian"... " Ikhlas"... dan "moksa" dalam kerangka yang lebih terpetakan secara fungsi (f). Sebuah cara untuk menggenerik kan trust.. atau dalam bentuk tiga dimensional dipetakan dalam force (F).

Trust sendiri adalah ranah yang seringkali disamakan dengan belief. Padahal beda. Belief disusun oleh artefak-artefak sistem dan fungsi. Sedangkan trust bisa lepas dari dua hal itu. Kemiripan terjadi karena keduanya mengandalkan "simpul"... Bahasa lain dari hizb dan/atau mantra, atau bahasa kerennya sekarang social algorithm.. #suitsuiw

Di sisi lain ada kesenjangan/gap mindset yang seringkali menyamakan peran hizb dan doa. Doa membutuhkan intensi individual, sedangkan Hizb membutuhkan intensi bersifat kolektif dan kadang hirarkikal. Doa tak membutuhkan ijazah/sanad. Bisa langsung berfungsi di proses internalisasi diri. Hizb membutuhkan gerbang sanad (restu guru) yang talaqqi (diturunkan dengan metode kontekstual, berbasis 5 sense experience)..

Ketika sesuatu bersifat komunal dan hirarkikal, maka sesuatu tersebut akan punya ujung, punya akhir, yang sifatnya berupa proses pengacakan/pengacauan. Beberapa artefak sistem menunjukan proses pengacakan ini bisa dihindari dengan mengurai diri dengan sadar. Melepas fungsi dan hirarki.

Melepas fungsi dan hirarki ini bisa dalam bentuk fisik (mengubah/menyamar/menyatukan diri dengan elemen alam lain) atau melepas peran. Banyak artefak sistem yang menunjukkan pola ini, seperti "moksa"nya Prabu Siliwangi, terurai nya hirarki tokoh kerajaan Selaparang, dll

Penguraian ini tak bisa terjadi jika belum menguasai ilmu tertinggi: ikhlas. melepas semua. Melepas pijak, melepas simpul yang mengikat ubun, dan percaya 100% sistem makro dan mikro adalah kerja siklus yang simultan.

Dengan ilmu tertinggi, yaitu ke-ikhlas-an, sebuah kerja tak lagi dalam dimensi (f), tak lagi bisa hancur, karena seperti prinsip energi, semua bergerak. Jika ada yang berhenti dalam sebuah simpul waktu, itu hanya untuk menunggu, menuju terkuatkan atau terpecah. Lalu berlaku simultan.

Sehingga sebuah keniscayaan jika momen yang terjadi dalam dimensi berbasis fungsi akan bisa terpetakan dan terbaca. Jika kita mundur dan naik sedikit, dalam helicopter view, maka kita bisa melihat sebuah keterkaitan. Sebuah peta tentang sistem.

Ketakutan -jika kita hilangkan variabel waktunya- terjadi karena masa depan, masa kini, dan masa lalu itu ga sinkron. Ketidaksinkronan adalah sebuah ciri sesuatu itu tidak menjadi ada, berarti meninggalkan jejak kehampaan. Padahal kejadian adalah sebuah ke-ada-an, sebuah hal yang harusnya berjejak, bisa diukur, dan berdampak. Ada dan tiada, adalah cara mengukur, penanda/patok, bagaimana sebuah dimensi berbasis fungsi bekerja. Di sinilah kita bisa melihat bagaimana sebuah proses yang sering diidentifikasi dengan "moksa" bisa terjadi.

Ketakutan dan ketidaksiapan itu barang yang mirip baunya beda. Ketakutan adalah sebuah fungsi yang bekerja pada dimensi tanpa fungsi, sedangkan ketidaksiapan adalah sebuah keadaan dimana fungsi diharapkan bisa bekerja dalam kesadaran reflektif (autopilot). Jika sebuah momen berisi ketidaksiapan, bisa dijamin 100% sebuah momen tidak akan memiliki mestakung. Resiko besarnya adalah, ada resiko menggerus value yang sudah terbentuk.

Ketidaktahuan beda lagi. Ketidaktahuan itu seperti ampop yang dilem diberikan saat sunatan, atau imlek. Ia hadir di tengah kepastian, di tengah sesuatu yang jelas ada. Justru bisa jadi obat, dan senjata yang bermanfaat. Ketidaktahuan jika tak digunakan secara imbang akan menghasilkan ketidaksukaan. Kalo sebuah ketidaksukaan ujungnya tentang menyingkirkan (peng- tidak ada- an), dampaknya bisa memperjelas jejak masa lalu dan masa depan.

Jika ketidaksukaan digunakan sebagai tools penanda dan pengukur, maka ketidaksukaan bisa berfungsi sebagai hollow point, atau penjeda, dan tanda untuk mengubah pace. Penanda masi ada kebodohan, (knowledge yang belum terinstal) di dalam diri kita.

Dan ketidaksukaan bisa jadi rejeki (penambah value) atau malah dosa (pengurang value). Rejeki jika dimanfaatkan untuk menenteramkan sistem, dosa jika malah berakibat merusak tatanan sistem.

Bagi para praktisi sistem, menikmati paparan bukanlah hal utama, melihat gestur bahkan mikro gestur aja sudah sebuah bahasa. Seringkali paparan dibutuhkan untuk momen verifikasi, atau bersifat administratif semata.

Jika sebuah sistem memasukkan unsur "art" di dalamnya maka spontanitas dan kejujuran akan masuk ke variabel sistem. Menjadi bisa diukur/dipetakan, namun baru terlihat polanya saat disimulasikan dalam 4 dimensional, mengaitkan diri (dengan knowledge dan intensi) sebagai wadah untuk objek yang diukur. Jika hanya dalam kacamata 3 dimensional, hanya melihat dari luar, maka sebuah peta sistem tak lagi berfungsi secara komunal, kasarnya, tak lagi menghasilkan mestakung ;), tak lagi jadi "mantra", atau simpul komunal, yang bisa menjadi titik pembangkit, katalis dan booster kesadaran dan photographic memory di situasi tertentu, dan hanya jadi tontonan yang susah diurai maknanya. Selain itu, intensi mengubah karakter spontanitas dan kejujuran akan terdeteksi jejaknya. Intensi ini bisa terpetakan dari masa lalu (motif, genetik, bahasa jawanya 3B--> bebet, bibit, bobot), dan masa depan (konstelasi besar, bentuk baru).

Maka berhati-hatilah dalam memainkan dimensi fungsi berbasis spontanitas tanpa kesadaran di level tertinggi (to enlight), keikhlasan, dan kepercayaan.