Wednesday, August 10, 2022

Eksplorasi Deduktivisme a.k.a. Teknik Ngemong




Istilah "Bangsa Indonesia lebih senang dengan pendekatan induktif" rasanya kurang tepat. Mungkin  "Anak bangsa lebih senang dengan pendekatan deduktif, dan warga Indonesia lebih senang induktif" rasanya  akan lebih tepat.

Bagi bapackbapack yang hampir tiap hari anter anak sekolah dari jaman TK pake motor, perubahan anak dari posisi dibonceng di depan lalu karena sudah tumbuh tinggi lalu harus  duduk ke belakang adalah hal besar yang tak terduga. Sebelumnya, di perjalanan biasa ngobrol pake style tutur kata induktif lalu harus diubah jadi deduktif. Perubahan yang cukup signifikan. Jurnalis/penulis tentunya akan paham rasa bahasa ini.

Perubahan cara berliterasi ini sangat terasa dan mengejutkan karena di saat yang sama pekerjaan banyak terkait dengan fasilitasi dan kampanye literasi.  Perubahan posisi duduk ini sama sekali tak menjadi perhatian pada awalnya.  Khususnya untuk yang mengantsr anak pake roda dua.

Mungkin akan berbeda pengalamannya bagi yang memakai roda empat untuk mengantar anak.  Risetnya akan berbeda.

Bertumbuhnya anak sejak TK tak hanya fisik saja. Cara bertutur, berpendapat dan berinteraksi (khususnya saat perjalanan mengantar ke sekolah) tumbuh beriringan. Kini begitu terasa,  anak yang sudah berumu tanggung (umur 11 tahun) ini  cara berbicaranya mulai mix. Kalimatnya lebih panjang. Ide dalam setiap tuturnya semakin dalam. Sudah punya teritori untuk pendapatnya, walau  masi belum bisa melepaskan diri dari sosok (intensi) orang tuanya, dan ini sudah pernah terpetakan sebelumnya. Satu hal baru yang butuh penyesuaian/gesturing adalah seputar penyikapan posisi duduk.

Seiring berpindahnya posisi duduk, maka mulai ada bahasa baru yang dipelajari, yaitu bahasa peluk. Cara peluk anak saat dibonceng itu berbeda, saat ia lelah karena belajar keras, lelah karena bosan, atau memang mengantuk. Mulai hapal beberapa gestur khas ini. Cukup membantu dalam eksplorasi dunia deduktif ini.

Kalo dalam pertemanan, teknik literasi bisa kita disebut teknik berbasa-basi. Cara ini biasanya menempatkan rangkaian ide secara berurutan sebelum sampai kepada pesan utama. Tapi khusus untuk mengurus anak, istilahnya mungkin bukan basa-basi. Istilah "ngemong" terasa lebih pas.

Ngemong itu seperti menaikkan layangan. 

Pada layangan, ada benang yang menghubungkan kita dan layangan, dan ada angin yang membuat layangan itu berubah fungsi jadi alat pengarung angin. 

Sedangkan basa-basi itu seperti ngurusin orang orangan sawah. Butuh angin, hanya untuk perkeras "bunyi". Ya bisa saja layangannya bentuk orang-orangan sawah. Tapi tetap fungsinya akan beda. Apalagi feel-nya.

Angin dalam analogi ini adalah konteks. Saat ngemong, kunci utama dalam membuat emongan berhasil adalah konteks. Apakah bisa kita memanfaatkan konteks untuk membuat anak mengetahui perannya, ya kalo bisa manfaat dirinya saat ada di keluarga.

Jika dalam interaksi biasa, yang bukan ngemong, kita bisa memanfaatkan konteks untuk membuat individu lebih "berbunyi". Bisa dibilang kalo dari bahasa social engineering, ngemong itu adalah aktivitas yang membuat orang menjadi tak hanya dirinya, tapi juga bagian dari social body. Bagian dari dimensi yang lebih tinggi dari "menjadi", yaitu dimensi wadah. Mewadahi.

===
*Sementara baru bisa share itu dulu. Ide tulisan ini didapat saat perjalanan pulang antar anak. Saat ini waktunya cuci motor. Siapa tau dapat ide lagi. Doakan.


No comments: