Perkembangan peradaban terakhir ternyata belum sepenuhnya dikuasai oleh teknologi, dan menurut seorang rekan dan mentor, memang tak akan bisa teknologi menguasai semua hal terkait kehendak manusia, "Selalu ada ruang dimana sebuah kehendak memerlukan kecerdasan hati," ujarnya.
Perjalanan jauh saya di bulan lalu membuktikan ucapan rekan saya ini. Bagaimana sebuah tempat yang sakral bagi saya, untuk terhubung kembali dengan guru dan orang-orang yang punya manifestasi dalam menajamkan diri, dan sekitar, menunjukkan mutiara pembelajaran itu. Pembelajaran agar bisa menjadi pisau yang berguna di dapur, di kebun dan di tempat lain demi untuk menciptakan ramuan nikmat yang baru, bangunan aktivitas solutif yang baru, dan semua hal terkait memperbaiki dan membangun. Bukan merusak.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menggunakan diri sebagai instrumen yang tidak merusak. ini bukan hanya pertanyaan, bukan hanya pintu menuju ruang pemahaman baru, tapi juga adalah sebuah tantangan. Karena ilmu juga bisa merusak. Pisau juga bisa merusak. Pisau juga adalah alat, manifestasi dari ilmu ilmu menempa logam. Pisau juga adalah output dari aktivitas produksi yang mengaitkan besi dan kayu, atau plastik.
Ilmu Sebagai Senjata
Banyak kejadian saat ini menempatkan mata hati kita di posisi bisa melihat, bagaimana seseorang menempatkan diri sebagai senjata. Ilmunya dijadikan senjata. Untuk bertahan hidup, dan untuk sekadar bisa menggores dan menakuti musuh yang datang, walau itu nyamuk. Kadang pisau jadi andalan saat ular dan harimau datang di tengah hutan. Seseorang seringkali bisa percaya diri hanya memegang pisau, seolah memiliki modal keberanian. Padahal percaya diri dan berani adalah dua hal yang ladangnya bisa berbeda. Memang modal percaya diri bagi sebagian orang adalah sepertiga dari solusi. Dan solusi tak ada jika tak memiliki keberanian.
Walau pisau bisa jadi senjata, modal latihan untuk menguasai selalu penting dan mutlak. Secara aktivitas gestur, otot yang terikat dengan alam bawah sadar, belum saling terhubung. Belum melewati sesi "muscle-ing" atau pengototan. Betapa penting dan mutlak untuk melalui sesi melelahkan seperti latihan kuda-kuda di kuil shaolin, atau latihan riyadhoh di surau-surau para mursyid. "Menjemukan," kata sebagian partner gambar yang saya latih ketika saya melakukan latihan mengulang gestur di pelajaran anatomi. Namun jika kita bisa mewawancarai pondasi jembatan jika mereka hidup, mungkin mereka akan menjawab hal sama dengan kalimat berbeda yang lebih terasa positif. Hehe...
Saya biasanya akan meminta ijin mereka saat memasuki sesi menjemukan ini. Lalu saya akan tega untuk meminta mereka melakukan mengulang terlebih dulu minimal 7, maksimal 11 kali, untuk setiap gestur yang akan mereka gambar. Semata-mata agar mereka melakukannya dengan nafas yang lebih dalam. Penguasaan nafas adalah inti dari kesadaran. Menjadikan ilmu menjadi bagian dari serat-serat otot mereka. Tak hanya ada di alam pikir, yang seringkali dibutuhkan untuk urusan lain yang biasanya mendesak. Mucle-ing adalah salah satu cara agar mereka menggambar gestur secara sadar penuh. Walau tentunya salah satu cara yang lain akan sama saja, melelahkan...Huhuhu...
Tak setiap saat ilmu harus digunakan sebagai senjata. Sebagai alat pengakuan diri, atau sebagai alat untuk membuat celah masuk pada objek-objek yang kita inginkan. Aktivitas seperti itu seringkali merusak, dan menyakiti hati para pemilik aset, pemilik ruang waktu yang hadir sebelum kita. Bagaimana ilmu bisa bekerja menjadi penyembuh jika ilmu melukai saja yang dikuasai?
Ilmu Sebagai Wadah
Dalam beberapa kesempatan, saya rasa setiap kita akan diberi rizki untuk melihat insan-insan yang menjadikan ilmunya sebagai wadah. Sebagai tempat yang nyaman untuk membuka diri. Ada yang melihat insan sebagai tempat yang nyaman untuk mencurahkan keresahan. Karena keresahan seringkali adalah pembuka. Keresahan seringkali ditandai dengan tanda tanya. Seperti halnya di dunia intelektual, questioning adalah kunci dari sebuah riset. Sebuah pertanyaan bisa menentukan riset tersebut akan berlangsung dengan mudah, atau terjal. Dan setelah punya ilmu, tantangan selanjutnya dari setiap insan adalah memilih. Menentukan tujuan. Di sinilah peran "panggilan semesta" sangat fungsional.
Menjadikan diri sebagai wadah, adalah sebuah rejeki saat memiliki pengetahuan. Seringkali pengetahuan kita hanya dijadikan alat untuk tunjuk diri yang bermuara pada menyakiti. Ilmu sebagai senjata tak selalu memberi solusi pada orang banyak. Ilmu sebagai wadah seringkali adalah jawaban untuk masalah-masalah yang lebih rumit dan memerlukan kerjasama dan kolaborasi.
.
Ilmu Sebagai Cermin
Seorang rekan pernah datang kepada saya saat saya menanti pengumuman sebuah lomba. "Rejeki itu akan datang sendiri. Jika ia datang, sebaiknya kita memang dalam keadaan siap, bukan keadaan kering karena menunggu. Jadi tak usah ditunggu, siapkan diri terus. Perhatikan kebutuhan diri yang tiap hari menuntut perbaikan cara pikir. Karena setiap hari baru adalah ruang untuk menemukan mutiara-mutiara, inti dari sebuah hari yang tidak selalu tiga dimensional, bahkan bisa tujuh dimensional. Bahkan lebih," ujar rekan itu di sebuah tempat ngopi favorit.
Mengasah diri juga adalah sebuah hikmah dari memiliki ilmu. Mengasah agar selalu siap. Selalu tajam. Atau bila ia cermin, selalu mengilap, dan memantulkan dengan kualitas prima. Ilmu sebagai cermin, akan termanifestasikan pada orang-orang yang selalu memperbaiki dirinya. Bukan karena rusak. Tapi sebagai sebuah siklus bersyukur. Ilmu sebagai tasbih berputar, alat insan untuk mendekatkan diri pada Tuhannya, sekuat tenaga.