Sunday, March 30, 2008

Ruang publik


lebih dari dua minggu, di 1 April 2008,
Sebuah tanggal yang berarti untuk orang-orang yang ingin melihat gilanya dunia...
Entah berapa orang di hari itu yang akan dikerjai oleh teman-temannya..
April Mop, saat orang-orang merasa bahagia, diatas (mungkin) kebingungan orang lain, dan kegilaan dirinya sendiri...

Gila, bingung, bahagia

3 rasa yang tercipta saat menelusuri lorong ibukota. Gila bila kita meladeni aliran emosi di jalan raya ibukota. Bingung saat kita tiba-tiba ditilang, salah apa lagi yang berhasil ditemukan oleh polisi kreatif pada diri kita yang polos ini. Dan bahagia... walau sedikit...saat kita berhasil mencapai tujuan.


3 rasa ini selalu menyertaiku saat menelusuri lorong-lorong ibukota. Mungkin dengan ilustrasi yang berbeda, namun tetap 3 rasa utama yang terasa selalu membungkus diri.

Teringat pada tulisan ilmiah syarat kelulusan sarjanaku.
Tulisan tentang ruang-ruang di ibukota. Memang dari dulu aku sudah mengincar ibukota ini menjadi tempat berlabuhku. Kawah candradimuka tempatku menyalurkan bakat "gilaku". GILA...di luar kotak, fluktuatif, dan tak terikat...

Kebencian yang mendalam pada kemapanan semu membuat akal berontak. TAk perlu kita mencari kemapanan, karena kemapanan selalu ada saat kita sadar,bernafas dengan normal seraya berpijak mantap menatap karya kita, ITU CUKUP bagiku.

Diri ini selalu memandang jalanan ibukota layaknya jalur-jalur syaraf otak yang membuat manusia berpikir. Semakin banyak syaraf bekerja, semakin dalam manusia berpikir. Begitu pula ibukota, semakin sibuk lalu lintas, adalah ciri sebuah kota yang berproses, menghasilkan karya atau cerita-cerita seru. Bisa jadi juga kota bergerak hanya untuk berproses menghasilkan kotoran. Pergi pagi pulang sore tanpa menemukan makna apa-apa selain rupiah untuk biaya penukar isi perut.

Ibu kota yang jalan-jalannya dihimpit oleh bangunan tinggi, menjadi simbol pencapaian setinggi langit dari mimpi para penguasa jalan di pagi hari ..

Kadang kulihat, bangunan-bangunan itu terpengaruh oleh kuatnya sirkulasi jalan, sehingga orientasinya persis sejajar jalan. Tapi kadang juga ku melihat, bangunan yang mungkin ingin terlihat berbicara, dan terlihat, tumbuh di sisi jalan dengan orientasi yang berbeda dengan bangunan-bangunan sekitarnya.

Perbedaan orientasi itu berpotensi menimbulkan masalah. Hal ini akan menyebabkan timmbulnya ruang-ruang publik baru dengan bentuk baru yang berefek tak terduga di lahan bawahnya. Perbedaan akibat ruang-ruang publik standar milik bangunan sebelah kadang menimbulkan masalah. Ruang tak terpakai lah (lost space), atau kadang "ketidaksesuaian" dengan lingkungan itu memicu dan menularkan semangat perbedaan baru di bangunan lama yang ingin berubah. Persis kejadiannya seperti fenomena fasad acak di jalan Cihampelas Bandung. Order of cihampelas building facade sekarang memang sudah tidak bisa diambil tipologinya selain dari kesan kedisorderannya..
Cukup mudah untuk menciptakan sebuah order yang acak... seperti kita melempar batu ke air, maka gelombangnya akan merambat. Membiarkannya liar sejenak akan menenangkan air itu kembali. jangan sentuh air itu saat bergelombang, apabila kita ingin air yang tenang.

Ruang publik, seperti di arsitektur, memiliki pattern-nya masing-masing. Tergantung latar belakang pembentuknya. Tergantung Karakter pembentuknya. Dia bisa terus sesuai order, atau dia bisa acak (tak memiliki order bentuk). Dan mungkin yang lebih gila lagi, ruang publik bisa jadi berbentuk acak, namun sebenarnya terikat antara satu ruang publik dan ruang publik lain di sebelahnya, dengan 3 rasa yang kurasakan saat ini, menggilakan, membingungkan, namun tak tahu kenapa dia juga membahagiakan.

==
banyak sekali paradigma dan paternisasi keilmuan arsitektur yang patternnya sama dengan pattern masalah-masalah sosial yang timbul di ibukota ini.

No comments: